Monday, December 28, 2009

Bermimpi Bertemu Gus Dur dan Gus Mus di Kairo


Tadi pagi, 28 Desember 2009, tak lama setibanya kembali dari Semarang selama dua hari, untuk menghadiri acara pernikahan, saya pun membuka facebook. “Oh, menarik sekali foto ini,” gumam saya ketika melihat sebuah foto (lihat di samping) di sebuah alamat facebook yang menampilkan foto Gus Mus sedang mendampingi Gus Dur. Tanpa lama-lama mencermati foto itu, segera saya menyadari bahwa foto itu diambil di tempat kediaman Gus Mus di Desa Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Mengapa demikian? Ini karena beberapa hari yang lalu Gus Mus mengabarkan (lewat facebook “Simbah Kakung”), bahwa saat itu Gus Dur sedang berkunjung ke pesantren Gus Mus, Raudhatut Tholibin. Yang menggembirakan, dalam kunjungan itu, Gus Dur berkenan menikmati hidangan yang disajikan. Padahal, selama beberapa lama sebelum itu Gus Dur sama sekali tidak berkenan menyantap apa pun.

Karena tubuh terasa lelah selepas semalam menempuh perjalanan dari Semarang, tak lama selepas membuka facebook itu saya tak kuasa menahan kantuk dan akhirnya saya pun tertidur pulas. Eh, ketika dalam tidur pula itu, saya bermimpi sedang berada di Kairo, Mesir. Anehnya, dalam mimpi itu saya masih muda usia dan tahun dalam mimpi itu menunjuk awal tahun 1981. Saat itu waktu menunjuk sekitar jam satu siang. Yang menarik, saat itu saya sedang keluar dari Masjid Al-Husain bin ‘Ali, tempat kepala putra ‘Ali bin Abu Thalib itu disemayamkan. Tak lama selepas menapakkan kaki dan menengok ke arah Khan Khalili, sebuah pasar tradisional kerajinan terkemuka di samping kanan masjid itu, tiba-tiba saya melihat melihat Gus Dur (yang tampak masih sehat dan bisa melihat) dan Gus Mus (yang belum banyak memiliki uban dan tampak ganteng) sedang duduk di sebuah kafe di samping pelataran masjid itu. Duh, betapa gembira hati saya melihat dua tokoh yang acap “membikin ulah” di pentas budaya Indonesia itu. Tanpa berpikir panjang, apalagi melihat mereka hanya berdua tanpa disertai “para punakawan”, saya pun segera berlari menuju ke arah mereka. Begitu dekat dengan mereka, terjadilah perbincangan sebagai berikut:

“Assalamu’alaikum Gus Dur dan Gus Mus…” ucap saya kepada Gus Dur dan Gus Mus yang sedang menikmati teh Mesir.
“Wa’alaikumussalam… “, jawab Gus Dur. “Anda kalau tak salah seorang mahasiswa Indonesia yang tinggal di Manial Raudah, ya ? Dua tahun yang lalu saya ketemu Anda. Bukankah Anda keponakan Maghfur?”
“Wa’alaikumussalam…” sahut Gus Mus. “Betul, Mas Dur. Dia keponakan Maghfur dari Cepu. Dia tinggal di sebuah flat dekat flat Mas Harun Zaini dan Mas Zabidi Ahmad, tempat kita menginap. Mas Dur, saya pernah ketemu dia, ketika saya menengok adik saya, Adib, di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dia pernah segotakan dengan adik saya. Ngapain Anda dari Masjid Al-Husain? Lagi cari inspirasi atau lagi menyepi ?”

Mendengar jawaban, komentar, dan pertanyaan para tokoh yang saya hormati itu saya sejenak kebingungan. Tak tahu harus menjawab apa. Tapi, tak lama kemudian, saya menjawab sekenanya, “Gus Dur dan Gus Mus…Benar saya tadi dari Masjid Al-Husain. Kalau dikatakan mencari inspirasi, mungkin juga benar. Saya sedang mencari inspirasi bagaimana agar tesis saya segera diterima oleh Majlis Al-A’la li Al-Jami’at. Terus terang, saya sudah gak tahu lagi, apa yang harus saya lakukan menghadapi birokrasi di negeri ini. Di satu sisi, saya merasa bersyukur dapat menimba ilmu di sini. Tapi, di sisi lain, birokrasi di negeri ini amat dan amat melelahkan. Dan, kalau dikatakan lagi menyepi, itu juga gak salah. Sebab, dengan bertafakkur di masjid itu, entah kenapa setiap kali keluar dari masjid itu saya mendapatkan energi baru : semangat Al-Husain bin ‘Ali yang tak mudah patah arang memberikan semangat bagi saya untuk tetap melanjutkan studi saya di sini…Mohon maaf, saya tidak bermaksud berkeluh kesah. ..Tentu Gus Dur dan Gus Mus lebih mafhum tentang birokrasi di negeri ini ketimbang saya.”
“Gitu saja repot !” sergah Gus Dur “Terus saja belajar dan pantang menyerah ! Dulu, ketika saya masih menimba di sini, bersama Mustofa ini, keadaannya jauh lebih payah dan parah. Anda tentu tahu, ketika saya sedang belajar di sini, negeri ini dalam keadaan perang. Bayangkan, saat itu untuk mendapatkan beras dan gula sulitnya bukan main. Semua serba antri dan barang-barang itu hanya ada di koperasi. Setiap malam, lampu-lampu harus diredupkan dan malah dipadamkan. Setiap kali sirene berbunyi, kami harus segera harus lari ke bunker-bunker di depan flat yang kami tinggali. Meski begitu, kami tidak pernah berhenti menimba ilmu. Gelar gak usah dijadikan patokan. Kalau gelar berhasil diraih, ya alhamdulillah. Kalau gelar gak teraih, ilmu sebanyak-banyaknya harus kita bawa pulang ke negeri kita. Apa gunanya dapat gelar doktor kalau ternyata kemampuannya memble. Bukan begitu “gaya” santri Kiai Ali Maksum dari Pondok Pesantren Krapyak (entah dari mana Gus Dur tahu bahwa saya pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta) . Bayangkan, walau beliau hanya lulusan pesantren dan kemudian menimba di Makkah, tapi beliau kini menjadi seorang guru besar Tafsir Al-Qur’an yang disegani, walau beliau tanpa gelar sama sekali…Birokrasi di negeri ini jangan dijadikan alasan…Anda tahu maksud saya, kan?”
“Benar kata Mas Dur tadi…” sahut Gus Mus. “Kesulitan seyogianya tidak dijadikan alasan untuk tidak menimba ilmu sebaik-baiknya di negeri ini. Sebab, di sinilah sejatinya Anda bisa menimba ilmu-ilmu keislaman yang sangat kaya jika Anda tahu menyiasatinya. Khazanah ilmiah keislaman yang dimiliki negeri ini luar biasa kayanya… Baiklah, kayaknya Gus Dur saat ini sudah lapar. Ayo kita makan di math’am kawari ‘ (resto sup kaki kambing) di samping sebuah lorong di antara kedai-kedai di Khan Khalili itu. Dulu, math’am itu adalah langganan kami ketika kami lagi punya duit…Selepas itu, kita pergi ke Azbakiah, mencari buku-buku bekas yang gak ada di toko-toko buku…”

