Friday, December 7, 2012


BERBUAT YANG TERBAIK, MENGAPA TIDAK?

Rrrrrrr…. Rrrrrr…. Rrrrr….”

Tiba-tiba suara berisik demikian itu “mewarnai” suasana di tempat tinggal kami, di Baleendah, Kab. Bandung, beberapa waktu yang lalu. Kian lama suara itu kian kencang. Saya yang sedang asyik di depan laptop, di lantai dua rumah kami, di Pondok Pesantren Mini Nun Learning Center, pun segera turun ke lantai satu. Ohoi, ternyata, Pak Apo, petugas kebersihan di lingkungan pondok pesantren, sedang asyik memotong rumput dengan mesin pemotong rumput yang telah berusia senja. Saya lihat, Pak Apo begitu asyik “menari-nari” dengan mesin tua itu. Bidang demi bidang di pelbagai sudut pondok pesantren yang ditumbuhi rumput pun menjadi bersih, rancak, dan indah.

Ketika sedang “bermain-main” dengan mesin pemotong rumput, saya lihat Pak Apo begitu asyik dengan pekerjaannya. Bila bahasa kaum sufi dapat dipakai di sini, dapat dikatakan ketika sedang memegang mesin pemotong rumput Pak Apo sedang dalam keadaan “trance” alias majdzûb. Lupa segala-galanya dan yang dia lakukan adalah “menari”, “menari”, dan “menari” dengan mesin pemotong rumput yang ada di tangannya. Dengan cara kerja yang demikian, tidak aneh jika dalam waktu tidak lebih dari tiga jam seluruh sudut pondok pesantren, dengan luas sekitar 1.700 meter persegi, pun menjadi bersih dan indah kembali. Memang, meski hanya sebagai seorang petugas kebersihan, namun Pak Apo dapat dikategorikan sebagai orang yang ketika bekerja dia senantiasa bekerja dengan hatinya dan sepenuh hati. Tanpa mengharapkan pujian. Hasilnya luar biasa:  setiap pekerjaan yang dia lakukan menghasilkan hasil yang patut diacungi jempol.

Entah kenapa, ketika melihat Pak Apo sedang mengalami “ekstase” dengan pekerjaannya, tiba-tiba saya teringat kejadian di awal tahun 1980-an di Universitas Kairo, Mesir. Sore itu, selepas mengikuti bimbingan seorang supervisor tesis master saya, Prof. Dr. Ahmad Shalaby, seorang pakar sejarah dan kebudayaan Islam terkemuka di Mesir, tiba-tiba memanggil saya, “Ahmad (di Mesir, saya dipanggil dengan nama tersebut, bukan dipanggil Rofi’, karena nama pertama saya memang Ahmad), dua buku yang kamu terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia telah diterima sebuah penerbit di Singapura. Mereka memuji hasil terjemahanmu.”
“Terima kasih, Prof. Tapi, terjemahan yang saya lakukan masih banyak kekurangannya,” jawab saya.
“Ahmad,” tiba-tiba sang profesor bertanya, “tahukah kamu Prof. Dr. A.J. Arberry?”

Menerima pertanyaan demikian, sejenak saya kebingungan. Untung, beberapa waktu sebelumnya saya sudah membaca sebuah buku yang menuturkan perjalanan hidup supervisor saya tersebut, dengan judul Hayâtî. Karena itu, tidak lama kemudian saya menjawab, “Ya, saya sedikit tahu tentang Prof. Dr. A.J. Arberry, supervisor profesor ketika sedang mengambil program doktor di Universitas Cambridge, Inggris.”

A.J. Arberyy, siapakah tokoh yang ditanyakan supervisor saya itu?

A.J. Arberry, atau lebih lengkapnya Arthur John Arberry, adalah seorang orientalis terkemuka  yang  pakar tasawuf  dan  sastra  Persia. Orientalis yang satu ini lahir  di  sebuah  desa  kecil, Fratton,  Portmouth,  Inggris pada Jumat, 7 Rabi‘ Al-Awwal  1323 H/12  Mei 1905 M. Setelah merampungkan pendidikan menengahnya  di Grammar  School,  di tempat kelahirannya, putra  seorang  perwira Angkatan  Laut  Inggris  ini lantas  memasuki  Pembroke  College, Universitas Cambridge. Di universitas terkemuka itu, ia bertemu dengan  Reynold A.   Nicholson, seorang orientalis terkemuka,   yang  kemudian  banyak   mengarahkan Arberrry  untuk mempelajari  bahasa Arab dan Persia. Malah, Arberry kemudian  menjadi pengganti sang mahaguru yang juga pakar di bidang tasawuf.

Pada 1350 H/1931 M Arberry melakukan perjalanan ilmiah ke Kairo, Mesir. Di "Kota Seribu Menara" itulah ia bertemu dengan seorang mahasiswi  Romania,  Sabrina Simons, yang  kemudian  disuntingnya menjadi istrinya. Lima tahun kemudian, pada 1355 H/1936 M,  gelar doktor ia raih dari almamaternya. Segera langkah-langkah pastinya dalam  menapaki kajian tentang tasawuf dan satra  Persia  kian terentang  jauh.  Dan,  segera pula  lahir  sejumlah  karya-karya ilmiahnya di bidang tersebut.

Karier Arberry pada tahun-tahun berikutnya kian berpendar. Pada 1364  H/1944 M, misalnya, ia diangkat sebagai guru  besar  bahasa Persia  di Oriental and African Studies School, menggantikan  V.F Minorsky.  Lantas, dua tahun kemudian, ia diangkat  sebagai  guru besar  bahasa Arab. Lalu, tahun berikutnya, ia  diangkat  sebagai guru  besar  kursi  bahasa  Arab  di  almamaternya,   Universitas Cambridge, menggantikan C.A. Storey.  Perjalanan hidup selanjutnya guru besar yang terkenal santun  ini diwarnai dengan berbagai kegiatannya dalam meneliti, menulis, dan menerjemahkan  karya-karya yang menjadi bidang kajiannya,  sampai ia  meninggal dunia di Cambridge, pada Kamis, 20 Rajab 1387  H/2 Oktober 1969 M. Karya-karyanya, antara lain, adalah  Specimens of Arabic  and Paleography, Revelation and Reason in Islam,  Aspects of Islamic Civilization, Sufism: An Account of Mystics of  Islam, dan The Koran Interpreted.

“Prof, ada apa dengan Prof. Dr. A.J. Arberry?” saya kemudian balik bertanya. Sangat penasaran.
“Ahmad,” jawab Prof. Dr. Ahmad Shalaby,  “kerap kali ketika kita menilai para tokoh orientalis atau para ilmuwan Barat, kita terjebak dalam usaha untuk senantiasa mencari kesalahan dan kelemahan mereka. Kita langka sekali berusaha mengetahui dan memahami aspek-aspek positif yang mereka miliki. Prof. Dr. A.J. Arberry, misalnya. Saya sejatinya sangat mengagumi cara kerja ilmiah beliau. Mengapa? Beliau adalah seorang ilmuwan yang sangat cermat dan teliti. Ketika beliau menerjemahkan karya-karya dari bahasa Persia atau bahasa Arab, misalnya, dan beliau merasa kurang sreg dengan terjemahan satu kosakata, beliau bisa berhari-hari tidak beranjak dari kosakata itu hingga menemukan terjemahan yang paling tepat. Juga, ketika menulis sebuah buku, beliau sangat teliti dan cermat sekali. Hal-hal positif yang demikian itu sebaiknya juga kamu lakukan ketika kelak kamu menjadi seorang ilmuwan, penulis, atau penerjemah. Malah, juga ketika kamu bergerak di bidang-bidang lain. Berbuatlah sebaik mungkin di bidang apa pun yang kamu geluti dan tangani.”
“Prof, terima kasih sekali atas nasihat yang indah tersebut. Insya Allah saya akan melaksanakan nasihat tadi,” sahut saya dengan perasaan sangat gembira.

