Thursday, November 29, 2007

Kisah Kiblat dan Masjid Dua Kiblat di Madinah

Selepas beberapa lama tinggal di Madinah, sekitar enam belas atau tujuh belas bulan kehijrahan Rasulullah ke Kota Suci itu, beliau bersama kaum Muslim melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah Bait Al-Maqdis. salah satu kota suci kaum Muslim ini juga disebut Al-Quds. Seperti diketahui, kota di Palestina ini mulai menjadi kota suci khususnya setelah Sulaiman a.s., putra Daud a.s., salah seorang keturunan Ibrahim a.s., membangun Haikal Sulaiman (atau Kuil Sulaiman). Sepeninggal Sulaiman a.s., kota ini ditaklukkan orang-orang Assyria. Selanjutnya, kota ini secara berturut-turut jatuh ke tangan Babilonia, Persia, Romawi, dan kaum Muslim sejak masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab (15 H/636 M).

Kedudukan Bait Al-Maqdis sebagai kota suci tercermin dari berbagai penegasan dalam Al-Quran. Selain kisah Isra’ yang terkenal, kedudukan Bait Al-Maqdis sebagai kota suci Islam tersimpulkan dari hakikat wahyu Allah kepada Rasul Saw. sebagai bagian dari rentetan wahyu-wahyu Ilahi sebelumnya, baik untuk mengembangkan, mengoreksi, atau pun mengganti. Misalnya, firman Allah, “Sungguh, telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Isma‘il, Ishaq, Ya‘qub, dan kepada anak keturunannya, serta kepada ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Sedangkan kepada Daud telah Kami berikan Zabur. Rasul-rasul yang telah Kami kisahkan sebelumnya kepadamu (Muhammad), dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan kepadamu. Dan Allah telah berbicara langsung kepada Musa.“ (QS Al-Nisâ’ [4]:163-164). Tokoh-tokoh yang disebutkan dalam firman tersebut, selain Nuh a.s., sangat erat terkait dengan kota ini yang menjadi pusat agama Yahudi dan Kristen.

Namun, pada suatu hari di bulan Rajab 2 H/Januari 624 M, ketika Rasulullah Saw. sedang melaksanakan rakaat kedua shalat asar di Masjid Bani Salamah, beliau menerima wahyu yang memerintahkan untuk menghadap ke arah Ka‘bah ketika shalat, “Sungguh, Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Maka, sungguh Kami akan mengalihkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Alihkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan, sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid Al-Haram benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (QS Al-Baqarah [2]: 144).”

Betapa gembiranya Rasul Saw. dan kaum Muslim menerima perintah yang demikian. Karena itu, begitu usai shalat, ada seorang sahabat yang dengan penuh semangat keluar dari masjid dan berseru gembira, “Demi Allah, aku bersumpah, aku telah melaksanakan shalat bersama Rasulullah Saw. dengan menghadap ke arah Makkah!”

Tujuan utama perubahan kiblat itu sendiri ialah agar kaum Muslim, sebagai satu umat yang memiliki Ka‘bah yang menjadi pusat rohaniah mereka, mengarahkan dunia dalam kebaikan yang besar. Selain itu sebagai ungkapan bahwa kaum Muslim bukan suatu umat yang berasaskan ras atau warna kulit, melainkan suatu umat untuk meraih kebaikan dengan menyebarkan kebaikan. Walau terjadi perubahan tersebut, namun sunnah Rasul Saw. tidak pernah melupakan kiblat pertama. Sebab, Bait Al-Maqdis telah dijadikan sebagai ujung akhir pelaksanaan Isra’ dan Mi‘raj Nabi Saw. yang diawali dari Makkah. Dan dari kota itu pulalah beliau bermi‘raj ke langit tertinggi. Karena itu, Bait Al-Maqdis dipandang sebagai kota suci ketiga dalam Islam setelah Makkah dan Madinah.

Di sisi lain, kiblat sejatinya merupakan suatu gejala ibadah unik yang hanya dimiliki kaum Muslim saja. Tidak oleh umat-umat lainnya. Sebab, seperti diketahui, para pemeluk agama-agama lain melaksanakan peribadatan mereka ke arah manapun yang mereka kehendaki dan mereka mendirikan tempat-tempat peribadatan mereka selaras dengan pengetahuan teknik mereka dan tuntutan yang ada. Beberapa orientalis berpandangan, Islam mengambil pedoman tentang kiblat dari agama Yahudi atau Kristen awal. Menurut beberapa orientalis Yahudi, kiblat merupakan hal yang telah mereka kenal, yaitu tempat menyimpan catatan-catatan dan kitab-kitab keagamaan, dan tempat yang paling baik bagi catatan-catatan dan kitab-kitab tersebut adalah sinagog. Sebagian di antara mereka berpendapat, tempat dimaksud dikemukakan dalam Al-Quran dengan sebutan “tabut” (QS Al-Baqarah [2]: 248).

Pendapat yang demikian itu, antara lain dikemukakan oleh Abraham Geiger, Edward Hirschfeld, dan Jakob Horowitz, tidak lah memiliki pijakan yang kuat. Sebab, tempat penyimpanan di sinagog tersebut tidak menentukan arah. Orang-orang pun tidak bersembahyang ke arah tempat itu. Lagi pula, tempat itu hanya sekadar tempat atau kotak untuk meletakkan kitab-kitab keagamaan mereka dan apa-apa yang mereka pandang sebagai khazanah sinagog, seperti peninggalan orang-orang saleh di kalangan mereka, naskah kitab-kitab persembahyangan mereka, tulisan orang-orang saleh di kalangan mereka, dan harta kekayaan yang diserahkan pada sinagog. Semua itu diletakkan di jantung sinagog, ke manapun arah jantung sinagog tersebut. Selain itu, “tabut” yang dikemukakan dalam Al-Quran tidaklah serupa dengan tempat menyimpan kitab-kitab keagamaan dan peninggalan-peninggalan awal agama Yahudi. Namun, “tabut” tersebut adalah sesuatu yang lain yang berkaitan dengan Musa a.s. dan masanya. Mengenai “tabut” tersebut, para ahli tafsir pun tidak seiring pendapat tentang yang dimaksud dengannya. Meski demikian, dapat dipastikan, hal itu tidaklah seperti yang dikehendaki para orientalis Yahudi tersebut.

Sementara beberapa peneliti lain menyatakan, gereja-gereja awal–paling tidak gereja-gereja beberapa jemaat-menghadap ke arah timur dan arah itulah asal-usul pengertian kiblat dalam Islam. Pendapat yang demikian itu jelas lemah dan tidak berdasar pula. Sebab, tiada bukti yang kuat pernah ada sebuah sekte Kristen awal yang menjadikan arah timur sebagian kiblat mereka. Memang, hal ini tidak meniadakan pendapat bahwa beberapa kepercayaan bukan samawi (dari langit) menganjurkan para pengikutnya untuk menyambut terbitnya matahari dengan bersembahyang pada pagi hari, juga pada sore hari ketika matahari terbenam. Di antara kepercayaan-kepercayaan tersebut ialah penyembahan matahari yang dianut Amenophis IV, yaitu Fir‘aun yang dikenal dengan nama Ikhnaton. Arah yang demikian itu jelas berbeda sekali dengan pengertian kiblat dalam Islam.

Dalam kenyataannya, kiblat merupakan suatu konsepsi Islam murni yang tidak dikenal baik oleh agama Yahudi maupun Kristen. Karena itu, tidak mengherankan pula jika kadang kaum Muslim menyebut diri mereka sebagai warga kiblat (Ahl Al-Qiblah), yang berarti warga dengan pandangan yang satu. Dan, Mahasuci Ia Yang telah menjadikan Islam sebagai akidah kesatuan dan penyatuan. Dan yang penting dalam hal ini ialah kiblat mengukuhkan secara mendasar salah satu pengertian Islam dan melengkapi masjid dengan suatu keistimewaan unik yang tidak dimiliki tempat-tempat ibadah lainnya.

Segera kabar pengalihan arah shalat tersebut tersebar ke seluruh penjuru Madinah. Kaum Muslim pun segera pula mengalihkan arah mereka ketika melaksanakan shalat. Mereka tidak lagi menghadap ke arah Bait Al-Maqdis, tetapi menghadap ke arah Makkah.

Gunung Uhud: Saksi Perjuangan Generasi Awal Kaum Muslim

Ketika jamaah haji berada di Madinah Al-Munawwarah, dan berkesempatan berziarah ke pelbagai tempat bersejarah di Kota Nabi itu, salah satu tempat yang biasanya mereka kunjungi adalah Gunung Uhud. Gunung ini merupakan sekelompok gunung yang terletak sekitar 6 kilometer di sebelah utara Masjid Nabawi. Gunung ini tidak bersambung dengan gunung-gunung lain, seperti halnya umumnya gunung-gunung di sekitar kota suci itu. Karena itu, disebut Uhud, yang artinya menyendiri.

Gunung batu yang terdiri dari granit, marmer merah, dan batu-batu mulia (sehingga dari jauh kelihatan agak memerah) ini merupakan lokasi salah satu perang yang diikuti Nabi Muhammad Saw. dan diuraikan cukup terinci di dalam Al-Quran. Perang ini dipicu oleh kekalahan telak kaum musyrik Quraisy dalam Perang Badar yang terjadi pada Selasa, 17 Ramadhan 2 H/13 Maret 623 M. Karena itu, mereka bertekad untuk melancarkan pembalasan. Mereka pun menyiapkan perbekalan yang cukup dan pasukan dengan senjata yang lengkap yang berjumlah tidak kurang ari 3.000 orang, di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Pasukan ini mendapat bantuan dari beberapa kabilah Arab lain, seperti Arab Kinanah dan Tihamah.

Pada pertengahan Sya‘ban 3 H/Februari 625 M, pasukan kaum musyrik Quraisy tersebut berangkat menuju Madinah. Semula kaum Muslim tidak mengetahui persiapan pasukan itu. Nabi Muhammad Saw. sendiri baru memeroleh berita, hanya dua atau tiga hari sebelum pasukan musuh tiba di Uhud, dari Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, pamanda beliau yang kala itu telah memeluk Islam namun masih menetap di Makkah. Setelah beliau mendengar gerakan pasukan tersebut, beliau pun keluar kota disertai pasukan dengan kekuatan 1.000 orang untuk menyongsong pasukan musuh. Tetapi baru saja beliau berangkat, sekelompok kaum munafik yang dipimpin ‘Abdullah bin Ubai yang jumlahnya hampir sepertiga pasukan itu membelot. Meski demikian, pasukan yang tetap setia kepada beliau terus berangkat bersama beliau.

Di kaki Gunung Uhud yang terletak di sebelah timur laut Kota Nabi itu, bertemulah kedua pasukan yang bermusuhan itu pada Sabtu, 15 Syawwal 3 H yang bertepatan dengan 30 Maret 625 M. Pihak Makkah mula-mula mengalami kekalahan besar, meski jumlah tentara dan persenjataan mereka yang jauh lebih besar. Namun, pasukan panah kaum Muslim, yang oleh Nabi Saw. disiagakan di atas bukit untuk melindungi sayap pasukannya, meninggalkan kedudukan mereka, mengabaikan instruksi yang tegas dari Nabi Saw., dan terjun ke dalam kancah pertempuran karena khawatir akan tidak diperhitungkan dalam pembagian rampasan perang. Karenanya pasukan Makkah menyerang sayap pasukan kaum Muslim yang terbuka. Sehingga, pasukan kaum Muslim pun menjadi porak-poranda dan mengalami kehancuran besar. Kemudian setelah itu pasukan kaum Muslim bangkit kembali dari kekalahan mereka. Tapi, pasukan Makkah telah meninggalkan medan pertempuran dan kembali pulang.

Dalam perang ini pihak pasukan lawan kehilangan 23 orang anggotanya. Sedangkan pasukan kaum Muslim menderita kerugian yang tidak sedikit dan 70 orang kaum Muslim gugur sebagai syuhadak dalam perang ini. Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, pamanda Nabi Saw., termasuk yang gugur dalam perang ini. Sedang Nabi Saw. sendiri mengalami luka-luka, sehingga gigi beliau patah dan wajah beliau berlumuran darah.

Dalam perang ini sendiri, pada mulanya tak seorang Muslimah pun diizinkan ikut berperang. Tapi Nasibah binti Ka‘b bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzul bin Ghanam, seorang perempuan Khazraj, merasa ia harus berada bersama pasukan kaum Muslim. Suaminya, Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr, dan dua putranya, ‘Abdullah dan Habib, ada di sana. ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, istri Nabi Saw., dan Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah Al-Anshari, memiliki gagasan yang sama dan datang pula membawa kantung air, tak lama selepas kedatangan Nasibah. “Ketika itu, saya melihat ‘A’isyah dan Ummu Sulaim mondar-mandir mengangkut air minum di dalam kantung kulit untuk pasukan kaum Muslim. Keduanya menyingsingkan lengan baju dan saya melihat perhiasan di bagian kaki mereka. Keduanya mengangkut kantung kulit itu di punggung mereka, lalu mereka memberi minum pasukan kaum Muslim yang terluka,” kenang Abu Thalhah Al-Anshari tentang peran kedua perempuan tersebut dalam Perang Uhud tersebut.

Perang di Gunung Uhud tersebut sangat membekas dalam hati Nabi Saw. hingga akhir hayat beliau. Ini karena di Gunung Uhud itu lah beliau berpisah selamanya dengan para sahabat yang amat dihormati dan paling dekat dengan beliau. Demi perjuangan di jalan Allah Swt, mereka meninggalkan sanak kerabat dan handai tolan, rela hidup terpencil sebelum dan selepas hijrah. Tapi, kini, mereka berbaring di peristirahatan terakhir di Uhud, sebagaimana takdir telah menggariskan. Kenangan terhadap mereka begitu kuat dalam benak Nabi Saw. Karena itu, sekembalinya dari berziarah ke kuburan mereka menjelang akhir hayat beliau, beliau berucap di atas mimbar, “Aku kelak akan berdiri di depan kalian sebagai saksi atas kalian. Tempat bertemu yang dijanjikan bagi kalian adalah surga. Dari tempatku berdiri saat ini, aku melihat surga itu.”

