Monday, February 25, 2008

Bersama Rasul Saw. di Gua Hira'

Dua hari selepas mengunjungi Maulid Al-Nabiy, penulis berkesempatan berziarah ke Gua Hira’. Gua yang terletak di Bukit Hira’ yang juga disebut Gunung Cahaya (Jabal Nûr) ini, seperti diketahui, terletak sekitar lima kilometer dari Masjid Al-Haram. Di gua inilah Rasulullah Saw., sebelum diangkat sebagai utusan Allah Swt., menyingkir dari keriuhrendahan kehidupan ramai di Kota Makkah kala itu. Kadang, beliau tinggal di sana selama satu bulan, lebih-lebih pada bulan Ramadhan. Hal yang demikian itu beliau lakukan selama sekitar tujuh tahun. Enam bulan terakhir beliau meningkatkan frekuensi kunjungannya ke gua itu. Peristiwa ini sendiri menandai dimulainya suatu karya kenabian, dengan diterimanya wahyu pertama dari Allah Swt. pada hari Senin, 17 Ramadhan yang bertepatan dengan 6 Agustus 610 M (menurut Ibn Sa‘d dalam karyanya Al-Thabaqât Al-Kubrâ), kala beliau sedang khusuk bertafakkur, “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).

Itulah saat penobatan Muhammad bin ‘Abdullah sebagai Nabi Allah. Saat menerima pengangkatan menjadi Nabi ini, usia beliau mencapai 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut tahun Bulan (Qamariyyah) atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurun tahun Matahari (Syamsiyyah).

Di sini timbul pertanyaan: mengapa Rasulullah Saw. bertahannuts (menyendiri, merenung, dan beribadah) di Gua Hira’?

Tugas utama kenabian yang dipikul Rasulullah Saw., seperti diketahui, adalah untuk mengantarkan masyarakat menuju cita ideal yang dikehendaki Allah Swt. Tindakan menyendiri ke tempat yang sepi dan terpisah dari riuh rendah kehidupan masyarakat ramai tersebut sejatinya adalah sebagai persiapan untuk menerima dan melaksanakan tugas besar tersebut. Sebab, setiap tindakan besar yang hendak mengubah dan membentuk dunia sulit terjadi jika tidak ada seorang “agen” atau pribadi yang sadar dengan dua kemampuan sekaligus. Pertama, kemampuan untuk melakukan penjarakan terhadap kenyataan yang kongkrit (detachment). Dengan mengambil jarak atas kenyataan itu, seorang “agen” akan mampu melihat dunia dengan seluruh kekurangan, kelebihan, dan kemungkinan-kemungkinannya. Dunia tidak bisa diubah dan diantarkan menuju kemungkinan yang lebih baik, jika seorang “agen” tenggelam sepenuhnya dalam kepenuhan dunia itu sendiri. Kedua, kemampuan untuk terlibat kembali selepas momen penjarakan dilakukan beberapa saat (reattachment). Saat pengambilan jarak, atau dalam kasus Rasulullah Saw. disebut tahannuts, hanyalah situasi sementara agar seorang “agen” bisa berada di “luar” dunia. Saat terpenting justru berada kembali di “dalam” dunia untuk mengubah dan mentransformasikannya sesuai “gambar” yang dikehendaki seorang agen.

Al-Ghazali, dalam karyanya Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, dalam komentarnya tentang jalan yang ditempuh Rasulullah Saw. ketika bertahannuts di Gua Hira’, menulis, “Manfaat pertama (dari bertahannuts) adalah pemusatan diri dalam beribadah, berpikir, mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah, dengan menghindari hubungan dengan sesama manusia, serta menyibukkan diri untuk menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi. Inilah yang disebut kekosongan. Padahal, tiada kekosongan dalam bergaul serta mengisolasi diri. Mengisolasi diri jelas lebih baik. Malah, Rasulullah Saw., pada permulaan kenabian beliau, hidup menyendiri di Gua Hira’ serta mengisolasi diri, sehingga cahaya kenabian dalam diri beliau menjadi kuat. Ketika itu para makhluk tak kan kuasa menghalangi beliau dari Allah. Sebab, meski tubuh beliau beserta para makhluk, namun kalbu beliau senantiasa menghadap Allah.”

Pertanyaan lain yang mungkin timbul: mengapa Rasulullah Saw. memilih Gua Hira’ sebagai tempat bertahannuts, bukan tempat-tempat lain?

Gua Hira’, seperti diketahui, adalah sebuah gua yang terletak di sebelah timur Masjid Al-Haram dan di puncak Jabal Nur. Tingginya dari permukaan laut sekitar 621 meter dan sekitar 281 meter dari permukaan tanah. Untuk mendaki sampai ke gua itu diperlukan waktu kurang lebih satu jam. Gua itu sendiri tidak terlalu besar dan pintunya menghadap ke arah utara. Panjang gua tersebut hanya tiga meter, sedangkan lebarnya sekitar 1.30 meter, dengan ketinggian sekitar dua meter. Dengan kata lain, luas gua yang satu ini hanya cukup untuk shalat dua orang, sedangkan di bagian kanan Gua terdapat teras dari batu yang hanya cukup untuk digunakan shalat untuk shalat dalam keadaan duduk.