“Berbuatlah  yang terbaik. Di mana pun dan kapan pun”, pesan indah yang demikian itulah sejatinya yang menjadi pesan Pak Apo dan Prof. Dr. A.J. Arberry, lewat tindakan cermat dan teliti yang senatiasa mereka lakukan. Betapa indah pesan itu. Akan lebih indah lagi bila kita dapat melaksanakan pesan indah itu. Di bidang apa pun yang kita kerjakan dan tekuni. Tentu saja, di bidang dan usaha yang positif dan bukan negatif.  Pesan yang indah tersebut sejatinya juga pernah disampaikan Rasulullah Saw. “Sungguh, sejatinya Allah senang bila hamba-Nya beramal dengan amal yang terbaik.” Karena itu, semestinyalah kita berbuat yang terbaik, di bidang apa pun yang kita tekuni, dengan mengharap ridha Allah Swt.!

Monday, November 26, 2012


ANAK-ANAK DAN SEPAK BOLA 

Tadi malam, selepas menonton pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Laos, entah kenapa tiba-tiba saya teringat pertemuan antara para guru dan karyawan Taman Kanak-Kanak Sekolah Alam Gaharu dengan kami selaku Pengurus Pondok Pesantren Mini Nun Learning Center yang membawahi TK tersebut. Menjelang pertemuan berakhir, istri (yang memimpin pertemuan itu) memberikan kesempatan kepada Pak Apo, seorang petugas kebersihan di Ponmin, untuk berbicara, "Pak Apo. Barang kali ada masukan atau keluhan yang perlu disampaikan?"
"Kepala saya saat ini sedang pusing, Ibu...," jawab Pak Apo.
"Kenapa?"
"Beberapa hari yang lalu Ibu meminta saya melarang anak-anak Taman Pendidikan Al-Quran, yang mengaji di sore hari, main sepak bola di halaman belakang tempat ini. Sedangkan Bapak (maksudnya saya) mengizinkan mereka main sepak bola di sini. Perintah siapa yang saya ikuti?"

Mendengar keluhan yang demikian, istri pun berpaling ke arah saya dan berucap, "Mas, tolong dijawab keluhan Pak Apo itu!"
"Pak Apo," jawab saya, "tentu tahu, Ibu kerap pulang dari kerja di rumah sakit malam hari. Ibu jarang melihat anak-anak main sepak bola. Nah, beberapa hari yang lalu, Ibu pulang dari rumah sakit siang hari. Melihat keriuhan anak-anak main sepak bola di halaman belakang, Ibu khawatir mereka dapat merusak tanam-tanaman yang sudah ditanam dan dipelihara dengan susah payah. Sedangkan saya hampir tiap hari melihat mereka main sepak bola. Ternyata, mereka cukup disiplin: mereka tidak pernah mengganggu tanam-tanaman yang ada di sini. Malah, dengan diberi izin main sepak bola di sini, mereka malah rajin mengaji."
"Jadi, anak-anak tetap boleh main sepak bola?" tanya Pak Apo.
"Ya, biarkan mereka main sepak bola," jawab saya. "Besok sore, saya akan bicara lagi dengan mereka."

Hari berikutnya, ketika anak-anak itu sedang main sepak bola, mereka kemudian saya minta berkumpul. Setelah mereka berkumpul, saya lantas bertanya kepada mereka, "Kalian masih ingat pesan Ustadz beberapa bulan yang lalu?"
"Masih, Ustadz," jawab mereka serempak. "Kami boleh main sepak boleh di halaman ini dengan syarat: kami tetap menjaga tanam-tanaman yang ada. Juga, kami harus membuang sampah di tempat yang disediakan."
"Bagus, mengapa demikian?" tanya saya kepada mereka.
"Untuk menjaga lingkungan, Ustadz. Biar lingkungan kita bersih dan tidak banjir," jawab salah seorang di antara mereka.
"Bagus," komentar saya. "Kini, Ustadz mau tanya kepada kalian, 'Mengapa kalian suka main bola?'"
"Biar sehat, Ustadz," jawab salah seorang di antara mereka
"Melatih sportifitas dan menumbuhkan sikap fairplay, Ustadz," jawab Ihsan, salah seorang di antara mereka.
"Melatih kerja sama, Ustadz," jawab salah seorang anak.
"Habis di sekolah gak ada tempat untuk bermain sepak bola, Ustadz," jawab seorang anak yang paling muda usianya.
"Bagus sekali jawaban kalian...."
"Jadi, kami sekarang boleh main sepak bola lagi?" tanya mereka.
"Ya, kini silakan kalian bermain kembali sepak bola."
"Horeee...."

Itulah anak-anak: jujur, sportif, dan berbicara apa adanya. Mereka belum terkontaminasi "penyakit" yang kerap menerpa orang-orang dewasa. Mungkin, kita kini perlu belajar kepada anak-anak dan tidak memandang sebelah mata kepada mereka. Mungkin!

Wednesday, November 21, 2012


Palestinian Diaspora

Pak Rofi’, ceritalah barang sedikit tentang bangsa Palestina. Biar kami tahu sedikit tentang perjuangan mereka!”

Demikian bunyi salah satu pesan singkat yang masuk ke telpon genggam saya. Menerima permintaan demikian, tiba-tiba kenangan ketika masih menimba ilmu di Universitas Kairo pada awal 1980-an pun “melayang-layang” dalam benak saya. Tiba-tiba dalam benak saya “terpampang” bayang-bayang beberapa teman mahasiswa  asal Palestina. Kala itu mereka, selepas berkenalan dengan saya, kerap mengajak berbincang tentang pelbagai hal. Mereka, kala itu, merupakan bagian dari “Palestinian Diaspora”, alias orang-orang Palestina di perantauan. Mereka termasuk para mahasiswa Palestina yang mendapatkan kesempatan menimba ilmu di pelbagai perguruan tinggi di Mesir. Tentu saja, mereka menimba ilmu di Negeri Piramid itu gratis. Tidak hanya itu. Mereka juga memiliki dua paspor: paspor Palestina dan paspor Mesir. Kelompok Palestinian Diaspora inilah sejatinya yang sangat ditakutkan Israel.

Mengapa Israel sangat khawatir dengan Palestinian Diaspora?

Seperti diketahui, sejak 1948 hingga dewasa ini, pelan tapi pasti, Israel kian menggerogoti kawasan yang asalnya milik bangsa Palestina. Demikian halnya, setiap kali diperlukan, Israel dengan arogannya kerap memporak-porandakan kawasan yang dihuni orang-orang Palestina di wilayah Palestina. Namun, sejatinya Israel tahu, bangsa Palestina adalah bangsa yang terkenal liat dan tangguh. Bukan saja dalam perjuangan militer dalam menghadapi Israel. Tapi, justru yang paling berat adalah di medan lain.

Seperti halnya bangsa Yahudi, yang selama ribuan tahun hidup sebagai Jewish Diaspora, banyak orang-orang Palestina yang kini “meneladani jalur kehidupan” bangsa Yahudi. Dan, bangsa Palestina juga terkenal sebagai bangsa yang sangat tangguh dan liat dalam menjalani hidup sebagai Palestinian Diaspora. Pada 1983, misalnya, ketika saya masih di Mesir, jumlah doktor Indonesia baru sekitar 1.500 orang. Sedangkan jumlah doktor Palestina di perantauan kala itu telah mencapai sekitar 3.000 orang. Padahal, mereka hidup di pengasingan. Nah, mengapa hal itu terjadi?

