Tuesday, January 20, 2009

"Sang Kekasih" Itu Akhirnya Hadir

Hari ini, bagi penulis, benar-benar merupakan hari yang sangat membahagiakan. Sebuah karya, yang covernya pernah penulis kemukakan sejak Juli 2008, kini akhirnya benar-benar telah hadir di antara para pembaca budiman. Sejatinya, selama enam bulan terakhir, penulis merasa gelisah: benarkah karya ini akan sampai ke tangan para pembaca? Sebab, setelah penulis menyajikan cover tersebut dalam blog ini, Mas Dr. Haidar Bagir dari Penerbit Mizan menginginkan agar baik cover maupun tampilan buku itu diubah total menjadi sebuah buku dengan tampilan yang sangat mewah. Namun, krisis tiba-tiba datang menerpa. Akhirnya, karya itu terbit dengan cover dan tampilan semula. Alhamdulillah. 

Bagaimanakah kisah karya ini, yang penulis harapkan menjadi karya masterpiece penulis, lahir? Mengapa karya ini penulis susun? 

Menyusun sebuah buku tentang perjalanan hidup Rasulullah Saw., itulah sejatinya “pesan” yang memenuhi dan menggelayuti seluruh sisi benak penulis sejak Penerbit Mizania, atas inspirasi Dr. Haidar Bagir, meminta penulis untuk menyusunnya sebagai kesatuan dari buku-buku Teladan Indah Rasulullah Saw. dalam Ibadah,  Mutiara Akhlak Rasulullah Saw., Rumah Cinta Rasulullah, dan Wangi Akhlak Nabi yang penulis susun dan diterbitkan oleh penerbit tersebut. Menerima permintaan demikian, yang dikemukakan Mas Ahmad Baiquni dari Penerbit Mizania, beberapa lama sebelum penulis bertolak ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji, benar-benar membuat penulis gamang dan tak kuasa menyusunnya. Mengapa demikian? Penulis sepenuhnya sadar, penulisan perjalanan hidup Rasulullah Saw. telah berlangsung lebih dari empat belas abad dan telah dilakukan oleh banyak penulis yang terkenal pakar di bidang tersebut. 

Seperti diketahui, perjalanan hidup Rasulullah Saw. telah di“abadikan” dalam karya-karya yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan “Sîrah”. Karya-karya  mengenai  perjalanan hidup Rasulullah Saw.  ini, di permulaan perkembangannya, merupakan bagian dari hadis. Di antara  para ahli   hadis  ada  yang  mengkhususkan  diri  mencatat   sejarah perjalanan  hidup  beliau.  Mereka  akhirnya  lebih  terkenal sebagai  penulis  perjalanan hidup beliau daripada  sebagai  ahli sejarah  atau  hadis.  Lantas, pada abad kedua H/8 M dan  ketiga  H/9  M,  di pelbagai kawasan dunia Islam bermunculan para penulis sîrah  Rasulullah Saw.  Misalnya,  ‘Urwah  bin Al-Zubair, Musa  bin  ‘Uqbah,  Ibn Ishaq,   dan  Ibn  Sa‘d.  Kebanyakan  di  antara  mereka   telah membebaskan  diri dari tata-aturan yang disusun para ahli  hadis dalam menuturkan suatu riwayat. Sedangkan  di  abad keempat H/10 M dapat  dikatakan  tak  muncul sîrah   yang  patut  mendapat  perhatian.  Baru  pada   abad-abad berikutnya terbit karya-karya baru tentang perjalanan hidup  Rasulullah  Saw. yang patut dikemukakan. Misalnya, karya Ibn  Faris, Aujâz  Al-Sair li Khair Al-Basyar, Ibn Hazm,  Jawâmi‘  Al-Sîrah, dan Ibn ‘Abdul Bar Al-Qurthubi, Al-Durar fi Ikhtishâr Al-Maghâzi wa Al-Sair

Di samping dalam bentuk biografi murni, karya-karya tentang perjalanan hidup Rasulullah Saw. banyak dituangkan dalam salah satu bagian sebuah karya sejarah atau biografi sejumlah tokoh. Walau demikian, tulisan seperti itu tak kalah dalam dan memikat. Di sisi lain, karya-karya di masa itu relatif hampir sewarna, karena karya-karya itu mendasarkan diri pada sumber acuan yang hampir sama. Hampir tak ditemukan adanya analisis atau kritik terhadap peristiwa yang disajikan. Karya-karya itu memang lebih bercorak deskriptif. Berbeda dengan biografi-biografi Rasul Saw. yang disusun di zaman modern. 

Di zaman modern, perjalanan hidup Rasulullah Saw. tak  hanya mendapat  perhatian  dari kalangan kaum  Muslim  saja.  Misalnya, karya Muhammad Husain Haekal, Hayâh Muhammad, Maulana Muhammad Ali, The Prophet Muhammad,  Al-Haj Mohammad ‘Ali Salmin, The Holy Prophet Mohammad, Athar Husain,  Prophet  Muhammad and His Mission, Hafiz  Gulam  Sarwar, Muhammad,  The Holy Prophet, Majid Ali Khan, Muhammad, The  Final Messenger, Martin Lings, Muhammad, His Life Based on the Earliest Sources,  MA Salahi, Muhammad, Man and Prophet, Bint Al-Syathi’, Ma‘a Al-Mustafâ, Mustafa Al-Siba‘i, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: Durûs wa ‘Ibar, Muhammad Hamidullah, Muhammad Rasulullah, ‘Imad Al-Din Khalil, Dirâsah fî Al-Sîrah, Abu Al-Hasan ‘Ali Al-Hasani Al-Nadwi, Al-Nabiy Al-Khatim, Al-Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Al-Rahîq Al-Makhtûm, Bahts fî Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, Afzalur Rahman, Muhammad as Military Leader, ‘A’id Al-Qarni, Qishshah Al-Risâlah, Rawâ’i‘ min Al-Sîrah, Seyyed Hossein Nasr, Muhammad: Man of Allah, Ismail Raji Al-Faruqi, The Hijrah, Muhammad Al-Ghazali, Fiqh U-Seerah: Understanding the Life of Prophet Muhammad, Ali Shariati, Muhammad Saw. Khâtim Al-Nabiyyîn: min Al-Hijrah hattâ Al-Wafah, Zakaria Bashir, Meccan Crucible, Sun Shine from Madina, dan Significant of Hijrah, Akram Dia Al-Umri, Madinan Society at the Time of the Prophet, Tarik Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad, atau Mahdi Rizqullah Ahmad, A Biography of the Prophet of Islam. Tapi,  juga dari   pihak  di  luar  mereka.  Khususnya  dari  kalangan   kaum orientalis.  Misalnya  karya  John Davenport, An Apology for Mohammed and the Koran, Emile Dermenghem, Mahomet et la tradition islamique, Washington Irving, Life of Muhammad, Tor Andrae, Muhammad, Sein Leben and Sein Glaubi, Sir  William  Muir,  The  Life  of Mahomet, A. Sprenger dalam Das Leben und die Lehre des Mohammade, D.S  Margoliouth dalam Mohammad and the Rise of  Islam,  William Muir dalam triloginya, Muhammad at Mecca, Muhammad at Medina, dan Muhammad  Prophet  and Statesman, Francesco Gabrieli, Muhammad and the Conquest of Islam, Betty Kelen,  Muhammad  The Messenger of God, Roger Caratini, Mahomet, Gilles Kepel, The Prophet and Pharaoh, Maxime Rodinson, Mohammed, Philippe Aziz, Mahomet, le glaive, l’amour, la foi, Pierre Geadah, Mohammad, le Prophete de l’Islam, Virgil Gheorghiu, Vie de Mahomet, Annemarie Schimmel, And Muhammad Is His Messenger, Karen Amstrong, Muhammad: A Biography of the Prophet, dan Jean Prieur, Muhammad, Prophete d’Orient et d’Occident. 