Kondisi Gua Hira’ yang demikian itu jelas merupakan tempat yang ideal di Makkah bagi Rasulullah Saw. untuk bertahannuts. Suasana yang tenang, jauh dari keriuhan Kota Makkah kala itu, dengan jumlah warganya sekitar 5.000 orang, pandangan yang terbuka ke tempat-tempat di bawahnya, terutama pandangan ke arah Masjid Al-Haram, dan pandangan ke padang pasir luas dan langit nan seakan tanpa batas, dapat dibayangkan dapat memberikan kesempatan bagi beliau untuk “beribadah, berpikir, mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah, dengan menghindari hubungan dengan sesama manusia, serta menyibukkan diri untuk menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi” seperti dikemukakan Al-Ghazali.

Rasulullah Saw. sendiri, yang kala itu merupakan warga Kampung Qusyairiyyah, tentu telah mempertimbangkan matang pemilihan Gua Hira’ sebagai tempat bertahannuts. Beliau tentu telah memperbincangkan tempat itu dengan istri teladan beliau, Khadijah binti Khuwailid. Malah istri teladan beliau tersebut, di malam yang pekat, pernah beberapa kali mengunjungi Rasul Saw. ketika beliau sedang berada di Gua yang tak semua orang kuasa melakukannya itu, dengan menyusuri batu cadas dan kerikil, dengan tujuan agar dapat melayani sang suami tercinta dengan baik. Luar biasa. Istri yang pengusaha besar mana yang dengan tulus dan ikhlas mau melakukan seperti yang dilakukan Khadijah binti Khuwailid itu?

Di sisi lain ada yang menyatakan, Gua Hira’ adalah sebuah masjid sebelum Islam. Prof. Dr. Husain Mu’nis, seorang pakar terkemuka sejarah Islam asal Mesir, misalnya dalam karyanya Al-Masâjid menulis, “Pada umumnya para penulis memulai sejarah masjid dari Masjid Al-Haram, yaitu Rumah Allah pertama yang didirikan untuk umat manusia. Selain itu, masjid tersebut juga sebagai kiblat Ibrahim a.s., Bapak Para Nabi yang menganut agama yang hanîf, dan masjid di mana untuk pertama kalinya Rasulullah Saw. melaksanakan shalat. Namun, semestinya kita merujukkan masjid ke Gua Hira’. Gua itulah sejatinya, tak pelak lagi, masjid yang pertama-tama dalam Islam. Di Gua itu pulalah Rasul Saw. melaksanakan shalat, bertahannuts, dan menyembah Allah sebelum beliau menerima wahyu. Demikian halnya di Gua itu pulalah ayat-ayat pertama Al-Quran, lima ayat pertama dari Surah Al-‘Alaq, turun. Selain itu, Gua Hira’ juga semestinya dipandang sebagai masjid, meski kehadirannya mendahului masa masjid-masjid. Andaikan tidak tepat untuk dikatakan bahwa Rasul Saw. telah bersujud di Gua tersebut, selayaknya Gua tersebut dapat dikatakan sebagai tempat sembahyang. Seperti diketahui, masjid dapat disebut sebagai tempat sembahyang, seperti halnya pula dapat disebut sebagai tempat ruku‘. Namun, istilah masjidlah yang lebih acap dipakai.”

Saturday, February 16, 2008

In Memoriam: Rumah Wahyu

Makkah, Senin, 24 Dzulqa‘dah 1428 H/3 Desember 2007 M. Di sore yang cerah hari itu, selepas melaksanakan shalat asar di Masjid Al-Haram, penulis bersama istri dan putri sulung penulis serta sejumlah jamaah Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji di musim haji tahun itu meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Tempat yang terletak di sebelah timur pelataran masjid itu kini disebut Maulid Al-Nabiy. Selepas keluar dari Pintu Raja ‘Abdul ‘Aziz, kami kemudian berjalan pelan mengitari Masjid Al-Haram, yang telah penuh dengan calon jamaah haji dari pelbagai negara dan bangsa. Selepas mengitari masjid dan mas‘â (tempat melaksanakan sa‘i) yang sedang diperluas, di sebelah timur pelataran masjid itu kami mendapatkan sebuah bangunan sederhana dan di atas bangunan tersebut terdapat billboard besar dengan tulisan “Maktabah Makkah Al-Mukarramah” (Perpustakaan Makkah Al-Mukarramah).