Kami pun kemudian menikmati makan siang di math‘am kawari ‘ itu.

Betapa saya bersyukur sekali siang itu, selain bisa bertemu dengan kedua tokoh itu tanpa direcoki oleh siapa pun, saya masih diajak menikmati kawari ‘ nan sangat lezat itu. Selepas menikmati kawari ‘, kami kemudian menikmati puding semolina, mahalabiyyah. Dan, tak lama selepas menikati sajian-sajian itu, Gus Mus tiba-tiba berucap kepada saya, “Kalau Anda gak keberatan, bisakah Anda hari ini mengantar kami jalan-jalan ke Azbakiah, kemudian menuju Musium Islam, Masjid Sayyidah Zainab, Makam Imam Syafi’i, Masjid Muhammad ‘Ali, toko-toko buku di seputar ‘Atabah, dan malam nanti kita langsung menuju markas Persatuan Pelajar Indonesia di Bab el-Louk. Bagaimana?”
“Sami‘na wa atha‘na, Gus Mus…” jawab saya, takzim.

Benar saja, tak lama selepas menikmati santap siang, kami dengan naik bus yang padat penumpang kemudian menuju Azbakiah. Naik bus yang demikian, Gus Dur dan Gus Mus senyum-senyum saja. Ketika telah berada di Azbakiah, di lokasi yang merupakan pusat buku-buku bekas itu Gus Dur dan Gus Mus menemukan sejumlah buku yang sangat berharga. Menurut mereka, kala mereka masih menjadi mahasiswa di Kairo mereka berdua sering berjam-jam memburu buku-buku berharga yang sudah tidak diterbitkan lagi dan selepas itu menonton film di sebuah gedung bioskop di Tal’at Harb St . Dan, dari Azbakiah, kami kemudian menuju ke arah Sayyidah Zainab dengan naik trem yang juga penuh dengan penumpang. Kami turun di halte dekat Musium Islam (yang kala itu masih menyatu dengan Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah).

Kemudian, selepas menikmati pelbagai khazanah Islam di Musium Islam, kami menuju Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah. Ketika berada di Perpustakaan Nasional Mesir itu, Gus Dur berpesan kepada saya, “Usahakan setiap minggu Anda kunjungi tempat-tempat historis di negeri ini. Mengapa demikian? Sedotlah semangat dan daya juang para tokoh terkemuka negeri ini. Saya misalnya, dulu, ketika berada di perpustakaan ini, selalu mencari di mana kursi yang biasa ditempati Thaha Husain, Mahmud Al-‘Aqqad, Ahmad Lutfi Al-Sayyid, atau Muhammad Husain Haikal. Dengan duduk di kursi-kursi itu, Anda akan bisa merasakan semangat belajar mereka dan mengapa mereka memilih lokasi itu. Cobalah, nanti Anda akan menemukan sendiri “sesuatu” yang luar biasa…”
“Baik, Gus Dur…” jawab saya, takzim.

Ketika Gus Dur sedang asyik melihat khazanah buku-buku yang ada di Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, tiba-tiba Gus Mus mendekati dan membisiki saya, “Tolong, camkan benar apa yang dikatakan Mas Dur tadi. Mas Dur bermaksud baik terhadap Anda. Pengalaman hidup Mas Dur kaya warna. Ambillah “mutiara-mutiara” kemilau yang ada pada dirinya, tapi dengan sikap kritis yang bijak. Saya sering tidak seiring pendapat dengannya. Tapi, saya tetap menghormatinya. Saya pun kadang-kadang berseberangan pandangan dengannya. Tapi, pandangan itu selalu saya sampaikan kepadanya dengan cara yang tidak membuat “gaya Jawa Timurannya” membara.”
“Gus Mus, kalau boleh tahu, bagaimana “gaya Jawa Timuran” Gus Dur?”
“Niatnya baik, tapi diungkapkan dengan seenaknya sendiri…” jawab Gus Mus seraya tersenyum.