Terbitnya  karya tentang perjalanan hidup Rasulullah Saw.  yang disusun  pihak di luar Islam itu acapkali merupakan  salah  satu pemicu  bagi para pemikir dan penulis Muslim untuk  mengkaji  dan menyusun  kembali perjalanan hidup beliau. Karya-karya ini  tak hanya  berbentuk  prosa,  tapi juga  berbentuk  puisi.  Tampaknya karya-karya  terakhir  ini tak lepas  dari  dampak  karya-karya klasik  para  penulis Muslim yang juga berbentuk  puisi,  seperti  Al-Burdah, sebuah karya Abu ‘Abdullah Syaraf Al-Din Muhammad bin Sa‘id  Al-Shanhaji Al-Dalashi  Al-Bushiri, seorang  penyair yang  wafat pada 681 H/1279 M di Mesir, yang berisi pujian, kisah kelahiran, mi‘raj, perjuangan, dan doa  bagi Rasulullah Saw.  Karya dengan judul  asli  Al-Kawâkib Al-Duriyah   fi  Madh  Khair  Al-Bariyyah yan terdiri dari 162 bait ini, seperti diketahui, telah diterjemahkan  ke  dalam berbagai bahasa asing,  antara  lain  ke dalam  bahasa Latin (1175 H/1761 M), bahasa Inggris oleh  J.W.  Redhouse (1299 H/1881 M), bahasa Prancis oleh de Sacy (1238 H /1822 M), bahasa Italia  oleh Giuseppe  Gabrieli (1319 H/1901 M), dan bahasa Jerman oleh  Vincenz  von Rosenzweig-Schawanau  (1240  H/1824  M),  di  samping  ke   dalam pelbagai  bahasa di dunia Islam. 

Melihat deretan panjang karya-karya tentang perjalanan hidup Rasulullah Saw. itu, penulis benar-benar merasa gamang:  kuasakah penulis menyusun sebuah biografi beliau yang tak hanya merupakan pengulangan karya-karya yang telah terbit sebelumnya. Akibatnya, selama sembilan hari berada di Madinah Al-Munawwarah di musim haji 1428 H/2007 M itu, penulis senantiasa merasa gelisah setiap kali memasuki Masjid Nabawi,(12) karena merasa “pesan” untuk menulis biografi Rasul Saw. itu masih di luar kuasa penulis yang dhaif. Entah kenapa, penulis senantiasa ingat pesan Ziauddin Sardar dalam karyanya Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come, “...Jika para cendekiawan Muslim dewasa ini ingin  menyusun sîrah yang relevan dengan masa kini dan masa depan, mereka tak memiliki pilihan lain kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan tambahan: bagaimana beliau melakukannya? Dan, mengapa beliau melakukannya?” 

“Kedua pertanyaan ini menuntut agar sîrah dianalisis untuk menemukan penjelasan di balik fakta-fakta.  Dan, itu memerlukan bukan hanya sumber-sumber tradisional yang selama ini mendominasi sîrah. Kehidupan Nabi Muhammad harus ditulis sebagai sejarah yang hidup. Bukan sebagai suatu biografi sejarah masa lalu. Sebagai sejarah analitis, sîrah merupakan pemahaman terhadap kehidupan Nabi Muhammad, karena dia membentuk dan memotivasi pribadi dan masyarakat Muslim. Sîrah analitis bertujuan untuk menemukan dan memadukan prinsip-prinsip dari pelbagai situasi sejarah prinsip-prinsip dengan relevansi masa kini yang kuat dan akan memungkinkan masyarakat Muslim modern untuk membuat penilaian moral dalam menghadap realitas yang pelik.” 

Akhirnya, dengan senantiasa berdoa kepada Allah Swt. dan memohon maaf kepada Rasulullah Saw., baik ketika berada di Madinah, Mina, ‘Arafat, maupun Makkah, kegamangan dan kegelisahan penulis itu sirna. Dan, tumbuh kemudian semangat membara untuk menulis sebuah karya yang kini berada di tangan budiman. Kiranya karya ini seperti yang diharapkan Ziauddin Sardar tersebut. Harapan penulis, kiranya karya ini dapat “menyajikan gambaran menyeluruh mengenai kehidupan Rasulullah Saw.” dalam kualitasnya sebagai seorang Rasul dan Nabi terakhir yang pembangun akhlak dan jiwa yang mulia seperti difirmankan Allah Swt. dalam Al-Quran, “Dan, sungguh, engkau benar-benar berbudi pekerti luhur!” (QS Al-Qalam [68]: 4). 

Seperti halnya karya-karya yang penulis susun sebelumnya, Teladan Indah Rasulullah Saw. dalam Ibadah,  Mutiara Akhlak Rasulullah Saw., Rumah Cinta Rasulullah, dan Wangi Akhlak Nabi yang diangkat dari beberapa buku hadis yang diperkaya dengan pelbagai sumber lain, karya ini pun diangkat dari pelbagai sumber, baik dari beberapa buku hadis maupun karya-karya lainnya. Penulis berharap, kiranya pembaca budiman mendapati darinya teladan dan hikmah yang sangat menawan dan bermanfaat bagi usaha kita untuk memahami dan menghayati segala hal yang berkaitan dengan kehidupan Rasul Saw. Juga, walau  karya ini tak terlalu lengkap, penulis berharap kiranya karya yang disusun dengan pendekatan “kesetiaan dan cinta tulus kepada sang pengasih umat manusia” ini dapat “menyajikan gambaran menyeluruh mengenai kehidupan Rasul Saw.” sebagai teladan kita, selaras dengan firman Allah Swt., “Sungguh, pada (diri) Rasul terdapat teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (datangnya) hari kiamat dan ia acap mengingat Allah.” (QS Al-Ahzâb [33]: 21). Walau demikian, dalam menyajikan karya ini, meminjam ungkapan Ali Shariati dalam karyanya Muhammad Saw., Khâtim Al-Nabiyyîn, penulis juga senantiasa berusaha “memilih realitas pasti dalam pelacakan terhadap sejarah, yang rentangannya mencakup semua orang-betapa pun berbedanya kubu pemikiran mereka, dan sepanjang yang diperoleh mereka adalah fakta-fakta yang bersih dari segala bentuk kefanatikan dan ekstremisme”. 