Sebelum perpustakaan itu (kala itu tanpa kegiatan) tegak, sejatinya di lokasi itu pernah berdiri sebuah masjid yang dibangun seorang perempuan rupawan nan berotak cemerlang yang tak lain adalah permaisuri Al-Mahdi, penguasa ke-3 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, yang dikenal dengan nama Al-Khaizuran (yang secara harfiah berarti “bambu”, tanaman yang menurut orang-orang Arab melambangkan kecantikan dan keluwesan) binti ‘Atha’ Al-Khurasyiyyah. Masjid itu kini telah tiada karena diruntuhkan. Kemudian, pada 1370 H/1950 M, sebagai gantinya di lokasi yang sama dibangun sebuah perpustakaan oleh Syeikh ‘Abbas Qaththan.

Al-Khaizuran sendiri semula adalah seorang budak asal Yaman dengan nama asli Jurasy yang dibawa ke Makkah oleh seorang suku Arab Badui dan dijual di sana. Dari pasar budak itu, perjalanan hidupnya akhirnya mengantarkannya bertemu dengan Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah. Selepas dimerdekakan sang khalifah, yang terpesona oleh kecantikan dan kecemerlangan otaknya, ia kemudian, pada 159/775 M, dinikahkan dengan putra sang khalifah, Muhammad, yang kelak menjadi penguasa ke-3 dinasti tersebut dengan gelar Al-Mahdi. Pasangan suami-istri ini dikarunia dua putra: Musa, yang setelah menjabat penguasa ke-4 Dinasti ‘Abbasiyyah (memerintah antara 169-170 H/785-786 M) bergelar Al-Hadi, dan Harun, yang setelah naik ke pentas kekuasaan sebagai penguasa ke-5 dinasti tersebut (memerintah antara 170-194 H/786-809 M) bergelar Al-Rasyid. Perempuan yang berpengetahuan luas tentang hukum Islam dan berpulang kepada Sang Pencipta pada 170 H/789 M ini terkenal dermawan dan dikenal pernah mendirikan Dar Al-Khaizuran di Makkah.

Ketika berada di dekat bangunan “Perpustakaan Makkah Al-Mukarramah” itu, tiba-tiba terbayangkan oleh penulis bagaimana resah dan gelisahnya ibunda Rasulullah Saw., Aminah binti Wahb, selama berbulan-bulan dengan penuh harap dan cemas menyambut kelahiran janin yang sedang dikandungnya di rumah itu. Dan tak lama selepas lahir pada hari Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal tahun Gajah atau 21 April 570 M., beliau sejatinya tidak lama berada di rumah kelahiran itu. Sebab, tak lama selepas itu beliau dibawa Halimah binti Abu Dzu’aib Al-Sa‘diyyah yang, menurut Dr. Syauqi Abu Khalil dalam karyanya Athlas Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, bermukim di sekitar Hudaibiyyah (kini disebut Syumaisi, terletak sekitar 24 kilometer sebelah barat Kota Makkah ke arah Jeddah). Dengan kata lain, beliau tak lama menempati rumah itu selepas lahir. Beliau baru kembali menikmati rumah selepas pulang dari pengasuhan Halimah Al-Sa‘diyyah tersebut. Kala itu beliau berusia sekitar enam tahun. Dan, sekitar tiga tahun kemudian, selepas berpulangnya kakek tercinta beliau, ‘Abdul Muththalib bin Hasyim, beliau kemudian pindah ke rumah pamanda tercinta beliau, Abu Thalib bin ‘Abdul Muththalib, yang terletak di kaki Jabal Abi Qubais.

Walau tak lama menempati rumah kelahiran itu, rumah yang tak terbayangkan bagaimana kondisinya kala itu sejatinya menjadi saksi kelahiran Muhammad bin ‘Abdullah, seorang Rasul dan Nabi terakhir yang, menurut Michael H. Hart dalam karyanya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History, “memainkan peranan yang jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi ‘Isa terhadap agama Nasrani.”

Kemudian, ketika penulis berdiri membelakangi gedung perpustakaan tersebut dan menghadap ke arah Masjid Al-Haram, pandangan penulis tanpa sadar tertuju ke arah Pintu Nabi (Bâb Al-Nabî) yang terletak di sebelah Pintu Al-Salam (Bâb Al-Salâm) yang sedang dipugar. Begitu pandangan terarah ke Pintu Nabi tersebut, entah kenapa tiba-tiba dalam benak penulis bergejolak kesadaran bahwa di situ pernah tegak sebuah rumah sangat besar perannya dalam sejarah Islam! Mengapa demikian? Ini karena rumah yang kini tiada sama sekali sisanya itu pernah menjadi saksi dalam waktu yang cukup lama, sekitar 28 tahun, kisah perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah Saw. Rumah itu tidak lain adalah rumah yang beliau tempati bersama istri teladan beliau, Khadijah binti Khuwailid. Sebelum menikah dengan beliau, seperti tercatat dalam torehan emas sejarah Islam, Khadijah menempati sebuah rumah yang terletak di lereng Jabal Khalifah (kini disebut Jabal Qal‘ah), di pintu masuk terowongan yang menghadap ke Pintu Raja ‘Abdul ‘Aziz. Rumah ini kemudian dihadiahkan kepada putri sulung mereka, Zainab binti Muhammad, ketika menikah dengan Abu Al-‘Ash bin Al-Rabi‘ bin ‘Abdul ‘Uzza.