Baqi' Al-Gharqad: Makam Utama di Kota Nabi

Saat itu malam telah menapaki separoh perjalanannya. Pada malam itu sendiri Rasulullah Saw. sedang berada di rumah ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq. Mengira sang istri tercinta telah tidur pulas, tiba-tiba beliau mengambil jubahnya dan mengenakan kedua sandalnya pelan-pelan, lalu membuka pintu dan kemudian keluar pelan-pelan. Melihat hal itu, sang istri tercinta, yang ternyata belum tidur, dengan diam-diam bangun karena merasa cemburu jangan-jangan beliau akan pergi ke rumah istri beliau yang lain, keluar rumah, dan mengikuti jejak langkah beliau yang sedang menapakkan kaki menuju Makam Baqi‘.

Setibanya di makam tersebut, Rasulullah Saw berdiri lama. Lalu, beliau berdoa dengan mengangkat kedua tangannya tiga kali. Ketika beliau membalikkan tubuh dan mulai menapakkan kaki menuju ke arah rumah, ‘A’isyah pun kembali dan mendahului beliau. Dan, begitu beliau kembali ke rumah, ‘A’isyah pun “menginterogasi” beliau, mengapa larut malam begitu pergi ke Makam Baqi‘.

“‘A’isyah!” jawab Rasulullah Saw. “Sesungguhnya Jibrîl a.s. datang kepadaku ketika engkau melihatku tadi. Dia lalu memanggilku dengan suara pelan, agar tidak engkau ketahui. Maka, aku menjawab dengan suara pelan agar tidak engkau ketahui. Dia tidak mau masuk ke dalam rumah, karena engkau melepas pakaianmu. Kukira engkau telah tidur pulas, sehingga aku tidak ingin membangunkanmu dan aku khawatir engkau terkejut. Jibrîl mengatakan kepadaku bahwa Allah Swt. menyuruhku untuk mendatangi penghuni Makam Baqi‘ dan memohonkan ampunan bagi mereka.”
“Bagaimana semestinya yang harus kuucapkan kepada mereka, wahai Rasul?” tanya ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq.
“Ucapkanlah, ‘Semoga keselamatan tetap dilimpahkan kepada penghuni makam, kaum mukmin dan muslim. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang yang selepas kami. Dan jika Allah menghendaki, maka sungguh kami akan menyusul kalian.’” jawab Rasulullah Saw..

Rasulullah Saw., terutama tahun terahir menjelang beliau berpulang pada 11 H/632 M, memang acap berziarah makam yang terletak di sebelah tenggara Masjid Nabawi: Makam Baqi‘ Al-Gharqad. Nama Baqi‘ diambil dari nama akar tetumbuhan yang ttumbuh di makam itu. Sedangkan Al-Gharqad adalah sejenis pohon berduri yang juga banyak terdapat di makam itu. Selain acap mengunjungi makam itu, beliau juga pernah menyatakan, barang siapa berpulang di Madinah dan dikebumikan di makan itu, beliau akan memberi syafaat kepadanya.

Menurut catatan sejarah, orang yang pertama dimakamkan di sini adalah ‘Utsman bin Mazh‘un, seorang sahabat dari kalangan Muhajirun yang terkenal salah dan hidup sederhana, yang meninggal dunia pada 5 H/626 M. Sedangkan Ibrahim, putra pasangan suami-istri Rasul Saw. dan Mariyah al-Qibthiyyah yang berasal dari Mesir, adalah orang kedua yang dimakamkan di sini. Di makam ini pula terdapat makam para istri Rasul Saw.: ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, Saudah binti Zam‘ah, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Salamah binti Abu Umayyah, Juwairiyah binti Al-Harits, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, dan Shafiyyah binti Huyai. Sedangkan keluarga beliau yang dikebumikan di sini, selain putra-putri beliau, antara lain Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, Al-Hasan bin ‘Ali, dan ‘Ali Zain Al-‘Abidin. Sementara di antara para sahabat yang dimakamkan di sini ialah ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin Mas‘ud, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘d bin Abu Waqqash. Di antara Imam empat mazhab, hanya Malik bin Anas yang dimakamkan di sini.

Sejak masa pemerintahan Dinasti Umawiyyah dengan pusat pemerintahan di Damaskus, Suriah, makam ini telah mengalami beberapa kali perbaikan dan perluasan. Namun, kemudian seluruh bangunan yang berada di atas makam ini dirubuhkan dan dibersihkan oleh Keluarga Sa‘ud yang mendirikan Kerajaan Arab Saudi. Selama di bawah pemerintahan keluarga tersebut, hingga dewasa ini, Makam Baqi‘ Al-Gharqad telah mengalami perluasan dua kali. Perluasan yang pertama dilakukan di masa pemerintahan Raja Faisal bin ‘Abdul ‘Aziz. Sedangkan perluasan kedua dilakukan di masa pemerintahan Raja Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz. Sehingga, kini, makam yang kini dikitari dinding setinggi empat meter itu memiliki luas 174.962 meter persegi.

Masjid Nabawi: Masjid yang Tak Lagi Mengunci Diri

Masjid Nabawi, sebuah masjid di jantung Kota Madinah, tentu Anda mengenalnya. Masjid ini, ketika pertama kali berdiri, tentu tak seindah dan semegah dewasa ini. Kala itu, masjid ini hanya memiliki luas sekitar 4.200 kaki. Masjid yang pembangunannya dimulai pada Rabi‘ Al-Awwal 1 H/September 622 M ini didirikan di atas lahan yang dibeli dari dua anak yatim, Sahl dan Suhail. Lantas, pada 7 H/628-629 M Nabi Muhammad Saw. memperluas masjid ini menjadi 10.000 kaki. Perluasan selanjutnya, pada 17 H/638 M, yang dilakukan ‘Umar bin Al-Khaththab, membuat masjid ini menjadi seluas 11.400 kaki. Pada 29 H/649 M masjid ini kembali diperluas untuk keempat kalinya oleh ‘Utsman bin ‘Affan. Sehingga, luas masjid ini mendapat tambahan 496 meter persegi.

Pada tahun-tahun 88-91 H/706-709 M Al-Walid bin ‘Abdul Malik, penguasa ke-6 Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah memerintahkan perluasan dan pemugaran masjid ini, di bawah pengawasan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Gubernur Madinah kala itu. Pada masa inilah masjid ini mulai dihiasi dengan mosaik, pualam, dan emas. Kemudian pada 160 H/778 M, pada masa pemerintahan Al-Mahdi, penguasa ke-3 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak, sayap utara masjid ini mengalami perluasan sampai 2.450 meter persegi. Untuk perluasan ini terpaksa dilakukan penggusuran sejumlah rumah para sahabat Nabi Saw.

Akibat musibah kebakaran yang menimpa masjid ini pada 654 H/1256 M, Sultan Al-Zhahir Baibars I Al-Bunduqdari dari Dinasti Mamluk di Mesir (memerintah antara 659-676 M/1260-1277 M) memerintahkan pemugaran masjid ini. Musibah serupa menimpa dan terjadi lagi pada abad 9 H/15 M. Pemugaran kali ini dilakukan Sultan Al-Asyraf Saif Al-Din Qait-Bey, penguasa Mesir dari Dinasti Mamluk Burji (memerintah antara 873-902 H/1468-1496 M). Kemudian, kala kekuasaan di Mesir beralih ke tangan Dinasti Usmaniyyah, sejak masa pemerintahan Sultan Salim I, Masjid Nabawi dipugar dan perbarui kembali oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni ketika ia melakukan pemugaran atas Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi pada 940 H/1529 M. Sebagian besar pembaruan yang dilakukan Sultan Sulaiman tersebut masih bisa didapatkan jejaknya di Pintu (Bab) Al-Salam yang menjadi bagian muka bagian barat masjid ini. Di sisi lain, mimbar yang dihadiahkan sang sultan pada Masjid Nabawi merupakan salah satu bukti kepiawaian kaum Muslim di bidang ukir-ukiran.

Masjid Nabawi, dalam perjalanan waktu selanjutnya, diperbaiki kembali pada 994 H/1533 M, 1127 H/1715 M, dan 1196 H/1782 M. Selain diperbaiki, masjid tersebut memiliki mihrab baru yang dibuat dari marmer berwarna. Di atas mihrab tersebut terdapat sebuah kubah kecil nan indah. Di sisi lain, para penguasa Mesir, Turki, dan India serta sejumlah besar orang-orang saleh menyerahkan pelbagai hadiah yang hingga kini masih menjadi harta kekayaan masjid tersebut. Di antara hadiah-hadiah tersebut, yang paling mahal adalah bintang-bintang sabit emas yang berhiaskan intan berlian. Pada setiap bintang sabit tersebut terdapat sebuah bintang emas yang berkilau. Di antara intan berlian tersebut terdapat kepingan-kepingan berlian yang memiliki berat beberapa karat yang sangat mahal harganya. Semua harta kekayaan masjid tersebut tergantung di dalam Makam Nabi Muhammad Saw. dan Makam Fathimah Al-Zahra’.

Selanjutnya, pada 1266 H/1849 M, Muhammad ‘Ali, seorang penguasa Mesir, membangun kembali seluruh Masjid Nabawi. Pembangunan kali ini dilakukan oleh para insinyur Mesir di bawah pimpinan Halim Pasya, insinyur istana-istana khalifah di Istanbul. Sang arsitek didampingi Ibrahim Al-Mishri, seorang pakar bangunan terkemuka asal Mesir, dan Syukr Allah, seorang perancang terkemuka dari Turki. Pada pembangunan kali ini pula, di bawah pengawasan Ibrahim bin Muhammad ‘Ali, Raudhah Al-Khadhra’ yang ada dewasa ini dibangun. Dalam pembangunan raudhah tersebut, setiap batu lama, yang berasal dari masa pembangunan yang dilakukan oleh Sultan Baibars tetap digunakan.

Selepas itu, Sultan ‘Abdul Hamid I (meninggal pada 1277 H/1860 M) memplester seluruh dinding Masjid Nabawi dengan pualam berwarna merah bunga mawar dengan biaya yang amat besar. Tak aneh jika menjelang saat kewafatannya, kala berusia 39 tahun, sang sultan yang sedang gering di tempat tidur, menanyakan apakah pembangunan tersebut telah usai atau belum. Konon, ketika disampaikan kepada sang sultan bahwa pembangunan telah rampung, tidak lama kemudian sang sultan berpulang. Karena seluruh dinding masjid tersebut berlapiskan pualam berwarna merah bunga mawar, tak aneh jika kala itu masjid tersebut juga mendapat sebutan Masjid Merah Bunga Mawar (Al-Masjid Al-Wardî). Bangunan Masjid Nabawi yang didirikan oleh para penguasa Dinasti Mamluk dan Usmaniyyah tetap dapat disaksikan hingga dewasa ini, di luar perluasan besar-besaran yang dilaksanakan oleh Keluarga Saud.

Lewat perluasan terakhir tersebut oleh Kerajaan Arab Saudi, masjid ini menjadi memiliki ruang shalat sekitar 160.000 meter persegi dan mampu menampung sekitar 300.000 jamaah. Selain itu, halaman masjid mampu menampung sekitar 430.000 jamaah. Dan, yang paling menggembirakan, mulai musim haji 1428 H/2007 M, masjid ini dibuka selama 24 jam penuh. Selain itu, bagi kaum perempuan juga diberi kesempatan memasuki Raudhah selepas isya. Sebelumnya, kaum perempuan hanya diberi kesempatan berziarah ke Makam Rasul Saw. dan Raudhah pada pukul 07.00-11 pagi dan 13.30-15.00 sore!

Masjid Quba': Masjid yang Dikunjungi Rasul Saw. Setiap Sabtu

Di Makkah, Madinah, dan kawasan di antara kedua kota tersebut banyak terdapat masjid. Sebagian besar nama yang dikenakan pada masjid-masjid tersebut sejatinya kurang tepat. Dalam sejarah, misalnya, tidak dikenal adanya Masjid Abu Bakar Al-Shiddiq, Masjid ‘Umar bin Al-Khaththab, Masjid ‘Utsman bin ‘Affan, maupun Masjid ‘Ali bin Abu Thalib. Demikian halnya tiada bukti apa pun yang menguatkan bahwa seseorang telah mendirikan sebuah masjid di ‘Aqabah, tempat Rasulullah Saw. bertemu dengan beberapa orang dari kaum Anshar dua tahun dan setahun sebelum kehijrahan beliau ke Madinah, sebuah awal perluasan yang sangat menentukan dalam sejarah Islam. Demikian halnya pula tiada catatan yang menguatkan adanya sebuah masjid di lokasi pohon yang menjadi tempat dilaksanakannya Sumpah Kesetiaan Al-Ridhwan (Bai‘ah Al-Ridhwân) pada 6 H. Malah, berdasarkan catatan sejarah yang ada, kala ‘Umar bin Al-Khaththab menjabat khalifah, ia mencari pohon tersebut. Ternyata, pohon tersebut sudah tiada lagi.

Namun, masjid-masjid tersebut, meski penampilannya sederhana, tampak indah dan menawan serta dihiasi dengan keindahan ketakwaan dan cinta kepada Allah Swt. Sebagian besar masjid-masjid tersebut didirikan oleh para penguasa dan pangeran dan Dinasti Mamluk dan Usmaniyyah serta para dermawan Hijaz. Mengenai usia masjid-masjid tersebut, sulit dipastikan secara tepat. Meski demikian, masjid-masjid tersebut merupakan masjid-masjid agung, karena tegak di Tanah Suci. Di antara masjid-masjid tersebut, Masjid Quba’ menempati posisi yang unik.

