Tuesday, August 14, 2012


JANGAN BERDUKA, DALAM DIRIMU 1000 BULAN BERKILAUAN

Tidak terasa, hari-hari bulan suci Ramadhan hampir rampung kita tapaki. Malam demi malam berbagai tindak kebaikan dilakukan. Sehingga, bulan yang sarat berkah ini terasa pendek sekali. Tiba-tiba di hadapan kita muncul hari kembali pada kesucian diri: Hari ‘Idul Fitri.

Menghadapi keadaan demikian, benak pun tercenung dan berpikir, “Apakah yang selayaknya dilakukan dalam mengisi lembaran baru kehidupan, selepas sebulan diri dalam tempaan?” Selepas lama termenung mencari jawab, ingatan pun melayang pada pesan-pesan Mohammad Iqbal, seorang penyair dan filosuf Pakistan.

Iqbal, dalam pesannya bagaimanakah sebaiknya kehidupan ditapaki, mengingatkan:

Hidup adalah kreatifitas dan semangat!
Pabila kau benar-benar hidup
Hiduplah penuh kreatifitas dan gairah!
Jelajah seluruh semesta alam!
Tumpas hingga tuntas segala yang nista

Lalu, cipta dunia barumu
Sebagai penjelmaan imajinasimu!
Bagi yang bebas
Sungguh membosankan
Untuk hidup di dunia ciptaan orang lain.

Bukan tidak mungkin dalam menapaki lembaran kehidupan baru itu, suatu saat kita berhasil merengkuh apa yang kita dambakan. Dalam keadaan demikian, kadang kita lupa dan kemudian menepuk dada serta mengatakan hal itu terjadi karena kita berasal dari ras tertentu. Dalam keadaan demikian itu, Iqbal mendamprat kita untuk tidak melakukan hal yang demikian:

Belajarlah menghargai dirimu, O Bocah!
Adakah kau Muslim? Enyahkan kebanggaan keturunan
Jika orang Arab melihat kulit dan darahnya
Katakan selamat tinggal selamanya

Disebut China, Melayu, Turki, atau Afghan
Kita ini milik sebuah taman besar
Lahir di musim semi itulah keluhuran
Membedakan warna adalah berdosa bagi kita

Tampaknya Iqbal kerap mengamati, kebanggaan diri dan perasaan pongah kerap timbul dalam diri kita, umat manusia. Malah, kebanggaan itu kadang dipamerkan kepada Tuhan:

Kau mencipta alam, aku mencipta lampu yang memendari
Kaubuat lempung, kubikin darinya cawan minuman
Kaubikin hutan liar, gunung, dan padang rerumputan
Kucipta kebun, taman, jalan, dan padang gembala
Kuubah racun berbisa jadi minuman segar
Akulah yang mencipta cermin cerlang dari pasir.

Wajar, bila sikap sombong dan pongah perlu disirnakan dari diri kita, selepas sebulan menempa diri. Apalagi, di depan kita terbentang hari-hari nan fitri. Kesediaan untuk memaafkan dan membuang perasaan benci semestinya kita miliki. Iqbal menghardik kita:

Jika kau tak memiliki
Kesanggupan memaafkan
Pergilah! Carilah pegangan
Bersama mereka yang menjerumuskanmu
Jangan rawat kebencian dalam hatimu
O, jangan buat madumu kecut
Mencampurnya dengan cuka.

Tetapi, Iqbal tidak hanya piawai menghardik saja. Ia juga pandai menghibur kita. Lewat puisinya “Bulan Baru ‘Id”, kita dihiburnya untuk tidak berduka ditinggalkan kekasih kita: bulan Ramadhan. Karena, di depan kita ada bulan baru ‘Id:

Bulan baru ‘Id
Tak dapat kauhindari
Mata nanar
Khalayak yang menantikan pandangmu
Seribu kerlingan
Diam-diam merangkai
Jaring untuk menangkapmu
Buka matamu
Pada dirimu: jangan berduka
Karena kau adalah rencana terbuka
Dalam dirimu
Berkilauan seribu bulan!

Untuk itu, mari kita buka lebar pintu kelapangan dada dan pintu kemaafan kita. Kepada siapa pun. Dan, “pada bulan fitri tahun ini, perkenankan kami, menyampaikan permohonan maaf, baik lahir maupun batin. Kiranya Allah menerima amal ibadah kita. Amin. Selamat Idul Fitri”. 