Menurut Dr. Muhammad ‘Abduh Yamani, dalam karyanya Khadîjah binti Khuwailid, Sayyidah fi Qalb Al-Mushthafa Saw. di rumah yang sebelum dibeli Rasulullah Saw. milik Hakim bin Hizam bin Khuwailid itulah “Khadijah r.a. melahirkan semua putra-putri Nabi Saw. Di situ pulalah Khadijah berpulang. Dan, dari rumah ini pulalah Rasul Saw. bertolak untuk berhijrah.”

Mantan menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi itu lebih lanjut menyatakan bahwa “rumah inilah yang memancarkan cahaya Islam dan memendari panji-panji kaum Muslim; rumah yang menjadi saksi laju gerakan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.; rumah tempat Jibril Al-Amin berulangkali mendatangi Thaha (Muhammad) Al-Amin dan menurunkan wahyu tujuh ayat Surah Al-Fatihah dan (beberapa ayat) Al-Quran; rumah yang beliau tinggali selama 13 tahun mengajak manusia menuju tauhîd (keesaan Tuhan) dan meninggalkan paganisme. Dari rumah inilah Rasul Saw. mendeklarasikan diri beliau kepada bangsa Quraisy dan seluruh umat manusia bahwa beliau adalah utusan Tuhan semesta alam; dari rumah inilah Rasul Saw. bangkit untuk menyampaikan risalah kepada bangsa Quraisy dan seluruh umat manusia. [...] Lebih dari sepertiga surah-surah Al-Quran turun di rumah ini.”

Tak terasa kepala penulis tiba-tiba menunduk sedih dengan hati yang perih, karena menyadari bahwa rumah yang disebut Rumah Wahyu (Dâr Al-Wahy) yang kemudian dijual ‘Aqil bin Abu Thalib kepada Mu‘awiyah bin Abu Sufyan selepas beliau berhijrah dan besar perannya dalam sejarah Islam itu kini tiada sama sekali bekasnya dan telah menjadi bagian dari pelataran timur Masjid Al-Haram. Rasulullah Saw. sendiri, sebelum menempati rumah yang dipandang sebagai bangunan termulia ketiga di Makkah (setelah Ka‘bah dan Masjid Al-Haram) itu, tinggal di rumah Abu Thalib bin ‘Abdul Muththalib yang terletak tidak jauh dari situ, di sebelah kanan rumah Rasul Saw. selepas menikah tersebut, di kaki Gunung Abu Qubais (kini di atasnya tegak sebuah bangunan megah milik Kerajaan Arab Saudi). Tentu dapat dibayangkan, dari ketiga rumah tersebut yang terletak tidak jauh dari Ka‘bah, Rasul Saw. sejak kecil dapat menyaksikan bagaimana perilaku sehari-hari kaum musyrik Makkah dan ketika mereka sedang beribadah di seputar Ka‘bah, antara lain ketika mereka mengadakan perayaan besar-besaran dan pemberian sesaji sebagai penghormatan terhadap Patung Buwanah yang sangat diagungkan oleh kaum musyrik Makkah dan ketika kaum perempuan sedang tawaf di seputar Ka‘bah tanpa busana. Karena itu, dapat dibayangkan pula bagaimana keresahan, kegelisahan, dan ketidaknyamanan beliau ketika menyaksikan, dengan mata beliau dari dekat, pelbagai perilaku kaum musyrik Makkah yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama yang lurus yang diajarkan oleh nenek moyang mereka: Ibrahim a.s.

Monday, February 11, 2008

Pesan Indah Empat Khalifah Bijak

Para pembaca blog budiman, tidak terasa hampir dua bulan penulis blog ini tak menghadirkan tulisan. Kesibukan menyiapkan dan menyusun sebuah buku, yang penulis harapkan insya Allah usai penulisannya di bulan April 2008 nanti, benar-benar membuat penulis blog ini tak banyak memiliki kesempatan untuk menyiapkan tulisan di blog ini. Karena itu, penulis mohon maaaf sebesar-besarnya. Di kesempatan ini, penulis hadirkan sebuah buku penulis yang insya Allah terbit di bulan Februari 2008 ini. Karya ringkas tersebut berupaya menghadirkan untaian kisah menawan tentang kehidupan empat khalifah bijak tersebut yang berkaitan dengan tentang cinta, persahabatan, kepemimpinan, kebijaksanaan bertindak, tindakan dan sikap mulia, dan jalan menuju surga.