Seperti diketahui, Rasulullah Saw. mendirikan masjid terakhir tersebut begitu beliau tiba di Quba’ pada Jumat, 8 Rabi‘ Al-Awwal 1 H atau 23 Juli 622 M. Ketika itu, Quba’ merupakan sebuah kawasan pinggiran Yatsrib dan terletak sekitar tiga kilometer di sebelah selatannya. Masjid tersebut merupakan masjid yang pertama kali didirikan dalam sejarah Islam. Dan masjid tersebut, sejak awal pendiriannya, seperti dikemukakan dalam Al-Quran, merupakan masjid yang didirikan di atas ketakwaan. Lahan untuk masjid itu, kala dibangun pertama kali, merupakan sumbangan dari keluarga Kultsum bin Hidm. Beliau meninggalkan kota itu empat hari kemudian, yakni 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H. Inilah hari bermulanya kalender Hijriyah. Dan, selepas bermukim di Madinah dan ketika tidak sedang keluar kota, beliau senantiasa menyempatkan diri mengunjungi Masjid Quba’.

Masjid sederhana yang terdiri dari satu ruangan bersegi empat dengan serambi yang diberi atap di bagian mihrab itu, di masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan, diperbaiki karena rusak berat. Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi Gubernur Madinah, di masa pemerintahan Al-Walid bin ‘Abdul Malik (penguasa ke-7 Dinasti Umawiyyah di Suriah), ia memugar kembali masjid ini, di samping melengkapinya dengan sebuah menara. Sederet perbaikan, pemugaran, dan perluasan selanjutnya terus dilaksanakan oleh para penguasa Muslim. Antara lain oleh Sultan Al-Asyraf Saif Al-Din Qait-Bey dari Dinasti Mamluk. Pada 888 H/1580 M, masjid tersebut dibangun kembali seluruhnya dan dilengkapi dengan sebuah mimbar baru dari pualam. Mimbar tersebut kemudian diganti dengan mimbar (terkenal dengan sebutan Mimbar Masjid Raya) yang dihadiahkan sang sultan pada Masjid Nabawi ketika Sultan Murad III, penguasa ke-13 Dinasti Usmaniyyah di Turki, menghadiahkan sebuah mimbar indah pada Masjid Nabawi.

Adapun menara Masjid Quba’ dewasa ini berasal dari masa pemerintahan Dinasti Usmaniyyah di Turki. Kemungkinan besar menara tersebut dibuat pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II, tepatnya pada 1245 H/1825 M. Pembangunan menara tersebut dilakukan di bawah pimpinan Muhammad ‘Ali, gubernur Mesir kala itu, dan para insinyur dan tukang batu dari Mesir. Pembangunan tersebut baru rampung pada masa pemerintahan putra sang sultan: ‘Abdul Majid. Sedang pendapat yang menyatakan bahwa bangunan kecil yang terdapat dalam shahn merupakan lokasi pemberhentian unta Rasulullah saw ketika pertama kali memasuki Madinah adalah tidak benar.

Masjid Quba’ dewasa ini, selepas dipugar dan diperluas oleh Raja Faisal bin Abdul ‘Aziz pada 1388 H/1968 M dan dipugar dan diperluas lagi oleh Raja Fahd bin Abdul ‘Aziz pada 1405 H/1985 M, tetap memelihara karakteristik kesederhanaan yang menjadi corak masjid-masjid generasi pertama. Bentuknya yang ada dewasa ini merupakan bentuk masjid tersebut ketika diperbarui oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Dan, bila Anda berziarah ke Madinah, usahakanlah berziarah juga berziarah ke Masjid Quba’ yang senantiasa dikunjungi Rasul Saw. setiap hari Sabtu itu!

Sunday, November 25, 2007

Sumur Zamzam: Kenangan Sepanjang Jalan

Sebuah sumur yang terdapat dalam lingkungan Masjid Al-Haram, Makkah dan terletak di sebelah tenggara bangunan Ka‘bah ini sejatinya tidak dikemukakan di dalam Al-Quran. Tapi, kisahnya dikaitkan dengan perjalanan hidup Ibrahim a.s. yang hidup sekitar 4000 tahun yang silam. Kala itu, sumur ini masih menjadi bagian dari padang pasir nan gersang dan tandus, bukti bahwa tempat tersebut tidak pernah dihuni. Lalu Ibrahim a.s. dan istrinya, Hajar, dan putranya, Isma‘il a.s., datang dan bermukim di tempat itu untuk memenuhi perintah Allah Swt.

Pada saat Ibrahim a.s. sedang pergi beberapa lama, persediaan makanan dan minuman habis. Malah, air susu Hajar pun mengering. Hidup sang ibunda dan putranya itu terancam haus dan lapar. Hajar lantas berupaya mencari air dengan lari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah. Dan, selepas berjalan dan berlari tujuh kali di antara kedua bukit itu, akhirnya Hajar menemukan sebuah sumur di lokasi yang tidak jauh dari lokasi Ka‘bah dewasa ini.

Melihat adanya sumur di padang gersang itu, segera sebuah keluarga dari suku Jurhum, sebuah suku Arab yang menurunkan suku-suku yang berkuasa di Makkah, menetap di sekitar sumur ini. Para sejarawan membagi suku ini menjadi dua kelompok, Jurhum pertama dan Jurhum kedua. Kelompok Jurhum pertama, yang menurunkan kaum ‘Ad dan Tsamud, telah punah. Semula kaum ‘Ad, anak keturunan ‘Ad bin ‘Aus bin Aram bin Sam bin Nuh as, tinggal di padang pasir besar Al-Ahqaf dan mendiami jazirah yang luas, yang membentang dari Teluk Oman sampai Hadhramaut dan Yaman di ujung selatan. Sedangkan anak keturunan Tsamud bin Katsir bin Aram bin Sam bin Nuh a.s. mendiami Arab Shubr, kemudian mereka terusir dari kawasan itu dan menetap di Al-Hijr di perbatasan Suriah. Sementara kelompok Jurhum kedua adalah sebuah suku yang menetap di Yaman, kemudian pindah ke Makkah tidak lama setelah Hajar, istri menetap di sana. Merekalah yang memelihara Ka‘bah sampai digantikan oleh suku Khuza‘ah. Suku terakhir ini berkesempatan memelihara Rumah Suci tersebut selama tiga abad. Selanjutnya pemeliharaan Ka‘bah jatuh ke tangan suku Quraisy.

Dengan bergulirnya waktu, wilayah di sekitar sumur ini pun semakin dihuni banyak orang. Namun, ketika kesucian Ka‘bah mulai tercemari, air mata Zamzam pun ikut mengering dan sumurnya kemudian ditutup. Akibatnya, selama sekitar tiga abad sumur ini “tak termanfaatkan”. Sumur ini baru “ditemukan kembali” oleh ‘Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad Saw. Sejak itu, hingga kini, sumur yang memiliki kedalaman sekitar 100 meter ini tetap menyajikan airnya bagi jamaah haji.

Dahulu, air Zamzam ini ditimba dari sumur dengan menggunakan timba kulit khusus. Kemudian air itu dimasukkan ke dalam bak air besar, lalu dibagi-bagikan kepada para pemakainya. Namun kemudian, tepatnya pada 1373 H/1953 M, dibangun pompa air. Pompa yang dapat memompa air antara 11 sampai 18.5 liter air/detik ini menyalurkan air dari sumur ke bak penampungan air, termasuk kran-kran yang ada di sekitar sumur Zamzam.

Dewasa ini, ada tiga tahapan dalam pembagian air itu. Pertama, air dipompa dari sumur dengan menggunakan pompa otomatis berukuran besar dan dialirkan ke stasiun pendinginan di luar Masjid Al-Haram di depan Pintu Al-Fath. Stasiun ini juga memiliki sistem pengaturan udara untuk wilayah Zamzam. Di sini, air dilewatkan melalui penyaring khusus untuk pemurnian. Malah, dilakukan sterilisasi dengan sinar ultra violet. Kedua, air dilewatkan melalui tanki pendingin, sehingga suhu air bisa diatur menurut keperluan. Ketiga, air dipompakan ke Masjid Al-Haram melalui pipa baja yang dilapisi dengan bahan pencegah aliran pembuangan panas. Bahan pelapis itu ditempatkan di Al-Mas‘a di luar Pintu Quraisy, Pintu ‘Arafah, dan Pintu Mina. Selain itu, sebuah laboratorium khusus dibangun untuk mengalisa air Zamzam setiap harinya. Dengan cara seperti itu, air Zamzam dapat dipastikan kebersihannya.

Kini, atas berbagai pertimbangan, antara lain untuk memperluas tempat pelaksanaan tawaf, Sumur Zamzam ditutup. Sehingga, tak aneh bila sering dikakatakan, yang disebut Sumur Zamzam di lingkungan Masjid Al-Haram kini bukan lagi Sumur Zamzam, tapi Keran-Keran Zamzam!

Pintu Ka'bah: Pintu Berlapis Emas ala Makkah

Ketika jamaah umrah atau haji sedang bertawaf di seputar Ka‘bah, selepas melintasi sudut Hajar Aswad dan melintasi Multazam, mereka tentu melintasi sebuah pintu keemasan yang “menggantung” di Ka‘bah. Itulah Pintu Ka‘bah. Untuk memasuki Rumah Allah, orang harus memasukinya lewat pintu yang dengan panjang 3.10 m, lebar 1.90 m, kedalaman 2.25 m itu. Sedangkan jaraknya dari permukaan tanah setinggi 2.25 m.

Ka‘bah, ketika pertama kali dibangun Ibrahim a.s., memiliki dua pintu: Pintu Timur dan Pintu Barat. Kedua-duanya menyentuh tanah. Pintu Timur sebagai pintu masuk, sedangkan Pintu Barat sebagai, pintu keluar. Tapi, Pintu Barat (kini disebut Pintu Tobat dan terletak di dekat tangga di dalam Ka‘bah) kemudian ditutup, ketika kaum Quraisy memugar Ka‘bah sebelum Muhammad Saw. diangkat sebagai Nabi. Sedangkan Pintu Timur ditinggikan dari permukaan tanah dan dan daun pintunya dibuat dua.

“Mengapa pintu Ka‘bah itu ditinggikan, wahai Rasul?” tanya ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq kepada suami tercinta, Rasulullah Saw., ketika mereka berdua sedang tawaf. Jawab beliau, “‘A’isyah! Kaummulah yang melakukannya. Hal itu dengan tujuan agar mereka dapat memasukkan orang-orang yang mereka kehendaki dan melarang orang-orang yang tidak mereka kehendaki. Andai saja saya tidak khawatir hati kaummu akan menyimpang, karena baru saja keluar dari zaman jahiliah, saya tentu akan membuatkan tembok di dalam Ka‘bah itu dan membuat pintunya menyentuh tanah.”

Kedua pintu Ka‘bah, dari waktu ke waktu, senantiasa dipercantik. Perbaikan terakhir dilakukan oleh Raja Khalid bin ‘Abdul ‘Aziz (alm.). Sang raja memerintahkan, agar Pintu Ka‘bah dan Pintu Tobat diperbaiki dan dipercantik dengan dilapisi emas. Proyek yang baru selesai pada 1399 H/1979 M itu menghabiskan dana sebesar 13.420.000,- riyal, tidak termasuk emas seberat 280 kg. Struktur kedua pintu dibuat dari kayu setebal 10 cm. Kedua pintu itu kemudian dihiasi dengan ornamen-ornamen dari emas murni. Ornamen-ornamen yang berupa kaligrafi ayat-ayat Al-Quran itu dimaksudkan untuk mengingatkan kaum Muslim yang berada di depannya bahwa mereka kini berada di depan pintu Rumah Allah Yang Mahapengampun, Mahapemurah, dan Maha Penyayang.

Kaligrafi Arab apa yang menghiasi Pintu Ka‘bah? Di kedua ujung atas Pintu Ka‘bah tertulis Allâh Jalla Jalâluh dan Muhammad Saw. Selain itu, di pintu itu tertulis ayat-ayat Al-Quran: Bismillâhirrahmanirahîm dan Lâ ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh. Sedangkan di tombol pintu tertulis Allâhu Akbar, dan di bawah gembok tertera Surah Al-Fatihah dan di bawahnya tertulis (dalam bahasa Arab yang artinya), “Pintu lama ini dibuat di masa Pelayan Dua Tanah Suci, Raja ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman Al-Sa‘ud di tahun 1363 H”. Dan di bawahnya lagi terdapat tulisan (juga dalam bahasa Arab), “Pintu ini dibuat di masa Pelayan Dua Tanah Suci, Raja Khalid bin ‘Abdul ‘Aziz di tahun 1399 H”. Dan, di bagian sisi-sisinya, tertulis 15 nama-nama indah Allah Swt.

Seperti halnya pada umumnya pintu, Pintu Ka‘bah pun dilengkapi dengan kunci dan gembok. Kunci itu mempunyai panjang 40 cm dan disimpan dalam tas yang dibuat dari sutra yang dihias dengan emas murni dan dibuat oleh pabrik kiswah di Makkah. Sedangkan gembok pintu yang satu ini dibuat pada tahun 1399 H/1979 H, mengikuti gembok lama yang dibuat atas perintah Sultan ‘Abdul Hamid II, seorang penguasa Turki, pada 1309 H/1901 M, dengan beberapa rancangan khusus yang sesuai dengan bentuk pintu baru. Gembok itu memiliki panjang 34 cm dengan lebar setiap sisinya 6 cm. Selain itu, Pintu Ka‘bah juga diselimuti kiswah. Kiswah yang satu ini, disebut Al-Barqa’, memiliki tinggi 6.32 m dan lebar 3.30 m. Seperti halnya kiswah Ka‘bah, kiswah Pintu Ka‘bah kini juga dibuat di Makkah. Karena itu, tak aneh jika di bagian paling bawah kiswah tertulis (dalam bahasa Arab tentu saja), “Penutup ini dibuat di Makkah Al-Mukarramah dan Raja ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz menghadiahkannya kepada Ka‘bah. Kiranya Allah menerimanya”.