Dari Musium Islam, kami kemudian menuju Masjid Sayyidah Zainab. Selepas itu, kami kemudian menuju ke Mesir Lama, untuk berziarah ke Makam Imam Syafi’i dan Imam Waki’. Lantas, menjelang magrib, kami telah tiba di Masjid Muhammad ‘Ali yang dilingkungi Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi. Dan, ketika menjelang isya, kami telah tiba di sebuah flat di Bab el-Louk, sebuah flat yang menjadi markas besar Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir yang terletak tidak jauh dari Midan Tahrir dan American University in Cairo. Di flat itu, tentu saja kedatangan Gus Dur dan Gus Mus disambut hangat oleh para mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Mesir.

Eh, keriuhan para mahasiswa Indonesia yang menyambut kedatangan Gus Dur dan Gus Mus itu ternyata membuat saya terjaga dari tidur yang sangat pulas. Dan, ternyata, semua kejadian yang saya alami tadi hanya mimpi belaka.

Friday, December 18, 2009

Shalat Jumat Perdana Nabi Saw.


Tadi siang, ketika penulis sedang mendengarkan khutbah Jumat seorang khatib, entah kenapa yang terbayang saat itu Rasulullah Saw. sedang melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya. Seperti tercatat dalam torehan sejarah Islam, shalat Jumat perdana Nabi Saw. itu ternyata beliau lakukan ketika beliau memasuki Yatsrib. Kala itu sendiri hari Jumat. Bagaimanakah kisah shalat Jumat perdana Nabi itu?

Hari itu, Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H, kala terik matahari di musim panas di penggal terakhir (tanggal 23) bulan September 622 M tengah menyengat dengan ganasnya, Rasulullah Saw. dan sahabat tercinta beliau, Abu Bakar Al-Shiddiq, menapakkan kaki memasuki Desa Quba’. Kala itu, orang-orang yang menantikan kedatangan Rasulullah Saw. dengan harap-harap cemas itu telah kembali ke rumah masing-masing dengan rasa putus asa. Tak mungkin hari ini orang yang mereka nantikan kedatangannya itu tiba di Yatsrib. Tapi, tiba-tiba seorang Yahudi berteriak-teriak nyaring, “Wahai Bani Qa’ilah! Itu orang yang kalian nantikan kedatangannya telah tiba!”

Semua orang menghambur dari rumah-rumah mereka. Rasul Saw. dan Abu Bakar Al-Shiddiq ternyata sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon kurma. Orang-orang pun berkerumun di sekeliling beliau. Sebagian besar di antara mereka tak dapat membedakan mana Rasul Saw. dan mana Abu Bakar. Tapi, di saat bayangan pohon kurma bergeser, Abu Bakar memayungkan jubahnya di atas kepala beliau. Kini, tahulah mereka yang mana Nabi mereka.

Di Desa Quba’ itu, Rasul Saw. kemudian beristirahat di rumah seorang lelaki lanjut usia yang selama itu dijadikan pangkalan oleh kaum Muslim Makkah yang baru tiba di Yatsrib, antara lain Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan Zaid bin Haritsah, yakni rumah Kultsum bin Hadm. Bani ‘Amr, kabilah Kultsum, adalah suku Aus. Sedangkan Abu Bakar Al-Shiddiq menuju rumah Khubaib bin Yasaf atau Kharijah bin Zaid (yang kemudian menjadi mertua Abu Bakar), seorang Khazraj di Sunh, sebuah desa yang agak dekat dengan Yatsrib. Selepas satu atau dua hari, ‘Ali bin Abu Thalib tiba dari Makkah, dan tinggal di rumah yang sama dengan Rasul Saw. Untuk mengembalikan semua barang yang dititipkan kepadanya bagi para pemiliknya, ia memerlukan waktu selama tiga hari.

Rasulullah Saw. berdiam di Desa Quba’ selama empat hari, semenjak Senin hingga Kamis. Lalu, atas saran ‘Ammar bin Yasir, beliau membangun Masjid Quba’. Inilah masjid pertama dalam sejarah Islam, dan beliau sendirilah yang meletakkan batu pertama di kiblatnya, yang kemudian diikuti oleh Abu Bakar Al-Shiddiq, lalu diselesaikan beramai-ramai oleh para sahabat lainnya.

Pada Jumat pagi, Rasul Saw. meninggalkan Quba’. Di siang hari, beliau dan para sahabat berhenti di Lembah Ranuna, di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf dari suku Khazraj, untuk melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya. Sebelum melaksanakan shalat bersama sekitar seratus jamaah, seusai mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., beliau berkhutbah,

Amma ba‘du. Wahai kaum Muslim, hendaklah kalian berbuat kebajikan demi keselamatan diri kalian sendiri. Demi Allah, kalian tentu mengetahui, setiap orang di antara kalian pasti akan berpulang ke hadirat Allah dan meninggalkan domba-domba piaraannyya. Tuhan akan bertanya kepadanya, langsung tanpa perantara dan tiada tirai apa pun yang akan memisahkannya, ‘Apakah Utusan-Ku tak datang kepadamu untuk menyampaikan amanah-Ku? Bukankah kepadamu telah kuanugerahkan harta dan pelbagai nikmat?’Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan demi keselamatan dirimu sendiri?’