Menyadari posisi mereka yang menderita di negeri sendiri, mereka kemudian mencari solusi dengan hidup di perantauan.  Salah satu jalur yang mereka pilih untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka adalah dengan berjuang sebaik mungkin di bidang-bidang yang strategis di pelbagai kawasan dunia di luar Palestina. Untuk meraih keberhasilan tersebut, mereka pun berjuang untuk meraih pendidikan yang terbaik dan tertinggi yang disedikan bagi mereka. Di samping itu, mereka juga menyiapkan diri untuk menguasai pelbagai posisi strategis di bidang ekonomi dan bisnis di pelbagai kawasan Timur Tengah khususnya. Ternyata, perjuangan mereka benar-benar membuahkan hasil yang positif. Mereka kini berhasil menempati pelbagai posisi strategis di bidang perekonomian dan bisnis kawasan Timur Tengah. Di sisi lain, banyak para ilmuwan Palestina yang bertebaran di pelbagai penjuru dunia. Termasuk di Eropa dan Amerika Serikat.

Nah, karena pernah menjadi sebagai Jewish Diaspora, para penguasa Israel sangat sadar adanya kekuatan yang sangat menakutkan di hadapan mereka: Palestinian Diaspora. Bagi para penguasa Israel, lebih gampang bagi mereka untuk memporakporandakan kawasan Palestina ketimbang menghadapi Palestinian Diaspora yang bertebaran di pelbagai kawasan dunia. Yang paling ditakutkan Israel adalah manakala Palestinian Diaspora ini bersatu padu membentuk kekuatan bersama menghadapi Israel. Dewasa ini, jumlah Palestinian Diaspora sekitar 9-11 juta orang. Tentu dapat dibayangkan, bila hal itu terjadi, betapa sangat berat tantangan yang dihadapi Israel. Israel pun menyadari, pertempuran dengan Palestina akan berlangsung lama dan sangat melelahkan. Dan, bukan tidak mungkin, suatu ketika, Israel akan mengalami nasib seperti yang dialami Palestina saat ini: menjadi bulan-bulanan.  

Thursday, November 15, 2012


Makna di Balik Hijrah Rasul Saw. 
Peristiwa hijrah dalam sejarah Islam, tentu kita semua tahu. Lembaran sejarah Islam menorehkkan, hijrah adalah peristiwa perpindahan Rasulullah Saw.  dari Makkah ke Yatsrib: sebuah kota sekitar 430 kilometer di sebelah utara Makkah yang kemudian namanya diubah menjadi Madinah. Sejatinya, di antara para sejarawan Muslim tiada kesepakatan tentang tanggal  yang pasti  kedatangan beliau ke Madinah. Namun, yang  banyak  diikuti adalah pendapat yang menyatakan kedatangan beliau ke Madinah itu terjadi pada Jumat, 12  Rabi‘ Al-Awwal 1 H. Hari Senin sebelumnya, 8  Rabi‘ Al-Awwal, beliau  tiba  di  Desa Quba’ dan mendirikan sebuah  masjid  di  sana. Tanggal  12 Rabi‘ Al-Awwal tahun itu bertepatan dengan 24 September  622 M.

Sejatinya,  Rasulullah  Saw.  berat  meninggalkan  kota  kelahiran beliau. Sebab, meski beliau memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan  kesucian yang tidak tertandingi, tetapi beliau  tetap  mencintai kota   kelahirannya.  Hijrah  terpaksa   dilakukan,   karena mayoritas  masyarakat Makkah kala itu tidak mau  menerima  ajaran Allah Swt. yang disampaikan melalui Rasul-Nya. Mereka menolak  ajaran itu karena tidak mengerti atau membenci beliau.  

Kini, apakah makna di balik Peristiwa Hijrah tersebut?

Hijrah, menurut Tariq Ramadan dalam sebuah karyanya berjudul In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the life of Muhammad, “pada dasarnya merupakan realitas yang harus dihadapi orang beriman yang tidak memiliki kebebasan untuk memraktikkan keyakinan mereka dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan secara baik demi keyakinan mereka. Karena ‘bumi Tuhan sangat luas’, seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran, mereka memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka, memutuskan diri dari semesta dan kebiasaan mereka, dan menjalani pengasingan. Semua itu semata demi keyakinan mereka.

Wahyu yang turun kemudian memuji keberanian dan keteguhan orang-orang beriman yang telah menunjukkan kepercayaan mereka kepada Tuhan dengan mengambil langkah sulit dan berisiko itu. Firman Allah Swt., “Dan orang-orang yang  berhijrah karena dan untuk Allah, sesudah mereka dizalimi, pasti Kami  akan memberikan  tempat dan posisi yang baik kepada mereka  di  dunia. Dan  sesungguhnya  pahala di akhirat adalah lebih  besar,  kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Nahl [16]: 41).

Dengan demikian, sejatinya pengasingan merupakan bentuk lain dari ujian keimanan. Semua Nabi pun telah mengalami ujian semacam itu. Juga, semua orang beriman setelah mereka. Nah, sejauh manakah mereka kuasa melaksanakannya, sejauh manakah mereka siap menyerahkan jiwa dan raga mereka untuk Yang Maha Esa, kebenaran, dan cinta-Nya? Semua itu merupakan pertanyaan abadi keimanan yang mengiringi setiap pengalaman temporal dan historis dalam kesadaran orang beriman. Hijrah merupakan salah satu jawaban masyarakat Muslim pada masa-masa awal kehadiran mereka. Dengan kata lain, pengasingan juga menuntut kaum Muslim awal agar selalu belajar untuk tetap setia terhadap makna ajaran Islam di tengah perubahan tempat, budaya, dan memori. Madinah berarti budaya baru, jenis hubungan sosial baru, peran yang seluruhnya baru bagi perempuan (yang secara sosial jauh lebih terlibat daripada di Makkah), dan ikatan komunitas antarsuku yang lebih kompleks.”

Berkenaan dengan makna hijrah tersebut, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat,  hijrah dapat  dipilah  menjadi dua.  Pertama,  hijrah  fisik,  berupa  perpindahan  fisik,  baik personal  maupun  massal, dari suatu daerah  ke  daerah  lainnya. Dalam  konteks  ini, ‘A’isyah binti Abu Bakar  Al-Shiddiq,  tercinta istri Rasulullah  Saw. menuturkan  sebuah  hadis  bahwa sesudah  Penaklukan Makkah tiada lagi hijrah dan yang ada  adalah jihad dan niat. Kedua, hijrah hati  nurani.  Hijrah jenis  terakhir ini bukan saja memerlukan sekadar  perpindahan  fisik, tapi juga memerlukan perpindahan orientasi niat  dan  aktivitas hati, dengan perpindahan menuju kecintaan dan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Perpindahan orientasi itu hendaknya dilakukan   dengan   meninggalkan   berbagai   aktivitas    yang berkategori  syubhat, maksiat, maupun kategori  negatif  lainnya. Menurut  Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, hijrah terakhir itulah  hijrah yang  hakiki: prinsip dan fondasi  dasar  dalam berhijrah. Sedangkan aktivitas fisik adalah ikutannya saja.

Kini, dengan datangnya kembali tahun hijriah, kiranya kita dapat mengambil pelajaran dari makna di balik Peristiwa Hijrah dan memraktikannya. Kiranya demikian.
      

Monday, October 29, 2012


KAPANKAH SESEORANG RIDHA KEPADA ALLAH SWT?

Ketika sedang berada di Bashrah, Irak, entah kenapa hari itu Sufyan Al-Tsauri ingin sekali menemui Rabi’ah Al-‘Adawiyyah, seorang sufi perempuan terkemuka di kota yang satu itu.

Sufyan Al-Tsauri, siapakah dia?