Kiswah: "Busana" Ka'bah nan Indah

Kiswah, seperti diketahui, adalah “busana” yang menyelimuti bangunan Ka‘bah di Makkah. Konon, yang pertama-tama menyiapkannya adalah oleh Raja Himyar, Yaman, As‘ad Abu Karb Al-Humairi. Saat itu kiswah dibuat dari kulit. Tapi, dengan bergulirnya sang waktu, kiswah kemudian dibuat dari kain qibâthî, sejenis kain yang dibuat orang Koptik di Mesir. Selepas itu, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, pendiri Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah mengggantinya dengan yang kiswah yang dibuat dari kain dîbâj, sejenis sutra halus dan mengkilat, tiruan dari sutra Cina. Selain itu, kiswah yang semula terdiri dari satu lapis kain kemudian dibuat terdiri dari dua lapis kain. Kiswah ini kemudian diganti oleh Hisyam bin ‘Abdul Malik (memerintah antara 105-125 H/724-743 M), penguasa ke-10 Dinasti Umawiyyah tersebut, dengan sutra tebal.

Ketika Dunia Islam berada di bawah kendali Dinasti ‘Abbasiyyah dengan pusat pemerintahannya di Baghdad, Irak, Al-Mahdi, penguasa ke-4 dinasti tersebut, memerintahkan agar kiswah dibuat dari sutra khuz. Kala itu, kiswah didatangkan dari Mesir dan Yaman. Di masa ini pula, kiswah mulai dibuat terdiri dari tiga lapis dan berwarna hitam. Namun, ketika Dinasti Fathimiyyah berkuasa di Mesir, kiswah dibuat dari sutra berwarna putih, sesuai dengan lambang dinasti itu, dan disulami dengan benang emas yang diperciki wewangian. Kemudian, ketika Sultan Zhahir Al-Din Baibars dari Dinasti Mamluk berkuasa, ia mengganti warna kiswah menjadi hitam kembali hingga dewasa ini. Selepas itu, ketika Raja Shalih Isma‘il Qalawun (seorang penguasa dari Dinasti Mamluk di Mesir) berkuasa, ia membuka tiga perkampungan baru khusus untuk keperluan pembuatan kiswah. Untuk maksud yang sama, pada 947 H/1519 M, Sultan Salim dari Dinasti Usmaniyyah dari Turki, memperluas perkampungan itu menjadi tujuh perkampungan. Malah, di masa pemerintahan Muhammad ‘Ali Pasha, dibuka Departemen Khusus Urusan Kiswah. Sehingga, Mesir selama berabad-abad menjadi pemasok kiswah Ka‘bah.

Kiswah mulai dibuat di Arab Saudi ketika Raja ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan agar kiswah dibuat di Makkah. Pabrik kiswah di Arab Saudi itu pertama kali berproduksi pada 1346 H/1927 M. Sejak itu, Ka‘bah diselimuti dengan kiswah made in Arab Saudi. Tapi, pada tahun-tahun 1355-1381 H/1936-1962 M, kiswah kembali dipasok dari Mesir. Selepas itu, pemerintah Kerajaan Arab Saudi membuka dan mengaktifkan kembali pabrik kiswah lama hingga dibangunnya pabrik kiswah baru pada 1392 H/1972 M. Dengan diresmikannya pabrik baru kiswah di Makkah pada 1397 H/1977 M, sejak itu pabrik itulah yang memproduksi kiswah Ka‘bah dan menghiasinya dengan sulaman kaligrafi dari benang perak yang disepuh emas, kiswah bagian dalam Ka‘bah, dan kiswah pembungkus kamar Nabi Muhammad Saw. di Madinah.

Kiswah Ka‘bah sendiri sejatinya terdiri dari lima potong. Empat potong untuk menyelimuti sisi-sisi Ka‘bah sesuai dengan ukuran masing-masing sisi, dan sepotong lagi untuk menyelimuti pintunya. Di sepertiga bagian atas kiswah terdapat sabuk dengan panjang 45 meter dan lebar 90 sentimeter. Sabuk itu dihiasi ayat-ayat Al-Quran bergaya Tsulutsi yang dikitari ornamen-ornamen bersulam timbul dari benang perak yang disepuh emas. Sabuk itu dimaksudkan untuk membuat Ka‘bah yang diselimuti kiswah menjadi tampak semakin indah.

Di setiap sisi Ka‘bah, tepat di bawah sabuk kiswah tersebut, terdapat dua ornamen berbentuk kotak persegi panjang dan tiga berbentuk seperti lampu gantung. Kecuali di sisi pintu Multazam, karena di atasnya terdapat ornamen yang lebih besar sebagai persembahan. Di ornamen terakhir ini tertera tulisan (dalam bahasa Arab tentu saja), “Kiswah ini dibuat di Makkah Al-Mukarramah, dan Pelayan Dua Tanah Suci Raja ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz dari keluarga Sa‘ud menghadiahkannya kepada Ka‘bah Al-Musyarrafah. Kiranya Allah menerimanya.” Selain itu, di setiap sudut Ka‘bah juga terdapat ornamen berbentuk segi empat yang disebut Al-Shamadiyyah. Ini karena di ornamen yang luasnya 82 x 85 sentimeter itu tertulis Surah Al-Ikhlash.

Nah, kapan kiswah Ka‘bah diganti? Setiap tahun, pergantian kiswah Ka‘bah dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah, ketika jamaah haji sedang melakukan wukuf di Padang ‘Arafah. Sehingga, pada setiap Hari Idul Adhha, Ka‘bah berkiswah baru!

Sekali Lagi tentang Masjid Al-Haram

Masjid Al-Haram, sebuah masjid yang terletak di jantung Kota Makkah, tentu tak asing bagi setiap Muslim. Pada masa Nabi Muhammad Saw., masjid ini berbentuk Ka‘bah dan ruang kosong yang dibatasi oleh rumah-rumah penduduk. Ketika ‘Umar bin Al-Khaththab menjabat khalifah, pada 17 H/638 M, ia membeli rumah-rumah itu dan membangun tembok setinggi orang. Perluasan serupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan dan pada 64 H/683 M oleh ‘Abdullah bin Al-Zubair. Pembangunan besar-besaran atas masjid ini baru dilakukan pada 75 H/694 M, pada masa pemerintahan ‘Abdul Malik bin Marwan. Pembangunan ini dilanjutkan oleh putranya, Al-Walid bin ‘Abdul Malik. Dengan pembangunan ini, masjid ini memiliki atap, tiang-tiangnya dibuat dari marmer, dinding-dindingnya dihiasi mosaik, dan pintu-pintunya dilapis emas dan tembaga. Lantas, ketika Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah, menjabat khalifah dan menunaikan ibadah haji, pada 158 H/775 M, masjid ini diperluas dua kali lipat, dilengkapi dengan menara, dan lantai Hijir Isma‘il dibuat dari marmer.

Pemugaran dan perluasan masjid ini terus dilakukan oleh sejumlah para penguasa Muslim. Misalnya, pemugaran yang dilakukan pada 802 H/1400 oleh Sultan Barquq dari Mesir, karena sebagian masjid ini tertimpa kebakaran, dan perbaikan yang dilakukan Sultan Qait-Bey pada 856 H/1453 M karena masjid ini disambar kilat. Perhatian para penguasa Dinasti Mamluk terhadap Masjid Al-Haram memang demikian besar. Sejak Ka‘bah dan Masjid Al-Haram dipugar sejak masa pemerintahan Sultan Al-Zhahir Baibars hingga masa pemerintahan Sultan Qalawun, para penguasa dinasti tersebut selalu menaruh perhatian besar terhadap Makkah dan Madinah. Pemugaran terakhir oleh para penguasa Mamluk atas Masjid Al-Haram dilakukan pada 868 H/1464 M. Selepas itu, tatkala kedua Tanah Suci tersebut beralih di bawah kekuasaan Dinasti Usmaniyyah dari Turki, pemeliharaan atas Masjid Al-Haram pun beralih ke tangan mereka. Upaya mereka, dalam hal tersebut, tidak hanya terbatas pada pemeliharaan saja. Di bawah pemerintahan Sultan Salim, dimulai upaya pembangunan kembali atas masjid tersebut. Namun, baru pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, atau Sulaiman Agung (926-973 H/1520-1565 M), dilakukan pembangunan kembali atas Ka‘bah dan Masjid Al-Haram. Bentuk kedua bangunan tersebut yang ada dewasa ini merupakan hasil dari pembangunan kembali tersebut.

Bentuk atau rancangan tersebut sejatinya merupakan hasil karya seorang arsitek terkemuka Dinasti Usmaniyyah kala itu, yaitu Sinan Pasha. Namun, sang arsitek tak sampai menyaksikan pelaksanaan proyeknya tersebut. Karena itu, proyek itu kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya: Mehmet Aga. Lewat proyek tersebut, luas komplek Masjid Al-Haram menjadi memiliki luas sekitar 200 x 200 meter = 40.000 meter persegi. Dalam pembangunan tersebut, bukaan-bukaan yang mengitari Masjid Al-Haram dibangun kembali. Tiang-tiang pualam lama dibuang dan digantikan dengan 892 tiang baru yang juga dari pualam. Di antara tiang-tiang tersebut, didirikan tiang dari batu pasir untuk menyangga bukaan-bukaan dan 500 kubah-kubah kecil yang dibuat dari batu. Kubah-kubah tersebut sebelumnya dibuat dari kayu. Dekorasi Masjid Al-Haram kala itu dibuat oleh ’Abdulllah Luthfi, seorang pelukis terkemuka Turki kala itu yang mewakili Aliran Usmaniyyah di bidang seni lukis.

Selepas itu, tepatnya pada 994 H/1586 M, dinding-dinding Masjid Al-Haram diselimuti pualam berwarna. Sedangkan lampu-lampu gantungnya diperbarui dan dilengkapi dengan lampu-lampu berbentuk kepala pohon kurma. Selain itu, masjid ini juga dibuatkan beberapa menara, yang terbesar berbentuk bulat mengikuti gaya Usmaniyyah dan memiliki tiga syurfah (balkon) untuk melantunkan azan. Di bawah menara terbesar tersebut, yang disebut Menara Khalifah, Sultan Sulaiman mendirikan sebuah madrasah untuk mempelajari fikih yang diberi nama Madrasah Sulaimaniyyah.

Pada awal abad ke-11 H/17 M bangunan Ka‘bah mulai rapuh. Melihat hal yang demikian itu, para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan meruntuhkan Ka‘bah agar dapat dibangun kembali. Mengenai hal tersebut, para ulama Istanbul membolehkannya. Sedangkan hakim Makkah kala itu, yang menganut Mazhab Syafi‘i, tidak membolehkannya dan harus dibiarkan hingga bangunan Ka‘bah itu runtuh dengan sendirinya. Di antara kedua pendapat tersebut tidak didapatkan titik temu. Kemudian, pada 1039 H/1629 M, banjir bandang menghajar Kota Makkah, sehingga membuat dua sudut Ka‘bah runtuh. Karena itu, tiada alasan lagi yang melarang untuk meruntuhkan seluruh bangunan Ka‘bah dan membangunnya kembali dengan meletakkan kembali Hajar Aswad di tempatnya semula.

Pembangunan kembali Ka‘bah kala itu dilaksanakan para arsitek dan ahli bangunan yang didatangkan dan Istanbul dan Kairo. Ketika tiba saat untuk meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya, para hakim dari empat mazhab, para insinyur, dan para pemuka pun melakukan seperti halnya apa yang dilakukan oleh para pemuka Makkah tatkala Ka‘bah dibangun kembali pada masa sebelum Nabi Muhammad Saw. diangkat sebagai Rasul: mereka meletakkan Hajar Aswad di atas selembar kain, kemudian mereka mengangkatnya bersama-sama dari seluruh pinggir kain tersebut. Dalam pembangunan kembali Ka‘bah kali ini, para arsitek memakai kembali batu-batu Ka‘bah yang ada sebelumnya. Ini karena, demikian dituturkan, batu-batu tersebut berasal dari masa Rasul saw. Selain itu, dalam membuat fondasi, mereka tetap memakai batu-batu basal hijau. Ini karena ada pendapat yang menyatakan, dari batu-batu jenis itulah Ibrahim a.s. dan Isma‘il a.s. membangun Ka‘bah. Fondasi tersebut, yang disebut syadzarwan, dilapis dengan pualam.

Di samping itu, mereka juga tetap memelihara tiang-tiang kayu yang menyangga atap Ka‘bah, setelah kayu-kayu tersebut mereka buang bagian-bagiannya yang telah rapuh dan mereka cat dengan adonan minyak zakfaron dan susu. Mereka juga mengembalikan sebuah pintu kecil, yang dibuat Sultan Sulaiman untuk Ka‘bah, ke tempatnya. Selain itu, mereka membuat sebuah pancuran baru dari emas yang dilapisi porselen biru. Mereka juga menghampari lantai bagian dalam Ka‘bah dengan tirai sutra hitam seperti halnya bagian luarnya. Tirai tersebut dibuat di Mesir dan didatangkan ke Makkah, sampai ke masa belum lama, dengan iring-iringan pasukan yang mengawalnya.