Perlu dikemukakan, selepas Rasulullah Saw. berpulang ke hadirat Allah pada Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal 11 H/8 Juni 632 M, ada empat tokoh Muslim yang sangat besar perannya dalam memancangkan dan mengembangkan Islam ke pelbagai belahan bumi Tuhan. Kempat tokoh tersebut adalah Abu Bakar Al-Shiddiq, ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abu Thalib.

Abu Bakar Al-Shiddiq, mertua Rasulullah Saw., adalah khalifah pertama dalam sejarah Islam (berkuasa antara 11-13 H/632-634 M). Ayahanda ‘A’isyah, istri tercinta Rasulullah Saw. ini bernama lengkap ‘Abdullah bin Abu Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Umar bin Ka‘b bin Sa‘d bin Taim bin Murrah bin Ka‘b bin Lu‘ayyi bin Thalib bin Fihr bin Nadr bin Malik Al-Taimi Al-Qurasyi, dengan nama ‘Abdul Ka‘bah. Sedangkan ibundanya adalah Ummu Khair Salma binti Sakhr, seorang perempuan dari suku Quraisy. Ia lahir dua tahun selepas Tahun Gajah atau lebih muda dua tahun dari Rasulullah Saw., yakni pada 573 M. Ia telah menjadi sahabat karib beliau sebelum beliau menjadi Nabi. Malah, beliaulah yang mengubah namanya menjadi bernama ‘Abdullah. Kemudian, kala beliau diutus sebagai Nabi, pedagang yang berbudi dan hidup berkecukupan ini menjadi pria dewasa pertama yang mengakui kedudukan beliau sebagai Nabi. Keislamannya mendorong sejumlah tokoh Quraisy mengikuti jejak langkahnya. Di antara mereka adalah ‘Utsman bin ‘Affan, Al-Zubair bin Al-‘Awwam, Sa‘d bin Abu Waqqash, dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf.

Ketika Rasulullah Saw. meninggalkan Makkah, pada malam hari 12 Rabi‘ Al-Awwal tahun pertama Hijrah/28 Juni 622 M, dan berhijrah ke Madinah, Abu Bakar Al-Shiddiq terpilih untuk menyertai beliau. Kemudian, ketika beliau wafat, ia pun diangkat sebagai khalifah. Jabatan itu ia duduki melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua selepas beliau wafat dan sebelum jenazah beliau dimakamkan. Selepas beliau dimakamkan di rumah ‘A’isyah, pada Selasa petang, menjelang shalat isya di Masjid Nabawi, Abu Bakar Al-Shiddiq mengucapkan pidato kekhalifahannya yang pertama di hadapan kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang membentuk tiang agung kekuatan Islam kala itu.

Selama tokoh ini menduduki jabatan khalifah, Islam semakin mengepakkan sayapnya. Agama ini pun mulai memasuki kawasan yang berada di bawah kekuasaan Imperium Romawi dan Persia. Namun, karena masa pemerintahannya pendek, perluasan ke arah kedua kawasan itu baru benar-benar terpancang kuat di masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab. Tokoh yang mendapat gelar “Al-Shiddîq” ini meninggal pada Senin, 22 Jumada Al-Tsaniyyah 13 H/22 Agustus 634 M, selepas jatuh sakit (menurut Mahmud ‘Abbas Al-‘Aqqad, karena sakit malaria yang pernah dideritanya di awal hijrah kambuh) selama sekitar dua minggu. Khalifah kedua, sebagai pengganti Abu Bakar Al-Shiddiq, adalah ‘Umar bin Al-Khaththab. Bernama lengkap Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khaththab bin Nufail bin ‘Abdul ‘Uzza Al-Qurasyi, ia lahir 13 tahun selepas kelahiran Rasulullah Saw., atau sekitar 584 M, di Makkah. Di masa kecilnya, tokoh yang pertama-tama mendapat gelar “Amir Al-Mukminin” ini bekerja sebagai penggembala domba. Lantas, selepas dewasa, ia bergerak di bidang perdagangan.

Mertua Rasulullah Saw. ini memeluk Islam di tahun keenam dakwah Islam. Sejak ia memeluk Islam, kaum Muslim mulai berani menampilkan seruannya dengan secara terangan-terangan. Karena hal itulah, ia mendapat gelar “Al-Fâruq”. Dengan kata lain, keislamannya merupakan pembatas antara seruan Islam secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Mengenai hal ini, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq berucap, “Allah menjadikan kebenaran pada ucapan dan kalbu ‘Umar. Ia adalah Al-Faruq yang menjadi pembatas antara kebenaran dan kebatilan.”

