Monday, June 29, 2015

PENITI TANGGUH STRATA SOSIAL

Bapak, meniko IPK kulo semester meniko. Bapak, ini IPK saya semester ini.”

Demikian ucap seorang anak muda bertubuh kurus kepada saya menjelang  awal bulan Ramadhan yang lalu, seraya menyerahkan sebuah stopmap. Ketika stopmap yang berisi penjelasan tentang Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) anak muda itu dari sebuah universitas kondang di Bandung , ternyata IPK yang ia capai adalah 3,73. “Alhamdulillah,” gumam pelan bibir saya. “Ia benar-benar berjuang sepenuh hati.”
“Biar saya sampaikan kepada Ibu (maksud saya, istri saya) dulu, ya.”
Inggih. Ya.”

Ketika anak muda itu berlalu, segera benak saya pun melayang-layang ke belakang: sekitar 5 tahun yang lalu. Kala itu, kakak perempuan anak muda itu, yang ikut kami (saya dan istri) sebagai asisten rumah tangga, menyampaikan kepada kami bahwa ia memerlukan uang untuk dikirimkan kepada orang tuanya di sebuah desa di Jawa Tengah. Si kakak, yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi orang tuanya, beberapa tahun sebelumnya terpaksa meninggalkan desanya untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga kami sekeluarga. Padahal, ia  baru saja menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan nilai yang bagus.

Sayang, kemiskinan keluarganya membuat ia tidak kuasa melanjutkan pendidikannya. Namun, keinginannya untuk maju patut diacungi jempol. Sambil bekerja, ia kemudian mengambil kursus menjahit dan mengikuti pendidikan Paket C. Selain itu, ia juga mengikuti training untuk menjadi calon ustadzah pengajar Al-Quran. Selepas itu, tetap dengan bekerja bersama kami, ia kemudian juga kuliah. Karena memiliki otak yang cerdas dan kemauan yang membara, akhirnya semuanya dapat ia lalui, sehingga kemudian kini ia menjadi seorang guru Taman Kanak-Kanak dan ustadzah yang mengajar Al-Quran kepada anak-anak di Pesantren Mini kami serta hidup mandiri.

Sambil menyerahkan uang yang diminta, istri bertanya kepada si kakak, “Bagaimana kabar adikmu?”
Piyambake sampun lulus SMP. Namung, piyambake mboten saged nerusaken sekolahipun.  Sak meniko piyambake ngarit. Dia sudah lulus SMP. Tetapi, ia tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Sekarang  ia (kerjanya) mencari rumput (untuk makan terbak),” jawab si kakak pelan.
“Suruh ia ke sini, jika ia mau. Biar ia melanjutkan sekolah di sini sambil membantu di sini.”

Alhamdulillah, si adik dibolehkan kedua orang tuanya untuk melanjutkan sekolahnya di Baleendah. Karena nilai-nilai rapornya bagus, ia pun diterima di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Baleendah. Sambil belajar di sekolah tersebut, ia kemudian ikut training untuk menjadi ustadz yang mengajar Al-Quran untuk anak-anak. Dengan segera ia berhasil lulus training tersebut dan menjadi salah seorang ustadz di Pesantren Mini kami, seperti kakak perempuannya. Malah, karena pintar dan tekun, setelah lulus SMK tahun lalu, ia diterima di Universitas Telkom. Dan, lagi-lagi karena pintar dan tekun, ia selalu mendapatkan IPK yang tinggi.


Melihat pencapaian dan perjuangannya yang demikian, begitu ia berlalu, bibir saya pun bergumam pelan, “Allâhumma ij’alhu min ahl al-‘ilm wa ahl al-khair wa ahl al-tuqâ. Ya, jadikanlah ia termasuk orang-orang yang Engkau karuniai ilmu pengetahuan, kegemaran berbuat kebaikan, dan ketakwaan. Amin.” 

Friday, June 12, 2015

KETIKA SEORANG MUFTI MEMBERIKAN KULIAH

Saya akan datang! Sejak lama, selepas pulang dari Jerman, saya ingin mendengarkan kuliah mufti kita yang satu ini.”

Demikian ucap seorang jurnalis yang menggeluti dunia filsafat dan pemikiran kepada seorang sahabatnya. Perhatiannya, sejak muda usia, memang tercurah pada dua dunia itu, selain menggeluti profesinya sebagai seorang jurnalis. Karena itu, ketika ia mendengar mufti negerinya kala itu akan memberikan “studium generale” kepada para mahasiswa program pascasarjana di sebuah institut, ia pun dengan penuh semangat menyiapkan diri untuk menghadiri kuliah yang akan diberikan sang mufti yang mantan rektor sebuah universitas yang telah berusia sekitar 1.000 tahun itu.