Bangunan tersebut tetap bertahan hingga awal abad ke-18 M. Pada abad tersebut Muhammad ‘Ali, membangun kembali seluruh Masjid Al-Haram. Pembangunan tersebut, tepatnya, dilakukan pada 1237 H/1821 M. Pembangunan kembali seluruh bangunan Masjid Al-Haram dimulai pada Februari 1958. Tepatnya pada masa pemerintahan Raja Sa‘ud bin ‘Abdul Aziz. Sejak awal, pembangunan itu di bawah pimpinan saudara sang raja: Faisal bin ‘Abdul ‘Aziz yang kala itu menjadi putra mahkota. Dengan pembangunan tersebut, Masjid Al-Haram menjadi memiliki bentuk baru yang sangat indah dan menawan. Kemudian, lewat pembangunan terakhir yang dilakukan oleh Raja Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz, Masjid Al-Haram kini memiliki ruang shalat seluas 76.000 meter persegi. Juga, semakin indah dan megah.

Saturday, November 24, 2007

Menapak Tilas Ibadah Haji Rasul Saw.

Tanggal 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 Zulhijjah merupakan hari-hari yang sangat ditunggu jamaah haji. Sebab, di hari-hari itu lah mereka berkumpul dan bergerak di tiga tempat yang menjadi pusat pelaksanaan ibadah haji di luar Masjid Al-Haram, Makkah. Ketiga tempat tersebut adalah ‘Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

‘Arafah, seperti diketahui, adalah padang yang menjadi tempat melaksanakan wukuf, sebagai salah satu rukun ibadah haji. Padang ini terletak sekitar 14 kilometer dari Makkah. Konon, di padang ini lah Adam a.s. dan Hawa’ bertemu selepas keduanya berpisah selama sekitar 100 tahun. Dulu, padang ini merupakan padang pasir tandus, kering, dan panas. Lokasi ini dikelilingi bukit berbatu tanpa air, tanpa kehidupan. Selain ini, menurut sejarah perjuangan Islam, padang ini acap dijadikan sebagai tempat pembuangan pejuang Islam yang tertangkap kaum musyrik Makkah. Pada umumnya mereka yang dibuang ke tempat ini tak bakal hidup lagi, karena di sekitarnya penuh bahaya, tanpa air dan makanan.

Wukuf di ‘Arafah sendiri, pada tanggal 9 Zulhijjah, sebagai salah satu rangkaian ibadah haji, merupakan inti atau puncak ibadah itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw., “Ibadah haji adalah (melaksanakan wukuf di) Arafah.” Wukuf sendiri bermakna berdiam diri, yakni berdiam diri untuk bermeditasi dan menengadah guna merenungkan eksistensi diri di hadapan Allah dan di hadapan makhluk alam semesta, kemudian melakukan transformasi rohaniah secara besar-besaran. Dengan kata lain, dengan melaksanakan wukuf di ‘Arafah tersebut, orang-orang yang melaksanakan ibadah haji diharapkan menjadi arif dan sadar akan eksistensi dirinya, dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pergi, sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, serta memanifestasikan dan kesadaran tersebut dalam bentuk tindakan konkret dalam kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakatnya.

Selepas melaksanakan wukuf di Padang ‘Arafah, jamaah haji akan bergerak menuju Muzdalifah, suatu tempat di mana mereka mengambil batu-batu kecil untuk melontar jamrah. Tempat ini terletak sekitar 9 kilometer di barat Arafah, di antara Arafah dan Mina. Keadaannya hampir sama dengan ‘Arafah, berupa padang pasir dan bukit-bukit batu gersang yang tak berpenghuni. Berhenti di sini untuk mabit merupakan salah satu syarat wajib ibadah haji. Pada waktu mabit di Muzdalifah ini lah, dalam perjalanan pulang dari Arafah menuju Makkah, Ibrahim a.s. bermimpi menerima perintah Allah Swt. untuk menyembelih putranya, Isma‘il a.s. Pada waktu Nabi Muhammad Saw. menunaikan ibadah haji, beliau melakukan shalat maghrib dan isya di Muzdalifah dengan jama‘ ta‘khir dan qashar, lalu mabit. Seusai melaksanakan shalat subuh, baru beliau berangkat ke Mina: sebuah lembah yang terletak sekitar tujuh kilometer sebelah timur Makkah.

Mina adalah tempat bagi jamaah haji melempar jamrah pertama, kedua, dan ‘Aqabah. Seperti diketahui, salah satu wajib ibadah haji adalah melontar jamrah ‘Aqabah pada Hari Raya Haji dan tiga jamrah: jamrah pertama, jamrah kedua, dan jamrah ketiga pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah. Setiap jamrah dilontar dengan tujuh batu kecil dan waktu melontarnya ialah setelah matahari tergelincir setiap hari. Tujuh batu itu hendaknya dilontarkan dengan tangan satu per satu (tidak boleh sekaligus atau dua-dua). Juga, urutan jamrah harus tertib: mula-mula jamrah pertama, lantas jamrah kedua, dan terakhir jamrah ketiga.
Dalam kaitannya dengan hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah) tersebut, apabila seseorang ingin mempercepat ibadah hajinya, bila ia telah melewati hari pertama dan kedua (yakni tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah), ia boleh tidak mengikuti lagi bermalam di malam ketiga dan tidak perlu lagi melontar jamrah pada tanggal 13 Dzul Hijjah. Dan jika mereka tidak bermalam di tempat ini, ibadah haji mereka tetap sah. Tetapi, mereka harus membayar dam, yaitu memotong seekor kambing. Jika mereka tidak mampu menyembelih seekor kambing, mereka hendaknya berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari kala melaksanakan ibadah haji dan tujuh hari setelah mereka tiba di rumah.

Di Mina ini pula lah Ibrahim a.s., atas perintah Allah Swt., mengorbankan putranya, Isma‘il a.s. Isma‘il a.s. harus dibunuh dengan pedangnya. Akibatnya, terjadi perang batin dalam diri Ibrahim a.s. Setan membujuknya agar ia membelot dari perintah Allah. Tapi, Ibrahim a.s. tetap mengorbankan putranya yang diintainya, untuk disembelih demi Allah. Karena Allah Yang Maha Kuasa tidak haus darah dan tidak membutuhkan Ismai‘l a.s., maka dikirimkan lah domba sebagai tebusannya. Dan, kini, ummat Islam ber-Idul Adhha dengan mengorbankan hewan korban, bisa berupa domba, sapi, kerbau, atau unta.

Thursday, October 11, 2007

untuk semua kesalahan
dan kekhilafan yang pernah ada

mohon maaf…


Selamat IDUL FITRI 1 Syawwal 1428 H

Kullu ‘âm wa antum bi khair
Taqabbalallâhu minnâ wa minkum
Shiyâmanâ wa shiyâmakum


Ahmad Rofi’ Usmani & Keluarga

Tuesday, October 2, 2007

Cinta Ilahi di Mata Seorang Presiden

“Ketika masih muda, di bulan Ramadhan, saya sering membaca puisi Goethe yang menyingkapkan doanya, yang begitu dalam, kepada Tuhan,” tulis seorang mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam yang juga mantan presiden. “Dalam puisi tersebut, Goethe tak pernah lupa bahwa ia hidup di Bumi, sedangkan ruhnya membubung tinggi di alam ketuhanan. Bukan luar biasa bila doanya begitu indah dan memancarkan cintanya yang begitu dalam kepada Tuhannya dan keterbuaiannya di dalam-Nya. Ucap Goethe:

Karuniailah aku kekuatan berpikir, duhai Tuhan
Biar kuhidup laksana singa
Karuniailah aku kehidupan nan sederhana dan damai, duhai Tuhan
Biar kudekati Engkau sepenuh cinta

Doa nan indah itu tidak mungkin timbul kecuali dari relung kalbu yang diwarnai iman. Kalbu yang begitu mencitarasai cinta ilahi. Juga merasa, tanpa cinta tersebut kehidupan tanpa makna. Kehidupan yang menyadari keimanan kepada Tuhan sebagai peringkat pengenalan (ma‘rifah) kepada-Nya yang paling dalam. Keimanan yang didasarkan pada cinta timbal balik, bukan didasarkan pada rasa gentar manusia terhadap kewibawaan Tuhan. Ketika cinta ilahi ini mewarnai kalbu seseorang, kekelaman yang ada pun menjadi sirna. Bagaikan meredupnya kegelapan di hadapan cahaya.

Merenungi cinta membuat saya teringat suatu peristiwa yang pernah saya alami ketika masih menjadi Pemimpin Redaksi koran Al-Jumhuriyyah. Suatu hari saya menulis sebuah tajuk dengan judul “Wawasan”. Dalam tajuk itu saya tulis, saya tidak pernah ingat kepada Allah kecuali dalam kedudukan-Nya sebagai Sahabat yang saya cintai dan tidak saya takuti. Sebab, pikiran yang sederhana pun akan menyatakan, adanya rasa cinta berlawanan sepenuhnya dengan adanya rasa takut. Jadi, bagaimana saya dapat mencintai Allah, sedangkan saya takut kepada-Nya?”

Siapakah presiden yang menggoreskan penanya untuk mengungkapkan tulisan di atas? Tak lain adalah Presiden Anwar Sadat, seorang presiden Mesir. Seperti diketahui, suami Jehan Sadat ini lahir pada Rabu, 21 Rabi‘ Al-Awwal 1337 H/25 Desember 1918 M, di Desa Mit Abu Al-Kum, di Provinsi Minufiyyah. Selepas lulus dari Akademi Militer ‘Abbasiyyah, Kairo, putra seorang pegawai negeri ini menjadi teman kental Nasser dan sejumlah perwira muda Mesir waktu itu kala ia ditempatkan di Manqabad, Mesir Selatan. Pada akhir tahun-tahun 1940-an, selama beberapa tahun, ia mendekam di penjara akibat kegiatannya yang anti pemerintah Mesir kala itu yang berada di bawah kendali Raja Faruq.

Di 1370 H/1950 M, sekeluarnya dari penjara, nama Sadat direhabilitasi. Sekitar dua tahun kemudian, tepatnya Rabu, 1 Dzul Qa‘dah 1371 H/23 Juli 1952 M, ia bersama “Kelompok Perwira Bebas” terlibat dalam kudeta terhadap Raja Faruq. Kariernya pun mulai menanjak, antara lain sebagai Menteri Negara, Ketua Majelis Nasional, editor koran Al-Jumhûriyyah, dan Wakil Presiden Mesir. Pada Senin, 27 Rajab 1390 H/28 September 1970 M ia diangkat sebagai Presiden Mesir, menggantikan Presiden Nasser yang meninggal dunia karena sakit jantung.

Selain sebagai presiden, Anwar Sadat ternyata juga seorang penulis. Karya tulisnya, antara lain, adalah Al-Bahts ‘an Al-Dzât, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul In Search of Excellence. Dan, beberapa lama selepas berpulang, sebuah bukunya berjudul Washiyyatî (Pesanku) terbit. Selain menyatakan kekagumannya terhadap Jalaluddin Al-Rumi, Rabi‘ah Adawiyyah, Ibn ‘Arabi, Ibn Al-Faridh, dan Goethe, dalam karyanya tersebut ia juga mengemukakan pandangannya tentang cinta, persahabatan, dan hal-hal lainnya. Kini, marilah sejenak kita ikuti tulisan lanjut Anwar Sadat tersebut seperti diungkapkan dalam karya tersebut di atas sebagai berikut:

“Selepas terbitnya tajuk tersebut, timbul polemik keras tentang cinta kepada Allah. Ada yang mengatakan, rasa gentar merupakan bagian penting dari iman. Tapi, pengalaman saya tentang rasa takut menunjukkan, Allah tidak mungkin menjadi musuh yang menakutkan dan menggentarkan. Kecuali terhadap orang-orang yang mengingkari keberadaan dan kehadiran-Nya.

Betapa indah menjadikan Allah sebagai Sahabat dan Kekasih. Bila kita telah mencitarasai cinta ilahi ini dalam kehidupan kita, tiada sesuatu pun dalam alam ini bakal menghadang kita. Malah, kehidupan kita bakal berubah menjadi kebahagiaan yang hakiki. Allah telah menjadikan kebahagiaan di tangan kita sendiri, dipicu oleh cinta agung-Nya kepada kita. Tapi, manusia harus meraih kebahagiaan dengan tangannya sendiri. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada di sekitar kita tidak akan memberi kita kebahagiaan. Kita sendiri yang harus mengusahakannya. Dari sini dapat dikatakan, segala sesuatu dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia, selama sesuatu itu berada di tangannya. Dan, kehidupan di Bumi kita ini sejatinya merupakan kebahagiaan tanpa akhir. Bumi ini merupakan bagian semesta alam yang senantiasa menyampaikan puja dan puji kepada Allah. Di seluruh sisi kehidupan sejatinya terdapat kebahagiaan, baik pada kesehatan, keluarga, teman, kehidupan keluarga, kerja, renungan terhadap Allah, dan segala sesuatu lainnya.

Memahami semua itu, masih perlukah kita pada bukti lain tentang kecintaan Allah terhadap semesta alam ini? Jadi, wajar bila seseorang lebih mencintai Allah ketimbang yang selain-Nya, malah melebihi dirinya sendiri. Sebab, bila manusia merupakan bagian dari semesta alam, wajar bila sesuatu bagian dari keseluruhan tidak mungkin mencintai dirinya secara benar. Kecuali bila ia mencintai dirinya sebagai bagian dari keseluruhan tersebut. Dan, bukannya memandang diri sendiri sebagai pribadi yang terpisah dari keseluruhan dan mandiri. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk yang berhutang kepada Allah dalam segala hal yang dimilikinya, tidak boleh tidak harus lebih mencintai Allah ketimbang dirinya sendiri. Dan, ia belum lagi mencintai-Nya selama ia belum merasa berasal dari-Nya.

Watak cinta yang matang dan dalam ialah cinta yang timbal balik dan tidak bertepuk sebelah tangan. Juga, pemicu cinta tersebut ialah keinginan untuk kembali kepada Allah. Cinta dalam pengertian ini membuat seluruh semesta alam sebagai ungkapan hidup cinta ilahi. Di sini, hubungan antara Khalik dan makhluk merupakan keharusan, demi kelangsungan pengertian alam yang sejatinya. Yaitu hubungan antara keseluruhan dengan bagian atau kesempurnaan Yang Mutlak dengan semesta alam yang kurang sempurna. Jadi, manusia belum lagi sempurna kemanusiaan dan keberadaannya kecuali bila menyadari cinta ilahi yang mewarnai dirinya dan seluruh semesta alam.