Dalam hal ini penulis seiring pendapat dengan Abdul Hameed Siddiqui, seperti dikemukakan Hawe Setiawan dalam tulisannya berjudul “Nabi Menurut Siddiqui” (Republika, Ahad, 30 Desember 2007), bahwa “hal paling menakjubkan dari kehidupan Muhammad Saw. adalah imannya yang teguh terhadap Allah dan upaya beliau yang tiada henti untuk senantiasa dekat dengan Dia. Tuhan merupakan pijar utama dari nyala keimanannya. Begitu dekat hubungan Nabi Saw. dengan Sang Khalik, sehingga tiada seorang pun yang dapat memahami kehidupannya yang suci jika tidak menyelami kesadaran di dalam dirinya akan Kemuliaan dan Lindungan-Nya yang tiada tara. Inilah iman yang luhur dan tak tergoyahkan terhadap Lindungan Tuhan yang dapat disebut sebagai intisari watak Nabi Saw.” 

Di sisi lain, sekali lagi, penulis sepenuhnya menyadari, karya yang terdiri dari empat belas bagian ini bukan sebuah karya yang sempurna. Karena itu, apabila dalam karya ini terdapat kekurangan dan kelemahan, sekali lagi penulis sampaikan, semua itu sepenuhnya dari penulis dan merupakan tanggung jawabnya. Karena itu pula, kritik dan saran dari pembaca tentu senantiasa penulis harapkan demi perbaikan ke depan. Meskipun demikian, penulis senantiasa berharap kiranya karya ini dapat menjadi setetes ilmu yang menebarkan manfaat bagi para pembaca sekalian dan sebagai amal jariah penulis yang diterima oleh Allah Swt. Dan, sebagai ungkapan rasa syukur atas terselesaikannya penulisan karya ini, dengan meminjam ungkapan Tarik Ramadan dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad, “doa saya haturkan kepada Yang Maha Esa, Yang Mahadekat, kiranya Dia menerima dan meridhai karya tentang Nabi Saw. ini, kiranya Dia memaafkan saya atas segala kesalahan dan kekeliruan, dan kiranya Dia menempatkannya sebagai tonggak kecil upaya manusia dalam mencapai pemahaman dan perdamaian: dengan diri sendiri dan dengan orang lain, di bawah naungan cinta-Nya”. 

Dalam kesempatan ini penulis tak  lupa  mengucapkan rasa terima kasih, dari relung hati terdalam, kepada Dr. Haidar Bagir yang telah memberi inspirasi kepada penulis untuk menyusun sebuah karya yang sebelumnya tak terbayangkan akan dapat disajikan oleh penulis. Sebuah inspirasi yang kemudian membuat penulis selama berbulan-bulan “menyertai” Rasulullah Saw. tercinta, disertai rasa khawatir dan takut tak kuasa menghadirkan sebuah karya yang benar-benar mampu “memotret” dan “memaknai” seluruh sisi kehidupan beliau tanpa kesalahan, kealpaan, kekurangan, maupun keteledoran. Ucapan terima kasih serupa juga penulis sampaikan kepada Gus Mus (K.H.A. Mustofa Bisri, seorang kiai, budayawan, dan cendekiawan Muslim asal Rembang, Jawa Tengah) yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis untuk merampungkan penulisan karya sederhana ini. 

Tak lupa ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. H. Sohirin Mohammad Solihin, seorang guru besar di  International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia yang telah memberikan sederet daftar buku-buku yang selayaknya penulis telaah, Prof. Dr. H. Thoha Hamim, seorang guru besar di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, yang telah memberikan masukan yang berharga atas karya ini, Prof. Dr. H. Syihabuddin Qalyubi, seorang  guru besar di Universitas  Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang telah membawakan “oleh-oleh” kepada penulis berupa sejumlah buku dari Mesir, dan H.M. Syakirin Al-Ghozali MA.,  seorang dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta dan kandidat doktor di University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia yang telah memberikan informasi tentang buku-buku seputar biografi Rasulullah Saw. yang tersedia di ibukota Malaysia itu dan membelikannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada H. Rustam Sumarna, seorang direktur biro perjalanan umrah dan haji di Bandung, yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis untuk menunaikan ibadah umrah di bulan Juli 2007 dan ibadah haji di musim haji 1428 H/2007 M. Sehingga, di samping menunaikan ibadah-ibadah itu, penulis berkesempatan mengumpulkan buku-buku terbaru tentang biografi Rasulullah Saw., baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggris, dan mengamati kembali secara cermat pelbagai tempat historis yang berkaitan erat dengan perjalanan hidup beliau. 

Tentu, dalam kesempatan ini, tak  lupa  pula penulis yang dhaif ini kembali mengucapkan terima kasih kepada Penerbit Mizania, utamanya Mas Ahmad Baiquni, Mas Yadi Saeful Hidayat,  Mbak Windu Darlina, Mas Andi Yudha Asfandiyar, Mbak Pangestuningsih, Mas Andityas Prabantoro, Mbak Ine Ufiyatiputri, Mas Andreas Kusumahadi, Mas Yudiarto Iskandar, Mas Dodi Rosadi, Mas Eja Asssagaf, dan tim,  yang telah bekerja keras untuk menerbitkan karya ini dan karya-karya penulis sebelumnya dengan suntingan, tampilan, dan sebaran yang terbaik dan tercantik. Dan, terakhir, rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada istri tercinta, dr. Hj. Ummie Wasitoh SpPD, dan dua putri penulis, Hj. Mona Luthfina ST dan Naila Fithria, atas waktu yang senantiasa mereka relakan yang semestinya menjadi hak mereka. Kiranya Allah Swt. membalas amal kebajikan mereka. Amin.

Saturday, January 17, 2009

Mengapa Terjadi Derita Gaza: Pandangan dari Dalam

Sejatinya, sejak awal, blog ini memang penulis rancang tidak akan membahas hal-hal yang berkait dengan masalah politik. Khususnya politik di tingkat internasional. Namun, derita yang dialami warga Palestina di Gaza benar-benar sangat luar biasa. Karena itu, untuk kali ini, penulis menyalahi “aturan main” yang telah penulis gariskan sendiri. Dan, untuk memahami mengapa terjadi pembantaian yang dilakukan pasukan Israel atas warga Palestina, ada baiknya kita memahaminya lewat pandangan dari dalam Palestina sendiri. Pandangan tersebut ditulis oleh Mustafa Barghouti, Sekretaris Jenderal The Palestinian National Initiative, di Al-Ahram Weekly On-line (Edisi 1-6 Januari 2009):

The Israeli campaign of "death from above" began around 11am on Saturday morning and continues as I write these words.The bloodiest single day in Palestine since the war of 1967 is far from over following Israel's promise that this is "only the beginning" of their campaign of state terror. Approximately 400 people have been murdered thus far, but the body count continues to rise at a dramatic pace as more mutilated bodies are pulled from the rubble, prior victims succumb to their wounds, and new casualties are created by the minute. What is occurring is nothing short of a war crime, yet the Israeli public relations machine is in full swing, churning out lies by the minute.

Once and for all it is time to expose the myths that they have created:

- Israel claimed to have ended the occupation of the Gaza Strip in 2005. While Israel has indeed abandoned its settlements in the tiny coastal Strip, it has in no way ended the occupation. It remained in control of Gaza's borders, airspace and waterways, and has carried out frequent raids and targeted assassinations since its "disengagement". Furthermore, since 2006 Israel has imposed a comprehensive siege on the Strip. For over two years, Gazans have lived on the edge of starvation and without the most basic necessities of human life, such as cooking or heating oil and basic medications. This siege has already caused a humanitarian catastrophe that has only been exacerbated by the dramatic increase in Israeli military aggression.

