Wednesday, October 18, 2017



BEKAL HIDUP

Hari Ahad yang lalu, selepas menemani seorang kakak ipar ke salah satu sudut Kota Bandung, entah kenapa tiba-tiba saya ingin “menggelandang” ke Masjid Pusdai (Pusat Dakwah Islam), Bandung. Segera, saya pun naik angkot menuju Masjid yang terletak di Jalan Suci itu. Tiba di Masjid, segera saya berwudhu dan melaksanakan shalat Tahiyyat Masjid. 

Usai melaksanakan shalat Tahiyyat Masjid, saya kemudian duduk di teras Masjid sambil menanti datangnya waktu shalat Maghrib. Tepatnya di pinggir shahn (ruang terbuka yang merupakan bagian Masjid). Suasana di tempat itu begitu riuh: anak-anak dengan riang gembira sedang bermain sepak bola, beberapa penjual makanan sedang melayani sejumlah pembeli, dan sejumlah ibu-ibu sedang menikmati senja hari bersama anak-anak mereka.

Entah kenapa, saya sangat menikmati keriuhan itu. Sambil menikmati keriuhan tersebut, saya kemudian mengambil sebuah buku yang ada di tas punggung saya. Buku yang ditulis Prof. Dr. Husain Mujib Al-Mishri itu berjudul Iqbâl wa Al-Qur’ân: Dirâsah Qur’âniyyah Muqâranah. Entah kenapa pula selepas beberapa lama menyimak isi buku tersebut, tiba-tiba sebuah pertanyaan “melesat” di benak saya, “Apakah bekal hidup yang pas itu?”

Selepas lama merenung dan mencoba mencari jawabannya dalam karya tersebut, entah kenapa tiba-tiba saya teringat sebuah kisah indah yang dapat dikatakan merupakan jawaban atas pertanyaan yang tiba-tiba “memenuhi” benak itu. Kisah itu sebagai berikut:

Suatu  saat seorang Tuan Guru kondang bertanya kepada salah seorang muridnya, “Muridku, sejak kapan engkau menimba ilmu kepadaku?”
“Sejak 30 tahun, Tuan Guru,” jawab si murid dengan suara pelan dan seraya menundukkan kepalanya.
Mâsyâ Allâh!  Apa saja yang engkau pelajari  selama 30 tahun itu?”  tanya Tuan Guru selanjutnya. Sangat penasaran.
“Delapan persoalan, Tuan Guru,” jawab si murid. Tetap dengan suara pelan dan tetap dengan kepala tertunduk.
Innâ  lillâhi  wa innâ ilaihi râji‘ûn. Terbuang  percuma  sajalah umurku  bersamamu.  Selama 30 tahun engkau hanya  memelajari  delapan  persoalan saja?” tanya Tuan Guru. Sangat terperanjat. Dan, tentu saja, sangat penasaran.
“Benar, Tuan Guru,” jawab si murid pelan.  “Selama itu, saya  tidak mempelajari  hal-hal yang lain. Sungguh, Tuan Guru. Itulah yang saya pelajari dan lakukan selama itu.”
“Baiklah. Jika demikian, paparkan   delapan   persoalan   itu kepadaku. Aku ingin   sekali mendengarkannya.”  

“Yang pertama,”  jawab si murid, tetap dengan nada suara pelan, “ketika anak manusia yang  hidup di  dunia  ini saya cermati, saya perhatikan, setiap orang ingin punya kekasih  dan ingin bersama dengan kekasihnya hingga ke liang kubur. Namun, ketika  dia telah  sampai  ke  liang  kubur,  ternyata  dia  berpisah   dengan kekasihnya. Karena itu, saya pun menjadikan perbuatan baik  sebagai kekasih saya.  Sebab, bila saya  masuk ke dalam kubur, masuk pulalah  kekasih saya bersama saya.” 

“Benar sekali apa yang engkau kemukakan, muridku. Lantas, yang kedua apa?”
“Ketika  firman  Allah Swt, “Dan bagi  orang-orang  yang  takut pada  kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari  keinginan  hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.” (QS Al-Nâzi‘ât, [79]: 40-41) saya renungkan,  saya benar-benar meyakini bahwa firman Allah Swt. tersebut  benar.  Karena itu, saya lalu berusaha menolak hawa nafsu. Sehingga, dengan demikian, saya tetap taat kepada-Nya.” 