Orang yang ditanya itu akan menengok ke kanan dan ke kiri. Tapi, ia tak melihat sesuatu. Ia kemudian melihat ke depan dan yang tampak hanyalah neraka Jahannam. Karena itu, barang siapa mampu melindungi dirinya dari api neraka, walau hanya dengan sebutir buah kurma, lakukanlah! Bila tiada sesuatu apa pun yang dapat diberikan, cukuplah dengan ucapan yang baik. Sungguh, setiap kebaikan akan memperoleh balasan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Wassalamu‘alaikum wa ‘ala Rasulillah.


Sebuah khutbah sarat makna yang singkat, padat, dan sangat memikat! Inti khutbah itu ialah sejatinya manusia senantiasa kuasa berbuat kebaikan, dengan bersedekah dan memberi, walau ia seorang miskin. Beliau menyampaikan, seseorang kuasa menghindarkan diri dari neraka dan masuk surga walau hanya dengan sebutir buah kurma. Demikian halnya kata-kata yang baik pun juga dapat menghindarkan seseorang dari neraka dan masuk surga dalam timbangan Allah Swt. Dengan kata lain, kemampuan berbuat kebaikan dan memberi sejatinya terdapat pada diri setiap orang. Bagaimana pun kondisinya!

Usai melaksanakan shalat Jumat pertama kali dalam sejarah Islam, Rasul Saw. melanjutkan perjalanan ke pusat Kota Yatsrib. Bani Al-Najjar, suku terkenal di kota itu dan merupakan kerabat beliau dari pihak Ibunda beliau, Aminah binti Wahb, datang dengan memanggul senjata untuk menyambut kedatangan beliau. Dan, ketika memasuki kota, beliau mendapat sambutan yang sangat meriah. Banyak orang berusaha menghentikan beliau dan mengajak beliau tinggal bersama mereka. Bagi beliau, tentu sulit untuk memutuskan. Karena itu, beliau membiarkan untanya melanjutkan perjalanan, dan mengatakan kepada khalayak ramai bahwa beliau akan tinggal di tempat berhentinya unta. Ketika tiba di dekat lahan milik Abu Ayyub Al-Anshari, unta beliau berlutut tepat di depan rumah Abu Ayyub di atas lahan kosong milik dua anak yatim, Sahl dan Suhail, tempat tegaknya Masjid Nabawi dewasa ini. Unta itu lantas diurus oleh As‘ad bin Zurarah.

Abu Ayyub Al-Anshari, tentu, sangat gembira, suka cita, dan bahagia. Untuk menghormati Rasul Saw., ia mempersilakan beliau tinggal di lantai atas rumahnya yang bertingkat dua. Tapi, beliau memilih tinggal di lantai bawah, untuk memudahkan para tamu menemui beliau. Abu Ayyub menyediakan segala keperluan beliau yang tinggal di rumahnya selama sekitar tujuh bulan. Selepas itu, beliau pindah ke rumah beliau sendiri.

Selepas Rasul Saw. tinggal di Yatsrib, kota itu diganti namanya menjadi “Kota Nabi” (Madînah Al-Nabiy), atau “Kota nan Cemerlang” (Al-Madînah Al-Munawwarah), Thaibah, dan Thabah .

Thursday, December 17, 2009

Sekali Lagi tentang Tahun Hijriah


Tak terasa, mulai esok hari kita akan menapaki tahun baru kaum Muslim, yaitu Tahun Hijriah. Menurut torehan sejarah Islam, penanggalan dalam Islam yang menjadikan tahun peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw. ke Madinah sebagai tahun pertama ini mulai diberlakukan pada masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab, khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. Kala itu, kawasan Islam kian membentang luas. Akibatnya, urusan administrasi kenegaraan pun kian memerlukan penanganan yang lebih teratur.

Beberapa tahun selepas menerima amanah kekhalifahan itu, ‘Umar bin Al-Khaththab pun mengadakan permusyawaratan dengan sejeumlah sahabat terkemuka, untuk membicarakan penentuan awal hitungan tahun Islam. Dalam pertemuan itu (yang terjadi pada 17 H/628 M. Ada juga yang menyatakan, peristiwa itu terjadi pada tahun ke-16 H atau 18 H) akhirnya mereka menerima usul ‘Ali bin Abu Thalib yang mengambil peristiwa hijrah Nabi Saw. sebagai awal hitungan penanggalan Islam (tahunnya saja, bukan bulan dan tahunnya). Menurut catatan sejarah, di antara para pakar tiada kesepakatan tentang tanggal yang pasti tentang kedatangan beliau ke Madinah. Namun, yang banyak diikuti adalah yang menyatakan bahwa kedatangan beliau ke kota itu pada Jumat, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H. Hari Senin sebelumnya, 8 Rabi‘ Al-Awwal, beliau tiba di Quba’ dan mendirikan sebuah masjid di sana. Tanggal 12 Rabi‘ Al-Awwal itu bertepatan dengan 24 September 622 M.

Mungkin, di sini timbul pertanyaan: mengapa peristiwa Hijrah Rasul Saw. itu yang dipilih sebagai patokan? Ini karena peristiwa itu merupakan titik terang perkembangan Islam. Lagi pula, dalam peristiwa itu terkandung banyak nilai yang diperlukan kaum Muslim dalam menapaki kehidupan dunia dan akhirat.