Pengertian cinta ilahi seperti itu, antara lain, dapat disingkapkan dari kisah Rabi‘ah Al-‘Adawiyyah, seorang sufi perempuan asal Bashrah yang hidup di abad ke-2 Hijriah. Suatu hari ia menaruh salah tangannya ke dalam api, dan tangannya yang satu lagi ke dalam air. Ketika ia ditanya mengapa melakukan tindakan demikian, ia menjawab, “Api ini akan kulemparkan ke dalam surga. Sedangkan air ini akan kutuangkan ke dalam neraka. Sehingga, api dan air itu pun menjadi tiada, dan tersingkaplah kemudian, bagi para peniti jalan sufi, jalan menuju Allah dan tampak pulalah tujuan yang mereka titi. Mereka menjadi menyaksikan Allah tanpa rasa harap dan juga tanpa rasa gentar. Apakah bila rasa harap terhadap surga dan rasa gentar terhadap neraka tiada, tak akan ada seorang pun memuja-Nya?”

Maksud Rabi‘ah adalah cinta ilahi harus bebas dari pamrih dan keinginan diri. Ini lebih tampak lagi dalam munajatnya, “Tuhanku! Bila aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, biarkanlah diriku terbakar api neraka. Dan bila aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, jauhkanlah aku darinya. Tapi, bila aku menyembah-Mu hanya semata karena cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kau-halangi melihat keindahan-Mu yang abadi.”

Itulah cinta yang hakiki. Menurut saya, seluruh kebaikan, kebenaran, dan keindahan di dunia tumbuh dari cinta tersebut.”

Demikianlah tulis presiden Mesir yang selama sebelas tahun menjadi orang nomor satu banyak peristiwa yang mewarnai masa pemerintahannya. Antara lain, pengusiran para penasehat militer Uni Soviet (1972), Perang 6 Oktober 1973, kunjungannya ke Israel (November 1977), dan Penjanjian Camp David (September 1978). Tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian itu, tepatnya pada Selasa, 7 Dzul Hijjah 1401 H/6 Oktober 1981 M, ia tewas dalam peristiwa pembunuhan ketika sedang menghadiri parade militer dalam rangka memperingati Perang 6 Oktober.

Tuesday, September 25, 2007

Sebuah Buku Lagi untuk Anda: Wangi Akhlak Nabi

Malcolm X, tentu Anda mengenalnya. Tokoh yang satu ini, seperti diketahui, adalah seorang tokoh Muslim Amerika Serikat (AS) yang namanya masih acap dikenang banyak orang hingga dewasa ini. Betapa perjalanan hidup tokoh yang satu ini, seperti halnya ditulis dan disunting oleh Alex Haley dengan sangat memikat dalam karyanya, The Authobiography of Malcolm X, sarat dengan pengalaman, pergolakan, dan perenungan. Seperti diketahui pula, tokoh yang berkulit hitam itu lahir di Omaha, Nebraska, pada Senin, 15 Syawwal 1342 Hijriah/19 Mei 1924 M dari pasangan Pendeta Earl Little dan Louise Little, dengan nama Malcolm Little. Pasangan suami-istri itu sendiri mempunyai enam anak: Wilfred, Hilda, Philbert, Malcolm, Yvonne, dan Reginald. Sebelum menikah dengan Louise, Earl Little yang berasal dari Reynold, Georgia telah mempunyai tiga anak dari istri pertamanya: Ella, Earl, dan Mary. Karena mendukung gerakan Marcus Garvey, yang menyerukan semua orang hitam Amerika agar kembali ke Afrika, keluarga Earl Little pun diteror oleh kelompok Ku Klux Klan. Untuk menghindari teror itu, mereka pun pindah ke Lansing, Michigan. Tapi, hal itu tidak banyak manfaatnya. Kepala keluarga itu akhirnya tewas oleh kelompok rasis kulit putih.

Malcolm sendiri meniti dunia pendidikan hingga kelas delapan, dengan hidup menumpang di sejumlah keluarga. Namun, ketika seorang guru menghalangi cita-citanya untuk menjadi seorang pengacara, ia pun keluar sekolah dan pergi menemui saudara perempuan tirinya, Ella, yang menetap di Boston. Di kota itu ia bekerja sebagai tukang sepatu. Namun, segera ia terjerembab dalam kelompok pengedar narkotika dengan nama panggilan Detroit Red. Akibatnya, pada Rabi‘ Al-Awwal 1365 H/Februari 1946 M, ia dijebloskan ke dalam bui dan dijatuhi hukuman selama tujuh tahun.

Selama meniti hidup di bui Colony di Norfolk, Massachusetts, Malcolm atas anjuran dua saudaranya, Philbert dan Reginald, menjadi pengikut Elijah Muhammad dengan gerakan Nation of Islamnya. Maka, ia pun mengimbuhi nama dengan “X”, yang menurutnya merupakan simbol: “Ex-smoker, Ex-drinker, Ex-Christian, Ex-slave”. Sehingga, namanya berubah menjadi Malcolm X. Selepas dari penjara, ia menjadi pengikut yang aktif gerakan itu. Namanya pun segera berkibar. Pada Rajab 1377 H/Januari 1958 M, ia menikah dengan Betty X, yang juga seorang pengikut gerakan itu. Lantas, pada 1384 H/1964 M, ia menunaikan ibadah haji. Betapa indah pengalaman yang ialaminya dalam langkah-langkahnya menuju ke Tanah Suci itu. Marilah sejenak kita ikuti penggalan kisah naik haji Malcolm X seperti diungkapkan dalam karya tersebut di atas sebagai berikut:

“.... Dari lantai tempat aku berada, ketika matahari telah terbit, aku dapat memandang ke seluruh kawasan bandara. Sebentar-sebentar pesawat terbang mendarat dan tinggal landas. Ribuan jamaah dari pelbagai belahan dunia membentuk pola gerakan yang indah. Aku melihat jamaah yang pergi ke Makkah, naik bus, truk, atau kendaraan lainnya. Tiba-tiba tumbuh perasaan khawatir, bagaimanakah bila aku ditolak sebagai jamaah haji?

Seharian, aku bolak-balik dari dan keluar ruanganku. Selepas melaksanakan shalat magrib barulah aku merebahkan diriku, dengan perasaan galau dan sendirian. Tiba-tiba dalam benakku muncul sebuah pikiran. Ketika aku berjalan-jalan di seputar tempat penginapanku, aku melihat empat petugas sedang duduk di seputar meja dengan sebuah telpon di atasnya. Teringat telpon, pikiranku pun melayang ke nomor telpon Dr. Omar Azzam yang diberikan Dr. Mahmud Yusuf Shawarbi kepadaku. Bukankah ia tinggal di kota ini?

Dalam beberapa menit saja aku telah berada di lantai bawah dan mencari tempat para petugas tadi. Salah seorang di antara mereka ternyata lancar berbahasa Inggris. Aku pun mengeluarkan surat Dr. Shawarbi. Usai membaca surat itu, ia pun berseru kepada teman-temannya, “Muslim Amerika!” Aku pun memintanya menghubungi Dr. Omar Azzam. Dengan senang hati ia pun menelpon Dr. Omar Azzam. Alhamdulillah ia sedang berada di tempat. Dan, tidak berapa lama kemudian, Dr. Omar Azzam muncul. “Mengapa tidak menelpon saya sebelumnya?” tanyanya ramah sambil menjabat hangat tanganku. Dia kemudian meminjam telpon dan berbicara dengan petugas di bandara, “Datang cepat ke sini,” ucapnya. Sekitar setengah jam kemudian ia telah membebaskanku, barang bawaanku, dan pasporku.

Dengan naik mobilnya, Dr. Omar Azzam membawaku menuju Kota Jeddah. Di tengah perjalanan aku tidak banyak bicara. Pagi telah menampilkan senyumnya ketika kami tiba di rumahnya. Ayahnya, saudara ayahnya, seorang ilmuwan lain, dan seorang temannya lagi menyambutku. Mereka memelukku bagaikan seorang anak yang lama hilang. Aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Tapi, mereka begitu baik terhadap diriku.

Dr. Abdurrahman Azzam, bila sedang berada di negerinya, tinggal di sebuah suite Jeddah Palace Hotel. Tapi kini, dengan kedatanganku, ia tinggal di rumah putranya dan mempersilakan aku tinggal di suitenya hingga aku berangkat ke Makkah. Sejatinya aku menolak untuk merepotkannya. Tapi, sia-sia belaka. Karena itu, begitu aku memasuki suite yang terdiri dari tiga kamar itu dan meninggalkanku sendirian, aku pun bersujud syukur: tak pernah dalam hidupku sebagai seorang kulit hitam AS menerima layanan istimewa apa pun. Naluriku segera mencoba menguak apa alasan dan motif tindakan seseorang terhadap orang lain yang semestinya bisa saja tak perlu dilakukannya. Sebelumnya, selama hidupku, aku memandang tindakan semacam itu, bila dilakukan oleh orang kulit putih, memiliki motif pribadi. Tapi, pagi itu, seorang berkulit putih-setidaknya di AS ia akan dipandang sebagai orang yang ber”kulit putih”-yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan penguasa negeri ini, malah juga sebagai penasihatnya, menyerahkan suitenya kepadaku untuk menyenangkan diriku. Padahal, ia tak meraih keuntungan apa pun. Dia juga tidak memerlukan aku. Dia memiliki segalanya. Malah, ia lebih banyak kehilangan daripada meraih keuntungan dengan tindakannya itu. Dia juga mengikuti pemberitaan media massa tentang diriku. Jelas, ia mengetahui tentang diriku yang “rasis” dan “anti orang kulit putih”. Jelas pula ia mengetahui aku tak punya uang, dan malah untuk pergi ke negerinya aku terpaksa pinjam uang dari Ella.

Di pagi hari itulah aku kembali menghormati “orang kulit putih”. Di pagi hari itulah mulai terjadi perubahan mendasar dalam pandanganku tentang orang “kulit putih”. Aku bersujud syukur kepada Allah atas karunia ini. Aku juga tidak lupa mendoakan istriku dan anak-anakku di AS. Selama beberapa jam kemudian aku tidur pulas, hingga suara telpon berdering membangunkan aku. Dr. Omar Azzam menelponku. Dia memberitahuku, ia akan menjemputku untuk menikmati makan malam di rumahnya. Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih saja. Dalam jamuan malam di rumah Dr. Omar Azzam aku menjadi tahu, persoalanku telah dibahas oleh Mahkamah Komisi Haji. Esok hari aku harus datang di sana. Keesokan harinya aku pun datang ke sana. Pagi itu persidangan dipimpin oleh Syeikh Muhammad Harkon (mungkin maksudnya Syeikh Muhammad ‘Ali Al-Harakan, mantan Sekretaris Jenderal Rabithah Al-‘Alam Al-Islami-penulis). Segera ia memutuskan, aku benar-benar seorang Muslim. Seusai dari persidangan itu aku kemudian balik ke Jeddah Palace Hotel, untuk menikmati makan siang di sana. Lalu tidur lagi selama beberapa jam sampai dering telpon membangunkanku. Muhammad Abdul Aziz, Deputi Kepala Protokol Raja Faisal memberitaku, “Sebuah mobil khusus akan menjemput dan membawa Anda ke Makkah, tepat selepas Anda usai makan malam.”

Dalam perjalanan menuju Makkah aku ditemani dua anak muda, dengan pengawalan pasukan khusus. Tiba di Makkah, mobil yang kami naiki diparkir di depan Masjid Al-Haram. Ketika berada di Rumah Allah itu, untuk melakukan tawaf dan sai, sulit aku kemukakan bagaimana perasaanku kala itu. Semalaman, dalam waktu yang terpisah, aku mengunjungi Rumah Allah tiga kali.

Hari berikutnya kami berangkat menuju Arafah untuk melakukan wukuf. Dari sana kemudian menuju Mina, untuk melempar jumrah. Ihram pun usai. Sebagian jamaah mencukur rambut dan janggut mereka. Aku sendiri memutuskan untuk membiarkan janggutku. Aku tidak tahu, bagaimana komentar istri dan anak-anakku bila mereka melihat janggutku nanti jika aku kembali ke New York...”

Demikianlah kisah perjalanan Malcolm X menuju Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah. Betapa indah kisah perjalanan naik haji Malcolm X tersebut. Sebuah perjalanan ibadah yang benar-benar mampu mengubah pandangan Malcolm X yang semula menolak integrasi kaum kulit hitam Amerika dengan masyarakat lainnya dan menjadi berpandangan bahwa kaum kulit hitam dan kulit putih dapat hidup dalam suasana persaudaraan. Manusia, menurut pandangannya selepas naik haji tersebut, tak pernah meminta agar dilahirkan sebagai kulit hitam, kulit putih, atau pun kulit berwarna. Kelahiran adalah takdir Allah atas manusia. Karena itu, manusia tidak mungkin dipilah berdasarkan ras dan warna kulit, karena asal manusia satu: Adam. Masing-masing manusia duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. “Itulah semangat persaudaraan Islam,” ucapnya selepas merenungkan perjalanannya ke Tanah Suci tersebut.

Selepas menunaikan ibadah haji itu sendiri, Malcolm X mengubah namanya menjadi El-Hajj Malik El-Shabazz. Dan, perjalanan hidup di dunia pendiri organisasi Afro-American Unity ini usai pada Ahad, 19 Syawwal 1377 H/21 Februari 1965 M, pukul 3 sore, karena tewas ditembak, ketika sedang berpidato di Audobon Ballroom, Harlem yang terletak di antara Broadway dan St. Nicholas Avenue di Kota New York.

