Tuesday, March 25, 2014

USTADZ, APA RESEP DUA PUTRINYA BISA MASUK ITB?

Kemarin, ipar saya (adik istri) dan suaminya dari Tangerang berkunjung ke rumah kami. Setelah berbagi sapa dan bercerita tentang banyak hal, mereka kemudian mengemukakan cita-cita mereka: menyekolahkan putri kedua mereka di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mereka tahu, kedua putri saya lulusan institut teknologi tersebut. Selepas bercerita demikian, ipar saya kemudian bertanya kepada saya, “Mas, bagaimana caranya supaya anak kami bisa masuk ITB?”

Sebuah pertanyaan singkat, tapi sulit menjawabnya. Apalagi, bagi saya yang seumur-umur tidak pernah mempelajari ilmu pasti dan teknologi, juga tidak pernah menikmati pendidikan umum secara formal.  Saya, sejak kecil (malah begitu lahir), hidup di lingkungan pesantren dan dididik kedua orang tuanya saya di lembaga keagamaan tradisional tersebut. Lagi pula, kedua putri saya, khususnya putri sulung saya, sebal ketika tahu saya bercerita tentang pendidikan mereka di instiut teknologi tersebut. Mungkin, mereka lebih suka dikenal sebagai putri seorang ayah ndeso yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren tradisional.

Entah kenapa, tidak lama selepas mendengar pertanyaan ipar saya yang demikian, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” jauh. Ya, “melayang-layang”  jauh ke Makkah dua tahun yang lalu.  Kala itu, seusai melaksanakan shalat Zhuhur di Masjid Al-Haram, saya dan sejumlah jamaah umrah menikmati makan siang di hotel tempat kami menginap. Beberapa di antara mereka adalah para guru besar Institut Teknologi Bandung dan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Seperti biasanya, sambil menikmati hidangan yang disajikan, kami berbagi cerita tentang banyak hal, termasuk pendidikan anak-anak kami. Tiba-tiba, di tengah-tengah pembicaraan, Prof. Dr. Ir. MI, seorang guru besar di Jurusan Teknik Sipil ITB yang tahu bahwa kedua putri saya lulusan dari ITB, bertanya kepada saya, “Ustadz, apa resepnya kok kedua putri Ustadz bisa masuk ITB? Padahal, banyak di antara para sejawat saya, para dosen di ITB, yang putra-putri mereka gagal masuk ITB?”

“Duh, bagaimana ya menjawabnya,” gumam pelan bibir saya. Beberapa lama saya termenung, kesulitan dalam memberikan jawaban. Akhirnya, saya pun menjawab, “Bapak-bapak, dengan latar pendidikan formal yang pernah ditempuh, sejatinya lebih tahu daripada saya tentang hal tersebut. Bapak-bapak tentu sepakat dengan saya, untuk dapat memasuki sebuah perguruan tinggi terbaik tentu diperlukan persiapan jangka panjang. Dengan kata lain, kita harus sudah menyiapkan putra-putri kita sejak dini. Tanpa persiapan jangka panjang, tentu sulit bagi putra-putri kita untuk dapat ikut memasuki sebuah perguruan tinggi yang diperebutkan puluhan ribu calon mahasiswa.  Selain itu, bapak-bapak tentu seiring pendapat dengan saya, sejak dini anak-anak juga perlu diberi pemahaman, keberhasilan meraih cita-cita tidaklah mudah dan memerlukan dukungan mereka, yaitu kesadaran mereka untuk bersama orang tua meniti langkah-langkah menuju cita-cita yang dituju.”

Usai berucap demikian, sejenak saya menarik napas. Seakan, sebuah beban berat terlepaskan. Dan, tidak lama kemudian, saya kembali berucap, “Di samping itu semua, sejatinya ada hal-hal lain yang kerap kali dilupakan para orang tua dalam mengantarkan putra-putri mereka dalam menempuh pendidikan.”
“Apa itu, Ustadz?” tanya Prof. Dr. EA, seorang guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Penuh semangat.
“Sebagai Muslim,” lanjut saya hati-hati, karena tahu yang di hadapan saya adalah para pakar, “tentu kita perlu mengantarkan putra-putri kita, dalam menempuh pendidikan dan kehidupan, dengan doa dan pendekatan diri kepada Allah Swt. Sebenarnya, saya tidak pernah mendoakan kedua putri saya dengan sebuah doa khusus yang secara eksplisit mengharapkan kiranya Allah Swt. melempangkan jalan mereka dalam memasuki ITB. Ayah saya, seorang kiai, mengajarkan kepada saya sebuah doa yang indah, “Allahumma ij’alna wa azwajana wa auladana wa banatina wa dzurriyyatina min ahl al-‘ilm wa ahl al-khair, wala taj’alna wa azwajana wa auladana wa banatina wa dzurriyyati min ahl al-syarr wa ahl al-dhair (Ya Allah, Tuhan kami, jadikan kami, istri kami, anak-anak laki-laki dan perempuan kami, juga anak keturunan kami, termasuk orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan dan suka berbuat kebaikan. Dan, jangan jadikanlah kami, istri kami, anak-anak laki-laki dan perempuan kami, juga anak keturunan kami, termasuk orang-orang yang suka bertindak kejahatan dan kesesatan).” Jadi, yang senantiasa saya doakan, kiranya Allah Swt. menjadikan kedua putri saya menjadi orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan dan suka berbuat kebaikan. Masalah mereka akan diterima perguruan tinggi mana, Allah Swt. yang lebih tahu mana yang terbaik. Kami hanya berikhtiar. Berikhtiar tentu saja tidak saja secara lahiriah saja. Dalam hal ini, istri saya, untuk mengantarkan kedua putri kami dalam menempuh pendidikan mereka, senantiasa berpuasa Senin-Kamis. Demikian selintas jawaban yang dapat saya kemukakan.”
“Ustadz,” ucap Prof. Dr. Ir. MI, “saya sepakat, doa dan ‘laku prihatin’ orang tua sangat penting sekali dalam menopang keberhasilan pendidikan anak-anak kita. Pengalaman saya, juga para sejawat saya di ITB, membuktikan demikian. Terima kasih, Ustadz, atas ‘taushiyah’nya hari ini.”

Selepas itu, kami pun asyik kembali membincangkan hal-hal lainnya, seraya menikmati hidangan siang itu.


Friday, March 7, 2014

SUAMIKU, TEGAKAH ENGKAU MENINGGALKAN KAMI?

Betapa pedih dan perih hati Nabi Ibrahim a.s. ketika menyadari kegagalan misinya di tempat kelahirannya. Kemudian, ketika kian menyadari bahwa kesempatan menyampaikan seruannya yang sangat terbatas di Babylonia, Nabi Ibrahim a.s., yang kala itu telah menikah dengan Sarah, lantas meninggalkan tanah airnya. Kini, pandangannya terarah ke Haran, suatu wilayah yang terletak di bagian utara Semenanjung Arab. Jauh dari tanah kelahirannya.

Dengan diam-diam Nabi Ibrahim a.s. pun meninggalkan tanah airnya. Sang Nabi, menurut Dr. Shauqi Abu Khalil dalam sebuah karyanya berjudul Atlas of the Qur’an, berhijrah ke Haran bersama istrinya dan Luth, juga seorang Nabi, yang juga disertai istrinya. Di sana, mereka menemukan penduduk yang menyembah bintang.  Dan, ternyata, seperti halnya penduduk Babylonia, penduduk Haran pun menolak seruan Nabi Ibrahim a.s. Karena itu, di Haran sang Nabi dan rombongannya tinggal hanya beberapa lama. Sang Nabi, istrinya, Nabi Luth, dan juga istrinya, kemudian menuju Palestina. Namun, karena kondisi Palestina kala itu sedang paceklik, mereka lantas melanjutkan perjalanan mereka ke arah barat, menuju Mesir.