Di sini mungkin timbul pertanyaan lain: akuratkah Tahun Hijriah yang didasarkan pada peredaran Bulan mengelingi Bumi (Qamariyyah)? Menurut Prof. Dr. Thomas Jamaluddin (seorang profesor peneliti di LAPAN, Indonesia), dalam sebuah tulisannya yang menarik, memang benar perhitungan Tahun Hijriah didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Dalam hal ini perlu diketahui, yang digunakan adalah kala edar sinodis yang lamanya 29,53059 hari. Sehingga, dalam satu bulan ada 29 atau 30 hari. Selain itu juga disepakati, bulan-bulan ganjil sebagai berikut: 1 (Muharram), 3 (Rabi‘ Al-Awwal), 5 (Jumada Al-Ula), 7 (Rajab), 9 (Ramadhan), dan 11 (Dzulqa‘dah) mempunyai 30 hari. Sedangkan bulan-bulan genap: 2 (Shafar), 4 (Rabi‘ Al-Akhir), 6 (Jumada Al-Tsaniyyah), 8 (Sya‘ban), 10 (Syawwal), dan 12 (Dzulhijjah) mempunyai 29 hari. Hal ini berarti dalam 12 bulan terdapat 354 hari. Dengan kata lain, lebih pendek 11 hari daripada Tahun Matahari (Syamsiyyah). Tetapi, sebenarnya setelah 354 hari bulan kembali ke fase bulan baru. Dua belas lunasi (kedatangan bulan baru) sebenarnya terdiri dari 354,36708 hari. Kelebihan 0,36708 hari itu bila dijumlahkan dalam 30 tahun kira-kira menjadi 11 hari. Karena itu, agar hitungan tahun dan lunasi sebenarnya sesuai, perlu ditambahkan 11 hari dalam 30 tahun itu. Ini berarti harus ada 11 tahun kabisat yang mempunyai 355 hari. Satu hari tambahan ini diberikan pada bulan terakhir, Dzulhijjah, sehingga mengandung 30 hari. Aturan untuk menentukan tahun kabisat ditentukan dengan membagi angka Tahun Hijriah dengan 30. Tahun kabisat bila sisa pembagian itu: 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29. Dengan aturan-aturan seperti itu, dalam 30 tahun mengandung 10.631 hari. Sedangkan lunasi sebenarnya selama 30 tahun (360 lunasi) adalah 10.631,0124 hari. Jadi, perbedaannya dalam 30 tahun hanya 0,0124 hari. Ini berarti lunasi sebenarnya dan hitungan Tahun Hijriah akan berbeda 1 hari setelah 2419 tahun (= 1/0,0124 x 30 tahun).

Dengan kata lain, kalender Hijriah memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Dan, dengan datangnya tahun baru 1431 H, penulis mengucapkan, “Selamat Tahun Baru Hijriah, kiranya Allah Swt. senantiasa memberkahi dan meridhai langkah-langkah kita dalam menapaki tahun 1431 H. Amiin”.

Tuesday, December 15, 2009

"Bintang dari Timur"


Thala’al badru ‘alainâ
Min Tsaniyyatil Wadâ’
Wajabasy-syukru ‘alainâ
Mâ da’â lillahi dâ’


“Mas, itu suara Ummu Kultsum, ya?” tanya istri penulis tadi pagi, selepas melaksanakan shalat subuh, ketika mendengar lagu indah dari album “Al-Tsulatsiyyah Al-Muqaddasah” dari laptop penulis yang penulis sambungkan ke sebuah tape compo.
“Ya, kenapa?” jawab penulis. Penasaran.
“Lagu itu kok menggetarkan hati saya…” jawab istri penulis. “Lagu itu indah sekali. Apalagi diiringi orkestra. Bolehkah lagu itu saya pakai untuk mengiringi sebuah acara yang akan digelar 1 Muharram nanti?”

“Alhamdulillah…”, gumam pelan penulis karena mendengar ucapan dia yang demikian. Tidak biasanya dia menyenangi lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ummu Kultsum. Karena itu, tentu saja, penulis segera mengizinkan. Selain mengizinkan, penulis merasa lega. Mengapa? Ini karena biasanya dia begitu antipati terhadap lagu-lagu Ummu Kultsum, seorang penyanyi tenar asal Mesir yang penulis gandrungi. Dia pun sejatinya sangat hapal, setiap hari selepas melaksanakan shalat subuh hingga malam hari, penulis senantiasa menulis dengan diiringi oleh bacaan al-Qur’an murattal oleh seorang qari’ kesohor asal Kuwait, Mishari bin Rashid Al-‘Afashi, atau lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ummu Kultsum, atau lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ebeit G. Ade. Walau acap mendengarkan lagu-lagu Ummu Kultsum, entah kenapa, hingga kini dia tetap antipati terhadap lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ummu Kultsum, kecuali dua lagu: Wulid Al-Hudâ dan Al-Tsulâtsiyyah Al-Muqaddasah (yang berisi lagu yang dia dengarkan tadi pagi).