Monday, August 6, 2012


SEPATU DAHLAN ISKAN DAN MULLA NASRUDDIN HOJA

Kemarin, ketika membaca untuk kedua kalinya sebuah buku berjudul Sepatu Dahlan, yang menuturkan dengan memikat kisah kehidupan masa belia dan muda yang perih Dahlan Iskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Indonesia saat ini, entah kenapa  benak saya tiba-tiba  “melayang-layang” ke Turki. Melayang-melayang ke Turki karena tiba-tiba teringat Mulla Nasruddin Hoja. Ya, teringat Mulla Nasruddin Hoja, seorang tokoh yang terkenal kocak ala si Kabayan van Jawa Barat.

Tentu Anda mengenal Mulla Nasruddin Hoja. Menurut kisah-kisah yang beredar, tokoh yang satu ini adalah seorang sufi jenaka yang kadang bertindak “kurang waras”. Padahal, menurut Dr. Muhammad Rajab Al-Najjar, dalam karyanya berjudul Juhâ Al-‘Arabî, mulla yang satu ini sejatinya bukan sosok yang “kurang waras” alias sangat bego. Sebaliknya, dia adalah sosok yang berusaha mendekati segala persoalan yang dia hadapi dari aspek-aspek yang paling dekat dengan kebenaran dan kenyataan. Karena itu, bagi orang-orang lain yang tidak menyukai kebenaran, sang mulla merupakan sosok yang kontradiktif. Tak aneh, bila Sultan ‘Abdul Hamid II, seorang penguasa Turki, pernah melarang beredarnya “kisah-kisah tentang Nasruddin Hoja”. Sang penguasa khawatir, kisah-kisah itu dapat membangkitkan perlawanan rakyat Turki terhadap penguasa. Utamanya, penguasa yang otoriter dan salah dalam mengurus negara dan rakyat.

Tentu Anda tahu pula gaya Dahlan Iskan. Ke mana-mana menteri yang satu ini kerap mengenakan sepatu kets. Nah, sepatu kets yang dikenakan Dahlan Iskan mengingatkan saya pada kisah Mulla Nasruddin Hoja berikut:

Suatu saat, Mulla Nasruddin Hoja mendapat undangan untuk menghadiri suatu perhelatan besar dan resmi. Menerima undangan kehormatan demikian, tentu saja dia menyatakan kesediaannya untuk hadir. Nah, ketika saat perhelatan itu tiba, dia pun pergi ke tempat perhelatan itu. Berbeda dengan tamu-tamu lain yang mengenakan busana yang mewah dan indah, dia datang dengan pakaian harian yang biasa ia kenakan.

Ternyata, setiba di tempat perhelatan itu, tidak seorang pun menaruh perhatian kepada Mulla Nasruddin Hoja. Malah, dia diperlakukan dengan tidak hormat. Pelayan-pelayan pun mengabaikan dia. Menengok kepada dia pun tidak. Malah, mereka tidak menyajikan hidangan apa pun kepadanya.

Menerima perlakuan demikian, Mulla Nasruddin Hoja kemudian dengan diam-diam menyelinap dari perhelatan tersebut. Tanpa seorang pun melihatnya. Lalu, dia pulang ke rumah. Setiba di rumah, ia segera mengganti pakaian yang dikenakannya dengan busana mewah nan indah: penuh pernik-pernik sangat mahal yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang pembesar dan bangsawan. Tidak lupa dia mengenakan sepatu yang mahal harganya, jubah sutra, dan serban indah dan tinggi menjulang. Kini, tampilannya laiknya seorang sultan.

Selepas mengenakan adi busana (haute couture) ala busana para model papan atas dari Paris, Perancis, Mulla Nasruddin Hoja kemudian balik ke tempat perhelatan tadi. Berbeda dengan sebelumnya, kedatangannya kali ini disambut dengan penuh kehormatan dan sanjungan. Malah, tuan rumah meminta sang mulla agar duduk di sampingnya, di tempat VVIP (very very important person). Segera pula, tuan rumah menyilakan Mulla Nasruddin untuk menikmati hidangan nan lezat. Menerima sambutan dan ajakan demikian, tiba-tiba sang mulla melukar busana kebesarannya dan meletakkan busana itu di dekat hidangan seraya berucap, “Suruhlah makan pakaian ini! Suruhlah dia makan!”
“Tuan Nasruddin! Apa maksud Anda?” tanya tuan rumah. Sangat kebingungan.
“Bukankah pakaian ini yang Anda hormati. Bukan saya!” jawab sang mulla.