Tokoh yang terkenal pemberani ini ikut terlibat dalam pelbagai pertempuran dan peperangan yang terjadi di masa Rasulullah Saw. Selain itu, ia juga menjadi salah seorang tangan kanan beliau. Ketika beliau wafat, ia membaiat Abu Bakar Al-Shiddiq sebagai khalifah. Dan, ia menggantikan khalifah pertama tersebut pada Ahad, 21 Jumada Al-Tsaniyyah 13 H/21 Agustus 634 M. Dalam pidato pengukuhannya sebagai khalifah, ia antara lain berucap, “Demi Allah! Orang yang terlemah di antara kalian akan menjadi yang terkuat dalam pandanganku, hingga aku membuktikan hak-haknya bagiku. Sedangkan orang yang terkuat di antara kalian akan kuperlakukan sebagai yang terlemah, hingga ia mematuhi hukum.”

Di masa kekhalifahan ‘Umar bin Al-Khaththab, yang berlangsung selama sekitar sepuluh tahun, Islam semakin mengepakkan sayapnya, sehingga berhasil memasuki berbagai kawasan yang sebelumnya berada di bawah naungan Kekaisaran Romawi dan Persia. Selain itu, di masa pemerintahannya pula, sistem administrasi pemerintahan yang rapi mulai diperkenalkan .‘Umar bin Al-Khaththab wafat tiga hari selepas luka parah karena ditikam Abu Lu‘lu‘ah, seorang budak ‘ajami (bukan Arab), penganut Kristen, dan termasuk subyek pajak yang harus dibayar orang asing, pada Ahad, 1 Muharram 24 H/7 November 644 M, dan dimakamkan di samping makam Rasulullah Saw. dan Abu Bakar Al-Shiddiq. Menjelang wafat, ia menyampaikan pesan terakhir kali agar diadakan permufakatan di antara enam sahabat untuk menentukan khalifah ketiga. Mereka adalah ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abu Thalib, Al-Zubair bin Al-‘Awwam, Sa‘d bin Abu Waqqash, Thalhah bin ‘Ubaidullah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Akhirnya, berdasarkan kemufakatan mereka, ‘Utsman bin ‘Affan yang diangkat sebagai khalifah ketiga.

Khalifah ke-3 dari jajaran para khalifah tersebut adalah menantu Rasulullah Saw. Bernama lengkap Abu ‘Abdullah ‘Utsman bin ‘Affan bin Abu Al-‘Ash bin Umayyah bin ‘Abd Syams bin ‘Abd Manaf bin Qushai Al-Quraisyi, putra pasangan suami-istri ‘Affan bin Abu Al-‘Ash dan ‘Urwah binti Kuraiz ini lahir di Makkah sekitar 47 tahun sebelum Hijrah (574 M). Dengan kata lain, usia cucu saudara sepupu Rasulullah Saw. lewat garis Al-Baidha’ binti ‘Abdul Muththalib (ibunda ‘Urwah binti Kuraiz) ini enam tahun lebih muda dari beliau. Orang keempat yang pertama-tama memeluk Islam ini sejak masa pra-Islam telah terkenal sebagai hartawan. Selepas memeluk Islam, hartawan yang terkenal dermawan ini menikah dengan Ruqayyah, putri Rasulullah Saw. Dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama ‘Abdullah. Pada 2 H/623 M sang istri tercinta meninggal. Setahun kemudian ia menikah dengan putri Rasul Saw. yang lain, Ummu Kultsum. Tahun berikutnya ‘Abdullah mengikuti jejak sang ibu. Lima tahun kemudian sang istri kedua mengikuti jejak saudara perempuannya. Karena pernikahannya dengan kedua putri Rasulullah Saw. ini, ia mendapat gelar Dzû Al-Nûrain (Yang Memiliki Dua Cahaya).

Tokoh yang berasal dari lingkungan bangsawan ini sejak kecil memiliki budi pekerti dan perilaku nan mulia. Selain itu, ia juga terkenal dermawan. Ia juga termasuk salah seorang generasi pertama yang memeluk Islam. Ia ikut hijrah pertama ke Habasyah dan ikut dalam setiap peperangan bersama Rasulullah Saw. kecuali dalam Perang Badar. Selain itu, ia juga salah seorang penulis wahyu dan termasuk di antara sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Pada 23 H/644 H, ketika Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab berpulang ke hadirat Allah Swt., tokoh yang juga diberi kabar gembira dengan surga ini terpilih sebagai khalifah atas pilihan sebuah panitia pemilih calon khalifah. Panitia yang terdiri dari enam tokoh ini dibentuk ‘Umar bin Al-Khaththab di masa akhir hayatnya. Panitia memilihnya sebagai khalifah dengan pertimbangan ia adalah orang terbaik ketika itu. Ia dibaiat pada Jumat, 10 Muharram 23 H/28 November 643 M, tiga hari selepas pemakaman ‘Umar bin Al-Khaththab.