- Israel claims that Hamas violated the ceasefire and abandoned it unilaterally. Hamas indeed respected their side of the ceasefire, except on those occasions early on when Israel carried out major offensives in the West Bank. In the last two months, the ceasefire broke down with Israelis killing several Palestinians and resulting in the response of Hamas. In other words, Hamas has not carried out an unprovoked attack throughout the period of the ceasefire. Israel, however, did not live up to any of its obligations of ending the siege and allowing vital humanitarian aid to resume in Gaza. Rather than the average of 450 trucks per day being allowed across the border, on the best days, only 80 have been allowed in, with the border remaining hermetically sealed 70 per cent of the time. Throughout the supposed "ceasefire" Gazans have been forced to live like animals, with 262 dying due to the inaccessibility of proper medical care. Now after hundreds dead and counting, it is Israel that refuses to re-enter talks over a ceasefire. They are not intent on securing peace as they claim; it is more and more clear that they are seeking regime change, whatever the cost.

- Israel claims to be pursuing peace with "peaceful Palestinians". Before the ongoing massacre in the Gaza Strip, and throughout the entirety of the Annapolis peace process, Israel has continued and even intensified its occupation of the West Bank. In 2008, settlement expansion increased by a factor of 38, a further 4,950 Palestinians were arrested (mostly from the West Bank), and checkpoints rose in number from 521 to 699. Furthermore, since the onset of peace talks, Israel has killed 546 Palestinians, among them 76 children. These gruesome statistics are set to rise dramatically now, but previous Israeli transgressions should not be forgotten amidst this most recent horror. This week Israel shot and killed a young peaceful protester in the West Bank village of Nihlin and has injured dozens more. It is certain that they will continue to employ deadly force at non-violent demonstrations and we expect a sizeable body count in the West Bank as a result. If Israel is in fact pursuing peace with "good Palestinians", whom are they talking about?

- Israel is acting in self-defence. It is difficult to claim self-defence in a confrontation that they themselves have sparked, but they are doing it anyway. Self- defence is reactionary, while the actions of Israel over the past few days have been clearly premeditated. Not only did the Israeli press widely report the ongoing public relations campaign being undertaken by Israel to prepare Israeli and international public opinion for the attack, but Israel has also reportedly tried to convince the Palestinians that an attack was not coming by briefly opening crossings and reporting future meetings on the topic. They did so to insure that casualties would be maximised and that the citizens of Gaza would be unprepared for their impending slaughter. It is also misleading to claim self-defence in a conflict with such an overwhelming asymmetry of power. Israel is the largest military force in the region, and the fifth largest in the world. Furthermore, they are the fourth largest exporter of arms and have a military industrial complex rivaling that of the United States. In other words, Israel has always had a comprehensive monopoly over the use of force, and much like its superpower ally, Israel uses war as an advertising showcase of its many instruments of death.

- Israel claims to have struck military targets only. Even while image after image of dead and mutilated women and children flash across our televisions, Israel brazenly claims that their munitions expertly struck only military installations. We know this to be false, as many other civilian sites have been hit by air strikes, including a hospital and a mosque. In the most densely populated area on the planet, tons upon tons of explosives have been dropped. The first estimates of injured are in the thousands. Israel will claim that these are merely "collateral damage" or accidental deaths. The sheer ridiculousness and inhumanity of such a claim should sicken the world community.

- Israel claims that it is attacking Hamas and not the Palestinian people. First and foremost, missiles do not differentiate people by their political affiliation; they simply kill everyone in their path. Israel knows this, and so do the Palestinians. What Israel also knows, but is not saying publicly, is how much their recent actions will actually strengthen Hamas, whose message of resistance and revenge is being echoed by the angry and the grieving. The targets of the strike, police and not Hamas militants, give us some clue as to Israel's mistaken intention. They are hoping to create anarchy in the Strip by removing the pillar of law and order.

- Israel claims that Palestinians are the source of violence. Let us be clear and unequivocal. The occupation of Palestine since the war of 1967 has been and remains the root of violence between Israelis and Palestinians. Violence can be ended with the end of the occupation and the granting of Palestine's national and human rights. Hamas does not control the West Bank and yet we remain occupied, our rights violated and our children killed. With these myths understood, let us ponder the real reasons behind these air strikes; what we find may be even more disgusting than the act itself. The leaders of Israel are holding press conferences, dressed in black, with sleeves rolled up. "It's time to fight," they say, "but it won't be easy." To prove just how hard it is, Livni, Olmert and Barak did not even wear makeup to the press conference, and Barak has ended his presidential campaign to focus on the Gaza campaign. What heroes... what leaders. We all know the truth: the suspension of electioneering is exactly that -- electioneering. Like John McCain's suspension of his presidential campaign to return to Washington to "deal with" the financial crisis, this act is little more than a publicity stunt. The candidates have to appear "tough enough to lead", and there is seemingly no better way of doing that than bathing in Palestinian blood.

"Look at me," Livni said in her black suit and unkempt hair, "I am a warrior. I am strong enough to pull the trigger. Don't you feel more confident about voting for me, now that you know I am as ruthless as Bibi Netanyahu?"

I do not know which is more disturbing, her and Barak, or the constituency they are trying to please. In the end, this will in no way improve the security of the average Israeli; in fact it can be expected to get much worse in the coming days as the massacre could presumably provoke a new generation of suicide bombers. It will not undermine Hamas either, and it will not result in the three fools, Barak, Livni and Olmert, looking "tough". Their misguided political venture will likely blow up in their faces as did the brutally similar 2006 invasion of Lebanon. In closing, there is another reason -- beyond the internal politics of Israel -- why this attack has been allowed to occur: the complicity and silence of the international community. Israel cannot and would not act against the will of its economic allies in Europe or its military allies in the US. Israel may be pulling the trigger and ending hundreds, perhaps even thousands of lives this week, but it is the apathy of the world and the inhumane tolerance of Palestinian suffering that allows this to occur: "Evil only exists because the good remain silent".

Thursday, January 15, 2009

"Hadiah" untuk Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan George W. Bush

Ketika kemarin penulis membuka koran mingguan Al-Ahram Weekly Online, Kairo, dan membaca kisah Muntazhar al-Zaidi yang tiba-tiba mencopot sepatunya dan melemparkannya ke arah George W. Bush yang sedang berpidato, entah mengapa dalam benak penulis timbul pertanyaan: benarkah tindakan melemparkan atau menamparkan sesuatu ke muka seseorang di kawasan Timur Tengah dipandang sebagai penghinaan dan rasa tidak senang terhadap orang yang dilempar atau ditampar itu? Adakah penguasa di kawasan itu yang pernah mengalami kejadian yang serupa atau mirip? 

Ternyata, ada seorang penguasa yang pernah mengalami kejadian yang serupa: mukanya ditampar rakyat yang ia pimpin. Penguasa itu tak lain adalah Mu‘awiyah bin Abu Sufyan,  pendiri  dinasti  pertama  dalam  sejarah  Islam, Dinasti Umawiyyah  dengan  ibukota  di Damaskus, Suriah.     Lahir  di Makkah  sekitar  602  M, putra Abu Sufyan bin Harb ini memeluk  Islam pada saat Penaklukan Makkah pada  8  H/629 M. Selepas bermukim di Madinah, ia diangkat sebagai salah seorang penulis  Rasulullah Saw.  Ketika  Abu Bakar Al-Shiddiq menjabat khalifah,  ia  ikut bertempur  menghadapi pasukan Romawi di Syam di  bawah  pimpinan kakaknya,  Yazid  bin  Abu Sufyan. Malah,  kemudian  ia  diangkat sebagai  Gubernur  Syam, menggantikan sang kakak dalam  usia  dua puluh enam tahun. Selepas ‘Ali bin  Abu  Thalib tewas, ia menabalkan  dirinya  sebagai  penguasa pertama  Dinasti Umawiyah dan menjadikan Damaskus, Suriah  sebagai ibukota  dinasti  ini.  Peristiwa ini terjadi pada  41  H/661  M. Bagaimana kisah penamparan atas muka Mu‘awiyah bin Abu Sufyan? 

Kala itu Mu‘awiyah bin Abu Sufyan sedang memasuki Kota Madinah Al-Munawwarah,   seusai melaksanakan ibadah haji di Makkah. Begitu ia menatapkan pandangannya ke arah Kota Nabi dari kejauhan, penguasa yang satu itu tak kuasa menahan lelehan air matanya. Kenangan indah ketika masih bermukim di Kota Nabi, bersama Rasulullah Saw., segera memenuhi benaknya. Segera saja muncul kenangan hari-hari ketika ia diminta beliau menjadi salah seorang penulis wahyu. Karena itu, dalam hati ia berjanji, tak lama selepas menapakkan kaki di kota ia akan berbuat kebaikan, dengan memberikan hadiah kepada warga Kota Nabi itu. 

Benar saja, tak lama selepas menapakkan kakinya di Kota Nabi, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan memerintahkan sejumlah petugas untuk membagi-bagikan hadiah kepada para warga kota itu. Dan ketika tahu di antara para warga itu ada seorang Anshar yang pernah ikut Perang Badar, ia pun memerintahkan seorang utusan untuk menyerahkan hadiah uang dua ribu dinar dan sepuluh pakaian lengkap kepada orang Anshar tersebut. Namun, tak seperti diduga Mu‘awiyah bin Sufyan, orang Anshar itu ternyata marah besar begitu mengetahui maksud kedatangan utusan itu. Ucap orang Anshar itu kepada si utusan, “Apakah Mu‘awiyah juga memberikan hadiah yang sama kepada warga-warga lain? Tanyakan kepadanya!”“Maafkan saya. Saya tak kuasa menyampaikan pesanmu itu,” sahut si utusan.

Mendengar jawaban yang demikian, amarah orang Anshar itu kian membara. Dan, tak lama selepas itu, ia memanggil seorang putranya dan berucap kepadanya, “Putraku! Demi hakku atas dirimu, temuilah Mu‘awiyah dan kembalikan hadiah ini kepadanya. Lantas, tamparkan hadiah ini ke muka penguasa itu!” 

Menerima permintaan sang ayahanda yang demikian, walau dengan berat hati, sang putra pun menemui Mu‘awiyah bin Abu Sufyan. Selepas mengucap salam dan berbagi sapa sejenak dengan sang penguasa, anak muda dari kalangan Anshar itu lantas berucap, “Wahai Amir  Al-Mukminin! Ayahanda menyampaikan salam kepadamu. Selain itu, ia meminta saya menanyakan kepadamu, apakah hadiah uang dua ribu dinar dan sepuluh pakaian lengkap yang diberikan kepada Ayahanda itu juga diberikan kepada warga-warga lain di kota ini?”“Siapakah utusan yang menemui ayahandamu?” sahut Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang segera tanggap atas amarah orang Anshar itu.“Si Fulan, wahai Amir Al-Mukminin.”“Kiranya Allah segera mengambil nyawa utusan itu. Dia telah melakukan kesalahan. Bukan hadiah itu yang semestinya diserahkan kepada ayahandamu. Hadiah yang semestinya diserahkan kepadanya adalah uang sepuluh ribu dirham dan tiga puluh pakaian lengkap.” 

Seusai berucap demikian, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan lantas memerintahkan seorang petugas untuk menyiapkan hadiah yang ia katakan. Selepas hadiah itu tersedia, penguasa berkuasa selama sekitar dua puluh tahun, sampai berpulang pada Rajab 60 H/April 680 M dalam usia sekitar tujuh puluh delapan tahun, itu lantas berucap kepada putra orang Anshar itu, “Wahai saudaraku! Ambillah hadiah ini. Juga, sampaikanlah permintaan maafku kepada ayahandamu atas kesalahan utusanku.”

“Wahai Amir Al-Mukminin,” sahut anak muda dari kalangan Anshar itu. “Tentu engkau tahu, seorang ayah memiliki hak atas putranya dan merupakan kewajiban sang putra untuk mematuhi perintahnya. Ayahanda memerintahkan sesuatu kepada saya.”“Apa itu?”“Ketika menyerahkan hadiah tadi kepada saya, Ayahanda meminta saya untuk menamparkan hadiah itu ke mukamu.” 

Sejenak Mu‘awiyah bin Abu Sufyaan terkejut dan terbisu mendengar permintaan yang demikian. “Kurang ajar orang Anshar itu!” gumamnya dalam hati. Namun, ia tetap menahan amarahnya. Dan, beberapa lama kemudian, ia berucap, “Wahai saudaraku! Patuhlah kepada ayahandamu dan belas kasihlah terhadap pamanmu ini. Silakan tampar mukaku ini.”

Anak muda dari kalangan Anshar itu lantas menamparkan  pelan hadiah itu ke muka sang penguasa. 

Kisah itu menunjukkan bahwa penamparan atau pelemparan ke muka seseorang, di kawasan Timur Tengah, memang merupakan ungkapan rasa tidak senang dan jengkel si pelaku terhadap orang yang ditampar atau dilempar. Apa pun halnya, “nasib” Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang mukanya ditampar pelan masih mending ketimbang “nasib” George W. Bush yang dikasih “hadiah” lemparan sepatu. Barang kali ini karena dosa dan kesalahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan jauh lebih ringan ketimbang dosa dan kesalahan George W. Bush. Wallahu a‘lam bi al-shawab!


Wednesday, January 7, 2009

Ketika Seorang Calon Ulama Terkemuka Jatuh Cinta

Bila Anda mengunjungi Cordoba, Spanyol, di depan Pintu Gerbang Sevilla kota tersebut yang di masa silam menuju ke arah Balath Mughits, akan Anda jumpai patung seorang lelaki tegak dengan gagahnya. Lelaki gagah mengenakan jubah itu seakan sedang menapakkan kedua kakinya menuju Masjid Cordoba, tempat ia menjadi mahasiswa dan guru besar serta menunaikan shalat setiap harinya. Patung itu didirikan atas prakarsa masyarakat dan pemerintah Kota Cordoba pada 1963, sebagai penghargaan atas jasa-jasa tokoh yang dipatungkan itu. Lelaki itu, tak salah lagi, adalah Ibn Hazm Al-Andalusi, yang fotonya penulis tampilkan di samping kiri tulisan ini. Ulama yang satu ini ternyata pernah mengalami kisah cinta tragis: cinta bertepuk sebelah tangan. Dan, menariknya, kisah cinta yang gagal itu ditampilkan dengan indahnya dalam karyanya, Thauq Al-Hamamah, yang sebentar lagi edisi Indonesianya akan hadir dengan judul Risalah Cinta: Kitab Klasik Legendaris tentang Seni Mencinta. Bagaimana kisah cinta bertepuk sebelah tangan sang ulama ketika masih muda usia, berikut kisahnya: 