Ya, itulah penggalan dari prakata buku Wangi Akhlak Rasul yang diterbitkan oleh Penerbit Mizania, Bandung. Selamat menikmati!

Monday, September 24, 2007

"Nak, Masih Hafal Al-Qurankah Engkau?"

Tahun ini, entah kenapa Allah Swt. memberi kesempatan saya acap melakukan perjalanan ke pelbagai negara dan kota. Kadang, perjalanan itu telah saya rencanakan jauh hari. Tapi, kadang tiba-tiba saja saya diberi kesempatan Allah bertolak ke suatu negara atau kota. Nah, pada Sabtu, 15 September 2007 yang lalu, saya tiba-tiba hanya dalam sehari berada di Kota Surabaya. Pagi hari tiba di Kota Buaya itu dan sore harinya balik lagi ke Bandung. Perjalanan yang sangat pendek bagi saya: karena di Surabaya sejatinya saya memiliki banyak saudara dan sahabat. Sehingga hari itu saya tidak sempat bersilaturahmi ke banyak tempat.

Sore hari itu, ketika dalam perjalanan menuju Bandara Juanda, yang kini tampil cantik dan berkilau, untuk balik ke Jakarta dan kemudian menuju Bandung, dengan diantar sebuah keluarga muda yang perwira marinir, dan ketika melewati sebuah rumah sakit islam di Wonokromo, entah kenapa tiba-tiba saya teringat seorang senior saya ketika saya masih menjadi mahasiswa di Kairo pada tahun-tahun 1980-an. Senior saya tersebut, seorang pemegang gelar PhD di bidang tasawuf dari Universitas Al-Azhar, Mesir, adalah putra seorang kiai besar dan menantu seorang kiai besar yang rumahnya di belakang rumah sakit tersebut. Selain itu, ia juga terkenal sebagai seorang sastrawan yang salah satu karyanya berjudul Arafah. Ketika masih menjadi mahasiswa di Kairo, saya sering mampir ke flat senior saya tersebut yang terletak di Distrik Garden City, tidak jauh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo yang terletak di Aisha Taimouriyya St.

Tentang senior saya yang berwajah menyejukkan hati dan berakhlak indah ini, ada suatu hal yang sangat menyentuh hati saya: yaitu hubungan dirinya dengan ayahandanya yang seorang kiai terkemuka asal Pulau Madura. Kala itu, perjalanan panjang kehidupan telah dilintasi sang ayahanda: dari hanya sebagai seorang kiai di Pulau Madura hingga menjadi seorang direktur jenderal di sebuah departemen. Namun, jabatan tinggi yang akhirnya dijabatnya itu tidak mengubah kekiaiannya. Kesederhanaan, keramahan, kelapangdadaan, dan keteguhan sikap tetap memancar dari pribadinya. Bila Ramadhan tiba, di tengah kesibukannya, ada suatu pertanyaan yang senantiasa mengusik benaknya, “Masihkah hafalan Al-Quran anakku terpelihara baik? Bukankah bila lupa hafalannya, aku yang pertama bertanggungjawab di hadapan Sang Pemilik Kitab itu?”

Ya, karena kecintaannya pada Al-Quran, sejak kecil sang putra ia arahkan untuk menghafalnya. Akhirnya, seluruh ayat-ayat kitab suci itu berhasil dihafal sang putra. Malah, karena merasa bertanggungjawab atas hafalan sang putra, pendidikan sang putra ia alihkan haluannya. Selepas sang putra merampungkan pendidikannya di sekolah menengah umum, sang putra ia perintahkan untuk berangkat ke sebuah negeri yang jauh. Ke mana lagi kalau bukan untuk belajar di sebuah universitas yang menjadikan hafalan Al-Quran sebagai kewajiban. Benar, akhirnya sang putra memasuki universitas yang usianya lebih dari seribu tahun di Negeri Piramid itu.

Ketika sang putra telah berada jauh di negeri orang, dan bila bulan Ramadhan tiba, pertanyaan yang mengusik benaknya itu senantiasa muncul. Malah, ketika sang putra telah menjadi “orang” dan sastrawan di negeri ini, pertanyaan itu tetap mengusik benaknya. Maka bila bulan Ramadhan tiba, beberapa tahun sekali, ia sempatkan untuk mengunjungi sang putra di Kairo itu. Ribuan kilometer ia tempuh walau tubuh telah rapuh. Ia melakukannya hanya dengan satu tujuan utama, yakni untuk mengetahui “hafalan Al-Quran sang putra”. Bukan untuk menikmati pendar Kota Kairo di malam hari. Walau flat sang putra terletak hanya beberapa ratus meter dari pusat keindahan itu. Bukan pula untuk menikmati keindahan gedung-gedung di kitar flat sang putra yang terletak di kawasan elit kota itu: Garden City. Bukan, kewajibannya dan tanggung jawab atas terpeliharanya hafalan Al-Quran putranya melebihi semua itu.

Selama kunjungannya yang singkat di kota yang didirikan Jauhar Al-Shiqilli pada 972 M itu, sebagian besar waktunya ia gunakan untuk menyimak hafalan Al-Quran sang putra. Bila perlu, tegoran ia lontarkan. Sang putra, walau telah menjadi “orang”, dengan patuh memenuhi keinginan sang ayahanda. Setiap kali sang ayahanda mengunjunginya, dengan penuh hormat ia duduk bersimpuh di depan ayahandanya: menghafal Al-Quran dari awal hingga akhir surah Al-Quran. Baginya, betapa nikmat dan indahnya saat-saat yang demikian. Apalagi saat mendapat teguran sang ayahanda. Ia merasa, kedatangan ayahandanya jauh-jauh dari tanah air demi niat yang ikhlas dan tak ternilai: “perasaan tanggung jawab atas kemurnian dan keterpeliharaan Al-Quran”.

Tak terasa kini lebih dari 1400 tahun telah berlalu sejak Al-Quran pertama kali diturunkan. Walau perjalanan panjang telah dilintasi Al-Quran di Bumi ini, namun keasliannya tetap terpelihara dan murni. Lepas dari janji Allah yang akan memelihara kitab-Nya, ada pelbagai faktor yang membuat Al-Quran tetap terpelihara kemurniannya. Salah satu faktor itu adalah peran para penghafal Al-Quran (huffazh). Peran mereka tidak kecil dalam memelihara kemurnian dan keterpeliharaan Al-Quran.

Seperti diketahui, untuk menjadi seorang penghafal Al-Quran tidak mudah dan ringan. Ada pelbagai syarat yang harus dipenuhi. Kesiapan mental dan moral salah satu di antaranya. Selain itu, juga kesabaran dan keajegan dalam menghafal. Yang paling penting adalah tanggung jawab dalam menjaga hafalan. Tampaknya ini ringan, tapi kenyataannya tidak demikian. Rasa tanggung jawab ini pulalah yang mendorong kiai kita menempuh jarak ribuan kilometer walau tubuh telah rapuh.

Kini, bulan Ramadhan, bulan Al-Quran, datang kembali. Namun, kiai kita sudah tidak lagi akan mengecek hafalan Al-Quran sang putra lagi. Ia telah kembali kepada Sang Pemilik Al-Quran. Tapi, barangkali, semangatnya dalam memelihara Al-Quran bisa menjadi teladan. Di bulan suci ini, akankah kita meneliti kembali hafalan Al-Quran kita?

Thursday, September 20, 2007

Mari Kita Bersama Melihat Bagian Dalam Ka'bah!

Seminggu yang lalu, ketika saya sedang menyiapkan materi “Selintas tentang Tempat-Tempat Historis di Seputar Makkah & Madinah” untuk jamaah Khalifah Tour, Bandung, entah kenapa tiba-tiba dalam benak saya muncul dorongan kuat rasa ingin tahu keadaan sebenarnya bagian dalam Ka‘bah, sebuah bangunan berbentuk kubus di tengah-tengah Masjid Al-Haram, Makkah. Seperti diketahui, Ka‘bah ini merupakan kiblat shalat kaum Muslim. Tinggi bangunan itu sendiri, yang kini selalu diselimuti permadani halus yang disebut kiswah, lebih kurang 12,9 meter dan panjang sisi-sisinya: antara Rukun Syami-Rukun Yamani: 11, 93 meter, antara Rukun Yamani-Hajar Aswad: 10, 13 meter, antara Hajar Aswad-Rukun Iraqi: 11, 58 meter, dan antara Rukun Iraqi-Rukun Syami: 10, 22 meter. Di dalam Al-Quran dikemukakan bahwa Ibrahim a.s. lah bersama putranya, Isma‘il a.s., yang membangun Ka‘bah atas perintah Allah. Seusai membangun Ka‘bah, Ibrahim a.s. lantas diperintahkan Allah menyeru ummat manusia untuk menunaikan ibadah haji, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj [22]: 26).

Di sisi lain, Ka‘bah sebagai bangunan, sepanjang perjalanan sejarahnya, telah mengalami sederet perbaikan dan pemugaran. Ka‘bah dalam bentuknya yang sekarang ini sejatinya merupakan hasil pemugaran pada masa pemerintahan Sultan Murad IV, seorang penguasa Dinasti Usmaniyyah dari Turki (memerintah antara 1033-1050 H/1623-1640 M). Pada 1040 H/1630 M Makkah dilanda banjir besar yang berakibat Masjid Al-Haram terendam dan dinding Ka‘bah ada yang runtuh. Maka, walikota kota suci itu kala itu, Syarif Mas‘ud bin Idris, dengan persetujuan Sultan Murad Khan, kemudian melakukan perbaikan atas Ka‘bah yang rusak itu.

Saya sendiri sejatinya heran, mengapa selama ini saya tidak punya rasa ingin tahu yang demikian. Mungkin, karena saya bukan orang yang pantas memasukinya, maka selama ini rasa ingin tahu itu tak pernah muncul. Rasa ingin tahu yang demikian itu kemudian mendorong saya melakukan perburuan di internet. Alhamdulillah, akhirnya saya mendapatkan foto seperti yang saya tampilkan di sudut kiri atas tulisan saya kali ini.

Marilah sejenak foto itu kita cermati. Ternyata, di bagian dalam Ka‘bah terdapat tiang penyangga utama yang terbuat dari kayu. Setiap tiang memiliki diameter 44 cm, dengan jarak antar tiang 2,35 m. Dari lurus pintu masuk, yang dijaga para pengawal itu, sejatinya terdapat mihrab. Di situlah Nabi Muhammad Saw. pernah melaksanakan shalat di dalam Ka‘bah. Setiap beliau berada di dalam Ka‘bah, menurut sebuah sumber, beliau senantiasa berjalan lurus dengan muka menghadap dinding, hingga pintu Ka‘bah berada di belakang punggung beliau, sampai jarak antara beliau dengan dinding Ka‘bah di depannya sekitar tiga kaki. Lalu, beliau shalat di situ. Namun, hal ini tidak berarti hanya di tempat itu sajalah yang boleh dijadikan tempat shalat. Sebab, bila Anda diizinkan Allah Swt. masuk ke dalam Ka‘bah, Anda boleh shalat di bagian manapun di dalam Ka‘bah kok!

Selain itu, di sebelah kanan dalam Ka‘bah terdapat tangga menuju atap. Tangga tersebut mempunyai pintu. Nah, pintu itulah yang disebut “Pintu Tobat” (Bab Al-Taubah). Pintu Tobat dan Pintu Ka‘bah yang ada dewasa ini dilapisi emas murni. Struktur kerangka kedua pintu tersebut dibuat dari kayu setebal 10 cm, lalu dihiasi dengan ornamen-ornamen dari emas murni. Konon, emas yang dipakai melapisi kedua pintu itu lebih dari 280 kg. Ohoi, berat nian kedua pintu berlapis emas itu!

Semula, Ka‘bah yang dibangun Ibrahim a.s. tidak beratap. Atap baru dibuat ketika kaum Quraisy memugarnya. Dewasa ini, Ka‘bah memiliki dua atap: atap bawah dan atap atas. Permukaan atap atas dilapisi marmer putih dan dikelilingi pagar tembok, yang menyatu dengan dinding Ka‘bah, setinggi sekitar 80 cm. Di pagar tersebut terdapat kayu-kayu untuk mengikatkan tali kiswah. Di permukaan atap atas itu juga terdapat pintu yang tutupnya terbuat dari baja. Lewat pintu itulah para petugas naik ke atap atas ketika menyuci dan membersihkan Ka‘bah serta mengganti kiswah.

Dan, ketika sedang asyik mencermati bagian dalam bangnunan Ka‘bah itu, entah kenapa tiba-tiba ingatan saya melayang-layang ke sebuah buku yang disusun seorang pemikir Iran, Dr. Ali Shariati, berjudul Hajj. Tentang bangunan Ka‘bah ini, ia menulis sangat indah, “Ketika menyaksikan Ka‘bah, Anda pasti tercenung dan termangu. Tiada sesuatu pun untuk dilihat! Yang ada hanyalah sebuah ruang persegi yang kosong. Itukah semuanya? Itukah pusat agama, shalat, cinta, hidup, dan kematian kita?

Di dalam benak Anda mungkin timbul pertanyaan dan keraguan. Di manakah aku? Apakah ini? Yang Anda saksikan adalah antitesa dari imajinasi Anda tentang Ka‘bah sebelumnya. Mungkin, sekali Anda pernah membayangkannya sebagai karya arsitektur nan indah (laksana sebuah istana) dengan langit-langit yang menyelimuti keheningan ruhaniah. Mungkin pula Anda pernah membayangkannya sebagai sebuah mausoleum (makam) yang tinggi menjulang di mana terkubur seorang tokoh manusia penting-seorang pahlawan, genius, imam, atau nabi! Tidak! Yang Anda saksikan hanyalah sebuah ruangan persegi yang kosong. Di dalam Ka‘bah tidak terdapat keahlian arsitektural, keindahan, seni, prasasti, ataupun kualitas yang dapat kita saksikan. Selain itu, di dalam bangunan itu pun ternyata tidak terdapat kuburan. Tidak ada sesuatu pun, dan tiada pula seorang manusia kepada siapa kita dapat mencurahkan perhatian, perasaan, dan kenangan.