Di masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan, Islam melebarkan sayapnya memasuki pelbagai kawasan Afrika, Siprus, pantai-pantai Romawi, Tabaristan, dan Merv. Dan di masa pemerintahannya pula Al-Quran dibakukan menjadi satu mushaf, yang kemudian menjadi terkenal dengan sebuatan “Mushhaf ‘Utsmani”. Khalifah yang satu ini terbunuh pada Jumat, 18 Dzul Hijjah 35 H/17 Juni 655 M, kala ia sedang membaca Al-Quran. Hari terjadinya pembunuhan atas diri tokoh yang berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, berwajah tampan, berkulit cerah dengan warna sawo matang dan terdapat sedikit bekas cacar, berjenggot lebat dengan tulang-tulang persendian yang besar dan kedua bahunya yang bidang dan kepala botak setelah sebelumnya berambut lebat ini disebut Yaum Al-Dâr. Peristiwa pembunuhan tersebut merupakan peristiwa pertama terjadi di mana darah seorang Muslim ditumpahkan oleh Muslim.

Khalifah keempat dalam sejarah Islam adalah putra bungsu Abu Thalib (saudara-saudara sekandungnya adalah: Thalib, ‘Aqil, dan Ja‘far), pamanda Rasulullah Saw. dan bernama lengkap Abu Al-Hasan ‘Ali bin Abu Thalib bin ‘Abdul Muththalib bin Hasyim Al-Hasyimi Al-Qurasyi. Ibundanya, seorang muslimah yang meninggal dunia sebelum Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, adalah Fathimah binti As‘ad bin Hasyim bin ‘Abd Manaf. Dengan kata lain, ia berdarah Bani Hasyim, baik dari garis ayahanda maupun ibundanya. Ia lahir di Makkah 32 tahun selepas kelahiran Nabi Saw., atau sekitar 23 tahun sebelum Hijrah/sekitar 600 M.

Selepas memeluk Islam ketika baru berusia 13 tahun, menantu tercinta Rasulullah Saw. yang seusia dengan Al-Zubair bin Al-‘Awwam, Thalhah bin ‘Ubaidullah, dan Sa‘d bin Abu Waqqash ini menjadi pendamping beliau. Tak aneh bila ketika beliau berhijrah ke Madinah, ia tidur di rumah beliau agar orang-orang musyrik Makkah mengira bahwa beliau masih di rumah. Tindakannya tersebut mendapat pujian dari Allah lewat firman-Nya, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah. Dan, Allah Mahapenyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]: 207).

Baru tiga hari selepas peristiwa itu tokoh yang disebut Rasulullah Saw. dengan panggilan “Abû Turâb” (Ayah Debu), karena kehidupannya yang sangat sederhana, ini berhijrah ke Madinah dan terlibat dalam seluruh perang yang dilancarkan Nabi Saw., kecuali dalam Perang Tabuk. Pada tahun kedua Hijriyah, kala berusia sekitar 25 tahun, ia menikah dengan putri tercinta beliau, Fathimah Al-Zahra’. Dari pernikahan ini lahirlah Al-Hasan (3 H/624 M), Al-Husain (4 H/625 M), Zainab Al-Kubra, dan Fathimah Al-Shughra, Ummu Kultsum, dan Ruqayyah. Selama Rasulullah Saw. hidup, pembawa panji-panji pasukan kaum Muslim dalam Perang Badar ini menjadi penasihat beliau bersama Abu Bakar Al-Shiddiq, ‘Umar bin Al-Khaththab, dan ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian, ketika ‘Utsman bin ‘Affan menjadi khalifah dan kemudian terbunuh pada Sabtu, 18 Dzul Hijjah 35 H/18 Juni 656 M, ia dibaiat menjadi khalifah di Masjid Nabawi, Madinah. Penabalan dirinya sebagai khalifah terjadi pada Jumat, 25 Dzul Hijjah 35 H/24 Juni 656 M.

Selanjutnya, menantu tercinta Rasulullah Saw. ini memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah. Di kota yang kini termasuk dalam wilayah Irak ia menjalankan roda pemerintahan hingga dini hari Ahad, 17 Ramadhan 40 H/24 Januari 661 M, ketika ia tewas akibat tusukan pedang ‘Abdurrahman bin Muljam Al-Sarimi, seorang pengikut Aliran Khawarij yang ekstrim, yang disertai dua temannya. Jenazah tokoh Muslim yang mendapat gelar “Al-Murtadha”, “Waliy Allâh”, dan “Asad Allâh Al-Ghâlib” dan menuturkan 587 hadis (20 di antaranya disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim) ini dimakamkan di Najaf, Irak.