“Ketika saya masih remaja, saya jatuh cinta kepada seorang hamba sahaya perempuan nan amat jelita milik keluarga saya yang tinggal serumah dengan kami,” tutur Ibn Hazm Al-Andalusi. “Hamba sahaya itu masih gadis, berusia enam belas tahun. Wajahnya elok nan sangat memesona. Kecerdasan dan kesucian dirinya menawan hati. Ia begitu pintar memelihara kehormatan dan harga dirinya. Ia tinggalkan segala perbuatan yang kurang ajar dan tak senonoh. Ia pun berpakaian rapi dan tertutup rapat senantiasa. Juga, ia sedikit bicara, tak suka mencela, pandangannya senantiasa terjaga, memelihara jarak dengan lawan jenis, dan senantiasa bersikap hati-hati. Sungguh, ia benar-benar amat memesona. 

Selain itu,  ia begitu pandai berkelit dan piawai dalam menyatakan penolakan. Ia begitu tenang dan santun kala duduk. Ia lebih banyak mendengarkan ketimbang bicara. Ia senantiasa menghindar bila ada orang yang ingin berbuat macam-macam dengannya. Karena itu, orang pun segan kepadanya. Ia bukan tipe perempuan gampangan, di mana setiap laki-laki dapat menyinggahinya. Kepribadiannya memikat hati setiap orang yang mengenalnya. Kesantunan tabiatnya mengusir orang yang hendak menjahilinya. Ia dermawan dan ringan tangan. Ia sungguh cekatan dalam pekerjaan. Ia tak senang canda yang tiada manfaatnya. Dan, ia sangat pandai membalas budi dan memendam rasa. Duhai, ia benar-benar gadis sangat memikat nan memesona.” 

Demikian kenang tokoh yang sarat pengalaman itu perihal gadis yang dicintainya. Selepas bertutur demikian, ahli hukum  Islam  yang  menganut Aliran  Zhahiriyyah,  menolak ra‘y  (rasio),  dan  mengambil lahiriah teks-teks Al-Quran itu kemudian menuturkan kembali kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan itu, “Saya sangat mencintainya. Sungguh, sangat mencintainya. Selama dua tahun saya terus berusaha keras untuk dapat mendengar satu kata khusus saja yang terucap dari mulutnya untuk saya. Ya, kata khusus di luar pembicaraan yang sifatnya umum. Namun, sekeras apa pun usaha saya, tetap tak menghasilkan harapan yang saya damba. Ia tak pernah mau berucap kepada saya. Walau itu sepatah saja. Lantas, suatu hari, ada pesta kecil di rumah kami. Seluruh anggora keluarga dan handai tolan saya berkumpul. Beberapa ibu, anak gadis, dan beberapa tetangga yang selama ini membantu keluarga saya juga ikut berkumpul. Di siang hari mereka semua berkumpul di ruang tengah. Dan selepas acara usai, mereka semua menuju balkon rumah yang langsung tersambung dengan taman. Dari balkon, seluruh lekuk-lekuk dan pernik-pernik Kota Cordoba terlihat begitu jelasnya. Sungai-sungainya, bukit-bukitnya, dan pegunungan hijau yang menghampar dan mengelilinginya. Mereka berkumpul di balkon seraya menikmati pemandangan indah Kota Cordoba.” 

Saya pun ikut berkumpul di sana. Masih terekam jelas di benak, saat itu saya berjalan menuju pintu tempat perempuan nan jelita yang saya damba itu berada. Saya sengaja mendekatinya. Kami berdiri berdekatan. Dekat sekali. Namun, begitu ia tahu saya berdiri di sampingnya, ia segera beranjak meninggalkan saya. Ia beranjak ke pintu lain dengan langkah nan lamban dan menawan. Saya tak dapat tinggal diam. Saya ikuti dia. Dan, begitu saya berada di sampingnya, ia segera beralih ke pintu sebelumnya. Begitu seterusnya. 

Sepertinya ia telah tahu dengan rahasia hati saya yang saya pendam dalam. Sementara itu, segenap hadirin dan kaum perempuan di sana tiada yang mengetahui apa sejatinya yang terjadi di antara kami berdua. Hal itu lantaran saking banyaknya orang yang hadir. Sehingga, kami pun luput dari perhatian mereka. Lagi pula mereka juga disibukkan oleh keasyikan mereka sendiri. Yaitu hilir mudik ke sana kemari, dari satu pintu ke pintu yang lainnya, untuk menyaksikan pemandangan Kota Cordoba yang mengundang decak kagum. Mereka juga terlalu asyik masyuk menikmati keindahan taman. 

Seraya menikmati keindahan Kota Cordoba, segenap hadirin, terutama dari kaum hawa dan ibu-ibu meminta tuan rumah (yakni keluarga kami) untuk menghibur mereka dengan senandung lagu-lagu memesona. Dan ibu saya, yang tak lain adalah sang nyonya rumah, segera menyuruh perempuan nan jelita yang saya cinta itu untuk menyenandungkan lagu-lagu penuh pesona. Saya lihat ia begitu malu-malu menyanggupi permintaan itu. Saya belum pernah melihat ada perempuan yang memperlihatkan rasa malu dengan begitu anggun seperti dirinya. Duhai, begitu eloknya ia ketika dalam keadaan seperti itu. Rasa malu yang ia tunjukkan justru mempercantik wajah jelitanya. Sejenak kemudian, ia menyanyikan beberapa bait lagu karya Al-‘Abbas bin Al-Ahnaf.: 

Kala matahari mulai tenggelam, kusapalah ia

Cahayanya indah bagai pesona istana para raja

Ia telah menjelma di wajah gadis belia

Duhai, betapa keelokannya sungguh memesona

 Andai saja ia tak menginjak mayapada

Tentu ia bukan seorang manusia

Andai saja ia tak beraga

Malaikat ia selayaknya

Wajahnya bersinar bak permata, tubuhnya pualam pendarkan cahaya

Angin sepoi meniupkan tubuhnya

Duh wanginya bak minyak anbar saja, seolah dari cahaya ia tercipta

Jalannya, wahai laksana di atas perak dan kaca 

Duh, mendengar dendang lagu itu, hati saya seolah baru saja ditampar-tampar. Saya tak akan pernah dapat melupakan peristiwa itu. Tak akan pernah! Malah, hingga pun kematian menjemput saya. Sebab, itulah kesempatan terlama kala saya dapat melihat wajahnya dan mendengar suaranya. 

Dari rumah baru, yang terletak di sebelah timur Cordoba, tepatnya di Rabadh Al-Zahirah, ayahanda saya pindah ke rumah lama kami di sebelah barat Cordoba, tepatnya di komplek Balath Mughits. Kami pindah di hari ketiga semenjak Amirul Mukminin Muhammad Al-Mahdi menjadi khalifah. Tepatnya pada Jumada Al-Tsaniyyah 399 H/Februari 1009 M. Saya ikut pindah bersama mereka. Namun, karena alasan tertentu, perempuan nan jelita  yang saya cintai tak turut serta. 