Mudahkah perjalanan jauh Nabi Ibrahim a.s. dan rombongannya itu?

Tentu saja tidak mudah. Sebagai perbandingan, hingga pada tahun 1930-an, sekitar 3.900 tahun selepas masa Nabi Ibrahim a.s., perjalanan dari Mali, sebuah negara di Afrika, menuju Makkah, masih demikian sulit. “Enam tahun, itulah waktu yang diperlukan ayah ketika berziarah ke Makkah pada tahun 1930-an,” demikian tulis Jean Couteau dalam tulisannya berjudul “Lagu Para ‘Griot’ dari Afrika” (Kompas, 27 Januari 2013), mengutip penuturan Daouda, bekas asisten ayah Jean Couteau. “Dari Segou ke-10 peziarah itu mencapai Gao dengan menumpang perahu nelayan Bozo di Sungai Niger. Lalu masuk wilayah tak dikenal, menuju Makkah, apakah dengan berjalan kaki atau dengan naik unta, pertama sampai ke Danau Chad, lalu melalui Darfur, sampai ke Omdurman dengan sungai Nilnya. Akhirnya, setelah melewati sungai raksasa itu, sampai Port Sudan. Diperlukan waktu tempuh enam tahun pulang pergi. Di seberang Laut Merah itu, terletak Tanah Suci, dengan tawaf dan Ka‘bah yang dinanti-nantikannya. Dari sepuluh peziarah Segou dua tahun sebelumnya, tinggal tujuh. Empat tahun kemudian, yang kembali tinggal lima. Yang lainnya hilang di jalan, diculik suku Perazzia Songhai di Niger dan Arab di Sudan, atau meninggal karena sakit.”

Di Mesir, sang Nabi dan Sarah tinggal di sekitar Memphis yang letaknya tidak jauh dari Kota Kairo dewasa ini. Di Negeri Piramid itu, mereka berniaga, bertani, dan beternak. Selama berada di Mesir, sang Nabi juga mendapat hadiah seorang pelayan, Hajar, dari penguasa Mesir kala itu. Setelah beberapa lama di Negeri Piramid, mereka kemudian kembali ke Palestina selatan. Di sini, Nabi Luth a.s. dan istrinya berpisah dengan Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya, Sarah dan pelayannya, Hajar. Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya kemudian menetap di B’ir Sheba (Al-Saba’). Sedangkan Nabi Luth a.s. dan istrinya kemudian melanjutkan perjalanan dan kemudian menetap di wilayah selatan Laut Mati. Di wilayah itu, Nabi Luth a.s. menyampaikan seruannya kepada penduduk Sodom dan Gomorah.

Di sisi lain, setelah bertahun-tahun menikah, pasangan Nabi Ibrahim a.s. dan Sarah tidak kunjung dikaruniai anak. Karena itu, untuk memeroleh keturunan, Sarah pun mengizinkan suaminya untuk menikahi Hajar, pelayan mereka. Dari perkawinan ini lahirlah kemudian Isma‘il, ketika Nabi Ibrahim a.s. berusia sekitar 68 tahun. Ternyata, kehadiran Isma‘il, membuat rasa cemburu Sarah kepada Hajar bersemi. Akhirnya, tidak tahan dengan rasa cemburu yang kian membara itu, kemudian Sarah meminta sang suami tercinta agar memindahkan Hajar beserta anaknya yang masih menyusu ke suatu tempat yang sangat jauh. Ya, ke tempat yang sangat jauh, sehingga kuasa meredam rasa cemburu Sarah yang kian lama kian membara.

Sejatinya siapakah Hajar, hingga Nabi Ibrahim a.s. berkenan menikahinya dan dicemburui Sarah?

Hajar,” jawab Dr. Ali Syariati dalam sebuah karyanya berjudul  Hajj, “adalah seorang perempuan miskin, budak Ethiopia yang dipandang rendah, dan pelayan bagi Sarah. Semua ini menunjukkan kualifikasinya dalam sistem sosial manusia-dalam sistem politeisme, tapi tidak dalam sistem monoteisme. Budak ini adalah seorang penyeru Allah, ibunda para nabi yang utama, dan wakil makhluk-makhluk Allah yang paling cantik dan disayang.”

Suatu pelajaran indah tergelar dalam kisah menawan ini: seorang Nabi yang mendapat gelar “Khalil Allah” (Orang yang Dikasihi Allah) tidak segan menikahi seorang perempuan dari strata yang paling rendah dalam masyarakat kala itu: seorang budak hitam dari Ethiopia. Namun, meski berasal dari strata masyarakat paling rendah, dia mendapatkan anugrah dari Allah Swt. sebagai “penyeru Allah, ibunda para nabi yang utama, dan wakil para Allah yang paling cantik dan disayang.” Indah sekali.

Atas wahyu dari Allah Swt., permintaan Sarah pun dipenuhi Nabi Ibrahim a.s.: membawa pergi sangat jauh Hajar dan putranya. Sang Nabi kemudian mengajak Hajar dan putranya, Isma‘il, menempuh perjalanan sangat jauh ke tengah padang pasir  yang kini menjadi Kota Makkah, dekat sebuah bangunan suci yang kemudian dikenal sebagai Ka‘bah. Di tempat yang kering kerontang itu, tanpa penghuni, sang Nabi meninggalkan istri dan putranya yang masih kecil di atas Zamzam (sebuah tempat yang kemudian tegak Masjidil Haram kini). Sang Nabi meninggalkan keduanya dengan bekal hanya sekantung makanan dan minuman.

Kemudian, ketika Nabi Ibrahim a.s. dengan langkah-langkah yang sangat berat meninggalkan istri dan putranya di tempat yang kering kerontang itu, sang istri pun segera bangkit, memburunya, dan kemudian memegangi bajunya kuat-kuat seraya berucap, “Wahai Ibrahim, suamiku. Tegakah engkau meninggalkan kami berdua di tempat yang kering kerontang dan sangat sunyi ini, sedangkan kami tidak memiliki perbekalan sama sekali?”

Suami manakah yang tidak perih hatinya mendengar ucapan sang istri yang demikian. Mendengar ucapan yang demikian, Nabi Ibrahim a.s. tidak kuasa berucap sepatah kata pun. Termenung dan mulutnya tersekat. Melihat sang suami tidak menjawab, sang istri pun kemudian bertanya dengan suara lirih dan penasaran, “Wahai Ibrahim, suamiku. Apakah Allah Swt. yang memerintahkan semua ini?”
“Ya,” jawab Nabi Ibrahim a.s. dengan suara sangat lirih seraya menundukkan kepala.
“Bila demikian,” ucap penuh percaya diri Hajar, seperti dituturkan Al-Bukhari dalam sebuah karyanya berjudul Shahîh Al-Bukhârî, “tentu Dia tidak akan menyia-nyiakan kami. Silakan engkau kembali ke Bumi Kana‘an.”