Seorang  ahli  hukum   Islam (faqîh)  dan sufi terkemuka  dari kalangan tâbi‘ûn, pada abad ke-2 H/8 M, itulah jati diri Sufyan Al-Tsauri. Lahir  di Kufah  pada  97 H/715 M, nama lengkapnya adalah  Abu  ‘Abdullah Sufyan  ibn  Sa‘id ibn Masruq Al-Tsauri Al-Kufi.  Sesuai  dengan tradisi  yang  berkembang  kala itu, ia  mula-mula  menimba  ilmu kepada  ayahandanya. Usai mendapatkan “pembinaan” dari sang ayahanda,  tokoh yang pernah menyatakan, “barang siapa kikir dengan ilmu yang ia miliki, sejatinya  ia mengharapkan tiga bencana: ia mungkin  akan  melupakan  ilmunya, atau ia mati tanpa sempat  memanfaatkan  ilmunya, atau  ia  mungkin  akan  kehilangan  buku-bukunya”,  ini   lantas memerdalam  ilmu kepada sejumlah ulama. Antara lain kepada  Al-Hasan Al-Bashri, seorang tabi’i terkemuka.

Usai  memperdalam  ilmu kepada sejumlah  ulama,  nama  ulama yang hidup sederhana dan berpulang di Makkah pada  161  H/778  M itu segera mencuat sebagai ahli hukum Islam yang berwawasan luas  dan mandiri.  Tidak  aneh  bila di bidang ini,  nama  ahli  hukum  yang menopang  penghidupannya dengan berdagang ini dapat  disejajarkan dengan  para  mujtahid terkemuka. Namun, tokoh yang satu ini tidak  hanya pakar  di  bidang hukum Islam semata. Ia  juga  terkenal  sebagai seorang  pakar hadis yang menuturkan banyak hadis.  Tidak  aneh, karena  kepakarannya  di bidang terakhir ini, ulama  yang  sangat berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah ini mendapatkan gelar Amîr Al-Mu’minîn di bidang hadis.

Betapa gembira Sufyan Al-Tsauri, ketika kunjungannya bersama beberapa ulama lainnya diterima dengan baik oleh Rabi’ah Al-‘Adawiyyah. Selepas berbagi sapa dan berbincang beberapa lama dengan Rabi’ah, Sufyan kemudian diminta untuk berdoa. Menerima permintaan demikian, ulama yang senantiasa menjauhi para penguasa itu lantas berdoa. Dalam doanya tersebut, Sufyan Al-Tsauri antara lain berdoa sebagai berikut, “Ya Allah, Tuhan kami. Ridhalah atas diri kami semua.”

Ketika Sufyan Al-Tsauri usai berdoa, Rabi’ah Al-‘Adawiyyah dengan suara pelan menyapanya, “Wahai saudaraku. Apakah engkau tidak malu kepada Allah Swt.: engkau memohon ridha-Nya, sedangkan engkau sendiri tidak ridha kepada-Nya.”
Astaghfirullâh. Aku memohon ampun kepada Allah,” sahut Sufyan Al-Tsauri begitu mendengar sapaan yang demikian.

Merasa tidak paham dengan sapaan Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tersebut, seseorang yang ikut datang bersama Sufyan Al-Tsauri pun bertanya penuh rasa ingin tahu, “Bunda, kapankah sejatinya seseorang ridha kepada Allah Swt.?”
“Saudaraku,” jawab Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tetap dengan suara pelan, “Seseorang ridha kepada Allah Swt. manakala kegembiraannya atas musibah yang menimpa dirinya laksana kegembiraannya atas nikmat yang dikaruniakan kepadanya.” 

Betapa indah, makna ridha tersebut. 

Thursday, October 25, 2012


IBRAHIM A.S. TIDAK PERNAH KE MAKKAH?

Alhamdulillah, menyiapkan sebuah buku tentang Haji dan Umrah kembali memberikan kesempatan kepada saya untuk melacak “kisah panjang” kedua ibadah tersebut dari pelbagai aspek. Lewat “pembacaan” sejarah ibadah tersebut, sejak masa Ibrahim a.s. hingga dewasa ini, baik dari aspek teologis, historis, sosial, dan politik, sejatinya kita dapat “membaca” kisah banyak hal. Termasuk pula bagaimana menjawab “pertanyaan penuh keraguan” seorang penulis asal Jordania (kini menetap di Amerika Serikat) yang meragukan perjalanan Ibrahim a.s. (yang hidup sekitar 4.000 tahun yang silam) ke Makkah dan posisi Kota Suci itu pada masa silam. Menurut penulis tersebut, perjalanan Ibrahim a.s. sekadar mitos belaka. Menurutnya, sulit dibayangkan Ibrahim a.s. kuasa melakukan perjalanan antara Al-Khalil (atau Hebron yang terletak di Palestina) dan Makkah. 

Menghadapi pertanyaan yang penuh keraguan demikian tentu tidak dapat dijawab dengan jawaban penuh emosi. Apalagi dengan amarah. Tetapi, pertanyaan tersebut memerlukan jawaban yang meyakinkan.  Untuk menjawab keraguan tersebut sejatinya tidak terlalu sulit. Sebagai contoh, kisah Senad Hadric, seorang warga Bosnia-Herzegovina (yang kini sedang naik haji) yang menempuh perjalanan sekitar 5.600 kilometer dengan jalan kaki dari negerinya ke Makkah belum lama ini sejatinya menguatkan kisah perjalanan Ibrahim a.s. dari Al-Khalil di Palestina ke Makkah bersama Hajar dan Isma’il a.s. 

Mengapa?

Perjalanan Senad Hadric tersebut sejatinya dapat memberikan gambaran bahwa perjalanan dengan berjalan kaki dalam jarak yang jauh bukan hal yang tidak mungkin. Nah, bila Senad Hadric mampu menempuh perjalanan dengan berjalan kaki sejauh sekitar 5.600 kilometer, tentu dahulu Ibrahim a.s. pun kuasa melakukan perjalanan dengan berjalan kaki yang “hanya” berjarak sekitar 1.225 kilometer, antara Al-Khalil (tempat sang Nabi menetap bersama istrinya: Sarah) dan Makkah. 

Keraguan yang demikian sejatinya dapat dipatahkan pula bila kita membaca karya seorang ilmuwan Inggris asal Lebanon, George F. Hourani (saudara kandung Albert Hourani, seorang pakar sejarah pemikiran Islam modern), Arab Seafaring in the Indian Ocean in Ancient and Medieval Times. Dalam karyanya tersebut George F. Hourani mengemukakan, sejak masa dinasti-dinasti Fir’aun di Mesir, kapal-kapal Mesir telah mengarungi Lautan Hindia untuk mencari rempah-rempah di Indonesia. Selain untuk dijadikan pengawet dan penyedap makanan, rempah-rempah itu juga mereka gunakan untuk membalsem mummi-mummi. Selain mengarungi Lautan Hindia, kapal-kapal itu juga menuju ke arah utara, ke sebuah pelabuhan sebuah kota yang kini menjadi Kota Suez.

Seperti diketahui, Ibrahim a.s.  hidup pada masa dinasti-dinasti Fir’aun tersebut dan pernah berkunjung ke pusat pemerintahan para Fir’aun tersebut. Seperti diketahui pula, pusat pemerintahan dinasti-dinasti tersebut sejatinya tidak jauh dari Kota Jeddah dewasa ini. Lokasi pusat pemerintahan para Fir’aun tersebut berada di seberang Laut Merah yang agak sejajar dengan posisi Kota Jeddah. Nah, dari sini dapat dibayangkan, sebelum pergi Makkah bersama Hajar dan Isma’il, sebelumnya Ibrahim a.s. bersama Sarah pernah melintasi kawasan itu dalam perjalanannya menuju ke pusat pemerintahan para Fir’aun. Baik apakah lewat laut, dengan naik kapal, atau jalan darat. Karena itu, ketika sang Nabi menerima perintah untuk membawa Hajar dan Isma’il ke Makkah, ia telah cukup mengenal lokasi tempat yang akan ia tuju, sesuai dengan perintah tersebut. Dan, perjalanannya ke Tanah Suci itu bukan merupakan mitos belaka.

Bagaimana pendapat Anda?