Sebelum sang mufti tiba, sore itu ia sudah berada di auditorium institut tersebut. Sekitar 150 mahasiswa program pascasarjana  telah hadir di situ. Tak lama kemudian, sang mufti tiba. Sendirian tanpa pengawal atau pun pengiring. Melihat wajah sang mufti, sejenak ia terpana: betapa wajah itu memendarkan kewibawaan yang diwarnai kerendahan hati. Wajah sang mufti, dalam pandangannya, tampak memendarkan cahaya ilmu dan teladan yang menawan. Jenggot panjangnya yang memutih membuat kewibawaannya kian “bercahaya”, ditopang dengan serban putihnya dan jubah panjangnya yang berwarna hitam. Waktu saat itu menjelang saat shalat Maghrib.

Segera, sang mufti duduk di hadapan para mahasiswa: ada yang masih mengenakan seragam  militer, ada pula yang masih mengenakan baju dinas, dan ada pula mahasiswa yang mengenakan baju harian. Tak lama kemudian, sang mufti memberikan kuliah tentang Perjalanan Hidup Nabi Muhammad Saw. (Sîrah Nabawiyyah). Fase demi fase kehidupan sang Nabi pun dipaparkan sang mufti demikian menawan, dengan bahasa fushah (baku) yang indah dan nada suara yang santun tapi meyakinkan.

“Tak salah aku hadir pada sore hari ini. Betapa menawan kuliah yang diberikan mufti yang satu ini. Ilmu beliau memang luas sekali,” demikian gumam pelan bibir sang jurnalis mendengar kuliah yang diberikan sang mufti. “Semestinya, demikian inilah gambaran seorang ulama: merendah, berwibawa, berilmu, dan berwawasan luas.”

Tak lama kemudian saat shalat maghrib tiba. Tak lama selepas itu  salah seorang mahasiswa berucap kencang, “Ash-shalâh, ya syaikh! Saatnya shalat (maghrib), guru!” Ternyata, sang guru tetap melanjutkan kuliah yang ia berikan. Malah, paparannya tentang perjalanan hidup Rasulullah Saw. kian menawan. Paparan demi paparan menawan disampaikan sang mufti, sehingga waktu bergulir cepat mendekati saat isya’.  Menyadari hal itu, seorang mahasiswa berteriak kencang, “Ash-shalâh, ya syaikh!”

Meski ada teriakan kencang demikian, sang mufti tetap tidak menghentikan kuliah yang ia sampaikan. Karena itu, sejumlah mahasiswa pun keluar dari auditorium untuk melaksanakan shalat Maghrib. Dan, ketika saat isya’ tiba, sang mufti pun berucap, “Demikianlah kuliah tentang sirah nabawiyyah yang dapat  saya sampaikan hari ini. Betapa banyak pelajaran dan teladan indah yang dapat kita ambil. Kiranya kuliah yang saya paparkan bermanfaat bagi kalian.”

Usai berucap demikian, sang mufti diam sejenak. Dan, ucapnya selanjutnya, “Para mahasiswa sekalian. Tadi, ketika waktu maghrib tiba dan salah seorang di antara kalian berucap, “Ash-shalâh, ya syaikh,” tentu saya mendengarnya dan menyadarinya. Kemudian, ketika waktu isya’ menjelang masuk, saya juga mendengar teriakan salah seorang di antara kalian. Tetapi, saya tetap tidak menghentikan kuliah yang saya berikan. Mengapa? Saya ingin memberikan wawasan kepada kalian, hendaknya kita memahami hukum Islam dengan pandangan dan tinjauan yang luas. Saya ingin memberikan pandangan kepada kalian, suatu kegiatan ilmiah seperti ini dapat dijadikan landasan untuk menjama’ dua shalat. Memang, bisa saja ijtihad saya salah. Namun, ijtihad yang demikian ini kita perlukan dalam menghadapi perkembangan zaman yang bergerak demikian cepat. Banyak persoalan yang harus kita hadapi dan pecahkan dengan pandangan dan wawasan yang luas. Kalian sebagai para mahasiswa pascasarjana harus bisa memberikan contoh dalam hal ini. Tentu, hal itu harus bertolak dari niat dan maksud yang benar. Bukan karena didorong hawa nafsu. Wallâhu a’lam bi al-shawâb, wassalâmu’alaikum.”


Segera, sang mufti berdiri dan meninggalkan auditorium. Dan, melihat sang mufti berjalan di depannya, dengan langkah pelan, segera si jurnalis itu pun memburu sang mufti dan kemudian mencium tangan kanannya seraya berucap, “Terima kasih sekali atas kuliah yang guru sampaikan hari ini!”