Usai berucap demikian, Hajar kemudian memeluk sang suami dan menyilakan suaminya tercinta meninggalkan dirinya dan putranya yang masih kecil, Isma‘il, di tempat nan kering kerontang dan sunyi itu. Nabi Ibrahim a.s. pun menapakkan kedua kakinya. Tetap dengan langkah-langkah yang sangat berat. Namun, perintah Sang Pemberi Perintah tetap dia laksanakan. Karena itu, ketika langkahnya tiba di sebuah bukit (konon Bukit Abu Qubais atau Jabal Abu Qubais yang kini menjadi Istana Kerajaan di samping Masjid Al-Haram), tidak jauh dari tempat istri dan putranya dia tinggalkan, sang Nabi kemudian berhenti beberapa lama dan berdoa dengan sepenuh hati, 

Ya Allah, Tuhan kami. Sungguh, aku telah meninggalkan sebagian dari anak keturunanku di lembah yang tidak terdapat tetumbuhan apa pun, di dekat Rumah-Mu yang dihormati. Ya Allah, Tuhan kami. (Yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Karena itu, jadikanlah sebagian hati manusia cenderung kepada mereka dan karuniakanlah rezeki dari buah-buahan kepada mereka. Kiranya mereka senantiasa bersyukur.” (QS Ibrâhîm [14]: 37).

Usai berdoa demikian, Nabi Ibrahim a.s. kemudian meninggalkan Hajar dan Isma‘il di tempat kering kerontang itu, karena harus kembali ke Bumi Kana‘an untuk menemui Sarah. Dalam perjalanan itu sang Nabi tidak henti-hentinya berdoa: memohon keselamatan bagi istri dan putranya yang ditinggalkannya di bumi nan kering kerontang itu. Di sisi lain, selepas perbekalan yang ditinggalkan habis, Hajar bersusah payah mencari air. Atas pertolongan Allah Swt., melalui Malaikat Jibril, tiba-tiba di dekat Isma‘il muncul sebuah mata air yang bening. Dan, hingga kini, mata air itu dikenal dengan sebutan Sumur Zamzam.

Beberapa tahun kemudian, Isma‘il yang telah beranjak menjadi remaja menggembirakan hati Nabi Ibrahim a.s. Tetapi, suatu saat, kegembiraan sang ayahanda yang telah lanjut usia itu tiba-tiba buyar. Lewat mimpi, Allah Swt. memerintah sang Nabi agar anak kesayangannya itu disembelih. Mula-mula sang Nabi sangat sedih menerima mimpi yang demikian itu. Namun, sebagai orang yang saleh dan taat, dia berniat melaksanakan perintah Allah Swt. itu dan kemudian menyampaikan berita itu kepada putranya. Ternyata, tanpa ragu-ragu sang putra meminta sang ayahanda untuk melaksanakan perintah itu. Akhirnya, ketika perintah itu dilaksanakan, Allah Swt. mengganti Isma‘il dengan seekor domba.

Kemudian, ketika Nabi Ibrahim a.s. berusia 90 tahun, datang perintah dari Allah Swt. agar sang Nabi mengkhitan dirinya sendiri, Isma‘il, putranya yang ketika itu berusia 13 tahun, dan seluruh anggota keluarganya.

Selain itu, suatu saat, Nabi Ibrahim a.s. menerima kabar gembira dengan kehamilan Sarah. Menurut kabar gembira tersebut, sang putra dari perkawinan sang Nabi dengan Sarah itu, seperti halnya Isma‘il, juga akan menjadi seorang Nabi yang saleh (lihat QS Al-Shaffât [37]: 112-0113).Tentu, kabar gembira itu disambut sang Nabi dan istrinya, Sarah dengan penuh rasa suka cita yang diwarnai seribu tanda tanya. Pekik Sarah, ketika menerima kabar gembira itu, penuh rasa gembira dan tidak percaya, “Sungguh mengherankan! Apakah aku akan melahirkan anak? Padahal, aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun sudah dalam keadaan tua pula? Sungguh, ini merupakan hal yang benar-benar sangat aneh.” (QS Hûd [11]: 72).

Tentu saja Nabi Ibrahim a.s. dan Sarah terkaget-kaget dan keheranan menerima kabar gembira yang aneh itu. Kala itu, mereka telah lanjut usia. Namun, tiada yang mustahil bagi Allah Yang Maha Kuasa. Jawab malaikat yang membawa kabar gembira atas pertanyaan mereka berdua, “Apakah kalian merasa heran atas ketetapan Allah? (Itu merupakan) rahmat Allah dan keberkahan-Nya yang dikaruniakan kepada kalian, wahai ahlul bait. Sungguh, Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS Hûd [11: 73).

Ya, tiada yang mustahil bagi Allah Yang Maha Kuasa: suatu pelajaran indah tentang kekuasaan Sang Pencipta. Dan, kemudian, sesuai dengan kabar gembira tersebut, lahirlah sang putra yang sangat dinantikan kehadirannya oleh kedua orang tuanya. 

Di sisi lain, selain menerima kabar gembira tersebut, “Ayah Para Nabi” yang nenek moyang bangsa Arab dan Israel itu juga menerima perintah untuk membangun Rumah Allah (Bait Allâh) di Makkah. Segera, sang Nabi pun pergi ke Makkah. Kemudian, bersama putranya yang telah tumbuh dewasa, sang Nabi pun membangun Ka‘bah. Dan, ketika pembangunan Rumah Allah itu usai, mereka berdua kemudian berdoa, “Ya Allah, Tuhan kami. Terimalah (amal dari) kami (ini). Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Allah, Tuhan kami. Jadikanlah kami berdua orang-orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (jadikankanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu serta tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkau adalah Zat Yang Maha Penerima toba lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah [2]: 128-129).

Usai melaksanakan perintah mulia itu, Nabi yang tangguh dan memiliki  anak keturunan yang banyak menjadi Nabi itu kemudian balik ke Palestina. Di sana, di Palestina, pulalah sang Nabi menetap hingga berpulang. Konon, menurut Ibn Katsir dalam sebuah karyanya berjudul Qashash Al-Anbiyâ’, sang Nabi berpulang dalam usia antara 175 hingga 200 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Gua Machpelah, Al-Khalil (Hebron).

Nah, bila Anda berziarah ke Palestina, jangan lupa berkunjung ke Kota Al-Khalil, sebuah kota yang terletak 30 kilometer di sebelah selatan Kota Al-Quds Al-Syarif, alias Jerusalem. Di kota yang terletak di kawasan Tepi Barat itu terdapat makam Kekasih Allah yang satu ini. Di makam itu, konon, dikebumikan Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya, Sarah, Nabi Ishaq a.s. dan istrinya, Ribqah (atau Rebecca), dan Nabi Ya‘qub a.s. dan istrinya, Leah (Lia).


Thursday, March 6, 2014

KARENA CERDAS, NAMRUDZ PUN MENJADI SOMBONG DAN TAKABUR!

Selepas menuntaskan keraguan dan pencarian ruhaniah, yang membuat Nabi Ibrahim a.s. akhirnya meyakini adanya Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, dan Maha Bijaksana, dan kemudian setelah diangkat sebagai Nabi dan Rasul, kini langkah sang Nabi mulai terarah untuk melaksanakan risalah seperti tugas yang pernah diemban Nabi Nuh a.s.: menyerukan kepada kaumnya supaya kembali pada ajaran yang dibawa Nabi Adam a.s. Yaitu ajaran yang mengumandangkan  bahwa  Allah  Swt. adalah Tuhan semesta alam. Bukan Tuhan satu ras dan bangsa. Juga, bukan Tuhan yang terbatas untuk satu periode tertentu.