Thursday, October 11, 2012


SEKALI LAGI: BERMIMPILAH

Mas, saya benar-benar iri dengan tempat Antum ini, dengan pelbagai kegiatannya,” demikian ucap seorang sahabat yang guru besar Universiti Islam Antarabangsa Malaysia ketika berkunjung ke rumah kami bulan lalu dan melihat pelbagai kegiatan yang ada. “Tempat ini benar-benar nyaman dan kiranya senantiasa diberkahi Allah Swt. Saya benar-benar iri lo. Tapi, juga sangat bahagia. Antum dan keluarga Antum beruntung memiliki tempat yang penuh kegiatan ini.”

Saya sendiri tidak tahu, entah kenapa setiap kerabat dan sahabat yang datang ke tempat kami, di Baleendah, Kabupaten Bandung, merasa krasan dan “iri” kepada kami. Tempat tinggal saya dan keluarga dengan lahannya sejatinya tidak terlalu besar: hanya sekitar 1.700 meter persegi. Namun, kini, tempat ini berbeda jauh dengan ketika saya dan keluarga mulai menempatinya sekitar lima tahun yang lalu. 

Kini, tempat tinggal yang saya sebut “Pondok Pesantren Mini Nun Learning Center” ini sangat nyaman: penuh dengan pohon-pohon rindang, dilengkapi dengan lima kolam ikan lele, saung, dan tempat senam, di samping taman bacaan. Di sinilah pelbagai kegiatan dilakukan, sejak pagi hingga sore: Taman Pendidikan Al-Quran (dengan murid sekitar 115 anak), Taman Kanak-Kanak (terkenal dengan sebutan TK Sekolah Alam Gaharu), senam sehat setiap Rabu dan Sabtu pagi (khususnya untuk para penderita diabetes dan orang-orang yang lanjut usia), dan pelbagai kegiatan lain (parenting, simposium kesehatan untuk masyarakat awam, dan pembinaan para ustadz/ustadzah Al-Quran).

Tentu saja “ponmin”, alias pondok pesantren mini, ini tidak terbentuk seketika. “Ponmin” ini sejatinya merupakan “mimpi” saya dan istri tercinta saya, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang energik dan kreatif. Semula, “ponmin” itu hanya berupa lahan dengan luas sekitar 264 meter persegi. Semula, kami tidak memiliki minat sama sekali untuk memiliki lahan tersebut: lahan itu semula milik seorang pasien yang kekurangan biaya pengobatan dirinya. Ketika lahan itu ditawarkan kepada orang-orang yang sekira mampu membelinya, ternyata tidak seorang pun mau membelinya. Akhirnya, istri saya turun tangan: membeli lahan itu dengan mencicil. Lantas, karena kami tidak memerlukan lahan itu, kami pun berusaha menjualnya. Tetapi, selama bertahun-tahun tidak seorang pun yang tertarik untuk membeli lahan yang kala itu penuh dengan semak belukar.

Lantas, ketika saya dan istri “ngluyur” ke Kuala Lumpur, Malaysia dan berkunjung ke rumah seorang sahabat di Kajang, di situlah mulai muncul “ide dan mimpi gila” untuk mengubah lahan “tak berguna” itu menjadi sebuah “ponmin”. Ketika ide itu diketahui pemilik lahan sekitar 1.100 meter di samping lahan kecil kami, ternyata sang pemilik itu tertarik dengan ide tersebut. Ia pun menjual lahan itu, dengan harga murah, kepada kami. Berdirilah kemudian sebuah “ponmin” di lahan tersebut sejak Mei 2008. Kemudian, dengan berjalannya sang waktu, lahan “ponmin” pun berkembang sehingga luasnya menjadi 1.700 meter persegi. Alhamdulillah, sejak itu fasilitas “ponmin” kian lengkap (antara lain atas jasa Ustadz Budi Prayitno: Jazakumullah Ahsan Al-Jaza’, Ustadz). Tentu saja, berjalannya dan berkembangnya “ponmin” ini tidak lepas dari jasa para ustadz/ustadzah yang berjuang bersama kami, juga jasa masyarakat luas.  Jazakumullah Ahsan Al-Jaza’.

Nah, insya Allah, bulan depan, “ponmin” kami akan dilengkapi dengan sebuah bangunan baru (lihat gambarnya di atas). Penambahan bangunan tersebut juga tidak lepas pula dari kontribusi masyarakat (antara lain seorang dokter dan suaminya yang bekerja di Metrodata yang menyumbang 35 juta rupiah dan seorang nenek berusia 84 tahun yang tiba-tiba datang dan menyumbang 10 juta rupiah, Jazakumullah Ahsan Al-Jaza’). Dengan penambahan bangunan tersebut mudah-mudahan kapasitas tempat untuk anak-anak yang belajar Al-Quran dan kegiatan lain-lainnya insya Allah kian memadai.

Sekali lagi hal ini membuktikan “dahsyatnya mimpi”. Ini karena sejatinya “mimpi” adalah doa. Dan, sejatinya untuk hidup yang berbahagia dan berguna tidak hanya harus menjadi pejabat tinggi atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi dengan menjadi koruptor. Sejatinya, banyak jalan menuju kehidupan bahagia dan berguna bagi masyarakat yang diberkahi dan diridhai Allah Swt. Karena itu, silakan Anda “bermimpi” yang positif. 

Tentu saja tidak dengan bermimpi menjadi koruptor!

Monday, October 8, 2012


BERMIMPILAH DAN BERKELANALAH

"Ya Allah, ternyata tahun ini, Engkau memberikan kesempatan kepada hamba-Mu ini untuk menengok sejumlah kota di empat benua: Asia, Afrika, Eropa, dan Australia, dengan jarak sekitar 120 ribu kilometer," demikian gumam bibir saya seraya berdiri di pinggir dermaga Darling Harbour, Sydney, Australia, minggu lalu (maaf, sejatinya saya enggan menulis demikian, khawatir riya’). "Ya, Allah, hamba-Mu ini bukan pejabat, anggota DPR, ataupun orang yang Engkau karuniai harta melimpah. Tapi, mengapa Engkau tahun ini memberikan kesempatan kepada hamba-Mu ini menginjakkan kaki di empat benua?"

Berkelana memang sudah mendarah daging dalam diri saya.

Sejatinya, keinginan untuk berkelana, alias “ngluyur”, sudah tumbuh dalam diri saya ketika saya masih menjadi anak sekolah dasar di sebuah kota kecil di Jawa Tengah: Cepu. Meski kota kecil, kala itu kota itu cukup lengkap dengan prasarana dan sarana publik: kolam renang, gedung bioskop megah, lapangan sepak bola yang lengkap, perumahan megah dan indah, dan juga taman perpustakaan rakyat. Mungkin, karena kota di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur itu kala itu masih menjadi tempat tinggal bule-bule Belanda yang mengendalikan perusahaan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Matschappij).

Sebagai rakyat biasa dan ayah bukan karyawan BPM (ayah adalah seorang kiai yang juga pegawai di Departemen Agama), tentu saja saya tidak memiliki hak untuk menikmati prasarana dan sarana mewah tersebut di atas, selain Taman Perpustakaan Rakyat yang kala itu memiliki buku-buku bacaan yang sangat lengkap. Betapa saya kala itu mendambakan dapat menikmati prasarana dan sarana semua itu. Namun, saya hanya dapat “menikmati” semua prasarana dan sarana itu dari kejauhan. Tak aneh bila kerap kali rasa cemburu saya pun membuncah melihat nonik-nonik dan sinyo-sinyo yang sedang asyik menikmati semua prasarana dan sarana mewah tersebut.

Tidak memiliki kesempatan menikmati prasarana dan sarana mewah di tempat kelahiran saya itu, saya pun akhirnya menjadikan Taman Perpustakaan Rakyat sebagai pelarian. Nah, lewat buku-buku yang tersedia di taman perpustakaan itu, termasuk karya-karya Karl May, saya mulai mengenal pelbagai kawasan dunia. Entah kenapa, sejak itu, dalam benak saya mulai tumbuh keinginan untuk mengelilingi dunia, meski tidak tahu caranya. Saya pun mulai bermimpi dapat mengunjungi pelbagai kota di pelbagai penjuru dunia. “Mimpi” itu kian membuncah ketika keluarga saya pindah ke Blora. Di kota itu, saya memiliki seorang saudara angkat, keturunan Arab, yang memiliki buku bacaan yang sangat lengkap satu lemari besar: komik, kisah petualangan, kisah cowboy, dan novel. Rasanya, kala itu, saya mulai mencandu buku. Segala jenis buku saya baca dan mimpi saya untuk berkelana kian terbentuk. Di sisi lain, kala itu saya mulai mendalami bahasa Arab di pesantren di Kudus selama sekitar enam tahun.

Perjalanan selanjutnya mengantarkan saya ke Jogjakarta. Selepas empat tahun menimba ilmu dan memperdalam bahasa Arab di Pondok Pesantren Krapyak, di samping menimba ilmu di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, saya kemudian pindah ke daerah Sagan. Mengapa? Adik bungsu Ibunda saya, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang merangkap jadi mahasiswa IAIN, mengajak saya untuk “menaklukkan dunia”. Ucapnya, “Ayo kita taklukkan dunia. Kita kan sudah menguasai bahasa Arab. Sekarang, sebaiknya kita menguasai bahasa Inggris. Dengan dua bahasa itu, bagaimana jika dik Rofi’ sebaiknya pergi ke Timur Tengah dan “menaklukkan” Universitas Al-Azhar. Sedangkan saya akan pergi ke Amerika Serikat. Saya ingin “menaklukkan” Universitas Harvard. Kan saya saat ini, selain bahasa Arab, sudah menguasai bahasa Perancis.”

Tentu saja tidak mudah untuk mewujudkan mimpi dan keinginan yang melambung tinggi tersebut. Apalagi kami berdua kala itu adalah para mahasiswa berkantong tipis. Di Sagan kami hanya mampu tinggal di sebuah tempat kos-kosan sangat sederhana. Tanpa listrik dan hanya memakai lampu teplok. Namun, keinginan kami untuk mendalami bahasa Inggris tak terbendung lagi. Kami pun memilih kursus bahasa Inggris di tempat kursus yang paling bergengsi kala itu: di Institut Keguruan dan Pendidikan Negeri Jogjakarta.

Untuk membiayai kursus mahal tersebut, kami berdua mulai menulis di media massa. Hasilnya lumayan: kami kian lancar menulis dan mampu membiayai kursus bahasa Inggris yang cukup mahal kala itu. Karena kami sangat bersemangat dalam usaha untuk menaklukkan bahasa Inggris, akibatnya di setiap jenjang hingga jenjang terakhir, advanced level, kami dengan bergantian menjadi juara level. Kemudian, setelah meraih gelar sarjana, Allah ternyata memberikan kesempatan kepada saya untuk memasuki Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Demikian pula mimpi paman saya pun terpenuhi: ia menerima beasiswa program pascasarjana di John F. Kennedy School, Harvard University, Amerika Serikat, salah satu sekolah paling prestisius di negara adikuasa tersebut. Luar biasa: mimpi kami benar-benar terwujud. Dan, lewat kelana tersebut, betapa banyak pengalaman dan ide kreatif yang kami dapatkan.

Selepas menapakkan kaki di Kairo, mimpi saya untuk keliling dunia kian terpicu oleh kisah-kisah petualangan. Khususnya karya seorang wartawan terkemuka Mesir kala itu, Anis Mansur, yang menuturkan kisah perjalanannya keliling dunia selama 200 hari. Juga, kisah petualangan Dr. Husain Fauzi ke Amerika Serikat dan Eropa. Kisah-kisah itu, ternyata, membangkitkan obsesi yang kuat dalam benak saya dan memicu saya untuk memelajari bahasa Perancis selama enam tahun di Mesir.

Karena itu, selepas kembali ke Tanah Air, hingga kini, setiap ada kesempatan, entah kenapa saya selalu ingin berkelana ke pelbagai negara yang belum pernah saya kunjungi. Alhamdulillah, entah kenapa pula, hingga kini Allah senantiasa memberikan kesempatan kepada saya untuk “ngluyur”. Dan, untuk tahun ini, kesempatan itu membuat saya mengunjungi sejumlah kota di empat benua dan menempuh jarak tidak kurang dari 120 ribu kilometer: Singapura, Kuala Lumpur, Dubai, Jeddah, Madinah, Makkah, Istanbul, Hong Kong, Shenzen, Macao, Kairo, dan Sydney.

Mungkin di sini timbul pertanyaan: kawasan manakah yang kini ingin saya kunjungi? Hal itu sejatinya pernah ditanyakan putri sulung saya, “Bapak, andai Mona memiliki rezeki dan dapat mengajak Bapak berkelana, ke kawasan mana yang ingin Bapak kunjungi?” Jawab saya pasti, “Alaska!”

Kiranya Allah Swt. memenuhi mimpi saya, amin.


Tuesday, August 14, 2012


JANGAN BERDUKA, DALAM DIRIMU 1000 BULAN BERKILAUAN

Tidak terasa, hari-hari bulan suci Ramadhan hampir rampung kita tapaki. Malam demi malam berbagai tindak kebaikan dilakukan. Sehingga, bulan yang sarat berkah ini terasa pendek sekali. Tiba-tiba di hadapan kita muncul hari kembali pada kesucian diri: Hari ‘Idul Fitri.

Menghadapi keadaan demikian, benak pun tercenung dan berpikir, “Apakah yang selayaknya dilakukan dalam mengisi lembaran baru kehidupan, selepas sebulan diri dalam tempaan?” Selepas lama termenung mencari jawab, ingatan pun melayang pada pesan-pesan Mohammad Iqbal, seorang penyair dan filosuf Pakistan.

Iqbal, dalam pesannya bagaimanakah sebaiknya kehidupan ditapaki, mengingatkan:

Hidup adalah kreatifitas dan semangat!
Pabila kau benar-benar hidup
Hiduplah penuh kreatifitas dan gairah!
Jelajah seluruh semesta alam!
Tumpas hingga tuntas segala yang nista

Lalu, cipta dunia barumu
Sebagai penjelmaan imajinasimu!
Bagi yang bebas
Sungguh membosankan
Untuk hidup di dunia ciptaan orang lain.

Bukan tidak mungkin dalam menapaki lembaran kehidupan baru itu, suatu saat kita berhasil merengkuh apa yang kita dambakan. Dalam keadaan demikian, kadang kita lupa dan kemudian menepuk dada serta mengatakan hal itu terjadi karena kita berasal dari ras tertentu. Dalam keadaan demikian itu, Iqbal mendamprat kita untuk tidak melakukan hal yang demikian:

Belajarlah menghargai dirimu, O Bocah!
Adakah kau Muslim? Enyahkan kebanggaan keturunan
Jika orang Arab melihat kulit dan darahnya
Katakan selamat tinggal selamanya

Disebut China, Melayu, Turki, atau Afghan
Kita ini milik sebuah taman besar
Lahir di musim semi itulah keluhuran
Membedakan warna adalah berdosa bagi kita

Tampaknya Iqbal kerap mengamati, kebanggaan diri dan perasaan pongah kerap timbul dalam diri kita, umat manusia. Malah, kebanggaan itu kadang dipamerkan kepada Tuhan:

Kau mencipta alam, aku mencipta lampu yang memendari
Kaubuat lempung, kubikin darinya cawan minuman
Kaubikin hutan liar, gunung, dan padang rerumputan
Kucipta kebun, taman, jalan, dan padang gembala
Kuubah racun berbisa jadi minuman segar
Akulah yang mencipta cermin cerlang dari pasir.