Memang, merupakan kebiasaan penulis, ketika sedang menulis atau membaca buku, senantiasa diiringi bacaan Al-Qur’an atau lagu-lagu. Kebiasaan itu telah tumbuh semenjak penulis menimba ilmu di Yogyakarta antara 1972-1977. Kemudian, ketika penulis menimba ilmu di Mesir antara 1978-1984, kegemaran mendengarkan bacaan Al-Qur’an kian membuncah. Kala itu, pemerintah Mesir (lewat Radio Mesir, Shaut Al-Qahirah) menyediakan satu channel khusus selama 24 jam untuk program Al-Qur’an. Selain mendengarkan bacaan Al-Qur’an, kesenangan penulis mendengarkan lagu-lagu kian membara karena hampir setiap hari senantiasa mendengarkan lagu-lagu yang disiarkan oleh Shaut Al-Qahirah sepanjang 24 jam. Sejak itulah, penulis mulai menggandrungi lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ummu Kultsum. Kegandrungan itu, ternyata, tidak pernah sirna hingga dewasa. Siapakah Ummu Kultsum? Bagaimanakah perjalanan hidupnya?

Menurut catatan yang ada, penyanyi, penulis lagu, dan aktris tenar asal Mesir ini lahir pada Rabu, 18 Shafar 1322 H/4 Mei 1904 M di Soumale, dekat Tammay Al-Zahayra, Sembellawein, Daqahliyyah, Mesir. Tanggal kelahiran putri pasangan suami-istri Syaikh Ibrahim Al-Sayyid Al-Baltaji dan Fatma Ibrahim Al-Baltaji ini ada beberapa versi. Pemerintah Mesir pun memberikan dua tanggal lahir: Sabtu, 17 Rajab 1316 H/31 Desember 1898 M dan Sabtu, 23 Syawwal 1322 H/31 Desember 1904 M. Sejak kecil, penyanyi yang mendapatkan sebutan “Kaukab Al-Syarq” (Bintang dari Timur) ini telah menunjukkan bakat menyanyinya yang menonjol. Segera, bakat itu “tercium “ oleh seorang pemetik ‘ûd (kecapi Arab) tenar di Kairo kala itu, Zakariyya Ahmad, yang bermaksud mengundang Ummu Kultsum ke Kairo. Tapi, undangan ke Kairo itu baru diterima Ummu Kultsum pada 1341 H/1923 M. Itu pun dari seorang pemetik ‘ûd lain, yaitu Amin Beik Al-Mahdi. Pemetik ‘ûd terakhir itulah yang mengenalkan Ummu Kultsum ke lingkungan budaya di Kairo.

Segera, penyanyi yang suaranya dikagumi pula oleh Maria Callas, Jean-Paul Sartre, Marie Laforêt, Salvador Dalí, Nico Bono, dan Led Zeppelin ini berkenalan dengan Ahmad Rami, seorang penyair terkemuka Mesir yang kelak akan menggubah 137 lagu untuk sang penyanyi. Tidak hanya itu. Ahmad Rami juga “mengenalkan’ kepadanya sastra Perancis (yang pernah ia kaji selama menjadi mahasiswa di Universitas Sorbonne, Paris) dan sastra Arab. Selain itu, ia juga dikenalkan dengan seorang virtuoso dan komposer, Muhammad Al-Qasabji. Sang komposer itulah yang mengenalkan Ummu Kultsum dengan Istana Teater Arab. Begitu penampilan pertamanya di istana itu berhasil, pada 1351 H/1932 M dan atas dukungan Al-Qasabji, namanya pun menjadi tenar. Sehingga, tak lama kemudian pelbagai undangan untuk tampil datang dari pelbagai kota di Dunia Arab: Damaskus, Baghdad, Beirut, dan Tripoli. Kemudian, pada 1371 H/1952 M, ketika di negerinya terjadi perubahan rezim pemerintahan dan Gamal Abdel Nasser naik ke pentas kekuasaan, penyanyi yang banyak di antara lagu-lagunya digubah oleh Zakariyya Ahmad, Bairam Al-Tunsi, Riyadh Al-Sunbathi, dan Ahmad Syauqi ini pernah sempat dilarang tampil. Tapi, segera larangan itu dicabut, karena rezim itu menyadari pengaruh penyanyi yang memiliki ciri khas: dua atau tiga lagu ia senandungkan selama sekitar enam jam (selepas memasuki masa lanjut usia, lama lagu-lagunya diperpendek menjadi selama sekitar dua atau tiga jam).

Sejak 1387 H/1967 M, istri Dr. Hassan Al-Hafnawi, seorang dokter penyakit kulit, ini menderita radang ginjal (nephritis). Penyanyi yang, meminjam ungkapan Virginia Danielson dalam Harvard Magazine, “memiliki keindahan suara seperti suara Joan Sutherland atau Ella Fitzgerald, daya pikat terhadap publik seperti daya pikat yang dimiliki Eleanor Rosevelt, dan para penggemar seperti para penggemar Elvis Presley” ini berpulang di Kairo pada Senin, 21 Muharram 1395 H/3 Februari 1975 M. Lagu-lagunya, antara lain, adalah Aghadan Alqâk, Alf Lailah wa Lailah, Arûh li Min, Al-Athlâl, Amal Hayâti, Ba‘îd ‘Annak, Al-Hub Kulluh, Inta Al-Hub, Inta ‘Umrî, Hâdzihi Lailatî, Hadîts Al-Rûh, dan Wulid Al-Hudâ.