Menerima tugas berat sebagai seorang Rasul, Nabi Ibrahim a.s. pertama-tama menebarkan seruannya kepada ayahandanya tercinta, Azar. Sang ayahanda, seperti halnya masyarakat di mana mereka menetap, adalah seorang penyembah berhala. Ketika menebarkan seruannya kepada sang ayahanda, sang Nabi senantiasa menyampaikan seruannya dengan penuh kasih sayang dan bahasa yang sangat santun. Namun, usaha sang Nabi menemui jalan buntu, sebagaimana yang dialami Nabi Nuh a.s. ketika menyeru istrinya untuk beriman: Azar dengan tegas menolak beriman. Tutur Al-Quran, tentang seruan sang Nabi kepada ayahanda tercintanya itu,

Ceritakanlah (wahai Muhammad), kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Quran) ini. Sungguh, dia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah, ketika dia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, mengapakah kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai ayahku, sungguh telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Karena itu, ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.’” (QS Maryam [19]: 41-43).

Lagi, sebuah pelajaran indah tersaji dalam Al-Quran, lewat kisah Nabi Ibrahim a.s. ini: perjuangan menuju jalan lurus tidak senantiasa mudah. Dan, kerap berliku. Malah, ajakan Nabi Ibrahim a.s. itu kemudian membangkitkan amarah membara sang ayahanda. Demikian membara amarah sang ayahanda, hingga akhirnya sang ayahanda mengancam akan melempari sang putra  dengan batu dan mengusirnya. Ternyata, meyakinkan orang lain tidak mudah, meski bagi seorang Nabi sekalipun. Apalagi, manakala hal itu berkaitan dengan keimanan.

Gagal dengan usaha mulianya tersebut, Nabi Ibrahim a.s. tidak putus asa. Sang Nabi kemudian mengarahkan ajakannya kepada warga Babylonia. Ternyata, sambutan mereka tidak beda jauh dengan sambutan yang ditunjukkan ayahandanya: menolak sepenuhnya  ajakannya itu, meski sang Nabi telah mengemukakan pelbagai argumen tentang kebatilan menjadikan berhala sebagai tuhan. Alasan mereka, “Sejatinya, kami mendapatkan nenek moyang kami melakukan hal yang sama.” (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 72-74).

Sejatinya, kami mendapatkan nenek moyang kami melakukan hal yang sama,” adalah alasan yang sejatinya lemah dan mudah dipatahkan. Tetapi, mereka tetap bersikeras menyembah berhala. Meski Nabi Ibrahim a.s. pun telah mengingatkan mereka untuk “merenungkan apa yang senantiasa mereka sembah.” (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 75-77). Juga, menyatakan kepada mereka bahwa “sejatinya Tuhan kalian adalah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakan semua itu. Dan, aku termasuk orang-orang dapat membuktikan atas yang demikian itu.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 56).

Di sini, Al-Quran menyajikan suatu pelajaran indah: betapa banyak orang, dari pelbagai kurun sejarah, yang berpegang teguh pada agama dan kepercayaan nenek moyang mereka,  juga ketidakmampuan mereka mengkaji akidah tauhîd, yang diserukan para Nabi dan Rasul kepada mereka dengan pikiran yang bebas dari ikatan kebiasaan, tradisi, dan pikiran lama. Banyak orang kerap tidak menyadari, sikap mengekor pada para pendahulu dan keteguhan dalam berpegang teguh pada tradisi dan kebiasaan merupakan faktor utama yang membuat statisnya pemikiran mereka.

Gagal dengan usahanya tersebut, Nabi Ibrahim a.s. kemudian merencanakan untuk membuktikan kepada kaumnya tentang kesalahan mereka dalam menyembah berhala. Nah, kesempatan itu diperoleh sang Nabi ketika penduduk Babylonia sedang merayakan suatu hari raya dengan tinggal di luar kota. Selama berhari-hari. Ketika penduduk Babylonia sedang berada di luar kota dan sedang bersuka ria, sang Nabi, yang tidak ikut bersama mereka, lantas memasuki tempat peribadahan kaumnya dalam kota dan merusak semua berhala yang ada, kecuali satu: sebuah patung yang paling besar. Selepas itu, di leher patung itu sang Nabi mengalungkan sebuah kapak.

Betapa kaget dan bingung penduduk Babylonia, ketika mereka kembali dari luar kota dan mendapatkan sembahan-sembahan mereka hancur. Semua berhala yang mereka sembah lebur, berkeping-keping, kecuali satu patung besar. Kebingungan, kejengkelan, dan amarah mereka pun meledak. Segera, pandangan mereka pun segera tertuju kepada Nabi Ibrahim a.s. Sang Nabi pun ditangkap dan diadili. Lantas, tanya mereka kepadanya (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 62-67), “Benarkah kamu yang menghancurkan patung-patung yang kami sembah itu?”
“Silakan tanyakan kepada patung raksasa itu,” jawab sang Nabi. “Sejatinya, patung raksasa itulah yang melakukan tindakan penghancuran itu. Silakan tanyakan kepada patung raksasa itu.”

Jawaban yang sangat cerdas, tapi menjatuhkan mental. Tentu saja penduduk Babylonia kian geram dan menyalahkan Nabi Ibrahim a.s. Jengkel dengan sikap mereka yang demikian itu, sang Nabi pun berucap kepada mereka, “Mengapakah kalian menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberikan mudarat kepada kalian?”

Mendengar ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang demikian, amarah penduduk Babylonia pun kian menggelegak dan membara. Segera, mereka menyiapkan tungku api besar untuk membakar hidup-hidup sang Nabi. Tentu, sebagai hukuman atas penghinaan dan pelecehan atas tuhan-tuhan mereka (QS Al-Shaffât [37]: 97-98). Selepas itu, mereka mengumpulkan kayu bakar. Sebanyak-banyaknya. Kemudian, setelah api dinyalakan hingga membara besar, sang Nabi pun diikat pada sebuah pelontar dan dilontarkan ke dalam kobaran api tersebut. Kala itu, sang Nabi pun berucap, “Cukuplah Allah bagi kami. Dan, Dia adalah sebaik-baik pelindung.”

Ketika itu pula Allah Swt. menganugrahkan kemuliaan kepada Nabi Ibrahim a.s. Sang Nabi pun selamat. Karena atas perintah Allah Swt., bara api itu tiba-tiba menjadi dingin dan tidak membakar sang Nabi (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 61). Menyaksikan kejadian itu, sejumlah orang mulai tertarik pada seruan sang Nabi. Peristiwa itu sendiri mendapat komentar Al-Quran sebagai berikut, “Mereka hendak berbuat makar atas diri Ibrahim. Maka, Kami pun menjadikan mereka orang-orang yang paling merugi.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 70).

Tentu saja kejadian luar biasa tersebut, akhirnya, sampai ke telinga Namrudz, penguasa Babylonia kala itu. Namrudz, siapakah penguasa yang satu itu?

Raja Namrudz (hidup sekitar tahun 2275 SM- 1943 SM), menurut wikipedia, adalah salah seorang raja yang memerintah Mesopotamia Purba (kini Irak). Nama lengkap raja yang mendapat sebutan “Sang Pemburu nan Perkasa”, karena kepiawaiannya dalam berburu, ini adalah Namrudz bin Kana‘an bin Kush bin Ham bin Nuh. Selain itu, raja yang juga mendapat sebutan sebagai  Dewa Bacchus atau Dewa Wain adalah seorang raja yang cerdas. Namun, kecerdasannya membuatnya bersikap sombong dan takabur. Malah, penguasa yang kondang sebagai pendiri Menara Babel (pencakar langit pertama di dunia) itu kemudian menyatakan dirinya sebagai tuhan. Dan, dia menyatakan, sebagai seorang manusia dia lebih mengetahui kelemahan manusia lain daripada Tuhan yang jauh terpisah dari makhluk-Nya sendiri. Itulah Namrudz, seorang penguasa yang lupa diri, meski dia anak keturunan seorang Nabi: Nabi Nuh a.s..

Mendengar peristiwa pembakaran hidup-hidup Nabi Ibrahim a.s., Raja Namrudz kemudian memanggil sang Nabi. Lantas, ketika bertemu dengan sang Raja dan ditanya tentang misi yang diembannya, sang Nabi pun memaparkan tentang Tuhan yang dia sembah, yaitu Tuhan yang kuasa menghidupkan dan mematikan. Mendengar paparan sang Nabi, Namrudz pun dengan menepuk dada menyatakan, dia pun kuasa menghidupkan dan mematikan: seperti Tuhannya sang Nabi. Namrudz, untuk membuktikan ucapannya, kemudian mendatangkan dua orang tahanan yang telah dijatuhi hukuman mati. Kemudian, ucapnya kepada Nabi Ibrahim a.s., “Ibrahim, saya akan buktikan, seperti Tuhanmu, saya pun kuasa menghidupkan dan mematikan seseorang!”

Selepas menyatakan demikian, Namrudz kemudian memerintahkan kepada para bawahannya untuk membunuh salah satu tahanan itu dan memaafkan tahanan yang satunya lagi. Dengan tindakannya yang demikian, seakan dia kuasa menghidupkan dan mematikan siapa pun. Padahal, sejatinya tindakannya yang demikian itu hanya merupakan ungkapan kesombongan dan penentangan sang penguasa yang tiran.

Mendengar jawaban sang penguasa yang demikian itu, para pejabat dan kaki tangannya pun bertepuk tangan. Lama dan membahana. Mereka kagum dengan kepiawaian sang penguasa dalam mematahkan argumentasi Nabi Ibrahim a.s. Padahal, sejatinya mereka tidak menyadari lemahnya jawaban sang penguasa. Menghadapi suasana yang demikian, sang Nabi pun berucap, “Allah adalah Zat yang menerbitkan matahari dari sebelah barat. Kuasakah Anda membuat matahari terbit dari sebelah barat?”
Mendengar ucapan sang demikian, sang penguasa pun terbungkam: tidak kuasa sama sekali mengemukakan jawaban apa-apa. Kisah dialog antara sang Nabi dan Namrudz tersebut dikemukakan dalam ayat berikut,

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah), karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata, ‘Saya (pun) dapat menghidupkan dan mematikan. Ibrahim (pun) berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat.’ Lalu, terdiamlah orang kafir itu. Dan, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.’” (QS Al-Baqarah [2]: 258).

Berkenaan dengan kisah perjuangan Nabi Ibrahim a.s. di Babylonia tersebut, Dr. Ali Shariati, dalam sebuah karyanya berjudul Hajj, menulis, “Ibrahim bukan hanya melawan pemberhalaan dan Namrudz, melainkan juga melawan kebodohan dan penindasan. Sebagai pemimpin gerakan ini, dia berjuang melawan penghinaan. Dia merupakan sumber harapan dan dambaan, berkeyakinan teguh, dan penegak tauhîd yang sejati.”

Gagal mematahkan argumen Nabi Ibrahim a.s., amarah Raja Namrudz pun kian membara. Karena itu, akhirnya, sang penguasa pun membatasi langkah Nabi Ibrahim a.s.


Tuesday, March 4, 2014

AKHIRNYA, IBRAHIM MENEMUKAN TUHAN SEMESTA ALAM

Selepas terjadinya “Peristiwa Banjir dan Badai Nuh”, dengan segera, masa demi masa pun berlalu. Kemudian, ketika masa telah memasuki sekitar 2.100 tahun sebelum Masehi, muncul seorang Nabi dan Rasul lain yang namanya disebut 40  kali  dalam Al-Quran. Nabi yang satu ini, dalam menebarkan risalah yang diembannya, juga mengalami perjuangan yang tidak kalah “seru” dengan perjuangan Nabi Nuh a.s. Malah, Rasul yang satu ini, dalam Al-Quran, digambarkan sebagai orang yang  menyerahkan  diri sepenuhnya  kepada Allah. Sehingga, perintah apa pun dia lakukan, meski hal itu bertentangan dengan pikiran dan perasaannya.

Kini, siapakah sejatinya Nabi Ibrahim a.s. ini?

“Garis keturunan Nabi Ibrahim a.s.,” jawab Ibn Katsir dalam sebuah karyanya berjudul Qashash Al-Anbiyâ’, “adalah sebagai berikut: Ibrahim bin Tarikh bin Nahur bin Sarugh bin Raghuh bin Faligh bin Ahr bin Syalih bin Arfghshand bin Sam bin Nuh. Dengan kata lain, Nabi Ibrahim a.s., menurut Ibn Katsir, adalah anak keturunan Nabi Nuh a.s. Wallâhu a‘lam.

Lain halnya dengan pendapat Dr. Shauqi Abu Khalil tentang nama ayahanda Nabi Ibrahim a.s. Menurut Dr. Shauqi Abu Khalil, nama ayahanda Nabi Ibrahim a.s. bukan Tarikh, tapi Azar. Tulis Dr. Shauqi Abu Khalil dalam karyanya di atas, Atlas of the Qur’an, tentang sang Nabi, “Lahir di kawasan Irak selatan, Nabi Ibrahim a.s. semula tinggal di Kota Ur, Chaldea. Ayahnya adalah Azar bin Nahûr, meski ada yang menyatakan bahwa Azar adalah pamannya. Kekaburan itu berpangkal dari kebiasaan memanggil paman seseorang (yaitu salah seorang saudara kandung lelaki ayah seseorang) dengan panggilan “ayah”. Azar adalah seorang warga Kutha, sebuah desa di pinggiran Kota Kufah.”

Nabi dan Rasul yang lahir di kawasan Babylonia ini, menurut Ibn Katsir dalam karyanya yang sama, adalah anak nomor dua dari dua bersaudara. Kedua saudaranya bernama Tahur dan Haran. Nah, Haran mempunyai seorang putra bernama Luth, yang kelak juga menjadi seorang Rasul sebagaimana Nabi Ibrahim a.s. Dengan kata lain, Nabi Luth a.s. adalah keponakan Nabi Ibrahim a.s.

Kini, marilah kita tinggalkan perbedaan pendapat tentang siapa jati diri ayahanda Nabi Ibrahim a.s.  Kini, mari kita simak kisah pencarian Ibrahim untuk menemukan Tuhan. Suatu pencarian yang kemudian benar-benar membuatnya kalbunya damai dan tenang.

Ketika masih muda usia, Ibrahim adalah seorang anak muda yang senantiasa gelisah. Dia senantiasa gelisah, karena menyaksikan pelbagai penyimpangan dan kesesatan yang berkembang dalam masyarakatnya. Kegelisahan itu kian lama kian membara. Sehingga, akhirnya, kegelisahannya itu memacunya untuk mencari Tuhan yang menurutnya selayaknya disembah. Lewat kegelisahan yang berangkat dari keraguan, namun tidak berhenti pada keraguan itu selamanya, Ibrahim akhirnya menemukan Tuhan kala itu dia sedang menyendiri di sebuah gunung. Kisah indah yang disajikan dalam Al-Quran itu, menurut Dr. Muhammad ‘Utsman Najati dalam sebuah karyanya berjudul Al-Qur’ân wa ‘Ilm Al-Nafs, sejatinya “merupakan contoh yang gamblang tentang langkah-langkah berpikir ilmiah dalam memecahkan suatu problem”. Benarkah demikian? Untuk membuktikan hal itu, kini, mari kita ikuti kisah pencarian Ibrahim tersebut.