Di sini perlu dikemukakan kembali, selama masa pemerintahan keempat tokoh tersebut, yang berlangsung hanya selama sekitar 30 tahun, antara 11-40 H/632-661 M, bendera Islam telah berkibar dengan indahnya di kawasan yang membentang antara Persia di sebelah timur hingga ke Mesir di sebelah barat. Memang, di awal pemerintahan Abu Bakar Al-Shiddiq, tidak lama selepas Rasulullah Saw. wafat, Madinah hampir kehilangan pelbagai kawasan yang dinaunginya. Namun, keteguhan dan kepiawaian mertua Rasulullah Saw. tersebut dalam melakukan konsolidasi ke dalam, terutama di lingkaran satu, telah berhasil menyelamatkan perjalanan Islam. Pelbagai pembelotan dan pemberontakan, terutama di wilayah Yamamah, Tihamah, dan Oman, berhasil diredam. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari kejeliannya dalam memilih sederet panglima yang piawai di medan pertempuran. Antara lain Khalid bin Al-Walid, ‘Ikrimah bin Abu Jahal, Syurahbil bin Hasanah, Muhajir bin Abu Umayyah, Suwaid bin Muqrin, Al-‘Ala’ bin Al-Hadhrami, Hudzaifah bin Muhshin, ‘Arfajah bin Harthamah, ‘Amr bin Al-‘Ash, Ma‘an bin Hajiz Al-Sulami, dan Khalid bin Sa‘id bin Al-‘Ash.

Ketika pemerintahan Abu Bakar Al-Shiddiq usai, dan ‘Umar bin Al-Khaththab naik ke pentas pemerintahan, Islam semakin mengepakkan diri. Catatan sejarah Islam menuturkan, penyebaran global Islam secara umum kala itu dilakukan dengan menaklukkan tiga pusat pemerintahan terkuat dunia kala itu: Mada‘in (Ctesiphon) sebagai ibukota pemerintahan Kekaisaran Persia, Damaskus sebagai ibukota pemerintahan Kekaisaran Romawi Timur, dan Iskandariah (Alexandria) sebagai ibukota pemerintahan Mesir. ‘Umar, lewat tangan para jenderalnya yang tangguh dan piawai, berhasil menundukkan tiga pusat pemerintahan itu.

Keberhasilan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam memancangkan Islam di kawasan yang membentang luas tersebut tentu tidak hanya berhenti pada sektor militer saja. Tak aneh apabila ia, begitu usai menaklukkan kawasan nan luas itu, segera melakukan konsolidasi dan stabilisasi sistem pemerintahan dengan membentuk sejumlah dîwân atau departemen yang mengurusi pelbagai bidang. Meski demikian, sejatinya proses islamisasi secara kultural kawasan itu secara damai baru berhasil beberapa abad kemudian. Sebagai misal, orang-orang Mesir baru mengadopsi sepenuhnya bahasa Arab, menggantikan bahasa Romawi dan Koptik, tiga abad kemudian. Hal itu tidak lepas dari jasa dari ‘Abdul Malik bin Marwan, penguasa ke-5 (memerintah 66-86 H/685-705 M) Dinasti Umawiyyah dengan ibukota pemerintahannya di Damaskus yang melakukan arabisasi secara besar-besaran di pelbagai sektor politik, sosial, dan kultural.

Sementara pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Thalib secara umum dapat dikatakan lebih banyak meneruskan pelbagai kebijakan yang dilakukan ‘Umar bin Al-Khaththab. Namun, di masa pemerintahan ‘Utsman dan ‘Ali, benih-benih disintegrasi mulai berkecambah. Situasi dan kondisi yang demikian memuncak dengan tewasnya kedua khalifah tersebut. Tidak lama selepas ‘Ali tewas, yang sebelumnya telah memindahkan ibukota pemerintahan ke Kufah, dengan demikian berakhir pulalah pemerintahan empat khalifah bijak, peran politik Madinah meredup. Damaskus, sebagai ibukota pemerintahan baru di bawah pimpinan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan tampil ke depan.

Tentu, keberhasilan keempat khalifah tersebut dalam mengepakkan Islam ke pelbagai belahan dunia tidak lepas dari integritas kepribadian mereka yang terkenal jujur, bersih, suka bekerja keras, penuh perhatian terhadap orang kecil, dermawan, dan senantiasa konsisten dengan prinsip-prinsip hidup luhur yang mereka anut, siap menerima kritik, dan memiliki berbagai sifat dan sikap terpuji lainnya. Kepribadian yang demikian itu telah mereka tunjukkan semenjak mereka memeluk Islam hingga akhir hayat mereka.

Harapan penulis, karya yang menyajikan untaian kisah-kisah menawan yang khususnya berkenaan cinta, persahabatan, kepemimpinan, kebijaksanaan bertindak, tindakan dan sikap mulia, dan jalan menuju surga ini dapat dijadikan sebagai arahan usaha kita dalam mencintai Allah Swt. dan Rasul-Nya serta para sahabat, membangun persahabatan dan menjalin hubungan yang tulus di antara sesama hamba-Nya, dan mengajak ke arah sikap bijak dalam bertindak, baik dalam masyarakat maupun keluarga seperti yang diteladankan oleh mereka, serta meniti jalan mulia yang selaras dengan ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya.