Friday, April 27, 2007

Benteng Qait Bey: Saksi Bisu Lahirnya Seorang Maharaja Tiga Benua!

“Kenapa sih para penguasa zaman dulu suka mendirikan benteng? Coba bayangkan, seperti Tembok Besar China itu, berapa besar dana yang dihamburkan?” tanya istri tercinta seraya memandangi Benteng Qait Bey yang terletak di tepi Laut Tengah. Hari di jam tangan saya saat itu masih menunjuk hari Jumat, 23 Maret 2007.

“Setiap benteng, baik benteng dalam bentuk bangunan fisik maupun benteng psikis, pada dasarnya merupakan perlindungan diri, sikap waspada, atau perlindungan dari rasa takut. Nah, benteng ini juga demikian. Sejatinya, benteng ini juga sebagai bentuk perlindungan diri Dinasti Mamluk dari kemungkinan serangan Dinasti Usmaniyyah dan juga sebagai saksi bisu runtuhnya dua dinasti, Dinasti Mamluk dan Dinasti ‘Abbasiyyah, serta lahirnya seorang maharaja tiga benua yang sangat disegani dan ditakuti pada abad ke-16 M. Sang maharaja tersebut tidak lain adalah Sultan Salim I. Sejatinya, tidak hanya para penguasa zaman dulu saja yang suka mendirikan benteng. Para penguasa zaman modern pun suka. Lihat saja penguasa Israel saat ini. Tembok yang dibangun di Palestina oleh Israel tersebut sejatinya kan juga benteng,” jawab saya seraya mengingat-ingat sejarah Dinasti Mamluk dan Dinasti Usmaniyyah.
“Mengapa demikian? Sebenarnya, siapa sih Qait Bey dan Salim I itu?” tanya lebih lanjut istri saya yang memang suka bertanya.
“Kalau begitu saya bercerita tentang kedua penguasa Muslim itu saja ya,” jawab saya. “Tentang sejarah benteng yang didirikan pada 1480 M ini, biar saja orang lain yang bercerita ya.”

Qait Bey tidak lain adalah seorang sultan dari Dinasti Mamluk Burji yang menguasai Mesir dan Suriah. Bergelar lengkap Al-Malik Al-Asyraf Abu Al-Nashr Saif Al-Din Al-Mahmudi Al-Zhahiri, ia memerintah antara 873-902 H/1468-1496 M. Lahir dengan tahun kelahiran yang tak jelas, ia melewati masa kecilnya sebagai seorang budak belian yang kemudian dibeli orang nomor satu Dinasti Mamluk kala itu, Al-Asyraf Saif Al-Din Barsbay, dan dimerdekakan oleh Al-Zhahir Saif Al-Din Jaqmaq yang juga orang nomor satu dinasti itu setelah Barsbay dan Yusuf. Selepas itu ia meniti karier di bidang militer. Sehingga akhirnya, pada 872 H/1467 M, ia diangkat sebagai atabeg oleh Al-Zhahir Temirbugha, orang nomor satu Dinasti Mamluk kala itu. Tahun berikutnya ia diangkat sebagai pengganti Temirbugha yang mangkat.

Setelah naik tahta, Qait Bey dihadapkan pada dua tantangan besar. Pertama, menghadang gerak maju pasukan Dinasti Usmaniyyah yang mulai mengintai Mesir dan ingin sekali “memeluknya di pangkuannya”, dan Dinasti Ak Koyunlou dari Turki. Kedua, mengatasi masalah ekonomi yang memburuk akibat ditemukannya Tanjung Harapan oleh para petualang Eropa yang sedang memburu “harta karun” di Indonesia. Dalam persoalan yang pertama, meski ia berhasil menahan gerak maju pasukan Dinasti Usmaniyyah dengan menawan Pangeran Elbistan di Anatolia, namun pasukannya tidak berhasil mengalahkan pasukan Dinasti Ak Koyunlou di bawah pimpinan Uzun Hasan. Malah, pada 891 H/1486 M pasukan Dinasti Usmaniyyah berhasil mengalahkan pasukannya di Silisia. Akhirnya, pada 897 H/1491 M, dicapai perjanjian perdamaian dengan Dinasti Usmaniyyah. Kesepakatan itu memberi kesempatan kepada penguasa yang berkuasa hingga 902 H/1496 M ini untuk memperbaiki kondisi perekonomian negeri yang dipimpinnya dan membangun benteng. Namun, keberhasilan di bidang ekonomi tersebut masih belum mampu menyelamatkan Dinasti Mamluk dari gempuran pasukan Dinasti Usmaniyyah yang akhirnya melibas Dinasti Mamluk sekitar satu setengah dekade setelah ia mangkat pada 902 H/1496 M. Mengapa hal itu terjadi?

Keberhasilan pasukan Dinasti Mamluk dalam menghadang pasukan Dinasti Usmaniyyah ternyata tidak pernah dilupakan oleh Salim I, seorang penguasa terkemuka Dinasti Usmaniyyah di Turki. Sultan Turki yang satu ini adalah salah seorang putra pasangan suami-istri Sultan Bayazid II dan Gulbahar Sultan. Ia lahir di kota Amasya pada Senin, 5 Rabi‘ Al-Akhir 875 H yang bertepatan dengan 10 Oktober 1470 M. Ketika sang ayah menjadi orang nomor satu, ia diberi kepercayaan sebagai Gubernur Trabzon, Turki. Lantas ketika sang ayah gering menjelang kemangkatannya, sang ayah mengangkat Salim sebagai putra mahkota dengan membatalkan hak sang putra sulung, Ahmad, untuk menduduki jabatan itu. Inilah salah satu pemicu terjadinya perang saudara yang membara di Turki selepas berpulangnya sang ayah ke hadirat Allah pada 918 H/1512 M. Perang saudara ini dimenangkan murid seorang ulama terkemuka kala itu: Mevlana ‘Abdul Halim.

Akibat kekalahan Ahmad bin Bayazid II dalam perang saudara tersebut, kedua putranya: Murad dan ‘Ala’ Al-Din, pun menyelamatkan diri. Murad menyelamatkan diri ke Persia (dh Iran), meminta suaka kepada penguasa negeri itu kala itu: Syah Ismail, penguasa pertama Dinasti Shafawiyyah di Persia. Sedangkan ‘Ala’ Al-Din menyelamatkan diri ke Mesir, meminta perlindungan kepada Sultan Qanshauh Al-Ghuri, penguasa Dinasti Mamluk di Mesir selepas Sultan Qait Bey. Perlindungan yang diberikan kepada kedua kemenakannya tersebut merupakan salah satu pemicu bagi Sultan Salim I untuk menggempur dan menaklukkan Persia dan Mesir.

Persia mendapat hajaran dalam Perang Chaldiran yang terjadi pada Rajab 920 H/1514 M. Dalam perang tersebut, pasukan Dinasti Usmaniyyah di bawah pimpinan Salim I berhasil meluluhlantakkan pasukan Persia dan dengan penuh kemenangan memasuki Tabriz, ibukota Persia kala itu, sehingga membuat Syah Ismail melarikan diri. Dua tahun kemudian, tepatnya pada Jumada Al-Awwal 921 H/Agustus 1516 M, Mesir ganti mendapat gempuran dari pasukan Dinasti Usmaniyyah. Akibat kekalahan pasukan Mesir dalam perang di Dataran Maraj Dabiq, terutama karena mangkatnya Sultan Qanshauh Al-Ghuri, pasukan di bawah pimpinan Salim I kemudian berhasil merangsek masuk Hamah, Homs, Damaskus, Nablus, Al-Quds, Gaza, dan akhirnya Suez. Kemudian, dengan takluknya Sultan Thuman Bay pada tahun berikutnya, pasukan Dinasti Usmaniyyah pun berhasil menguasai seluruh wilayah Mesir, termasuk Alexandria. Keberhasilan tersebut mengukuhkan Dinasti Usmaniyyah sebagai negara muslim paling berjaya, dengan kekuatan militernya yang sangat tangguh, terutama pasukan kavaleri dan artilerinya yang mampu bergerak sangat cepat “bagaikan topan yang menderu sangat kencang dan menggilas apapun yang menghadangnya”, di Timur Tengah kala itu.

Seusai menaklukkan Negeri Piramid tersebut, penguasa yang selalu mencukur bersih janggutnya, berbeda dengan para pendahulunya yang membiarkan panjang janggutnya, ini kembali ke negerinya dengan “mengantongi” dua gelar: Sulthan Al-Barrain wa Khaqan Al-Bahrain (Sultan Dua Daratan dan Khaqan Dua Lautan) dan Hamiy Al-Haramain Al-Syarifain (Sang Pelindung Dua Tanah Suci yang Mulia), dengan membawa serta khalifah terakhir Dinasti ‘Abbasiyyah di Mesir, Al-Mutawakkil ‘Alallah, dan putra-putranya, ke Istanbul. Sejak itu Dinasti ‘Abbasiyyah dan Dinasti Mamluk di Mesir “tutup buku dari sejarah untuk selamanya”. Dan, sejak itu pula, sultan-sultan Turki Usmani menjadi satu-satunya khalifah di dunia Islam dan menjadi seorang maharaja tiga benua: Eropa, Asia, dan Afrika! Ya, tiga benua: Eropa, Asia, dan Afrika!

Lantas, sekembalinya penguasa yang menguasai bahasa Turki, Persia, dan Arab ini, dari penaklukan-penaklukan tersebut, ia mencurahkan perhatiannya untuk membangun negerinya dan kawasan-kawasan yang berada di bawah kekuasaannya dengan bantuan para ilmuwan, pakar, dan teknisi. Dan, pada Selasa, 28 Ramadhan 926 H yang bertepatan dengan 21 September 1520 M, ketika dalam perjalanan menuju Edirne, ia berpulang ke hadirat Sang Pencipta, dengan meninggalkan seorang putra: Sulaiman, dan empat putri: Hatice Sultan, Fatma Sultan, Hafsa Sultan, dan Syah Sultan. Ia digantikan putranya semata wayang: Sulaiman The Magnificent (Sulaiman Agung yang terkenal membuat gentar seluruh benua Eropa).

“Luar biasa! Sejarah Islam sebenarnya disiplin yang menarik sekali, ya! Sayang, sejarah Islam yang pernah saya pelajari, hanya berisi pelajaran yang tak menarik. Tapi, kita jalan-jalan dulu ya,” ucap istri saya. “Yuk,” jawab saya seraya menapakkan kaki ke arah Benteng Qait Bey, bersama istri, Mas Oyik, dan Mas Norman Muttaqin. Dan, sore harinya, selepas mengunjungi Istana Montazah, kami kembali ke Kairo dengan melintasi jalur padang pasir.

Tuesday, April 24, 2007

Arsitektur Masjid a la Mesir

“Mas, bentuk masjid-masjid di Mesir ini kayaknya kok mirip semua ya?!” tanya istri tercinta saya seraya melangkahkan kaki menuju Masjid Abu Al-‘Abbas Al-Mursi, Alexandria. Hari di jam tangan saya saat itu masih menunjuk hari Jumat, 23 Maret 2007.
“Mirip semua sih tidak. Tapi, memang, masjid-masjid di negeri ini memiliki karakteristik yang hampir mirip. Karena itu, para arsitek kemudian mengatakan, masjid-masjid di negeri ini memiliki gaya arsitektural tersendiri,” jawab saya yang baru menyadari kalau banyak masjid di Mesir ini memang sekilas hampir mirip bentuknya (saya pun segera teringat dua kemenakan saya yang berada di Ubud, Bali, Ika dan Priyatna. Semestinya mereka berdua, sebagai arsitek, yang menjawab pertanyaan Bude mereka tersebut).

Bagaimanakah sih sejatinya gaya arsitektural masjid-masjid di Mesir ini? Walau sekilas mirip, sejatinya masing-masing masjid di negeri ini tidak sepenuhnya benar bentuknya mirip. Masing-masing sejatinya punya bentuk yang beda. Bentuk Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash di Fusthath, misalnya, tidak sama dengan bentuk Masjid Al-Azhar, atau Masjid Al-Husain bin ‘Ali, atau Masjid Sayyidah Zainab. Apalagi dengan bentuk Masjid Muhammad ‘Ali yang didominasi oleh gaya arsitektural Turki. Namun, secara keseluruhan, masjid-masjid di Negeri Piramid ini memiliki kesamaan karakteristik sebagai begikut:

Pertama, kecermatan bangunan dan kekokohan strukturnya. Hal yang demikian ini berlaku baik bagi masjid yang dibangun dengan memakai bahan batu maupun batu bata. Mengapa demikian? Ini karena para arsitek masjid-masjid tersebut bertolak dengan mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri yang besar. Tak aneh, karenanya, jika di Mesir tidak terdapat masjid yang punya dinding dengan ketebalan sampai dua atau meter, misalnya, seperti yang terdapat di beberapa negara lain.

Selain itu, para arsitek Mesir juga jarang memakai bahan bangunan yang mudah lapuk atau usang pada bangunan umum atau bangunan monumental. Walau banyak warga pedesaan Mesir mendirikan rumah mereka dari adonan air susu, namun tiada seorang arsitek Mesir pun yang memakai bahan tersebut dalam membangun masjid. Demikian halnya mereka tidak pernah memakainya dalam membangun dinding atau tembok. Padahal, yang demikian itu biasa dilakukan di Iraq, misalnya saja. Selain itu, orang-orang Mesir juga tidak pernah memakai batang-batang pohon kurma atau batu yang tidak dipahat untuk membangun rumah. Mereka pun terkenal sangat cermat dalam memakai adukan. Umumnya mereka hanya memakai sedikit sekali adukan. Mereka lebih suka memakai batu-batu besar yang dipahat cermat, dalam mendirikan bangunan besar, sehingga memperkecil pemakaian adukan.

Kedua, berupaya memelihara secermat mungkin keselarasan artistik pada bangunan yang mereka dirikan. Ini tampak jelas pada Masjid Ahmad bin Thulun, masjid tertua kedua di Kairo. Seluruh bentuk umum masjid yang didirikan oleh Dinasti Thuluniyyah (254-292 H/868-905 M) itu benar-benar selaras: seluruh lengkung masjid berbentuk lancip dan seluruh bukaan yang berada di atas diletakkan dengan posisi yang sama. Karakteristik yang demikian itu semakin tampak gamblang pada bangunan-bangunan yang didirikan di masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah (358-567 H/969-1171 M). Misalnya, Masjid Al-Aqmar atau Masjid Al-Shalih Thala‘i’ bin Ruzaik. Keselarasan artistik kedua masjid tersebut begitu menonjol. Arstitek kedua masjid tersebut mendayagunakan bentuk kerang-kerangan di pintu-pintu dan jendela-jendela kedua masjid tersebut. Selain itu, di seluruh dinding luar kedua masjid tersebut dibuat sarung berbentuk jendela-jendela tuli dalam bentuk kerang. Dengan kata lain, ketika kita sedang memandangi di kedua masjid tersebut, benar-benar terasakan kalau kita sedang berada di depan sebuah karya seni yang sangat selaras dan indah.

Ketiga, keseimbangan bentuk umum bangunan senantiasa dipelihara. Keseimbangan tersebut tidak dilakukan secara asal-asalan dan sekadar formalitas belaka. Misalnya, dengan membuat dua menara di kedua sisi bagian pintu masuk atau kedua pojok bagian depan. Namun, keseimbangan tersebut dilakukan di seluruh bangunan. Tampilan terindah keseimbangan tersebut, terutama pada masjid-masjid yang didirikan oleh Dinasti Mamluk (648-923 H/1250-1517 M), terpancar pada pembangunan kubah di sudut yang satu dan menara di sudut yang lain. Hasilnya, suatu keseimbangan yang benar-benar memukau. Padahal, kubah tersebut berbentuk bundar dan menara tersebut berbentuk lurus. Namun, keduanya membentuk suatu keterpaduan dan keseimbangan dalam pandangan dan cita rasa.

Keseimbangan itu sendiri merupakan corak utama yang oleh para arsitek Mesir selalu diupayakan untuk tetap dihadirkan pada setiap karya yang mereka hasilkan. Jika Masjid Al-Azhar di Kairo diperkecualikan, keseimbangan tersebut tampak gamblang pada masjid-masjid antik di Mesir. Di sisi lain, keseimbangan tersebut menjadi bukti, para arsitek masjid-masjid tersebut sebelum mendirikan masjid-masjid tersebut telah membuat rancangan secara keseluruhan bangunan masjid-masjid tersebut. Keseimbangan tersebut mencapai puncaknya pada masjid-masjid yang didirikan oleh Sultan Qait Bey, Sultan Barquq, dan Sultan Al-Hasan. Sayang, keseimbangan yang demikian itu tidak terdapat pada Masjid Al-Azhar. Mengapa hal itu terjadi? Ini karena Masjid Al-Azhar telah kehilangan keselarasan arsitekturalnya. Ini semua gara-gara sederet perbaikan dan pemugaran yang dialaminya. Semua itu terjadi karena para penguasa di Mesir bersaing dalam “memperbaiki dan memugar” Masjid Al-Azhar. Akibatnya, sayang sekali, masjid yang seusia dengan Kota Kairo itu pun menjadi berukuran besar, namun kehilangan keselarasan arsitekturalnya.

Keseimbangan yang demikian itu tidak hanya pada global bangunan saja. Tapi, juga pada rinci bangunan. Hal itu tampak gamblang pada menara-menara pelbagai masjid di Mesir. Menara-menara tersebut tampak sangat indah dan memikat. Hal itu terjadi karena menara-menara tersebut dirancang sedemikian imbang antara garis tengahnya, ketinggiannya, dan jumlah balkon-balkonnya yang dibuat dengan jarak yang dihitung secara sangat cermat. Karena itu, tidak aneh jika menara masjid-masjid Mesir merupakan salah satu menara-menara masjid terindah di dunia. Dan, tak aneh pula, seperti halnya bentuk mesalla yang banyak memberikan inspirasi bagi dunia arsitektur di pelbagai belahan dunia, menara masjid Mesir pun berhasil memberikan inspirasi ke pelbagai belahan dunia Islam. Termasuk ke Sudan selatan dan Amerika Latin.

Hal serupa juga berlaku pada kubah bergaya Mesir. Kubah dengan gaya tersebut juga memiliki keseimbangan dan keselarasan yang menawan. Tak aneh jika kubah dengan gaya tersebut tidak memiliki kepincangan pada panjang kakinya, seperti halnya yang ada pada kubah-kubah bergaya Saljuq, tidak pula memiliki lengkung-lengkung yang terlalu berlebihan lengkungannya, seperti halnya yang ada pada masjid-masjid di India, dan juga tidak mengenal bentuk yang terlalu besar sehingga kubah kehilangan posisinya sebagai salah satu karya arsitektural yang memikat. Di sisi lain, meski para arsitek Mesir tidak berupaya membuat menara masjid yang mereka bangun sarat dengan dekorasi berwarna-warni, namun menara tersebut tetap memancarkan keindahan dan keselarasan yang luar biasa. Sayangnya, sebagian besar masjid-masjid dari masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah kini telah sirna. Sedangkan sebagian besar yang masih tersisa telah rusak dan pelbagai aspek seni dan keindahannya pun telah tiada. Selain itu, sayang sekali, secara umum masjid-masjid di Mesir kurang terpelihara dengan baik. Tak aneh jika sebagian besar masjid-masjid tersebut kehilangan keindahannya, akibat kurang pemeliharan, kerusakan, dan proses kehancuran.

“Saya puas sekali dapat melihat masjid-masjid indah dan megah di Mesir ini. Sama dengan kepuasaan saya ketika melihat gereja-gereja indah di Eropa. Ini menunjukkan kualitas para arsitek Muslim tidak kalah dengan rekan-rekan sejawatnya yang non-Muslim,” ucap istri tercinta saya seraya menikmati keindahan Masjid Abu Al-‘Abbas Al-Mursi. “Ya. Tapi, ada satu hal yang kurang pada masjid-masjid di Mesir ini. Banyak masjid yang tidak dilengkapi dengan taman yang indah. Sayang sekali, ya!” jawab saya seraya mengajaknya melangkahkan kaki menuju mobil yang dikendarai Mas Norman Muttaqin untuk mengunjungi Benteng Qait Bey.

Sunday, April 22, 2007

Sufi Andalusia Itu pun Terpikat oleh Alexandria

“Semakin cantik saja masjid ini,” gumam saya begitu mobil yang kini dikendarai Mas Norman Muttaqin, menggantikan Mas Oyik, parkir di depan sebuah masjid megah dan cantik di tengah-tengah Kota Alexandria. Bentuk kota yang satu ini, lebih mudahnya, dapat dikatakan seperti bentuk lengkung hurup D besar. Di ujung atas hurup itu terdapat Istana Montazah, sedangkan di ujung bawah hurup D terdapat Benteng Qait Bey. Kota Alexandria sendiri berbentuk melengkung, dengan beberapa penanda utama di tengah-tengahnya, antara lain masjid yang sedang kami kunjungi ini: Masjid Abu Al-‘Abbas Al-Mursi. Sebenarnya, nama lengkap sang sufi yang menjadi nama masjid tersebut adalah Syihab Al-Din Abu Al-‘Abbas Ahmad bin ‘Umar bin Muhammad Al-Mursi.

Dari nisbat “Al-Mursi”, kita sebenarnya dengan segera dapat tahu, sufi itu tentu ada kaitannya dengan Kota Murcia, sebuah kota di Andalusia (dh Spanyol). Memang, sufi yang satu ini lahir di kota yang terletak di Semenanjung Iberia tersebut. Meski tahun kelahirannya tidak jelas, tapi jika melihat perjalanan hidupnya yang pernah bersama pendiri Tarikat Syadziliyyah, Abu Al-Hasan Al-Syadzili, dengan mudah ditebak sang sufi hidup ketika tanah kelahirannya mulai tidak nyaman untuk dijadikan tempat tinggal selamanya. Suasana Andalusia kala itu mulai mengkhawatirkan bagi kaum Muslim Andalusia kala itu. Mengapa demikian? Ini karena pada 634 H/1236 M Kota Cordoba, dan pada 646 H/1248 M Kota Sevilla, jatuh ke tangan pasukan Kristen serta tinggal Granada yang masih bertahan hingga 898 H/1492 M. Dari sini dapat dimengerti pula bila selepas meninggalkan negeri kelahirannya Abu Al-‘Abbas Al-Mursi tak pernah kembali ke negerinya.

Bagaimana kisah hidup sang sufi asal Andalusia ini akhirnya memilih Kota Alexandria sebagai tempat dia menyebarluaskan ajaran-ajaran tarikat yang dianutnya? Setelah menimba ilmu di Andalusia, sufi yang satu ini lantas menapakkan kakinya ke Ceuta. Langkah-langkahnya selanjutnya mengantarkannya ke Tunisia. Di situlah ia bertemu dengan pendiri Tarikat Syadziliyyah, Abu Al-Hasan Al-Syadzili. Mereka berdua selanjutnya meneruskan perjalanan menuju Kairo dan Alexandria. Di kota terakhir inilah mereka menetap. Pada 656 H/1258 M guru dan murid ini bertolak ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dengan melintasi Gurun ‘Aidzab. Ketika mereka berada di suatu tempat bernama Humaitsarah, sang guru jatuh sakit dan berpulang ke hadirat Allah. Sebelum meninggal dunia, sang guru berpesan kepada murid-muridnya bahwa ia menunjukkan Al-Mursi sebagai penggantinya dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Tarikat Al-Syadziliyyah.

Al-Mursi, selain sebagai seorang sufi, juga seorang ahli hukum Islam. Tak aneh bila ia mengikuti jejak sang guru dalam persyaratan penerimaan para murid. Dalam hal ini para calon murid disyaratkan harus benar-benar menguasai ilmu syariah Islam, sebelum mereka diperkenankan meniti jalan para sufi. Demikian halnya, seperti halnya Al-Syadzili, sufi yang menghadap Allah di Kota Alexandria pada 686 H/1287 M, di masa pemerintahan Sultan Qalawun, ini juga tidak meninggalkan karya tulis. Para murid merekalah yang mencatat dan menyusun ajaran-ajaran mereka berdua.

Memandangi masjid megah dan indah yang satu ini (sayang kebersihan lingkungannya kurang diperhatikan), “indra keenam” saya segera menyatakan, para pengikut Tarikat Syadziliyyah masih aktif hingga dewasa ini. “Sayang, saya tidak banyak memiliki data (bila di antara para pembaca ada yang memiliki data sejarah masjid ini, saya akan sangat berterimakasih bila data tersebut dapat diemailkan ke saya) tentang sejarah masjid ini,” gumam saya memandangi masjid yang banyak dikunjungi orang itu, selain kami, termasuk dua pramugari asal Indonesia yang bekerja di Saudi Airlines. Namun, dari pandangan sekilas terhadap masjid tersebut, dapat dikatakan masjid ini memiliki gaya arsitektural seperti halnya kebanyakan masjid-masjid yang banyak bertebaran di Mesir. Bagaimana gaya arsitektural masjid-masjid ala Mesir? Insya Allah akan saya hadirkan dalam tulisan berikut di blog ini.

Wednesday, April 18, 2007

‘Umar! Engkaukah yang Membakar Perpustakaan Alexandria?

Usai mengunjungi Teater Romawi dan melaksanakan shalat Jumat di pinggir jalan (di Timur Tengah, ketika musim dingin, merupakan hal yang lazim shalat Jumat dilaksanakan di jalan-jalan), mobil yang dikendarai Mas Oyik segera bergerak pelan menuju Perpustakaan Alexandria. Hari di jam tangan saya kala itu masih menunjuk hari Jumat, 23 Maret 2007. Tidak lebih dari lima menit dari tempat shalat Jumat, kami pun berhenti di sebuah bangunan berbentuk silinder miring yang terletak di sisi jalan utama Kota Alexandria yang terletak di tepi Laut Tengah.

“Aneh!” demikian gumam saya begitu melihat bentuk bangunan perpustakaan yang diresmikan pada bulan Oktober 2002 itu dan berdiri di dekat situs semula Perpustakaan Alexandria lama yang didirikan pada awal abad ke-3 SM di masa pemerintahan Ptolemeus II dari Mesir setelah ayahnya mendirikan kuil Muses, Musaeum. Konon, perpustakaan ini memiliki 700.000 gulungan papirus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14 M, Perpustakaan Sorbonne, Paris, Perancis yang katanya memiliki koleksi terbesar di zamannya hanya memiliki 1700 buku. Para penguasa Mesir kala itu begitu bersemangat untuk memperbanyak koleksi mereka. Sampai-sampai mereka memerintahkan para prajurit untuk menggeledah setiap kapal yang masuk guna memperoleh naskah. Jika ada naskah yang ditemukan, mereka menyimpan yang asli dan mengembalikan salinannya. Dan, kala itu, perpustakaan ini menjadi “tempat kerja” sederat cendekiawan kelas dunia yang menghasilkan karya-karya besar di bidang geometri, trigonometri, astronomi, bahasa, kesusastraan, dan kedokteran.

Sementara bentuk bangunan Perpustakaan Alexandria baru, yang dirancang oleh Snøhetta, sebuah biro arsitektur Norwegia, dibagi secara diagonal dan berdiri dalam bentuk silinder yang ditusuk sebuah garis lurus. Garis lurus yang menusuk bentuk silinder perpustakaan tersebut tak lain adalah jembatan penyeberangan dari Universitas Alexandria ke selatan. Jembatan tersebut membentang di atas jalan dan menuju ke arah lantai dua perpustakaan dan terus ke plasa di sebelah utara gedung yang mengarah ke laut. Di sebelah barat jembatan tersebut, sebagian besar bangunan berbentuk silinder menukik hingga menciptakan ruang kosong yang merupakan pintu masuk utama perpustakaan. Sedangkan pintu masuk perpustakaan menghadap pintu depan sebuah gedung pertemuan tua, seakan menunjukkan penghormatan terhadap gedung tersebut. Di antara kedua gedung tersebut terdapat plasa yang dihias dengan jalanan batu. Di dalam plasa itu sendiri terdapat area yang sangat luas untuk planetarium.

Bangunan perpustakaan itu sendiri berbentuk silinder dipotong oleh sudut miring. Semua dinding miring tersebut menunjuk ke utara, ke arah laut. Sedangkan dinding yang menghadap selatan dari bagian silinder dihias dengan potongan batu granit yang merupakan pecahan batu yang sangat besar, bukan digergaji. Permukaannya tidak rata, dengan garis bentuk yang halus. Batu-batu granit tersebut ditulisi dengan simbol huruf dari seluruh dunia. Sinar matahari dan pantulan lampu di perbatasan air menghasilkan bentuk bayangan dinamis dari simbol-simbol tersebut, yang mengingatkan pada dinding tempat beribadah Mesir kuno. Dinding melengkung tebuat dari beton dengan sambungan vertikal terbuka, sementara dinding yang lurus dihias dengan batu hitam dari Zimbabwe.

Memandangi bangunan Perpustakaan Alexandria baru tersebut, saya beberapa lama tercenung dan termenung. Segera saya teringat, ketika masih sebagai mahasiswa di Yogyakarta pada tahun-tahun 1970-an, betapa saya pernah sangat benci kepada ‘Umar bin Al-Khaththab, khalifah kedua dalam sejarah Islam yang mertua Rasulullah Saw. Benci kepada ‘Umar bin Al-Khaththab? Ya, hal itu gara-gara sejumlah buku yang pernah saya baca (termasuk beberapa buku berbahasa Indonesia) menyatakan, ‘Umar bin Al-Khaththablah yang memerintahkan ‘Amr bin Al-‘Ash, ketika menundukkan Alexandria pada 21 H/640 M, membakar Perpustakaan Alexandria lama. Menurut saya ketika itu, tindakan ‘Umar tersebut benar-benar tidak termaafkan dan tidak beradab.

Namun, dengan bergulirnya waktu, saya tahu tuduhan terhadap ‘Umar bin Al-Khaththab tersebut merupakan tuduhan yang tidak berdasar sama sekali. Mengapa demikian? Ini karena Perpustakaan Alexandria lama tersebut telah sirna sewaktu Julius Caesar membakar sebagian kota itu pada tahun 47 M. Kemudian, ketika perpustakaan tersebut dibangun kembali dalam ukuran yang lebih kecil, perpustakaan itu pun lenyap akibat gempuran Kaisar Theodorus pada 389 M. Karena itu, ketika ‘Amr bin Al-‘Ash menaklukkan Alexandria pada 21 H/640 M, perpustakaan tersebut sudah tiada lagi puing-puingnya. Hal ini dikukuhkan oleh tiadanya catatan dari para sejarawan terpercaya pada masa itu tentang terjadinya pembakaran perpustakaan tersebut oleh ‘Amr. Demikian halnya para sejarawan Muslim yang sangat dapat dipercaya, seperti halnya Al-Ya‘qubi, Al-Baladzuri, Ibn ‘Abdul Hakam, Al-Thabari, Al-Kindi, Ibn Al-Atsir, Ibn Taghribirdi, dan Al-Sayuthi tidak pernah sama sekali mengemukakan masalah pembakaran perpustakaan tersebut. Secuil pun tidak pernah!

Tuduhan pertama terhadap ‘Umar bin Al-Khaththab, sebagai orang yang memerintahkan pembakaran Perpustakaan Alexandria lama, mencuat gara-gara tulisan tanpa acuan dan rujukan sama sekali yang dikemukakan oleh ‘Abdul Lathif Al-Baghdadi, seorang ahli astronomi dan dokter yang lahir pada 1162 M dan berpulang pada 1231 M di Baghdad. Menurut catatan ilmuwan yang sezaman dengan Maimonides serta pernah melakukan perjalanan lama ke Mosul, Damaskus, dan Mesir tersebut, di Kota Alexandria terdapat sejumlah pilar dan bidang kosong yang mengelilinginya. Menurutnya, di situlah Aristoteles mengajar murid-muridnya dan di situ pulalah Alexander The Great mendirikan perpustakaannya. Dan, di situ pulalah terdapat sebuah perpustakaan yang dibakar oleh ‘Amr bin Al-‘Ash atas perintah ‘Umar bin Al-Khaththab. Catatan itu kemudian di”blow-up” oleh seorang sejarawan pada masa itu, Abu Al-Faraj bin Al-‘Ibri. Berdasarkan catatan tanpa pijakan ilmiah kuat itulah “legenda pembakaran Perpustakaan Alexandria oleh ‘Umar bin Al-Khaththab” kemudian dikutip oleh Edward Gibbon dalam karyanya The Decline and Fall of the Roman Empire dan Rene Sedillot dalam karyanya The History of the World yang menyatakan bahwa “warisan kebudayaan Islam terhadap kebudayaan manusia adalah pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun yang ditanami”. Kutipan yang sangat menyedihkan! Dari sinilah “virus pembakaran perpustakaan” tersebut tersebar ke pelbagai penjuru dunia. Padahal, ‘Umar bin Al-Khaththab tidak pernah sama sekali melakukan tindakan keji dan tak beradab tersebut!

“Mas, mau di sini terus?” tanya istri tercinta saya yang segera menyadarkan saya dari lamunan. “Gaklah!” jawab saya seraya mengajak Mas Oyik dan Mas Norman meneruskan perjalanan menikmati panorama Kota Alexandria yang cantik itu dan mengunjungi Masjid Abu Al-‘Abbas Al-Mursi!

Saturday, April 14, 2007

Mengapa ‘Amr bin Al-‘Ash "Jatuh Cinta" kepada Alexandria?

Begitu mobil yang kami naiki memasuki Kota Alexandria, udara segar dan angin laut semilir datang menjemput kami. Udara dan angin Alexandria di minggu terakhir bulan Maret 2007 benar-benar bersahabat. Segera kenangan sekitar 27 tahun lalu pun merangkak keluar dari alam bawah sadar, membangkitkan sederet kenangan ketika saya dan teman-teman berliburan selama beberapa hari di kota ini untuk menghindari udara panas yang menghajar Kota Kairo. Begitu memasuki jantung kota yang telah berusia ribuan tahun dan pernah menjadi pusat budaya dunia ini, Mas Oyik pun membawa kami mengitari pelbagai sudut kota. Menikmati pemandangan nan indah sepanjang kota, saya pun merasa seakan sedang berada di Eropa, ketika menikmati pemandangan sangat indah sepanjang Sungai Danube di Wina, Austria dan Sungai Seine di Paris, Perancis. Gaya arsitektural bangunan-bangunan kota ini memang banyak mengadaptasi gaya arsitektural bangunan-bangunan di Eropa.

Selain bangunan-bangunan memikat di tepi Laut Tengah yang membentang sekitar 15 kilometer, ada suatu pemandangan yang memikat perhatian saya. Segera saya tersadarkan, ternyata bangunan-bangunan beragam tersebut ternyata tiada satu pun yang berada di garis sempadan laut yang dibatasi oleh jalan berjalur empat dan trotoar lebar. Semua bangunan tersebut tiada satu pun yang menghalangi siapa pun yang ingin menikmati laut dengan pemandangannya yang memikat. Betapa hal ini beda dengan kondisi yang terjadi di pelbagai kawasan Indonesia, sampai pun di Pulau Bali yang menjadi salah satu puncak tempat wisata di Indonesia. Saya merasa (walau bukan seorang ahli tata kota) inilah tatakota dan tatalaut yang benar tidak. Pemandangan indah laut harus dapat dinikmati semua orang dan tidak dikapling-kapling oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki dana finansial besar, sehingga hanya orang-orang yang berduit saja yang dapat menikmati laut dan indahnya pemandangan yang dihadirkannya. Sayang, kenapa hal yang demikian itu terjadi. Siapakah yang salah?

Ketika saya sedang asyik menikmati indahnya pemandangan indah di sepanjang Kota Alexandria, tiba-tiba dalam benak timbul pertanyaan: mengapakah ‘Amr bin Al-‘Ash terpikat untuk menundukkan Alexandria?

Seperti tercatat dalam lembaran sejarah Islam, memang jenderal yang memeluk Islam menjelang Penaklukan Makkah itulah yang semula memiliki ide untuk menundukkan Kota Alexandria. Jenderal yang satu ini, sebelum memeluk Islam, adalah seorang pedagang dan Kota Alexandria merupakan pusat niaganya. Kemudian, selepas dia memeluk Islam dan ‘Umar bin Al-Khaththab melakukan perjalanan terakhirnya ke Suriah, ‘Amr bin Al-‘Ash pun menunggu kedatangan sang khalifah yang juga mertua Rasulullah Saw. tersebut dan membicarakan idenya tersebut. Menurutnya, Alexandria harus ditundukkan untuk melindungi posisi pasukan Muslim yang telah berhasil menundukkan Suriah dan Yordania. Sebab Kota Alexandria, kala itu, merupakan salah satu pangkalan terkuat angkatan laut Romawi yang merajalela di Laut Tengah. Karena itu, pangkalan itu harus direbut dan ditundukkan. Kalau hal tersebut tidak dilakukan, posisi pasukan kaum Muslim akan terus menerus dalam posisi jadi bulan-bulanan angkatan laut Romawi yang menguasai Laut Tengah.

Semula khalifah kedua dalam sejarah Islam itu enggan memenuhi permintaan sang jenderal, karena merasa belum saatnya hal itu dilakukan. Namun, karena ‘Amr mengemukakan idenya itu berulang kali, akhirnya sang khalifah yang terkenal hidup sederhana dan tegas itu mengizinkannya. Tapi, izin itu dengan syarat ‘Amr hanya boleh membawa 4.000 serdadu. Betapa gembira sang jenderal yang terkenal piawai di medan pertempuran itu menerima izin sang khalifah. Dia pun segera membawa pasukan tersebut dari Al-‘Arisy, Sinai menuju Farma yang terletak di tepi Laut Tengah. Setelah berhasil memporakporandakan pasukan Romawi yang mencoba menghadangnya, sang jenderal pun menggerakkan pasukannya menuju Fusthath (perlu diingat, kala itu Terusan Suez belum ada, sehingga pasukan itu tidak terhalang oleh laut sama sekali), menundukkan Balbis, dan menaklukkan Umm Danin. Keberhasilan sang jenderal ini tidak lepas dari bantuan warga Mesir, di bawah pimpinan Muqauqis, yang kala itu ingin melepaskan diri dari cengkeraman pasukan Romawi yang penindas.

Selepas beberapa hari beristirahat di Fusthath, ‘Amr bin Al-‘Ash kemudian meminta izin lagi untuk menundukkan Kota Alexandria. Begitu izin sang khalifah diterimanya, pasukan kaum Muslim segera bergerak ke arah kota itu dan mengepungnya. Selepas pengepungan itu berlangsung beberapa lama, akhirnya pasukan terdepan yang berada di bawah komando Al-Zubair bin Al-‘Awwam dan Maslamah bin Mukhallad berhasil menjebol pertahanan kota ini. Jatuhlah Si Alexandria nan cantik itu ke pelukan pasukan kaum Muslim pada 21 H/641 M. Dengan kata lain, hingga dewasa ini, kota ini telah berada di pelukan kaum Muslim selama sekitar 1407 tahun. Lama juga. Dan, selepas menundukkan Alexandria, ‘Amr bin Al-‘Ash kemudian balik ke Fusthath dan memerintahkan pendirian sebuah kota dengan dilengkapi sebuah masjid, sebagai masjid pertama di Mesir, yang kemudian lebih terkenal dengan nama Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash.

“Pak Rofi’, kita berhenti di sini ya,” ucap Mas M. Norman Muttaqin membuyarkan lamunan saya. Ternyata, mobil yang dikendarai Mas Oyik sudah berhenti tidak jauh dari situs Teater Romawi yang terletak tidak jauh dari pusat Kota Alexandria.“Silakan,” jawab saya agap tergagap, tersadarkan kembali dari lamunan dan segera turun dari mobil untuk mengunjungi salah satu saksi bahwa kota ini pernah di bawah penjajahan pasukan Romawi yang ganas dan kejam (dan mengingatkan saya pada film Cleopatra dan kisah cintanya)!

Sunday, April 8, 2007

Alexandria, Lihat Kini Saya Datang Lagi!



Selepas melepas lelah semalam di Pharaohs Hotel, yang terletak di Lutfi Hassouna St., Dokki, Kairo, yang terletak tidak jauh dari Sungai Nil, pagi hari sekitar jam 08.00 kami dijemput Mas Muhyiddin (lebih akrab dengan panggilan Mas Oyik) dan Mas M. Norman Muttaqin, keduanya mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo. Mereka berdua berasal dari Jawa Timur. Pagi hari itu, Jumat 23 Maret 2007, kami bermaksud melakukan perjalanan ke sebuah kota yang terleletak sekitar 220 kilometer di sebelah utara Kairo. Kota itu tidak lain adalah Kota Alexandria, sebuah kota pantai nan indah yang terletak memanjang sekitar 15 kilometer di tepi Laut Tengah. Ada dua jalur menuju kota tersebut. Yaitu jalur pertanian (zira’i) dan jalur padang pasir (shakhrawi). Dalam perjalanan pagi itu, kami memilih jalur pertanian. Sedangkan pulangnya kami memilih jalur padang pasir.

Ada suatu pertimbangan khusus bagi saya memilih kota ini dikunjungi, selama kami Mesir, selain Kota Kairo. Kami memang tidak memilih Luxor, pusat kerajaan lama Mesir Purba, yang terletak sekitar 720 kilometer di sebelah selatan Kota Kairo. Selain indah, kota yang satu ini adalah ibukota musim panas Mesir. Dengan kata lain, ketika musim panas musim panas, yang kadang mencapai sekitar 42 derajat celcius, pemerintah Mesir menjadikan kota ini sebagai ibukota pemerintahan. Di samping itu, saya ingin sekali melihat Perpustakaan Alexandria yang diresmikan beberapa tahun yang lalu.

Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam, naik mobil Verna buatan Hyundai Korea yang dikendarai Mas Oyik dengan melintasi Kota Thanta, segera batas Kota Alexandria muncul di pelupuk mata. Melihat Kota Alexandria di kejauhan, entah kenapa tiba-tiba pikiran saya disergap oleh bayang-bayang sosok jenderal Muslim yang pertama kali menundukkan kota ini, yaitu Jenderal ‘Amr bin Al-‘Ash. Seperti tercatat dalam lembaran sejarah Islam, jenderal yang terkenal sebagai penakluk Mesir ini bernama lengkap ‘Amr bin Al-‘Ash bin Wail bin Hasyim bin Sa‘id bin Sahm bin ‘Amr bin Hasis bin Ka‘b bin Luay bin Ghalib Al-Qurasyi. Ia lahir sekitar 50 sebelum Hijrah atau 574 M. Ibunya, Al-Nabighah binti Harmalah, adalah seorang perempuan tawanan dari Bani Anazah yang kemudian dijual di Pasar ‘Ukazh dan dibeli oleh keluarga Al-‘Ash. Sahabat Nabi Muhammad Saw. dari keluarga berkecukupan ini memeluk Islam pada 8 H/629 M, menjelang penaklukan Makkah di masa Nabi Muhammad Saw. Ia berhijrah ke Madinah bersama Khalid bin Al-Walid. Selanjutnya, ia ikut dalam berbagai ekspedisi militer, baik apakah di masa Nabi Saw., Abu Bakar Al-Shiddiq, maupun ‘Umar bin Al-Khaththab.