Anda akan menyadari, di dalam Ka‘bah tiada sesuatu pun atau manusia pun yang akan mengganggu perasaan dan pikiran kita mengenai Allah. Langit-langit Ka‘bah yang ingin Anda tembus untuk dapat berhubungan dengan yang “mutlak” dan “abadi” merupakan atap bagi perasaan Anda. Dalam dunia Anda yang sarat dengan fragmentasi dan relativitas ada hal-hal yang tidak dapat Anda capai. Sebelumnya, Anda hanya dapat membuat rekaan filosofis. Tapi, kini, ke mana pun Anda berpaling, Anda dapat menyaksikan “yang mutlak”, yang tidak memiliki arah: Allah!

Betapa indahnya Ka‘bah yang kosong ini! Kekosongan ini mengingatkan Anda bahwa kehadiran Anda di sini adalah untuk menunaikan ibadah haji yang sama sekali bukan tujuan terakhir. Selanjutnya, kekosongan ini adalah sebagai penunjuk arah. Ka‘bah hanyalah sebagai tonggak penunjuk jalan!”

Friday, September 14, 2007

Bulan Penyadaran

Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat menelpon saya. Dengan suara masih agak bergetar, ia menceritakan bahwa ia baru saja mengalami musibah: ketika ia dan sopirnya yang sedang mengantri di pintu gerbang tol, tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang remnya blong dan menghajar beberapa mobil di depannya. Mobil sahabat saya tersebut termasuk dalam rangkaian mobil-mobil tersebut. Akibatnya, bagian belakang dan depan mobilnya rusak berat. Namun, alhamdulillah, sahabat saya dan sopirnya selamat. Tidak lama selepas kejadian itu, ia menelpon saya dan mengemukakan bahwa malam kejadian itu ia akan mengadakan tasyakkuran atas keterhindaran dia dan sopir dari musibah. Ia juga bertanya, bolehkah ia melakukan tasyakurran atas keterhindaran dia dari musibah tersebut. Saya pun sepakat dengan tindakannya. Dan, di sisi lain, musibah itu sendiri tiba-tiba mengingatkan saya sebuah kejadian berikut.

Pada suatu hari, di bulan Desember, sebuah pesawat terbang Royal Air Maroc tinggal landas dari Jeddah International Airport. Dengan cepat dan gagahnya pesawat Boeing 727 itu menguak relung langit biru. Sementara bila memandang Bumi, tampak tergelar pemandangan Laut Merah yang kemerah-merahan membentang di antara dan membelah benua Asia-Afrika. Di sebelah barat Laut Merah itu tampak pelabuhan laut Yanbu‘, dan kadang muncul kilang-kilang minyak. Tampak pula jalur jalan-jalan panjang merobek padang pasir yang lengang. Sedang di sebelah timur Laut Merah itu berhamparan gurun sahara. Sejauh memandang hanya padang pasir belaka. Di dalam pesawat yang sedang menuju Kota Kairo itu para penumpang kelihatan senang dan cerita menikmati perjalanan. Apalagi, pelayanan para pramugara dan pramugi Royal Air Maroc cukup memuaskan.

Selepas beberapa lama mengangkasa, pesawat terbang dari Maroko itu telah berada di angkasa. Pemandangan yang tampak kini hanyalah langit biru, awan, dan Bumi di kejauhan. Kadang, pemandangan pekat belaka yang kelihatan, bila pesawat sedang awan tebal. Ketika pesawat itu telah melintasi memasuki wilayah Mesir dan mendekati Kota Kairo, tiba-tiba pengumuman fasten seat belt (pasang sabuk pengaman di tempat duduk) menyala. Pramugara dan pramugari pun sigap membantu para penumpang memasang sabuk pengaman.

Tiba-tiba telinga terasa tuli, perut mual sekali, dan kepala berkunang-kunang. Para penumpang yang sebelumnya tampak gembira, kini menampakkan wajah yang berbeda. Ada yang berdoa, ada yang yang terpaku diam, dan ada yang berwajah pucat pasi. Terasa sekali ketika itu Tuhan hadir di dalam pesawat terbang. Saat itu pesawat terbang terasa meluncur cepat sekali. Mungkin, pesawat itu terjerembab dalam ruang hampa udara. Belum lagi selesai meluncur, tiba-tiba pesawat terhempas keras sekali. Cuaca mendekati Kota Kairo benar-benar tak bersahabat. Musim dingin dengan badai sedang menghantui.

Hampir setengah jam lamanya pesawat terbang tersebut bermain akrobat. Bagaikan sabut di lautan diguncang prahara. Sebentar terhempas ke sana, sebentar terbanting ke sini. Pemandangan menarik Kota Kairo, dengan piramid-piramid dan sphinx menghiasi salah satu sudutnya serta Bukit Muqaththam dengan perbentengan yang didirikan Shalahuddin Al-Ayyubi di sudut lain, menjadi tidak menarik lagi. Yang membersit dalam benak dan kalbu hanyalah doa kiranya Allah Swt. melindungi.

Akhirnya, pesawat itu berhasil menguak mendung tebal dan mendapat lampu hijau untuk mendarat di Cairo International Airport. Begitu pesawat menjejakkan roda-rodanya di landasan dan kemudian berhenti, para penumpang pun berpelukan gembira. Ketika telah berada di dalam gedung bandara, tampak wajah mereka berseri kembali. Kejadian di angkasa yang belum lama mereka alami tinggal kenangan belaka.

Tak terasa bulan Ramadhan kini tiba kembali. Inilah bulan penuh berkah, bulan penempaan dan bulan penyadaran diri. Penempaan dan penyadaran tentang siapa kita dan untuk apa kita hidup. Bila direnungkan, bukankah betapa sering dalam hidup ini kita acap menghadapi keadaan seperti kejadian yang dialami sahabat saya dan kejadian dalam pesawat terbang tersebut. Tiba-tiba di hadapan kita muncul keadaan yang pada saat itu batas kehidupan kita di dunia tinggal selapis tipis sekali. Dalam keadaan itu, biasanya baru muncul kesadaran diri. Dan, biasanya pula, bila keadaan gawat itu berlalu, dengan segera kesadaran diri itu pun ikut tersapu.

Memang, itu manusiawi. Dengan kata lain, keadaan seperti itu acap menimpa banyak di antara kita. Karena itu, dalam Islam, proses penyadaran itu selalu ditumbuhkan lewat pengulangan ibadah. Setiap hari penyadaran itu ditumbuhkan lewat shalat lima waktu. Setiap minggu dibangkitkan melalui shalat jumat. Dan setiap tahun digelorakan lewat puasa, seperti yang sedang kita jalani.

Kini bulan Ramadhan menemui kita kembali. Kiranya hikmahnya membekas kuat pada diri kita.

Thursday, September 6, 2007

Pertobatan Abu Nuwas

Ilâhî lastu li-l-Firdausi ahlâ
Wa lâ aqwâ ‘ala nâri-l-jahîmi
Fahab lî taubatan waghfir dzunûbî
Fa innaka ghâfiru-l-dzanbi-l-‘azhîmi

Tuhanku, surga Firdaus memang tak layak bagiku
Tapi, api neraka Jahim pun tak tertanggungkan olehku
Karena itu, ampunilah aku dan dosa-dosaku
Sungguh, Engkaulah Mahapengampun dosa besarku

Merupakan kebiasaan saya, hampir setiap hari dan selepas shalat subuh, saya sudah berada di depan laptop yang ada di ruang kerja saya. Ritual yang demikian itu sudah berlangsung lama. Di kamar tidur utama, biasanya selepas shalat subuh, istri saya suka mendengarkan lagu-lagu nasyid. Entah kenapa, kemarin pagi, di antara lagu-lagu nasyid yang didendangkan seorang penyanyi adalah syair tersebut di atas. Mendengar bait-bait syair tersebut, segera bayang-bayang sosok Abu Nuwas pun “hinggap” di benak saya. Seperti diketahui, syair di atas adalah gubahan Abu Nuwas. Syair yang telah saya hapal sejak kecil (ketika masih di Cepu, Jawa Tengah. Setiap selepas shalat Jumat, syair tersebut senantiasa didendangkan para jamaah Masjid Jami’ Cepu) itu memang merupakan “doa dan tobat nasuha” penyair, sastrawan,dan komedian terkemuka Irak yang oleh sebagian penulis dikategorikan sebagai seorang gay yang penyair ugal-ugalan yang akhirnya bertobat. Siapakah sejatinya Abu Nuwas ini?

Penyair terkenal pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid dan Al-Amin, penguasa ke-5 dan ke-6 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, ini bernama lengkap Abu Nuwas Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Tokoh yang dalam berbagai karya acap dituturkan sebagai komedian ini lahir di Ahwaz, Khuzistan sekitar 130-145 H/747-762 M. Ayahnya adalah seorang serdadu Marwan bin Muhammad, penguasa terakhir Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah dan wafat ketika ia masih kecil. Tak aneh bila ibunya, Gullaban (= Gulban yang berarti “Bunga Mawar”), seorang perempuan berdarah Persia yang bekerja sebagai pencuci bulu domba, yang kemudian lebih berperan dalam mengarahkan Abu Nuwas kala ia masih kecil. Mereka kemudian menetap di Bashrah, Irak.

Selama di kota yang pertama kali dibangun kaum Muslim itu, selain belajar, Anu Nuwas juga bekerja pada sebuah toko parfum. Dari Bashrah ia lalu melangkahkan kakinya ke Kufah. Di sana, ia menimba ilmu kepada Walibah bin Al-Habab Al-Asadi, seorang penyair yang terkenal berperilaku buruk. Lantas, setelah kembali ke Bashrah untuk menimba ilmu kepada Khalaf Al-Ahmar, ia hidup di lingkungan kaum Badui, untuk menghaluskan bahasanya. Kala itu namanya mulai berkibar.

Selanjutnya Abu Nuwas menapakkan kaki menuju Baghdad Darussalam, untuk menimba kembali ilmu pengetahuan. Di kota “Seribu Satu Malam” itu lah penyair yang puisi-puisinya merupakan pemberontakan terhadap puisi-puisi yang berkembang kala itu mulai berhubungan dengan para penguasa Dinasti ‘Abbasiyyah. Khususnya dengan Khalifah al-Amin, dan keluarga para pejabat tinggi, terutama keluarga Al-Baramikah, sehingga ia mendapat sebutan “Penyair Istana” (Sya‘ir Al-Balath). Kemudian kala terjadi Tragedi Keluarga Al-Baramikah pada 187 H/807 M, ia mengungsi ke Mesir. Namun, kemudian ia kembali lagi ke Baghdad dan meniti kehidupan yang lebih menjauhi pesona duniawi. Karya-karya puisi penyair yang meninggal dunia di Baghdad pada 200 H/815 M ini, untuk ukuran pada masanya, merupakan perpaduan antara puisi tradisional dan modern. Karya-karyanya, antara lain, adalah Khumrayyat dan Diwan Abi Nuwas.

Pertobatan seperti yang didendangkan Abu Nuwas tersebut di atas segera mendorong saya untuk kembali merenungkan makna tobat. Tobat, seperti diketahui, sejatinya adalah sikap memohon ampun dan maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan seorang hamba kepada Allah, dengan tekad tidak mengulangi lagi kesalahan dan kekhilafan tersebut. Dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad Saw. dapat ditemukan beberapa pertanda orang yang bertobat. Intinya, antara lain, perhatian orang tersebut tercurah kepada diri sendiri untuk mengingat seberapa jauh ia telah menyimpang dari kebenaran, seberapa banyak amanah yang tidak ia tunaikan, dan seberapa besar kesalahan yang telah ia lakukan. Di samping itu waktunya habis untuk memikirkan bagaimana memperbaiki kekurangan dirinya, bagaimana menutupi keburukannya dengan amal-amal saleh, bagaimana ia memohon kepada Allah Swt., agar melapangkan dadanya sehingga ia dapat menerima kebenaran.

Pintu tobat Allah sendiri beraneka ragam. Salah satu di antaranya adalah melaksanakan ibadah haji dengan memahami simbol-simbolnya serta konsisten dalam memelihara penghayatan itu. Beristighfar dengan tulus juga merupakan salah satu cara. Demikian juga meneladani Nabi Muhammad Saw. dan mencintainya, atau membuka lembaran baru dan memaafkan orang lain, melakukan amal saleh setelah melakukan dosa juga demikian juga dapat menghapus dosa, karena Nabi Muhammad Saw. berpesan, “Susullah keburukan dengan kebajikan. Niscaya kebajikan itu menghapus keburukan tersebut.”

Dalam Islam, Yang Mengampuni dosa hanyalah Allah semata. Tidak ada yang berwenang dalam hal itu kecuali Dia. Nabi Muhammad Saw. pun tidak. Malah, beliau pernah ditegur Allah, hanya karena komentar beliau pada Perang Uhud, “Bagaimana mungkin suatu kaum dapat memperoleh keberuntungan, padahal mereka telah menjadikan wajah nabi mereka berlumuran darah?” Allah menegur beliau dengan firman-Nya, “Tidak sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka; Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zalim .” (QS Ali ‘Imran [3]: 128).

Kiranya Allah Swt. menerima tobat Abu Nuwas yang lewat syairnya di atas telah membuat banyak orang menyadari kesalahan diri mereka dan kemudian bertobat. Juga, menerima pertobatan kita. Dan, selamat menunaikan ibadah puasa, kiranya kita dapat melaksanakan ibadah tersebut sepenuh hati dan seikhlas mungkin. Juga, mohon maaf lahir dan batin.