Penulis sendiri tidak tahu, kenapa menggandrungi lagu-lagu Ummu Kultsum. Terutama dua lagunya, Wulid Al-Hudâ dan Al-Tsulâtsiyyah Al-Muqaddasah. Karena hati penulis begitu tergetar ketika mendengarkan lagu Wulid Al-Hudâ, yang digubah oleh seorang penyair terkemuka Mesir, Ahmad Syauqi (1287-1351 H/1870-1932 M), lagu itu pun penulis jadikan sebagai kutipan pembuka sebuah karya penulis, Muhammad Sang Kekasih, yang diterbitkan oleh Penerbit Mizania, Bandung. Kutipan pembuka indah itu adalah sebagai berikut:

Wulida-l-hudâ fa-l-kâ’inâtu dhiyâ’u
Wa fammu-z-zamâni tabassumun wa tsanâ’u
A-r-rûhu wa-l-mala’u-l-malâ’iku haulahu
Li-d-dîn-i wa-d-dunyâ bihi busyrâ’u
Wa-l-‘arsyu yazhû wa-l-hadzîratu tazdahî
Wa-l-muntaha wa-d-durratu-l-‘ashmâ’u

Telah lahir Sang Nabi, pembawa petunjuk nan cemerlang
Semesta alam pun berpendar sangat benderang
Mulut zaman tiada henti dan senantiasa menggemakan
Senyuman, pujian, serta sanjungan

Jibril dan para malaikat pun mengitarinya senantiasa
Karena berita gembira ‘tuk agama dan dunia sertai kelahirannya
‘Arasy bangga dan surga tak kalah ceria
Sidrah Al-Muntaha dan Mutiara Putih pun berdendang ria

Tuesday, December 1, 2009

Sang Sultan pun Dia Lawan


Menulis, menulis, dan menulis ternyata kadang membuat seseorang lupa akan sesuatu yang pernah ia tulis. Itulah yang terjadi pada diri penulis: beberapa hari lalu penulis mencoba men”search” nama diri sendiri. Tiba-tiba di antara deretan informasi yang muncul, ternyata sebuah buku yang pernah penulis tulis telah terbit. Yaitu buku Mutiara Riyâdhush Shâlihîn, sebuah karya besar Imam Al-Nawawi. Ternyata, kitab itu telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Bandung. Seperti diketahui, karya yang satu ini merupakan sebuah kitab yang menyajikan intisari dari hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis terkemuka, seperti halnya Shahîh Al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, dan beberapa kitab hadis lainnya. Ada sebuah kepuasan tersendiri ketika saya menerjemahkan dan mengikhtisarkan kitab yang satu. Mengapa? Selain karena karya ini merupakan sebuah karya besar dan utama, juga karena penulis sendiri pernah tiga kali mengikuti pengajian kitab tersebut yang diberikan oleh K.H. Ali Maksum (alm.), sewaktu penulis masih menjadi santri di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta pada tahun-tahun 1972-1975.

Di sisi lain, seperti pernah penulis kemukakan dalam salah satu tulisan di blog ini, setiap kali merenungkan kitab-kitab hadis yang pernah penulis pelajari, penulis kian menyadari bahwa karya-karya tersebut, selain kesahihannya dapat dipertanggungjawabkan, mampu memberikan pencerahan dan kemanfataan kepada umat selama beratus-ratus tahun tidak lepas dari kebeningan dan keikhlasan niat para pengarang kitab-kitab tersebut, di samping integritas akhlak mereka yang luar biasa. Imam Al-Bukhari, misalnya, setiap kali akan menorehkan penanya dalam menulis sebuah hadis, senantiasa mendahuluinya dengan berwudhu terlebih dahulu. Tampaknya hal itu sederhana. Tapi, sejatinya, hal itu mengungkapkan niat yang bersih dan ikhlas dan integritas yang luar biasa. Tidaklah mudah bagi siapa pun untuk berwudhu setiap kali akan menulis sesuatu. Apalagi kala itu dapat dibayangkan air tidak mudah didapat dan listrik belum ada. Imam Al-Ghazali pun, ketika menyusun Kitab Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn selama sembilan tahun, dia menanggalkan jabatan guru besar dengan segala fasilitas luar biasa yang diberikan oleh Nizham Al-Mulk dan menyendiri di lingkungan yang sunyi di Masjid Umawi, Damaskus, dengan hanya memakai lentera kecil. Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam Al-Nawawi. Tokoh terakhir yang satu ini pun memiliki integritas yang luar biasa.

Siapakah Imam Al-Nawawi yang penyusun karya besar yang satu ini?

Ulama terkemuka pada abad ke-7 H/13 M ini bernama lengkap Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf bin Murri bin Al-Hasan bin Al-Husain bin Hizam bin Muhammad bin Jum‘ah Al-Nawawi Al-Syafi‘i. Ia lahir pada Ahad, 10 Muharram 631 H yang bertepatan dengan 16 Oktober 1233 M di Nawa, Jawlan di selatan Damaskus, Suriah. Pada 649 H/1251 M, setelah memperdalam berbagai ilmu keislaman, Al-Nawawi muda pun menapakkan kakinya menuju Damaskus. Di kota yang pernah menjadi ibukota Dinasti Umawiah ini, karena keluasan ilmu dan wawasannya, ia diangkat sebagai staf pengajar Perguruan Dar Al-Hadits Al-Asyrafiyah.