Pada 18 H/639 M ‘Amr bin Al-‘Ash diangkat ‘Umar bin Al-Khaththab sebagai Gubernur Palestina dan Yordania. Pada masa inilah ia memimpin pasukan kaum Muslim yang berupaya menaklukkan Mesir. Upaya itu, yang berlangsung selama tiga tahun, baru berhasil pada 20 H/642 M, dengan jatuhnya Kota Alexandria yang kala itu merupakan sebuah kota metropolis Bizantium dan pusat kebudayaan Yunani. Pada tahun itu pulalah ia diangkat sebagai Gubernur Mesir. Jabatan ini ia pangku selama empat tahun beberapa bulan. Setelah menaklukkan negeri ini, ia kemudian mendirikan Kota Fusthath di luar Benteng Babilon, dan menjadikannya sebagai ibukota wilayah itu sebagai ganti Kota Alexandria yang berhasil ia duduki pada 21 H/642 M. Ia tidak memilih kota terakhir yang terletak di tepi pantai ini sebagai ibukota, karena khawatir mendapat gempuran dari angkatan laut Romawi yang kala itu masih menguasai Laut Tengah dan berpangkalan di Konstantinopel yang kini berubah nama menjadi Istanbul, Turki. Kala ‘Utsman bin ‘Affan menjabat khalifah, ‘Amr bin Al-Ash diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur.

Sekitar 14 tahun kemudian, saudara seibu ‘Uqbah bin Nafi‘ yang terkenal sebagai organisator dan administrator ulung ini diangkat kembali oleh Mu‘awiyah bin Abu Sufyan sebagai gubernur negeri yang sama, antara lain karena peran politiknya yang cemerlang (dan menguntungkan bagi Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang kemudian menjadi penguasa Dinasti Umawiyah dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah) dalam Peristiwa Tahkim. Jabatan ini ia pangku selama sekitar lima tahun. Dan, pendiri kota Fusthath ini meninggal dunia pada 1 Syawwal 43 H/6 Januari 664 M di usia sekitar 93 tahun dan dimakamkan di puncak Bukit Muqaththam, Kairo.

“Wahai Alexandria, lihat kini saya datang lagi! Tapi, wahai Alexandria, saya datang lagi kali ini bukan sebagai seorang jenderal Muslim yang ingin menundukkan dirimu. Saya datang lagi kali ini sebagai seorang Muslim Indonesia yang ingin merangkai silaturahmi denganmu dan memperkenalkan dirimu yang cantik nan memikat itu kepada saudara-saudara kami di mana pun berada!” gumam saya seraya memandangi Kota Alexandria di kejauhan.

Saturday, April 7, 2007

I am from the Indonesian Embassy!

Selepas beristirahat sekitar lima jam di Kuwait International Airport, saya dan istri tercinta dengan langkah agak berat dan mata sangat mengantuk menuju gate 1 bandara tersebut untuk meneruskan perjalanan ke Mesir. Hari di jam tangan saya masih menampilkan tanggal 22 Maret 2007. Begitu masuk ke bording lounge yang terletak di lantai dua bandara yang tidak terlalu besar tersebut, “warna” para penumpang kali ini lebih banyak didominasi oleh para warga Mesir di perantauan. Wajah dan bahasa harian khas mereka segera membuat saya seakan tersadar dari mimpi bahwa saya tidak lagi berada di negeri tercinta: Indonesia. Saya dan istri pun menjadi kelompok minoritas di antara kelompok mayoritas warga Mesir dan Arab. Ini berbeda dengan pesawat terbang Kuwait Airways dengan no penerbangan KU 416 yang kami naiki sebelumnya yang lebih didominasi oleh para tenaga kerja wanita Indonesia.

Tepat jam 14.00 waktu Kuwait City, pesawat terbang Airbus-300 dengan no penerbangan KU 541 itu pun meninggalkan bumi Kuwait menuju ke arah Mesir. Perjalanan sekitar dua jam antara Kuwait-Kairo pun kami manfaatkan untuk memejamkan mata yang terasa sangat berat. Dan, ketika setengah jam menjelang pesawat buatan Eropa tersebut hendak mendarat di Cairo International Airport, kami pun menikmati pemandangan yang agak menyilaukan mata: padang pasir membentang luas seakan tiada akhir. Namun, ketika pesawat terbang tersebut semakin mendekati Kairo, kehijauan di sepanjang Sungai Nil tampak mulai mewarnai bumi di bawah pesawat. Sayang, di sana-sini terdapat cerobong-cerobong yang memuntahkan asap pekat.

Sekitar jam 15.45 pesawat terbang Kuwait Airways tersebut menjejakkan kaki di bumi Kota Seribu Menara. Hati saya pun teraduk-aduk begitu menapakkan kaki di bandara yang telah 12 tahun tidak pernah saya kunjungi. Perasaan bahagia, gembira, dan ingin segera menatap kota yang banyak meninggalkan kenangan khusus bagi saya itu bercampur aduk menjadi satu. Keasyikan melamun membuat saya tidak menyadari, ketika kami sedang melangkah menuju konter imigrasi Mesir, ada seseorang berwajah Mesir mendekati kami dan kemudian menyapa istri saya dengan ramah dan santun, “Madame! I am from the Indonesian Embassy. My name is Hafiz!”

Istri saya pun berpaling ke arah saya yang termenung mendengar ucapan Mr Hafiz tersebut. Beberapa saat saya kebingungan, kenapa ada seseorang menjemput kami di “wilayah khusus” tersebut. Kami toh bukan pejabat, apalagi pejabat penting Indonesia, yang mengharapkan penjemputan. Kami hanyalah datang untuk menghadiri Pan Arab Conference on Diabetes dan beberapa hari berkunjung ke negeri yang memiliki warisan budaya kaya berusia ribuan tahun itu serta memburu “harta karun” di negeri ini: buku. Ketika urusan imigrasi dan bagasi beres, kami pun melangkah menuju pintu keluar. Seraya melangkah lebar, Mr. Hafiz menjelaskan kepada kami bahwa Bapak Drs. Slamet Sholeh M.Ed., Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, memerintahkannya menjemput dan mengurus kami. Dan, begitu tiba di pintu keluar, ternyata kami telah ditunggu Mas Anwar, staf KBRI, dan Mas Muhyiddin, seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar. Mereka telah beberapa lama menanti kedatangan kami.“Masya Allah, kenapa harus dijemput segala begini,” ucap saya memrotes seraya menaiki mobil mercy berplat CD milik KBRI Kairo. Saya dan istri tercinta sejatinya termasuk orang-orang yang tidak suka penghormatan yang demikian.

Mas Anwar kemudian menjelaskan, mereka datang menjemput karena tahu kedatangan kami lewat email yang saya kirimkan kepada Atase Pendidikan dan Kebudayaan yang memberitahukan kedatangan kami. Segera saya teringat email yang saya kirimkan beberapa hari sebelumnya. Email tersebut sejatinya hanya berisi pemberitahuan (saja) yang mengabarkan rencana kedatangan kami dan saya tidak meminta penjemputan. Merupakan kebiasaan saya, setiap kali saya mau ke Kairo, saya senantiasa memberitahu pihak KBRI Kairo. Ini adalah keistimewaan dan pengistimewaan yang saya berikan kepada KBRI Kairo. Entah kenapa, setiap kali hendak ke Kairo, saya merasa KBRI adalah “orang tua” saya. Dan, hal ini hanya saya lakukan terhadap KBRI Kairo saja. Meski telah mengunjungi banyak negara, saya tidak pernah melakukan hal yang sama terhadap KBRI di negara-negara lain.