Berkenaan dengan kisah pencarian tersebut, pertama-tama dalam Al-Quran dikemukakan dengan memikat kisah tentang keraguan Ibrahim yang diharapkan sang ayahanda, Azar, agar suatu saat menjadi pendeta: suatu saat dia bertanya kepada ayahandanya, perihal berhala yang disembahnya dan prosesnya menemukan Tuhan,

Dan (ingatlah) ketika waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sungguh, aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.’ Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang. (Lalu,) dia berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi, tatkala bintang itu tenggelam, dia (pun) berkata, ‘Saya tidak suka pada (sesuatu) yang tenggelam.’ Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia (pun) berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata, ‘Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku termasuk orang yang sesat.’ Kemudian, tatkala dia melihat matahari terbit, dia (pun) berkata, ‘Inilah Tuhanku. Ini yang lebih besar.’ Maka, tatkala matahari itu terbenam, dia (pun) berkata, ‘Wahai kaumku, sungguh aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Sungguh, aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung pada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS Al-An‘âm [6]: 74-79).

Dengan keraguan dan pencarian itu, akhirnya Ibrahim menyadari kelirunya penyembahan berhala seperti yang dilakukan kaumnya. Sebab, manusialah yang menciptakan berhala itu. Bagaimana manusia dapat menyembah sesuatu yang dibuatnya sendiri? Karena itu, Ibrahim menyanggah tindakan kaumnya yang demikian itu, “Kemudian Ibrahim berkata, ‘Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat?’” (QS Al-Shaffât [37]: 95).

Apalagi, menurut Ibrahim, berhala sama sekali tidak memiliki kekuatan. Karena itu, patung-patung itu tidak layak diberi predikat ketuhanan. Sebab, Tuhan adalah Zat Yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, Pengendali semesta alam, Pemberi karunia, dan Pemberi rezeki. Menyadari semua itu, protes Ibrahim pun kian lantang, “Karena itu, mengapakah kalian menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kalian? Duh, (celakalah) kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Maka, apakah kalian tidak memahami?” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 66-67).

Kesadaran Ibrahim akan kelirunya penyembahan berhala dan ketidaklayakan berhala itu untuk disebut sebagai tuhan membangkitkan dalam dirinya problem yang mendesaknya dan menguasai pikirannya, “Siapakah Tuhan semesta alam ini?”

Nah, ketika Ibrahim merasakan “adanya problem” itu, dia pun merasakan adanya dorongan yang memaksanya memikirkan problem itu, dengan tujuan untuk mengetahui Tuhan dan Pencipta semesta alam ini. Timbulnya dorongan yang semacam itu ditopang oleh fitrahnya yang benar, jiwanya yang bening, dan akal budinya yang kuat. Tentu, juga, atas hidâyah dan karunia Allah Swt.

Selepas melintasi proses yang demikian, kisah pencarian Ibrahim kemudian beralih pada tahap pengamatan dan penghimpunan data dan informasi. Dia pun mulai mengamati pelbagai gejala alam. Baik di langit maupun di bumi. Harapannya: dia dapat memeroleh pengetahuan tentang Tuhan. Karena itu, kini, dia pun gemar memandang ke arah bintang, bulan, dan matahari. Proses pencariannya yang demikian itu ditampilkan dengan gamblang dalam ayat Al-Quran berikut, “Kami perlihatkan kepada Ibrahim, tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi. Dan, (Kami memperlihatkannya agar dia termasuk orang-orang yang yakin.” (QS Al-An‘âm [6] 75).

Selama dalam tahap pengamatan dan penghimpunan data dan informasi tentang pelbagai gejala alam tersebut, Ibrahim menyusun beberapa hipotesa. Ketika malam datang dan dia menyaksikan bintang-bintang gemerlap di langit yang kelam, dia membuat hipotesa bahwa bintang-bintang itulah tuhan. Namun, ketika tampak olehnya bintang-bintang itu tenggelam dan tidak tampak lagi, dia pun menyingkirkan hipotesa itu, karena hipotesa itu bukan merupakan hipotesa yang tepat. Sebab, jika bintang-bintang itu adalah tuhan, tentu bintang-bintang itu akan tetap dan tidak berubah: selalu ada dan tidak menghilang.

Kemudian, ketika tengah malam datang, Ibrahim pun menyaksikan bulan. Segera, dia pun membuat hipotesa baru bahwa bulan itulah tuhan. Namun, ketika dia menyaksikan bulan juga tenggelam, dia pun menyingkirkan hipotesa itu. Ini juga karena bulan tidak dapat diberi predikat ketuhanan. Lantas, ketika dia menyaksikan matahari dan pendar cahayanya memenuhi seluruh penjuru bumi, lagi lebih besar ketimbang bintang-bintang lainnya, dia pun membuat hipotesa lain dan menyatakan bahwa matahari itulah tuhan. Namun, lagi-lagi, ketika dia menyaksikan matahari juga tenggelam, dia pun menyingkirkan hipotesa terakhir itu. Sebab, matahari juga tidak layak diberi predikat ketuhanan.

Selepas semua hipotesa itu disingkirkannya, karena semuanya tidak layak diberi predikat ketuhanan, Ibrahim kemudian menyusun sebuah hipotesa baru: Tuhan adalah Zat yang menciptakan semua bintang, langit, bumi, dan semua makhluk yang ada di dalamnya. Ucap Ibrahim, “Sungguh, aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung pada agama yang benar. Dan, aku tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.”

Tidak syak lagi, dalam membuat hipotesa terakhir itu, di mana akhirnya Ibrahim memeroleh hidâyah, dia berpikir dan menghimpun banyak pengamatan lainnya tentang pelbagai gejala semesta alam. Ternyata, dia tidak mendapatkan adanya sesuatu yang dapat menggugurkan hipotesa terakhirnya itu. Malah, dia mendapatkan, semua keindahan ciptaan Allah Swt. yang dia saksikan dan sistem yang sangat teratur dalam semesta alam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, dan Maha Bijaksana. Dialah yang menciptakan semesta alam itu. Juga, semua makhluk yang ada dalam sistem yang begitu teratur itu.

Kisah pencarian Ibrahim tersebut, yang dikemukakan secara terinci dalam Al-Quran tersebut, memberikan suatu pelajaran indah: betapa cermatnya Al-Quran dalam memaparkan langkah-langkah berpikir dalam memecahkan suatu problem. Di samping itu, dalam Kitab Suci itu juga dikemukakan, bila para nabi  sebelum Nabi Ibrahim a.s. mengajarkan kepada kaumnya agar menyembah Allah Tuhan kalian”, lain halnya dengan Nabi yang satu itu: dia mengajarkan, Tuhan  yang disembahnya  adalah Tuhan semesta alam. Dengan  kata  lain, Tuhan  yang menyertai manusia saat tidur atau  sadarnya,  sebelum dan  saat  keberadaannya di dunia, dan  setelah  kematiannya.  Dia mengajarkan demikian setelah menemukan   dan  membina  keyakinannya melalui pengalaman pribadi seperti dikemukakan di atas: setelah mengamati bintang, bulan, dan matahari, akhirnya ia berkesimpulan bahwa yang layak disembah bukanlah patung, tidak juga benda-benda, tapi Tuhan semesta alam.