Kisah Mulla Nasruddin Hoja di atas, juga kisah sepatu kets Dahlan Iskan, seakan menyentil kita, “Janganlah melihat seseorang dari tampilannya semata!” Atau barang kali Mulla Nasruddin Hoja maupun Dahlan Iskan sangat memerhatikan dan memraktikkan pesan Nabi Saw., “Innallâha la yanzhuru ilâ ajsâmikum walâ ilâ shuwarikum, walâkin yanzhuru ilâ qulâbikum. Allah tidak memperhatikan tubuh maupun tampilan kalian. Tetapi, Dia melihat kalbu kalian.” Barang kali!


Friday, August 3, 2012


MEMBURU MUKJIZAT NABI 'ISA A.S.

Siang kemarin, ketika melintasi Instalasi Gawat Darurat  rumah sakit tempat istri bekerja, dan melihat pasien-pasien yang sedang dilayani di instakasi tersebut, entah kenapa tiba-tiba saya teringat Nabi ‘Isa a.s. dan kisahnya bersama sekelompok orang yang memburu mukjizat sang Nabi.

Seperti diketahui, Nabi ‘Isa a.s. adalah seorang Nabi terakhir yang diutus kepada Bani  Israil. Sang Nabi  ini termasuk keturunan Nabi Ibrahim a.s. dan merupakan keluarga  dekat Nabi Zakariya a.s. Menurut Al-Quran, ia adalah putra Maryam,  seorang wanita suci yang penuh pengabdian dan ketaatan kepada Allah Swt. Wanita suci itu  melahirkan sang Nabi tanpa hubungan intim dengan laki-laki.  Selain  itu,  menurut  Kitab  Suci  tersebut,   ia diciptakan  Allah sebagaimana Adam a.s. diciptakan dari tanah  dan ia adalah kata-kata Allah dalam arti bahwa Allah mengatakan “Kun” dan  ia tidak berayah. Karena ia lahir tanpa ayah, kaum  keluarga ibunya  menuduh  Maryam  melakukan  perselingkuhan.  Tuduhan  ini lantas dijawab langsung 'Isa yang masih orok.

Nabi  yang disebut sekitar 25 kali di dalam Al-Quran ini  diutus khusus  untuk  meluruskan  Bani Israil yang  telah  tersesat  dari ajaran  agama mereka. Namun, mereka tidak menghiraukan  petunjuk  dan pengajarannya,  meski  ia  telah  memberikan  berbagai   landasan kebenarannya  sebagai  Nabi. Antara lain dengan  menunjukkan salah salah satu mukjizatnya: menghidupkan kembali orang yang telah mati.

Alkisah, suatu hari, Nabi ‘Isa a.s. berkelana di gurun pasir bersama sekelompok orang.  Mereka pun segera tahu, ternyata sang Nabi memiliki kemampuan luar biasa untuk menghidupkan kembali orang  yang telah mati. Melihat kemampuan sang Nabi yang demikian, mereka pun “ngiler”. Mereka kemudian mendesak sang Nabi untuk menularkan mukjizatnya. Utamanya, mereka mendesak sang Nabi untuk mengajarkan mukjizatnya yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati. Didesak demikian, sang Nabi pun berucap, “Saya khawatir, bila mukjizat itu saya ajarkan kepada kalian, kalian akan menyalahgunakannya.”

Karena itu, sang Nabi menolak mengajarkan mukjizat itu kepada mereka. Tetapi, mereka kemudian senantiasa mendesak dan memaksa sang Nabi untuk mengajarkan mukjizat tersebut. Menghadapi desakan dan paksaan yang demikian, sang Nabi akhirnya berucap, “Baik, mukjizat itu akan saya ajarkan kepada kalian. Namun, perlu kalian ketahui, sejatinya kalian benar-benar tidak layak memelajari mukjizat tersebut!”
Sang Nabi kemudian mengajarkan kepada mereka mukjizat tersebut. Usai memelajari mukjizat tersebut, mereka kemudian meninggalkan sang Nabi dan pergi ke tempat yang sepi untuk memraktikkan mukjizat tersebut. Ketika berada di tempat sepi tersebut, mereka melihat setumpukan tulang belulang putih. “Ayo kita praktikkan mukjizat ini,” ucap salah seorang di antara mereka.

Begitu mukjizat itu dipraktikkan, tiba-tiba tulang belulang itu berubah menjadi sekawanan singa galak. Dan, singa-singa itu pun segera memburu, mencabik-cabik, dan memangsa mereka.

Suatu pelajaran indah diajarkan sang Nabi, “Janganlah memburu sesuatu yang diri kita sendiri sejatinya tidak layak menerimanya. Termasuk jabatan. Akibatnya, sesuatu itu akan mencabik-cabik dan memangsa kita!”