Sejatinya, saya senantiasa merasa ada ikatan khusus antara diri saya dengan KBRI Kairo. Ini karena pelbagai hal. Pertama, KBRI Kairo adalah “rumah” pertama yang menyambut saya ketika pertama kali saya datang ke kota itu pada 12 Desember 1978 (lihat tulisan saya di blog ini dengan judul Fasîru fi Al-Ardh). Kedua, KBRI ini, selama sekitar enam tahun, antara 1978-1984, menjadi salah satu tempat perburuan ilmu yang saya lakukan karena perpustakaan yang dimilikinya. Entah berapa banyak buku yang dimiliki perpustakaan KBRI ini yang telah saya baca. Ketiga, inilah tempat yang menjadi salah satu obat ketika saya saat itu sedang diterpa home-sick berat. Dengan datang ke KBRI ini, kala itu, entah mengapa perasaan rindu keluarga dan Tanah Air terobati. Keempat, pihak KBRI Kairo, pada Januari 1995, telah membebaskan saya yang bermaksud menghadiri Cairo International Bookfair dari “penjara karantina selama tiga hari” di Cairo International Airport akibat kesalahan prosedur visa.

Apa pun halnya, atas penghormatan yang diberikan kepada kami tersebut, kami dengan hati yang tulus mengucapkan banyak terima kasih kepada Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, Bapak Drs. Slamet Sholeh M.Ed., dan Ibu khususnya, juga kepada Mr. Hafiz, Mas Anwar, dan Mas Oyik. Jazâkumullâh Ahsanal Jazâ’!

TKW Indonesia dan Ibn Khaldun

Sang waktu kala itu menunjukkan pukul 01.30 waktu Indonesia barat, sedangkan tanggal di jam tangan saya menunjukkan tanggal 22 Maret 2007. Dengan mata yang agak terkantuk-kantuk, saya dan istri tercinta dengan langkah pelan menuju gate 3 Bandara Sukarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Tidak lama kemudian para penumpang pesawat terbang Kuwait Airways dengan no penerbangan KU 416 dengan tujuan Kuwait segera dipersilakan masuk ke dalam pesawat terbang. Begitu berada di dalam perut pesawat terbang, di kelas ekonomi tentu saja, ternyata hanya saya dan beberapa pria lain yang berjenis kelamin pria. Sedangkan para penumpang lainnya berjenis perempuan. Dapat dikatakan sebagian besar mereka adalah para tenaga kerja wanita Indonesia yang akan bekerja di negara-negara Arab.

Melihat “pemandangan” yang demikian, entah kenapa hati saya tersayat perih dan pedih. Betapa hati saya sedih dan perih melihat saudara-saudara saya senegeri tersebut meninggalkan Indonesia dengan tujuan untuk menjadi “para pahlawan tak dikenal” bagi keluarganya dan juga negerinya tercinta yang belum lagi mampu memberikan kesejahteraan dan perlindungan kepada mereka. “Indra keenam” saya mengatakan bahwa mereka adalah saudara-saudara saya yang kurang bernasib baik di bidang pendidikan dan ekonomi. Tak terasa mata saya berlinang melihat pemandangan yang senantiasa terulang setiap kali saya melakukan perjalanan ke kawasan Timur Tengah.

Kami pun segera terlibat dalam perbincangan dengan mereka seraya menikmati perjalanan “menguak” jarak sekitar 5.500 kilometer antara Jakarta-Kuwait. Dari perbincangan tersebut di atas ketinggian sekitar 32.000 feet di atas permukaan bumi dan dengan kecepatan rata-rata sekitar 750 kilometer per jam itu mereka mengemukakan, sebagian besar mereka menerima “uang lelah” sekitar 1.5 juta hingga 2 juta. Betapa beda jauh “uang lelah” tersebut dengan salary seorang anak muda lulusan Politeknik Siemens Batam, yang diterima sebagai karyawan Rasgas, Qatar, yang saya temui di Bandara Sukarno-Hatta sebelum dia bertolak menuju Doha, Qatar. Menurut pengakuannya, ia menerima salary sebesar 1.800 USD. Itu pun masih ditambah dengan pelbagai fasilitas lain. Sebuah “guratan nasib” yang sangat berbeda di antara saudara-saudara saya yang ber”juang” di negeri seberang.

Tak lama selepas pesawat terbang terbang Airbus-300 Kuwait Airways tersebut mendaratkan tubuhnya di Kuwait International Airport pada pukul 09.00 waktu setempat, sebagian besar saudara-saudara saya tersebut segera antri di depan otoritas imigrasi Kuwait. Sekitar 15 orang di antara mereka bersama kami menuju ruang transit, karena 14 orang di antara mereka akan meneruskan perjalanan menuju Jeddah, Arab Saudi, dan satu orang menuju Doha, Qatar. Entah kenapa begitu memandangi saudara-saudara saya setanah air tersebut, tiba-tiba bayang-bayang pikiran Ibn Khaldun, seorang sejarawan Muslim terkemuka yang lahir di Tunis pada awal Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M, menyergap benak saya. Segera saja saya teringat dengan teorinya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan sejarah dan perkembangannya:

“Untuk mencukupi keperluannya, mereka yang berusaha di bidang pertanian dan peternakan terpaksa pergi ke tempat-tempat lain yang masih terbuka luas dan tidak terdapat di kota-kota, mencari lahan sawah, penggembalaan, perkebunan, dan lain sebagainya. Karena itu, orang-orang semacam itu terpaksa memilih kehidupan mengembara, bersatu, bekerja sama dalam soal-soal ekonomi. Mereka memiliki makanan, tempat tinggal, dan tempat berteduh sekadar untuk memenuhi keperluan hidup yang pokok saja tanpa berlebihan. Manakala taraf hidup mereka telah meningkat, sehingga mereka mula menikmati lebih dari keperluan hidup, maka akan timbul keinginan untuk ketenangan dan ketenteraman. Karena itu, mereka akan bekerja sama untuk mendapatkan barang-barang yang berlebihan tersebut. Makanan dan pakaian mereka akan bertambah banyak dan bagus. Mereka akan memperbesar rumah mereka dan merencakanan kota mereka untuk pertahanan.

Keadaan yang semakin baik akan membuat mereka terdorong pada kehidupan bermewah-mewah. Kehidupan yang demikian itu akan menyebabkan terjadinya penyempurnaan yang luar biasa dalam cara memasak dan menyiapkan makanan; dalam memilih pakaian yang indah dari sutra yang paling menawan; dan membangun gedung-gedung megah dan istana-istana yang indah dan menghiasi semuanya itu serba mewah dan sebagainya. Pada peringkat ini industri pun berkembang dan sampai pada puncaknya. Istana-istana dan bangunan-bangunan nan megah didirikan dan dihiasi serba indah dan mewah, air disalurkan ke gedung-gedung dan istana-istana. Di sisi lain, muncul pelbagai ragam mode pakaian, perabotan rumah tangga, kendaraan, dan alat-alat keperluan rumah tangga lainnya. Inilah orang-orang kota yang hidup dari industri dan perdagangan.”

Akankah teori Ibn Khaldun tersebut akan berlaku atas diri saudara-saudara saya setanah air tersebut? Saya sendiri merasa yakin, teori Ibn Khaldun tersebut juga berlaku atas diri mereka. Sang waktu akan membuktikan kebenaran teori Ibn Khaldun tersebut!