Monday, March 3, 2014

NAK, NAIKLAH KAPAL BERSAMAKU!

Menerima perintah Allah Swt. untuk menebarkan ajaran Tauhîd, Nabi Nuh a.s. pun dengan berbagai cara berusaha menyampaikan tugas utama tersebut. Namun, ternyata sebagian besar kaumnya tetap menentang keras dan membangkang terhadap ajaran mulia itu. Akibatnya, sang Nabi tidak berhasil menyadarkan mereka. Kejadian yang demikian itu dikemukakan dengan gamblang dalam ayat-ayat Al-Quran berikut, 

Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku. Sungguh, aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Ternyata, seruanku itu kian membuat mereka lari (dari kebenaran). Dan, sungguh, setiap kali aku menyeru mereka (menuju iman), agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinga mereka dan menutupkan baju mereka (kemuka mereka) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian, sungguh, aku telah menyeru mereka (menuju iman) dengan cara terang-terangan (dan) kemudian sungguh aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam. Aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sungguh, Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anak kalian, mengadakan untuk kalian kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai.” (QS Nûh [71]: 5-12).

Gagal. Dan, bukan hanya tidak diacuhkan dan ditolak saja. Itulah “nasib” langkah-langkah awal perjuangan yang dilakukan Nabi Nuh a.s. “Nasib” yang kelak kerap juga dialami para Nabi dan Rasul selepas dirinya, ketika mereka pertama kali menebarkan kebenaran dalam masyarakat mereka.

Selain membangkang, kaum Nabi Nuh a.s. juga gemar melecehkan sang Nabi. Tentu saja, juga terhadap para pengikutnya yang sebagian besar terdiri dari kaum papa yang terpinggirkan dari masyarakatnya kala itu. “Nuh, sejatinya engkau ini tidak lebih dari orang biasa. Ya, orang biasa tanpa kelebihan apa pun,” itulah komentar mereka atas diri sang Nabi. Malah, mereka memandang sang Nabi sebagai pembohong. Tutur Al-Quran berkenaan dengan sikap mereka terhadap diri sang Nabi, “Maka, pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya pun berkata, ‘Kami tidak melihat dirimu melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami. Dan, kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami. Bahkan, kami yakin bahwa kamu adalah orang yang dusta.” (QS Hûd [11]: 27).

Dipandang sebelah mata dan dilecehkan demikian, Nabi Nuh a.s. tetap bersabar. Tentu saja, sang Nabi pun tetap berjuang dengan setulus dan sepenuh hati dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhannya. Namun, selepas berjuang dengan gigih dan penuh kesabaran, dalam masa yang tidak pendek (menurut QS Al-‘Ankabût [29]: 14 berlangsung selama ‘seribu tahun kurang lima puluh tahun), dengan pelbagai usaha dan cara, tetap saja perjuangannya mengajak masyarakatnya menuju jalan lurus menghadapi jalan buntu. Hanya sedikit di antara masyarakatnya yang bersedia mengikuti ajakannya yang luhur itu. Sebuah sumber mengemukakan, para pengikut sang Nabi kala itu dapat dihitung dengan jari. Tidak lebih dari sepuluh orang.

Malah, karena jengkel dengan ajakan itu, masyarakat Nabi Nuh a.s kala itu meminta sang Nabi untuk membuktikan kebenaran yang dia serukan. “Hai Nuh,” tantang mereka (lihat QS Hûd [11]: 32) dengan nada tinggi, “kau telah membantah kami. Demikian kerap. Karena itu, kini, coba buktikan kebenaran ucapanmu itu. Mintalah kepada Tuhanmu untuk menurunkan azab yang kerap kau ancamkan atas diri kami itu. Buktikan ucapanmu itu, bila ucapanmu itu memang benar.” 
“Wahai kaumku,” jawab Nabi Nuh a.s. yang tentu saja prihatin atas tantangan itu (QS Hûd [11]: 33). “Hanya Allah semata yang dapat menurunkan azab itu atas diri kalian. Namun, ingat, begitu azab itu diturunkan, kalian tidak akan dapat menghindarkan diri dari azab itu.”

Kian lama, kian membara penentangan dan pembangkangan mereka. Akibatnya, mereka pun kian jauh dari risalah indah yang diajarkan sang Nabi. Akhirnya, ketika penentangan dan pembangkangan mereka memuncak dan kian tidak terbendung lagi, sang Nabi pun menyerahkan sepenuhnya urusan itu kepada Sang Pemberi Risalah dan pasrah kepada-Nya. Kemudian, dengan sepenuh hati, sang Nabi pun berdoa (QS Hûd [11]: 25-27), “Tuhanku, jangan Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang yang menentang perintah-Mu itu tersisa di atas permukaan bumi-Mu ini. Sungguh, bila mereka Engkau biarkan tetap menikmati kehidupan di bumi ini, tentu mereka akan senantiasa menyesatkan hamba-hamba-Mu yang lain. Juga, mereka akan melahirkan generasi-generasi yang gemar melakukan perbuatan maksiat dan sangat menyimpang dari ajaran-Mu.”

Doa pendek, tapi diucapkan dengan sepenuh hati.

Menerima doa sepenuh hati dari seorang Nabi yang senantiasa bersyukur (QS Al-Isrâ’ [17]: 3) itu, Allah Swt. pun memerintahkan kepada sang Nabi untuk menyiapkan sebuah kapal, “Buatlah sebuah kapal, dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami. Janganlah kamu kemukakan lagi persoalan orang-orang yang zalim itu kepada-Ku. Sungguh, mereka akan ditenggelamkan.” (QS Hûd [11]: 37).

Menerima perintah demikian, Nabi Nuh a.s. pun segera menyiapkan sebuah kapal. Meski sejatinya sang Nabi pun tidak mengerti, mengapa dia diperintahkan membuat kapal. Menyaksikan “kelakuan dan perbuatan” sang Nabi yang aneh dan tidak lazim dilakukan dalam masyarakatnya, tentu saja cercaan dan malah hinaan kepada sang Nabi dan para pengikutnya kian membara. Memang, “kelakuan dan perbuatan” sang Nabi tampak aneh dan tidak lazim: membuat kapal di kawasan yang jauh dari laut, sungai, maupun danau.

Menghadapi cercaan dan hinaan yang demikian, sang Nabi tetap patuh melaksanakan perintah Tuhannya. Dan, dia hanya kuasa menjawab dengan suara pelan, “Sungguh, suatu saat, kelak, balik kami yang akan mengejek kalian. Kelak, kalian akan menyaksikan, siapa yang bakal tertimpa azab yang menghinakan. Bukan hanya itu, kalian juga akan merasakan azab yang abadi.” (QS Hûd [11]: 38-39).

Selepas kapal yang diperintahkan Allah Swt. untuk dibuat telah siap, Sang Khalik pun memenuhi janji-Nya: segera akan menurunkan azab atas diri para pembangkang pada masa Nabi Nuh a.s. Sebelumnya, Allah Swt. memerintahkan sang Nabi dan para pengikutnya untuk segera naik ke dalam kapal. Sang Nabi pun segera memerintahkan para pengikutnya, yang dapat dihitung dengan jari itu, untuk segera berkemas dan naik ke dalam kapal. Sebelum mereka naik ke dalam kapal, sang Nabi pun berpesan kepada mereka (QS Hûd [11]: 41), “Naiklah kalian semua ke dalam kapal dengan senantiasa menyebut nama Allah. Baik ketika kapal sedang berlayar maupun ketika telah berlabuh nanti. Sungguh, Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Senantiasa menyebut nama Allah.” Betapa indah pesan itu.

