Monday, December 26, 2016

KIAI DAN FOTO

Siapakah kiai yang paling kerap tampil lewat foto?”

Andai pertanyaan demikian diajukan kepada saya, dengan spontan saya akan menjawab, “Gus Mus!”

Anda tidak percaya? Silakan minta masukan kepada saudara Google atau tanya kepada Facebook. Minggu ini, misalnya, foto-foto Gus Mus yang sedang menerima tamu dari Jakarta, yang juga sahabat beliau ketika sedang menimba ilmu di Kairo, Mesir: K.H. Prof. Dr. Habib Quraish Shihab (dan keluarga), merupakan salah satu “trending photos”.

Entah kenapa, hati saya merasa bahagia begitu melihat foto-foto kunjungan mantan menteri agama dan keluarga tersebut kepada Gus Mus di tempat kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Melihat foto-foto tersebut, saya segera dapat “menangkap” keakraban di antara dua tokoh tersebut. Selain itu, segera pula saya dapat menangkap masih kuatnya kultur pesantren yang mewarnai kunjungan tersebut: Gus Mus meminta kepada K.H. Prof. Dr. Habib Quraish Shihab untuk berdoa. Permintaan doa oleh shahib al-bait kepada seorang tamu yang sedang berkunjung merupakan kultur yang biasa dilakukan oleh para kiai. Mereka sangat sadar, doa tamu yang termasuk kategori musafir meripakan doa yang mustajab.

Kini, kita kembali kepada Gus Mus. Mengapa saya memilih beliau sebagai kiai yang sangat sadar “peran” foto? Saya mulai “memantau” kegemaran beliau berfoto (nyuwun agunging pangapunten, Gus) ketika saya masih menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir,  Krapyak Yogyakarta (1972-1975). Kala itu, saya tinggal satu gotakan (kamar) bersama adik kandung Gus Mus: Gus Adib Bisri (almarhum). Nah, suatu ketika, selepas Gus Adib kembali dari mudik ke Rembang, Gus Adib membawa tiga  album penuh foto-foto. Ternyata, album-album itu milik Gus Mus.

Lewat album-album itulah saya tahu “kisah” Gus Mus ketika sedang menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Saya ingat, misalnya, bagaimana gaya beliau ketika sedang mengikuti kegiatan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo. Dapat dikatakan, Gus Mus kala itu adalah seorang mahasiswa fotogenik: senantiasa tampil menawan ketika berfoto. Dari foto-foto itu saya juga ingat beberapa kawan seangkatan beliau menimba ilmu di ibu kota Mesir itu. Antara lain Gus Dur, K.H. Prof. Dr. Habib Quraish Shihab, dan. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi Gontor.

Selintas, foto-foto Gus Mus itu tidak banyak manfaatnya. Mungkin, bagi sebagian orang demikian. Tapi, bagi saya pribadi, foto-foto itu  telah berjasa dalam memberikan motivasi kepada saya untuk menimba ilmu sampai  jauh ke negeri orang. Karena terpikat dengan foto-foto Gus Mus ketika sedang menimba ilmu di Mesir, saya pun sejak masih sebagai santri punya keinginan kuat untuk mengikuti jejak Gus Mus: menimba ilmu di Mesir.


Matur nuwun, Gus Mus.  Semoga tetap tidak jemu berfoto nggih. Salam.

Friday, December 23, 2016

KIAI-KIAI YANG MENDAMAIKAN HATI

Entah kenapa, tiba-tiba dini hari tadi, saya sangat kangen dengan dua kiai yang sangat tawadhuk.

Terkenang dengan dua kiai yang sangat rendah hati itu, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” ke sekitar 1974. Kala itu, saya masih sebagai santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Juga, sebagai salah seorang pengurus pondok pesantren yang mendapat amanah mendampingi ribuan santri.  

Sebagai pesantren besar, pesantren yang berada di ujung paling selatan jalan dari arah Beteng Selatan  itu kerap menerima banyak tamu. Khususnya untuk bersilaturahim dengan KH. Ali Maksum, kiai terkemuka di pesantren tersebut kala itu. Tamu-tamu yang datang tidak hanya para orang tua santri. Tapi, juga para kiai dan pejabat. Di antara para pejabat, yang kerap bersilaturahim adalah seorang menteri agama yang pernah menjadi murid K.H. Ali Maksum ketika di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan: Prof. Dr. A. Mukti Ali. Tokoh terakhir tersebut, seingat saya, setiap Hari Raya Fitri, selalu sowan kepada K.H. Ali Maksum, sampaipun ketika menjabat sebagai Menteri Agama. Dan, saya lihat, setiap kali sowan beliau selalu mencium lama tangan gurunya itu.

Sebagai pengurus pesantren, kami senantiasa diberitahu para tamu yang datang. Bagi saya pribadi, ada dua “tamu” yang senantiasa saya nantikan kehadiran mereka: K.H. Abdul Hamid Pasuruan dan K.H. Arwani Kudus. Yang pertama adalah seorang kiai yang terkenal sangat tawadhuk dan berwajah teduh dan meneduhkan hati. Kiai yang senantiasa mengenakan busana putih, dari serban, baju, hingga sarung ini pernah bersama K.H. Ali Maksum menimba ilmu di Pondok Pesantren Tremas, dan malah kemudian menjadi besan beliau.

Setiap kali K.H. Abdul Hamid bersilaturahim ke Pondok Pesantren Krapyak, dan seusai melaksanakan shalat Shubuh, K.H. Ali Maksum kemudian mempersilakan sang tamu mendampingi beliau untuk berdiri di depan mihrab masjid. Segera, para santri berbaris dan kemudian menjabat tangan serta mencium tangan dua kiai terkemuka tersebut. Dalam suasana demikian, saya sengaja menanti sebagai santri terakhir yang antri. Mengapa? Sebagai orangg terakhir yang menjabat tangan dan mencium tangan dua kiai yang guru ayah saya ketika di Pondok Pesantren Tremas, saya berkesempatan mencium lama dua tangan lembut dua kiai tersebut. Ada suatu kebahagiaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata, ketika mencium lama tangan lembut dua kiai tersebut.

Kiai kedua yang senantiasa dambakan kehadirannya adalah K.H. Arwani. Kiai yang satu ini, seperti halnya K.H. Abdul Hamid Pasuruan, setiap kali datang ke Pondok Pesantren Krapyak, juga senantiasa mengenakan serban, baju, dan sarung putih. Kiai yang satu ini terkenal sebagai salah seorang tokoh tahfidz Al-Quran di Indonesia. Seperti halnya K.H. Abdul Hamid, K.H. Arwani senantiasa lembut ketika berbincang, sangat santun dalam bertindak, dan memiliki wajah yang memancarkan kebeningan dan kejernihan hati. Yang jauh lebih utama: lewat asuhan beliau, lahir ribuan hafizh Al-Quran dengan standard tinggi. Dengan kata lain, tidak sekadar hapal Al-Quran.

Dua kiai tersebut, setahu saya, tidak pernah terlibat dalam hingar bingar perpolitikan di Indonesia. Meski demikian, dalam sunyi mereka senantiasa berdakwah dengan cara yang mereka pilih: tanpa banyak cakap dan cuap-cuap. Mereka berdakwah dengan sangat ikhlas dan tanpa ingin disanjung siapa pun. Ternyata, hasil dakwah mereka luar biasa dan sangat efektif.

Teringat dua kiai yang rendah hati dan menyejukkan hati tersebut, seusai shalat Shubuh tadi pagi pun saya berdoa, “Ya Allah, dua kiai yang rendah hati itu kini telah berpulang kepada-Mu. ‘Peluk’lah keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan, munculkanlah para pengganti mereka yang memiliki akhlak dan kualitas seperti mereka berdua. Di negeri tercinta kami ini, Indonesia.”

Amin yang Mujibas Sa’ilin.