Wajar, bila sikap sombong dan pongah perlu disirnakan dari diri kita, selepas sebulan menempa diri. Apalagi, di depan kita terbentang hari-hari nan fitri. Kesediaan untuk memaafkan dan membuang perasaan benci semestinya kita miliki. Iqbal menghardik kita:

Jika kau tak memiliki
Kesanggupan memaafkan
Pergilah! Carilah pegangan
Bersama mereka yang menjerumuskanmu
Jangan rawat kebencian dalam hatimu
O, jangan buat madumu kecut
Mencampurnya dengan cuka.

Tetapi, Iqbal tidak hanya piawai menghardik saja. Ia juga pandai menghibur kita. Lewat puisinya “Bulan Baru ‘Id”, kita dihiburnya untuk tidak berduka ditinggalkan kekasih kita: bulan Ramadhan. Karena, di depan kita ada bulan baru ‘Id:

Bulan baru ‘Id
Tak dapat kauhindari
Mata nanar
Khalayak yang menantikan pandangmu
Seribu kerlingan
Diam-diam merangkai
Jaring untuk menangkapmu
Buka matamu
Pada dirimu: jangan berduka
Karena kau adalah rencana terbuka
Dalam dirimu
Berkilauan seribu bulan!

Untuk itu, mari kita buka lebar pintu kelapangan dada dan pintu kemaafan kita. Kepada siapa pun. Dan, “pada bulan fitri tahun ini, perkenankan kami, menyampaikan permohonan maaf, baik lahir maupun batin. Kiranya Allah menerima amal ibadah kita. Amin. Selamat Idul Fitri”. 

Monday, August 6, 2012


SEPATU DAHLAN ISKAN DAN MULLA NASRUDDIN HOJA

Kemarin, ketika membaca untuk kedua kalinya sebuah buku berjudul Sepatu Dahlan, yang menuturkan dengan memikat kisah kehidupan masa belia dan muda yang perih Dahlan Iskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Indonesia saat ini, entah kenapa  benak saya tiba-tiba  “melayang-layang” ke Turki. Melayang-melayang ke Turki karena tiba-tiba teringat Mulla Nasruddin Hoja. Ya, teringat Mulla Nasruddin Hoja, seorang tokoh yang terkenal kocak ala si Kabayan van Jawa Barat.

Tentu Anda mengenal Mulla Nasruddin Hoja. Menurut kisah-kisah yang beredar, tokoh yang satu ini adalah seorang sufi jenaka yang kadang bertindak “kurang waras”. Padahal, menurut Dr. Muhammad Rajab Al-Najjar, dalam karyanya berjudul Juhâ Al-‘Arabî, mulla yang satu ini sejatinya bukan sosok yang “kurang waras” alias sangat bego. Sebaliknya, dia adalah sosok yang berusaha mendekati segala persoalan yang dia hadapi dari aspek-aspek yang paling dekat dengan kebenaran dan kenyataan. Karena itu, bagi orang-orang lain yang tidak menyukai kebenaran, sang mulla merupakan sosok yang kontradiktif. Tak aneh, bila Sultan ‘Abdul Hamid II, seorang penguasa Turki, pernah melarang beredarnya “kisah-kisah tentang Nasruddin Hoja”. Sang penguasa khawatir, kisah-kisah itu dapat membangkitkan perlawanan rakyat Turki terhadap penguasa. Utamanya, penguasa yang otoriter dan salah dalam mengurus negara dan rakyat.

Tentu Anda tahu pula gaya Dahlan Iskan. Ke mana-mana menteri yang satu ini kerap mengenakan sepatu kets. Nah, sepatu kets yang dikenakan Dahlan Iskan mengingatkan saya pada kisah Mulla Nasruddin Hoja berikut:

Suatu saat, Mulla Nasruddin Hoja mendapat undangan untuk menghadiri suatu perhelatan besar dan resmi. Menerima undangan kehormatan demikian, tentu saja dia menyatakan kesediaannya untuk hadir. Nah, ketika saat perhelatan itu tiba, dia pun pergi ke tempat perhelatan itu. Berbeda dengan tamu-tamu lain yang mengenakan busana yang mewah dan indah, dia datang dengan pakaian harian yang biasa ia kenakan.

Ternyata, setiba di tempat perhelatan itu, tidak seorang pun menaruh perhatian kepada Mulla Nasruddin Hoja. Malah, dia diperlakukan dengan tidak hormat. Pelayan-pelayan pun mengabaikan dia. Menengok kepada dia pun tidak. Malah, mereka tidak menyajikan hidangan apa pun kepadanya.

Menerima perlakuan demikian, Mulla Nasruddin Hoja kemudian dengan diam-diam menyelinap dari perhelatan tersebut. Tanpa seorang pun melihatnya. Lalu, dia pulang ke rumah. Setiba di rumah, ia segera mengganti pakaian yang dikenakannya dengan busana mewah nan indah: penuh pernik-pernik sangat mahal yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang pembesar dan bangsawan. Tidak lupa dia mengenakan sepatu yang mahal harganya, jubah sutra, dan serban indah dan tinggi menjulang. Kini, tampilannya laiknya seorang sultan.

Selepas mengenakan adi busana (haute couture) ala busana para model papan atas dari Paris, Perancis, Mulla Nasruddin Hoja kemudian balik ke tempat perhelatan tadi. Berbeda dengan sebelumnya, kedatangannya kali ini disambut dengan penuh kehormatan dan sanjungan. Malah, tuan rumah meminta sang mulla agar duduk di sampingnya, di tempat VVIP (very very important person). Segera pula, tuan rumah menyilakan Mulla Nasruddin untuk menikmati hidangan nan lezat. Menerima sambutan dan ajakan demikian, tiba-tiba sang mulla melukar busana kebesarannya dan meletakkan busana itu di dekat hidangan seraya berucap, “Suruhlah makan pakaian ini! Suruhlah dia makan!”
“Tuan Nasruddin! Apa maksud Anda?” tanya tuan rumah. Sangat kebingungan.
“Bukankah pakaian ini yang Anda hormati. Bukan saya!” jawab sang mulla.

Kisah Mulla Nasruddin Hoja di atas, juga kisah sepatu kets Dahlan Iskan, seakan menyentil kita, “Janganlah melihat seseorang dari tampilannya semata!” Atau barang kali Mulla Nasruddin Hoja maupun Dahlan Iskan sangat memerhatikan dan memraktikkan pesan Nabi Saw., “Innallâha la yanzhuru ilâ ajsâmikum walâ ilâ shuwarikum, walâkin yanzhuru ilâ qulâbikum. Allah tidak memperhatikan tubuh maupun tampilan kalian. Tetapi, Dia melihat kalbu kalian.” Barang kali!


Friday, August 3, 2012


MEMBURU MUKJIZAT NABI 'ISA A.S.

Siang kemarin, ketika melintasi Instalasi Gawat Darurat  rumah sakit tempat istri bekerja, dan melihat pasien-pasien yang sedang dilayani di instakasi tersebut, entah kenapa tiba-tiba saya teringat Nabi ‘Isa a.s. dan kisahnya bersama sekelompok orang yang memburu mukjizat sang Nabi.

Seperti diketahui, Nabi ‘Isa a.s. adalah seorang Nabi terakhir yang diutus kepada Bani  Israil. Sang Nabi  ini termasuk keturunan Nabi Ibrahim a.s. dan merupakan keluarga  dekat Nabi Zakariya a.s. Menurut Al-Quran, ia adalah putra Maryam,  seorang wanita suci yang penuh pengabdian dan ketaatan kepada Allah Swt. Wanita suci itu  melahirkan sang Nabi tanpa hubungan intim dengan laki-laki.  Selain  itu,  menurut  Kitab  Suci  tersebut,   ia diciptakan  Allah sebagaimana Adam a.s. diciptakan dari tanah  dan ia adalah kata-kata Allah dalam arti bahwa Allah mengatakan “Kun” dan  ia tidak berayah. Karena ia lahir tanpa ayah, kaum  keluarga ibunya  menuduh  Maryam  melakukan  perselingkuhan.  Tuduhan  ini lantas dijawab langsung 'Isa yang masih orok.