Kami disibukkan oleh aneka ragam kesulitan, selepas kekuasaan khilafah berada di tangan Amirul Mukminin Hisyam Al-Mu’ayyad. Para pejabat pemerintahan Hisyam Al-Mu’ayyad acap mengintimidasi keluarga kami. Kami dicekal serupa tahanan kota. Segala gerak kami diawasi dengan ketat. Akhirnya, konflik horizontal pun meledak. Tak hanya melibatkan keluarga kami. Tapi, juga masyarakat luas. Saat itu, kala keadaan lagi genting-gentingnya, Ayahanda saya meningga1 dunia. Ia wafat di hari Sabtu selepas shalat asar, dua malam sebelum Dzulqa‘dah 402 H (22 Juni 1012).” 

Ibn Hazm kemudian sejenak berhenti berkisah. Dan, beberapa saat kemudian, ia menuturkan kembali kisah cintanya, “Nampaknya, cerita tentang kisah-kasih saya dengan hamba sahaya perempuan yang saya cintai harus saya lanjutkan: suatu hari ada anggota keluarga kami yang berpulang. Jenazahnya masih disemayamkan di rumah kami. Saya melihat hamba sahaya perempuan itu berada di antara kaum perempuan yang mengelilingi jenazah sambil menangisinya. Ia juga ikut menangis bersama mereka. Kejadian itu tentu saja membangkitkan cinta saya yang beberapa lamanya terpendam. Membangunkan perasaan hati saya yang lama tertidur. Saya jadi teringat dengan masa lalu saya. Masa di mana kisah cinta pernah menyinggahi saya, bulan-bulan telah berlalu, dan hari-hari telah pergi meninggalkan saya sendiri. 

Semua itu hanyalah menambah kesedihan saya. Karena saya tahu, malah sangat tahu, cinta saya bertepuk sebelah tangan. Belum lagi saya juga tertimpa oleh beragam kesedihan yang belakangan menimpa keluarga saya. Saat itu awan kesedihan, keperihan, dan kedukaan yang menaungi saya terasa lebih tebal dari sebelumnya. Pelbagai kepedihan dan cobaan masih mendera keluarga kami. Kemudian, ketika bangsa Berber yang biadab memorakporandakan Cordoba, kami pun terpaksa harus pergi meninggalkan rumah kami. Kami laiknya tawanan perang yang terusir dari tanahnya sendiri. Peristiwa itu terjadi pada awal Muharram 404 H/13 Juli 1013 M. Dan enam tahun sejak peristiwa itu-ketika terakhir kali saya melihatnya di tempat rumah duka keluarga saya-saya tidak pernah lagi melihat hamba sahaya perempuan yang sangat saya cintai itu. Saya baru melihatnya lagi ketika datang ke Cordoba. Tepatnya pada Syawwal 409 H/Februari 1019 M. Mula-mula saya tak mengenalinya lagi. Namun, begitu ada seorang kawan yang memberitahu saya bahwa dia adalah perempuan yang dulu saya puja, saya baru mengenalnya. 

Kini, ia sudah sangat berubah. Ia sama sekali berbeda dengan ia yang dulu. Nyaris seluruh pendar kecantikannya pudar sudah. Wajah nan jelitanya sirna. Cahayanya tak lagi memancar memesona. Keanggunannya lenyap tak berbekas. Kebeningan wajahnya, yang dulu nampak bak kilatan mata pedang dan cermin India, kini keruh dan lusuh. Kilauan pesona yang dulu menjadi pusat perhatian semua orang, kini redup dan sirna. Segala nama keindahan dan keelokan yang dulu dimilikinya, kini tiada tersisa. Kecuali hanya sedikit ciri yang menjadi pengenal saja yang tersisa. Duh, kasihan dia. Perubahan yang sangat besar itu terjadi lantaran ia kurang-malah bisa jadi sama sekali tidak-dapat memelihara keelokan dirinya. Keadaannya dirinya berbeda sekali dengan masa ketika kami masih tinggal bersama. Selepas tidak lagi bersama kami, konon, ia acap keluar rumah untuk mencari biaya hidup sehari-hari. Padahal, ketika dulu masih bersama keluarga kami, ia tak pernah disuruh melakukan hal-hal seperti itu sama sekali. 

Perempuan itu ibarat pohon yang wangi bunganya. Bila pohon itu tak dirawat dengan baik, maka keindahan dan wanginya akan meluruh. Malah, dapat sirna sama sekali. Perempuan itu laksana bangunan. Bila bangunan tak dipelihara, seiring bertambahnya usia, ia akan binasa. Malah, sirna. ‘Andai saja dulu ia mau menerima cinta saya, atau mau berbicara dengan saya, walau barang sebentar saja, saat itu bisa jadi saya menjadi gila karena saking gembiranya, atau malah saya bisa mati lantaran terlalu bahagia. Untung, ia tak mau menerima cinta saya. Untung, ia berpaling dari saya. Sehingga, saya bisa bersabar dan akhirnya bisa melupakannya,’ gumam saya dalam hati.” 

Membaca kisah itu, entah mengapa dalam benak saya muncul bersitan pikiran: beranikah KH Sahal Mahfuzh, KH Abdullah Syukri Zarkasyi, KH Mustofa Bisri, Gus Dur atau kiai-kaian lainnya menuangkan kisah cinta mereka, kala mereka masih muda usia, seperti halnya yang telah dilakukan Ibn Hazm? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

 

 

Tuesday, January 6, 2009

Karya Besar Seorang Ulama Terkemuka Perihal Cinta

Pembaca budiman, tak terasa hampir lima bulan, sejak bulan Agustus 2008, penulis tidak hadir untuk menyapa Anda sekalian. Kiranya Anda sekalian berkenan memaafkan hamba Allah yang dhaif ini. Sejatinya, selama bulan-bulan itu, banyak ide-ide yang hendak penulis sajikan. Namun, konsentrasi penuh untuk menyelesaikan beberapa buku membuat ide-ide yang akan penulis sajikan “menguap”. Alhamdulillah, entah mengapa, Allah Swt. hari ini memberikan kekuatan untuk menyajikan sebuah tulisan di blog ini. Kali ini, penulis ingin berkisah tentang ulama besar yang terkenal dengan karya besarnya perihal cinta, Thauq Al-Hamamah yang penulis terjemahkan dan insya Allah akan diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Bandung di akhir bulan ini. Ulama itu tak lain adalah Ibn Hazm Al-Andalusi. Siapakah ulama yang satu itu dan bagaimana kisah karya besarnya yang dipandang sebagai salah satu masterpiece di bidang cinta? 

Tokoh yang bernama lengkap Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm Al-Andalusi dan berwajah Hispanik itu lahir  di Cordoba  pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H/7 November 994  M,  dalam lingkungan  keluarga  yang bermukim di Montlisam (kini disebut Montijar, di kawasan Huelva, Andalusia bagian  barat daya) yang terletak  dalam  wilayah  Niebla,  ilmuwan  dan  ulama  berdarah tak jelas ini (menurut Dr. Al-Thahir Ahmad Makki, dalam karyanya Dirâsat ‘an Ibn Hazm wa Kitâbih Thauq Al-Hamâmah, Ibn Hazm kemungkinan besar berdarah Spanyol) tumbuh  dewasa sebagai putra  seorang  menteri di bawah pemerintahan Al-Manshur  bin  Abu ‘Amir, di sebuah istana indah  nan  megah. Sang  ayahandalah, seperti kebiasaan kala itu,  yang  menjadi  guru pertamanya. Ketika sang ayahanda berpulang, pada akhir Dzulqa‘dah 402  H/Juni  1013  M, ia pun meninggalkan Cordoba  yang  kala  itu sedang  diguncang prahara perang saudara dan menetap  di  Almeria dan Jativa. 

Lima  tahun  kemudian,  ketika Ibn Hazm kembali  ke  Cordoba,  ia diangkat  sebagai  menteri oleh ‘Abdurrahman  IV  Al-Murtadha.  Segera, dunia kekuasaan dan politik menjadi tak  asing baginya.  Beberapa  kali ia terlibat dalam konflik  politik  yang keras, utamanya selepas pembunuhan ‘Abdurrahman V Al-Mustazhhir pada  424  H/1023  M, yang membuatnya dijebloskan ke dalam bui.  Selepas  merasakan  pahit  getirnya  dunia politik,  ia  kemudian  memalingkan  diri  ke  arah  dunia   ilmu pengetahuan. Lahirlah sederet karya-karyanya yang terkenal hingga  kini. Di  bidang  fikih, misalnya, karyanya yang berjudul  Al-Muhallâ  merupakan salah satu sumber acuan. Di bidang ilmu kalam, karyanya  yang berjudul Al-Fashl fi  Al-Milal  wa  Al-Ahwâ’  wa Al -Nihal  tidak  kalah   nilainya dibandingkan  dengan  karyanya  di bidang fikih  itu.  Di  bidang akhlak, ia menyusun karya besarnya dengan judul Al-Akhlâq wa Al-Sair fi Mudâwah Al-Nufûs. Tak mengherankan bila ia mendapat gelar Al-Imâm (Sang Imam). 

Selain itu, Ibn  Hazm  juga dikenal sebagai ahli hukum  Islam  yang  menganut Aliran  Zhahiriyyah,  yang menolak ra‘y  (rasio),  dan  mengambil lahiriah teks-teks Al-Quran. Tak aneh bila ia berpendapat bahwa barang siapa yang memberi fatwa dengan berdasarkan ra‘y, maka  ia memberi  fatwa tanpa ilmu. Menurutnya, seseorang tidak  dipandang berilmu  tentang Islam, kecuali apabila ia  mendalami  Al-Quran dan Al-Sunnah. Ilmuwan  yang  berpulang ke hadirat Allah di Montlisam  pada Sabtu, 28 Sya‘ban 456 H/14 Agustus 1064 M ini juga terkenal sebagai seorang ilmuwan yang produktif.  Konon, karya-karya  sekitar 400 buku. Antara lain Al-Fashl fi  Milal  wa Al-Nihal,  Al-Nâsikh wa Al-Mansûkh, Jamharah Ansâb Al-‘Arab, Fadhâ’il Ahl Andalus, Al-Talkhîs li Wujûh Al-Talkhîs, Ahl-Ahkam li  Ushul  Al-Ahkam, Nuqâth Al-‘Arûs fi Tawârikh Al-Khulafâ’ dan Jawâmi‘  Al-Sîrah Al-Nabawiyyah

Ternyata, sang imam juga menyusun sebuah karya besar tentang cinta berjudul Thauq Al-Hamâmah. Karya yang mulai disusun Ibn Hazm pada 428 H/1027 M, kala ia bermukim di Jativa, ketika  ditemukan  kembali pada awal abad ke-19 M, membuat geger dunia ilmiah di bidang Kajian Ketimuran, terutama Kajian Andalusia, seperti karya-karyanya yang lain. Karya itu pun lantas diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Pada 1931  di Paris terbit, misalnya, terbit terjemahan pertama kali itu dalam bahasa Inggris  oleh L. Nykl. Sepuluh tahun kemudian, M. Weisweiler menerjemahkan karya ini ke dalam bahasa Jerman. Sembilan tahun selepas itu, tepatnya pada 1949, F. Garibaldi menerjemahkannya ke dalam bahasa Italia. Di tahun yang sama, Leon Bercher menerjemahkan ulang karya yang acap dipandang sebagai karya paling menarik tentang cinta dari masa pertengahan ini, di dunia Islam maupun Kristen, ke dalam bahasa Prancis. Kemudian, pada 1952, terbit terjemahan pertama karya ini dalam bahasa Spanyol oleh Emilio Garcia Gomez. Tahun berikutnya, seorang orientalis terkemuka Inggris, Anthony J. Arberry, menerjemahkan kembali karya yang menyajikan pandangan dan pikiran Ibn Hazm tentang cinta ini ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Ring of the Dove. Dan, penerjemahan pertama kali ke dalam bahasa Indonesia (berdasarkan naskah dalam bahasa Arab versi Abu Mundzir Sa‘d Karim Al-Faqy) dilakukan oleh Anif Sirsaeba dan diterbitkan pertama kali pada 2006 dengan judul Di Bawah Naungan Cinta

Adapun karya yang  segera hadir di  di antara ppara pembaca budiman juga merupakan terjemahan karya Ibn Hazm Al-Andalusi tersebut. Terjemahan ini sendiri  penulis dasarkan pada sebuah naskah Thauq Al-Hamâmah dalam bahasa Arab yang lain. Naskah yang diterbitkan  oleh sebuah penerbit terkemuka di Mesir, Dar Al-Ma‘arif, tersebut disunting dan diberi catatan akhir oleh seorang guru besar Universitas Kairo yang pakar di bidang Kajian Andalusia, Dr. Al-Thahir Ahmad Makki. Ada beberapa alasan mengapa naskah tersebut yang penulis pilih untuk diterjemahkan. Antara lain karena versi tersebut merupakan versi Thauq Al-Hamâmah yang paling lengkap dan akurat. Di samping itu, dalam proses penerjemahan karya yang satu ini, penulis juga mengacu pada karya terjemahan A.J. Arberry, The Ring of the Dove yang diterbitkan pada 1994 oleh sebuah penerbit Inggris, Luzac Oriental, dan memerhatikan karya terjemahan Anif Sirsaeba tersebut di atas. 

Di sisi lain, usaha menerjemahkan secara cermat karya besar Ibn Hazm tentang cinta ini mengharuskan penulis sedikit banyak memahami sejarah dan kebudayaan Andalusia di bawah pemerintahan dinasti-dinasti Muslim. Tentang hal ini, karya-karya Prof. Dr. Ahmad Husain Haikal, Al-Adâb Al-Andalusî dan Al-Muwasysyahât, karya Prof. Dr. Ahmad Shalaby, Mausû‘ah Al-Târikh Al-Islâmî wa Al-Hadhârah Al-Islâmiyyah, karya Prof. Dr. Al-Thahir Ahmad Makki, Dirâsât ‘an Ibn Hazm wa Kitâbih Thauq Al-Hamâmah, karya Dr. Muhammad Hasan ‘Abdullah, Al-Hub fi Al-Turâts Al-‘Arabî, dan karya Mahmud ‘Awadh, Mutamarridûn li Wajh Allâh sangat membantu. 

Selamat membaca dan menikmati karya besar perihal cinta itu!