Selepas mengajak para pengikutnya untuk naik ke dalam kapal, Nabi Nuh a.s. kemudian mengajak keluarganya untuk masuk ke dalam kapal yang sama. Duh, ternyata istri dan putranya pun menolak keras ajakan itu. Betapa perih hati sang Nabi menyaksikan pembangkangan terang-terangan yang dilakukan istrinya dan putranya. Ternyata, sang istri dan sang putra lebih memilih bergabung dengan masyarakat yang menolak risalah yang ditebarkan sang Nabi, ketimbang menerima ajaran indah itu. Karena itu, Allah Swt. pun menggolongkan istri sang Nabi termasuk dalam kelompok para pembangkang, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami. Lalu, kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing). Karena itu, suaminya tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah dan (akan) dikatakan (kepada keduanya), ‘Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (Jahannam).” (QS Al-Tahrîm [66]: 10).

Suatu pelajaran indah, lewat kisah Nabi Nuh a.s. dan istrinya, kembali diajarkan: pembangkangan terhadap ajaran mulia dapat saja berasal dari dalam keluarga sendiri.

Dengan hati yang sedih dan perih, akhirnya Nabi Nuh a.s. masuk ke dalam kapal. Kali ini dengan iringan doa (QS Al-Mu’minûn [23]: 29), “Ya Allah, Tuhanku. Tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi. Dan, sungguh, Engkau adalah Pemberi terbaik tempat itu.”

Tidak lama kemudian, langit “yang diwarnai mendung tebal” pun mulai menumpahkan hujan ke permukaan bumi. Sangat lebat dan berhari-hari tanpa henti. Sedangkan dari bumi sendiri air memancar kencang. Di mana-mana. Perpaduan antara hujan yang sangat lebat dan air yang memancar kencang di mana-mana menghasilkan banjir dahsyat disertai badai yang menggilas dan melibas segala sesuatu yang menghadang. Segera, kapal yang disiapkan Nabi Nuh a.s. dan para pengikutnya pun berlayar dengan menerjang “gelombang-gelombang yang laksana gunung” (QS Hûd [11]: 42). Banjir besar dengan gelombang-gelombang raksasa itu pun segera menenggelamkan masyarakat yang enggan diajak bersama sang Nabi menuju “jalan yang lurus”.

Ketika kapal itu sedang “sibuk” menghadapi hajaran gelombang-gelombang raksasa,  Nabi Nuh a.s. melihat putranya sedang berjuang untuk menyelamatkan dirinya. Sang putra kala itu sedang melarikan diri, dari gelombang-gelombang raksasa, menuju ke puncak sebuah gunung. Dan, ketika menyaksikan gelombang banjir kian ganas dan mendekati sang putra, hati ayah manakah yang tidak luluh meski dia seorang Nabi. Karena itu, sang Nabi pun memanggil putranya yang nyaris “digulung” air bah yang datang menyergapnya (QS Hûd [11]: 42-43), “Putraku! Naiklah ke kapal bersama ayah. Jangan kau turutkan kata hatimu sendiri.”

“Tidak! Aku dapat menyelamatkan diriku sendiri. Tanpa pertolongan ayah,” jawab sang putra. Keras kepala. Dan, dia tetap berusaha menaklukkan gelombang bah yang kian ganas menghajar dirinya.
“Nak! Naiklah ke kapal bersamaku. Aku akan memaafkanmu,” seru sang ayah. Tetap bersikap kasih kepada putranya yang membuat hatinya perih.
“Tidak! Tolong,” teriak sang putra meminta tolong. Tetapi, nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi. Gelombang bah melahapnya dan menghempaskannya entah ke mana.

Menyaksikan goresan nasib buruk sang putra yang malang itu, hati ayah manakah yang tidak menangis, meski dia seorang Nabi. Dia pun, kemudian, mengeluh kepada Tuhannya, “Tuhan, bukankah dia keluargaku. Bukankah Engkau akan menepati janji-Mu dan Engkau adalah Hakim Yang Paling Agung?” (QS Hûd [11]: 45).
“Bukan! Dia bukan keluargamu. Perilakunya buruk sekali. Karena itu, janganlah engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui hakikatnya. Aku peringatkan engkau supaya tidak termasuk orang-orang yang bodoh,” jawab Tuhan memperingatkan sang Nabi.
“Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari memohon kepada-Mu dari memohon sesuatu yang tidak aku ketahui hakikatnya,” ucap Nabi Nuh a.s. seraya memohon ampun kepada Tuhannya.

Suatu pelajaran indah diajarkan lewat kisah indah dalam sebuah peristiwa yang terjadi antara sang Nabi dengan putranya: kisah hubungan antara dua generasi yang bertolak pandangan dan gaya hidup mereka. Kisah itu memberikan pelajaran: peristiwa serupa itu dapat saja terjadi pada setiap keluarga. Seorang ayah, misalnya, ingin membantu anaknya, tapi sang anak menolak bantuan itu. Bila sang ayah seorang jenderal, sang anak tidak ingin mengikuti jejaknya. Bila sang ayah seorang pengusaha, sang anak ingin menjadi pelukis. Biasanya sang ayah ingin membantu. Namun, sang anak ingin mandiri dan menjadi pribadi yang lain serta memiliki jalan hidup sendiri tanpa mau menengok pengalaman hidup sang ayah. Hal itu dapat terjadi karena sang anak tidak mau dikatakan bahwa dia berhasil karena orang tuanya dan dia tidak layak menerima keberhasilan itu.

Kisah antara Nabi Nuh a.s. dan putranya itu juga menyajikan suatu suri teladan: sang Nabi tidak memaksakan kehendaknya kepada putranya. Dia hanya memberikan saran yang semestinya dilakukan sang putra. Meski dia tahu, sang putra tidak akan selamat. Sedangkan sang putra mempunyai kebebasan menentukan sikapnya sendiri, dengan pertanggungjawaban penuh atas tindakannya.

Kemudian, ketika banjir telah meluluhlantakkan semua orang yang menyembah selain Allah Swt., dan banjir telah surut dan badai telah mereda, Allah Swt. pun memerintahkan Nabi Nuh a.s. dan para pengikutnya turun dari kapal, untuk menikmati kehidupan baru yang sarat dengan kesejahteraan dan keberkahan dari-Nya, “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu. Dan (kelak) ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan kepada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami.” (QS Hûd [11]: 48).

Selepas turun dari kapal, Al-Quran tidak menuturkan kisah kehidupan Nabi Nuh a.s. selanjutnya. Demikian halnya, Kitab Suci itu juga tidak menuturkan apakah setelah turun dari kapal itu sang Nabi tinggal di Kota Cizre, Turki dan juga tidak menuturkan bahwa ketika berpulang (menurut sebagian sumber) sang Nabi dikebumikan di Makkah. Juga, Al-Quran tidak meneguhkan pandangan yang menyatakan bahwa setelah berpulang, sang Nabi dimakamkan di sebuah daerah di Lebanon, tepatnya di Karak, seperti dikemukakan Dominique dan Janine Sourdel dalam sebuah karya berjudul Dictionnaire historique de l’Islam.