“Indah sekali jawabannmu. Lantas, yang ketiga?”
“Ketika anak manusia yang ada di dunia ini saya renungkan, ternyata saya lihat setiap  orang ingin memiliki harta benda,  menghargainya,  memandangnya bernilai,  dan memeliharanya. Kemudian, saya merenungkan firman  Allah Swt., “Apa yang di sisi kalian akan lenyap dan apa yang ada di  sisi Allah adalah kekal.” (QS Al-Nahl, [16]: 96). Karena itu, setiap  kali saya mendapatkan sesuatu yang berharga dan  bernilai,  sesuatu itu pun  saya hadapkan kepada Allah Swt. Semoga sesuatu itu kekal dan terpelihara di sisi-Nya.”
Mâsyâ Allâh, indah sekali jawabanmu. Yang keempat?”
“Tuan Guru, ketika  pandangan saya terarah kepada anak manusia yang ada di dunia  ini,  saya perhatikan setiap  orang  senantiasa menaruh  perhatian  terhadap  harta, jabatan,  kemuliaan, dan keturunan. Lalu, ketika semua itu saya cermati, tiba-tiba nampak semua itu tiada artinya. Kemudian,  saya lantas merenungkan firman Allah Swt., “Orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah  adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS Al-Hujurât [49]: 13). Karena itu, saya pun bertakwa kepada-Nya. Kiranya saya menjadi orang mulia di sisi Allah.” 

“Benar sekali jawabanmu, muridku. Lantas, yang kelima?”
“Ketika anak manusia yang hidup di dunia ini saya perhatikan, ternyata  mereka suka  saling  menohok  dan  mengutuk  satu  sama  lainnya.  Penyebab semuanya itu adalah perasaan dengki. Kemudian, saya pun memperhatikan  firman Allah  Swt., “Kami telah menentukan di antara  mereka  penghidupan mereka dalam kehidupan di dunia.” (QS Al-Zukhrûf [43]: 32)  Karena itu,  perasaan  dengki pun saya tinggalkan dan diri saya  pun  saya jauhkan dari orang banyak. Saya tahu, saya akan mendapatkan pembagian rezeki dari sisi Allah Swt. Karena itu, permusuhan orang banyak kepada saya pun saya abaikan.” 

“Menarik sekali, muridku. Yang keenam?”
“Ketika anak manusia yang hidup di dunia ini saya cermati, ternyata mereka suka  berbuat kedurhakaan dan berperang satu sama lain.  Saya  pun kembali  pada firman Allah Swt., “Sungguh, setan  adalah  musuhmu. Karena itu, jadikanlah dia sebagai musuh(mu).” (QS Fâthir [35]: 6). Karena itu pula,  setan pun saya pandang sebagai musuh saya satu-satunya. Dan, saya  pun sangat  berhati-hati  terhadapnya, karena  Allah  Swt.  menyatakan setan sebagai  musuh saya. Dan, permusuhan antarmanusia pun saya tinggalkan.” 

“Duh, indah sekali jawabanmu, muridku. Yang ketujuh?”
“Ketika  anak manusia yang hidup di dunia ini saya perhatikan,  ternyata saya  lihat setiap  orang  berusaha memburu sekeping dari dunia  ini.  Lalu,  dia menghinakan   diri  padanya  dan  memasuki   bagiannya   yang terlarang. Kemudian, saya pun merenungkan firman Allah Swt., “Dan, tidak ada suatu  binatang  melata  pun di  Bumi  melainkan  Allah-ah  yang memberikan  rezekinya.” (QS Hûd [11]: 6). Saya pun menjadi  tahu,  ternyata diri saya ini  termasuk binatang melata yang rezekinya ada di tangan  Allah Swt. Karena itu, saya pun lantas melakukan sesuatu  yang menjadi hak Allah atas diri saya, saya tinggalkan  segala sesuatu yang  menjadi  hak  Allah  atas  diri saya, dan saya tinggalkan segala sesuatu yang menjadi hak saya di sisi-Nya.” 

“Luar biasa indah jawabanmu, muridku. Lantas, yang kedelapan?”
“Ketika  anak manusia  yang hidup di  dunia  ini saya perhatikan,  ternyata setiap orang menggantungkan  diri  pada  yang selain dirinya.  Yang ini pada bendanya. Yang itu pada perdagangannya. Yang lain  lagi  pada  perusahaannya. Dan,  yang  satunya  lagi   pada kesehatan badannya. Masing-masing orang bergantung pada sesamanya. Lalu, saya pun kembali pada firman Allah  Swt.,  Dan, barang siapa  yang  bertawakkal kepada Allah,  niscaya  Allah  akan mencukupi  keperluannya.” (QS Al-Thalâq [65]: 3). Karena itu, saya  pun berserah diri kepada Allah Swt. Ternyata, Allah Swt. mencukupi segala keperluan saya.” 

“Muridku,” ucap Tuan Guru memungkasi perbincangan di antara mereka berdua.  “Kiranya Allah Swt. melimpahkan karunia-Nya  kepadamu!  Sejatinya, segala ilmu yang ada di dalam Taurat,  Injil, Zabur,  dan  Al-Quran mulia telah saya pelajari dan renungkan. Ternyata, aku mendapatkan, segala  persoalan kebaikan dan keagamaan dalam kitab-kitab suci itu berkisar  pada  delapan persoalan tersebut. Dengan kata lain, barang siapa melaksanakannya, berarti dia telah melaksanakan kandungan keempat kitab tersebut!” 

Betapa indah bekal hidup yang dikemukakan si murid itu. Semoga saya dapat melaksanakannya, amin!

Tuesday, October 10, 2017



100 GREAT STORIES OF MUHAMMAD

Alhamdulillah, engkau datang tepat waktu.”

Demikian gumam pelan kedua bibir saya, ketika menerima lima  (5) eksemplar buku 100 Great Stories of Muhammad dari Penerbit Safina, Bandung kemarin. Tepat waktu? Ya, karena hari itu, entah kenapa, perasaan bosan untuk menulis  sedang membara dalam benak saya. Padahal, biasanya, saya bisa berjam-jam kuat “bermain-main bersama laptop” untuk menulis segala sesuatu yang dapat saya tulis. Hari itu, saya benar-benar sebal terhadap dunia tulis menulis. Namun, begitu melihat lima naskah buku itu hadir di depan mata saya, kesebalan itu pelan-pelan cair dan sirna. Saya pun bersemangat kembali untuk “bermain-main bersama laptop”. Alhamdulilah.

Sejenak kemudian, benak saya pun melayang-layang ke tahun 1983. Itulah pertama kali “buah tangan” saya lahir. Dalam bentuk sebuah buku terjemah, karya Waheeduddin Khan. Saya kala itu masih sebagai anak sekolah di Kairo, Mesir. Kelahiran buku itu hanya saya ketahui lewat surat saja.

Sejak itu, saya meniatkan diri untuk mengkhidmatkan sebagian besar hidup saya untuk dunia perbukuan. Saya memulai langkah itu sebagai penerjemah. Lahirlah sederet karya terjemahan lewat mesin ketik yang setiap hari saya ketuk. Antara lain Sejarah Kebudayaan Islam, Al-Ghazali: Sang Sufi Sang Filosuf, Filsafat Kebudayaan Islam, Sufi dari Zaman ke Zaman, Kitab Ihya’ ‘Ulum Al-Din (16 jilid), Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Al-Quran dan Ilmu Jiwa, Risalah Cinta: Kitab Klasik Legendaris tentang Seni Mencinta, dan Mutiara Riyadushshalihin. Selain itu, saya juga memulai langkah sebagai editor. Lahirlah sejumlah buku yang saya sunting, antara lain karya Mohammad Arkoun, Membedah Pemikiran Islam dan Kajian Kontemporer Al-Quran, karya Maxim Rodinson, Pesona Islam, dan karya Tasaro G.K., Muhammad (4 jilid).

Kemudian, sekitar 2006, selain sebagai penerjemah dan editor, saya pun mulai memberanikan diri menjadi penulis. Lahirlah kemudian karya-karya saya sendiri. Antara lain, Teladan Indah Rasulullah dalam Ibadah, Mutiara Akhlak Rasulullah Saw., Wangi Akhlak Nabi, Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, Muhammad, Sang Kekasih, Makkah-Madinah, Kado Indah untuk Muslimah, Dari Istana Topkapi Hingga Eksotisme Masjid Al-Azhar, Kisah Pencari Nikmatnya Shalat, Ensiklopedia Tokoh Muslim, Jejak-Jejak Islam, Para Pemimpin yang Menjaga Amanah, Tanggung Jawab Pemimpin Muslim, dan Kisah-Kisah Romantis Rasulullah Saw.

Lahirnya karya-karya tersebut, baik terjemahan, suntingan, dan sendiri, tidak lepas dari dukungan istri tercinta dan dua putri tersayang saya. Mereka tahu, dunia  suami dan ayah mereka tidak jauh dari buku dan laptop. Karena itu, kepada merekalah kerap kali nama mereka saya sebut dalam karya-karya tersebut.

Buku, memang dunia saya sejak kecil ketika saya masih tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Cepu, hingga kini tinggal di Bandung. Dan, lewat buku, alhamdulillah saya dapat meniti secara fisik maupun non-fisik ke berbagai belahan dunia, untuk “bertemu” dengan tulisan dan pemikiran para penulis dan pemikir dunia.

Terima kasih, Penerbit Safina! Buku 100 Great Stories of Muhammad telah sampai di tangan saya.