Beberapa tahun selepas itu, terjadi sebuah peristiwa yang menarik yang melibatkan diri ulama yang satu ini. Kejadiannya adalah sebagai berikut:

Saat itu pertengahan tahun-tahun 1250-an M. Kala itu, gerak maju pasukan Mongol di bawah pimpinan Jenderal Hulagu Khan, dalam upaya menguasai dunia Islam, seakan tak terbendung lagi. Satu demi satu pelbagai wilayah dunia Islam kala itu jatuh tak berdaya sama sekali dalam cengkeraman pasukan yang terkenal sangat ganas dan brutal di bawah pimpinan putra Tului Khan dan cucu Jengis Khan itu, yang mendapat perintah dari Mangu, saudaranya yang menjabat Khan Besar, untuk melibas dunia Islam. Pada Januari 1256 M pasukan Mongol di bawah komando sang jenderal mulai menyeberangi Sungai Oxus (Amu-Darya). Setelah merontokkan Benteng Alamut, yang menjadi pusat pertahanan sangat tangguh kelompok Hasysyâsyûn (dalam khazanah ilmiah barat disebut kelompok Assasins) yang sangat ditakuti kala itu, pada awal 1258 M pasukan yang terkenal sangat garang dan kejam itu mulai mengepung Baghdad Dar Al-Salam. Akhirnya, kota yang dibangun Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa kedua Dinasti Abbasiyyah, itu pun diluluhlantakkan pada Ahad, 4 Shafar 656 H/10 Februari 1258 M dan penguasa Dinasti Abbasiyyah kala itu, Al-Mu‘tashim, dibunuh.

Kejatuhan Baghdad Dar Al-Salam dengan korban kaum Muslim yang sangat besar, membuat seorang panglima militer Dinasti Saljuq (kelak akan menjadi seorang sultan), termangu dan sangat masygul. Panglima yang satu ini lahir pada 620 H/1223 M, sebagai seorang mamlûk (yang berarti budak, tapi kemudian menjadi nama dinasti), asal Kipchak, Kaukasus, wilayah pegunungan di perbatasan Rusia dan Turki. Kala masih kecil, ia dijual dengan harga murah bersama para budak dan direkrut Al-Malik Al-Shalih (karena itu mendapat sebutan Al-Shalihi) dari Dinasti Ayyubiah di Mesir, untuk diberi pendidikan militer dan dijadikan sebagai pengawal sultan karena mereka dikenal gagah dan kuat. Mereka diberi kedudukan sehingga kedudukan mereka meningkat. Akhirnya, mereka memberontak dan mendirikan Dinasti Mamluk. Sang mamluk yang satu itu sendiri, yang menjadi salah seorang saksi tegaknya Dinasti Mamluk pertama, atau Dinasti Mamluk Bahriah, mulai kariernya dari bawah. Kala Al-Malik Al-Muzhaffar Quthuz berkuasa, ia diangkat sebagai atabeg para serdadu. Namanya mulai berpendar dalam Perang Salib, karena ia berhasil menangkap Raja Louis IX dari Prancis. Selain itu, ia ikut bertanggung jawab dalam peristiwa terbunuhnya Turan Syah, penguasa dari Dinasti Ayyubiyyah.

Selepas merenung, merenung, dan merenung, sang panglima akhirnya menyadari, tidaklah mudah untuk menghadang gerak maju pasukan Mongol di bawah pimpinan Jenderal Hulagu Khan itu. Maka, selepas mendapat masukan-masukan dari pelbagai pihak, tokoh militer yang juga terkenal sebagai seorang yang saleh dan dikenal sangat ketat menjaga syariah itu mengundang seorang ulama di Damaskus. Sang panglima mengharapkan, kiranya sang ulama berkenan menggunakan seluruh pengaruhnya terhadap masyarakat luas untuk mendanai sang panglima dalam upayanya menghadang gerak maju pasukan Mongol yang mulai mengarahkan geraknya menuju Suriah dalam perjalanan untuk menaklukkan Mesir.

Menerima permintaan demikian, ulama dengan kepribadian yang penuh integritas itu memberi nasihat seperti adanya kepada sang panglima, “Wahai panglima! Dulu, Anda budak belian. Sekarang, Anda panglima. Kini, Anda memiliki tidak kurang dari 1.000 budak, yang masing-masing Anda lengkapi dengan pelbagai pakaian kebesaran, untuk kemegahan Anda, penuh bertabur emas. Anda juga mempunyai 100 dayang. Sekujur badan mereka penuh pula dengan hiasan emas dan permata. Kalau Anda bersedia menanggalkan pakaian emas 1.000 budak dan 100 dayang itu, menggantinya dengan baju biasa, selama perang ini, saya akan mempergunakan pengaruh saya kepada rakyat supaya mereka berkorban!”

Akibatnya, sang panglima yang sangat menyukai olah raga polo itu murka dan mengusir sang ulama dari Damaskus. Dan, selepas pertemuan antara sang ulama dengan sang panglima tersebut, baliklah sang ulama yang satu ini ke desa kelahirannya dan menetap di sana sampai berpulang ke hadirat Allah pada Rabu malam, 24 Rajab 676 H/22 Desember 1277 M dalam usia sekitar 45 tahun, dengan meninggalkan sederet karya tulis. Antara lain Raudhah Al-Thâlibîn, Al-Minhâj, Daqâ’iq Al-Minhâj, Al-Manâsik Al-Sughrâ, Al-Isyârât li Bayân Asmâ’ Al-Mubhimât, Al-Tibyân, Al-Adzkâr, Al-Fatâwâ, Tahdzîb Al-Asmâ’ wa Al-Lughah, Syarh Shahîh Muslim, Al-Arba‘ûn Hadîtsan, di samping karya terkenalnya Riyâdh Al-Shâlihîn. Jenazah ulama yang terkenal sangat teliti dan cermat serta tidak meninggalkan keturunan ini dimakamkan di rumah ayahandanya dan kuburnya masih terpelihara hingga kini.