Nabi  yang disebut sekitar 25 kali di dalam Al-Quran ini  diutus khusus  untuk  meluruskan  Bani Israil yang  telah  tersesat  dari ajaran  agama mereka. Namun, mereka tidak menghiraukan  petunjuk  dan pengajarannya,  meski  ia  telah  memberikan  berbagai   landasan kebenarannya  sebagai  Nabi. Antara lain dengan  menunjukkan salah salah satu mukjizatnya: menghidupkan kembali orang yang telah mati.

Alkisah, suatu hari, Nabi ‘Isa a.s. berkelana di gurun pasir bersama sekelompok orang.  Mereka pun segera tahu, ternyata sang Nabi memiliki kemampuan luar biasa untuk menghidupkan kembali orang  yang telah mati. Melihat kemampuan sang Nabi yang demikian, mereka pun “ngiler”. Mereka kemudian mendesak sang Nabi untuk menularkan mukjizatnya. Utamanya, mereka mendesak sang Nabi untuk mengajarkan mukjizatnya yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati. Didesak demikian, sang Nabi pun berucap, “Saya khawatir, bila mukjizat itu saya ajarkan kepada kalian, kalian akan menyalahgunakannya.”

Karena itu, sang Nabi menolak mengajarkan mukjizat itu kepada mereka. Tetapi, mereka kemudian senantiasa mendesak dan memaksa sang Nabi untuk mengajarkan mukjizat tersebut. Menghadapi desakan dan paksaan yang demikian, sang Nabi akhirnya berucap, “Baik, mukjizat itu akan saya ajarkan kepada kalian. Namun, perlu kalian ketahui, sejatinya kalian benar-benar tidak layak memelajari mukjizat tersebut!”
Sang Nabi kemudian mengajarkan kepada mereka mukjizat tersebut. Usai memelajari mukjizat tersebut, mereka kemudian meninggalkan sang Nabi dan pergi ke tempat yang sepi untuk memraktikkan mukjizat tersebut. Ketika berada di tempat sepi tersebut, mereka melihat setumpukan tulang belulang putih. “Ayo kita praktikkan mukjizat ini,” ucap salah seorang di antara mereka.

Begitu mukjizat itu dipraktikkan, tiba-tiba tulang belulang itu berubah menjadi sekawanan singa galak. Dan, singa-singa itu pun segera memburu, mencabik-cabik, dan memangsa mereka.

Suatu pelajaran indah diajarkan sang Nabi, “Janganlah memburu sesuatu yang diri kita sendiri sejatinya tidak layak menerimanya. Termasuk jabatan. Akibatnya, sesuatu itu akan mencabik-cabik dan memangsa kita!”

Tuesday, July 31, 2012


USTADZ, MENGAPA SHALAT SEBAGAI TIANG AGAMA?

Ustadz,” tanya seorang jamaah pengajian Sabtu pagi di rumah, minggu lalu, “mengapa shalat yang dikatakan sebagai tiang Agama (Islam). Kok bukan puasa, zakat, atau ibadah haji?”

Entah kenapa, menerima pertanyaan yang memikat tersebut, saya teringat jawaban seorang ulama terkemuka Mesir atas pertanyaan yang sama. Ketika masih menimba ilmu di Mesir, saya suka mengikuti ceramah yang disampaikan ulama yang satu itu, setiap kali sang ulama memberikan ceramah di tivi. Wajahnya tampak memendarkan kedamaian dan kebahagiaan. Gaya ceramahnya sangat menawan: popular, berisi, dan mencerahkan. Tidak aneh bila rating ceramah yang disampaikan ulama yang satu itu meraih nilai “jempol”. Apalagi ketika ulama tersebut sedang memberikan ceramah tentang Tafsir Al-Quran. Indah sekali ceramah-ceramahnya.

Siapakah ulama tersebut?

Ulama yang setiap kali tampil senantiasa mengenakan jubah berwarna putih itu bernama lengkap Syeikh ‘Abdurrahim Muhammad Mutawalli Al-Sya‘rawi. Ulama yang satu ini lahir di Daqadus,  Daqahliyyah, pada  Rabu,  19 Rabi‘ Al-Akhir 1329 H/19 April  1911  M,  dalam lingkungan yang  saleh  dan  berkecukupan. Pendidikan   pertamanya  ia  lalui  di  kuttâb,   suatu   sistem pendidikan  tradisional untuk menghapal Al-Quran yang  dilakukan di  masjid.  Pada  1349  H/1930  M  ia  melanjutkan   pendidikan menengahnya di Zaqaziq, di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan Al-Azhar.  Enam tahun kemudian, selepas merampungkan  pendidikan menengah di Zaqaziq, ia menapakkan kakinya di Kairo.

Di  kota yang telah berusia lebih dari seribu tahun ini  pengagum Ahmad Syauqi, penyair terkemuka di Mesir, ini memasuki  Fakultas Bahasa Arab, Universitas Al-Azhar. Selama menjadi mahasiswa,  ia dikenal  sebagai  aktivis.  Ia  pernah  memimpin  gerakan  protes terhadap rektornya yang dianggap bertanggungjawab atas  rendahnya gaji  para alumni yang menjadi pengajar di Al-Azhar. Sang  rektor akhirnya  dicopot dan gaji para pengajar pun naik.  Pendidikannya di  universitas Islam tertua di Dunia Islam  ini  dirampungkannya pada 1360 H/1941 M. Di antara para guru besar Al-Azhar yang besar pengaruhnya  selama ia meniti pendidikan ini ialah  Syaikh  Ahmad Yusuf  Najati, Syaikh Ahmad ‘Imarah, Syaikh Ibrahim Hamrusy,  dan Syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi.

Usai  merampungkan  pendidikan tinggi pada 1360  H/1941  M,  Al-Sya‘rawi  muda  lantas  meniti karier sebagai  guru  di  Thantha, Zaqaziq,  dan Iskandariah. Lantas, pada awal 1950-an, ulama  yang sangat  memikat  ketika berceramah ini bermukim  di  Arab  Saudi selama  beberapa  tahun.  Di  negeri  ini  ia  giat  menulis  dan berceramah, di samping menjadi staf pengajar di Universitas  Raja ‘Abdul ‘Aziz. Baru pada 1380 H/1960 M ia kembali  ke  negerinya untuk  menduduki  beberapa jabatan di Kementerian Wakaf  dan  Al-Azhar. Namun, pada 1386 H/1966 ia kembali meninggalkan negeri dan menapakkan kakinya ke Aljazair. Di negeri terakhir ini ia  lebih banyak mencurahkan waktunya di bidang dakwah Islamiah.

Pada awal tahun 1970-an ulama yang terkenal dermawan ini  menetap kembali  di Arab Saudi selama beberapa tahun dan bekerja  sebagai guru   besar  di  lingkungan  Universitas  Raja  ‘Abdul ‘Aziz. Kemudian,  tepatnya  pada 1396 H/1976 M,  Presiden  Anwar  Sadat memintanya  balik  ke negerinya, untuk menjabat  sebagai  Menteri Wakaf,  di samping menjadi penceramah. Karena keluasan  ilmu  dan wawasan  yang ia kemukakan dalam tulisan dan ceramahnya,  namanya segera berpendar. Tak aneh bila karena ilmu dan wawasannya  yang luas  itu ia kemudian diangkat sebagai ketua panitia konsultatif Bank Sentral Mesir.

Dalam  perjalanan  hidup selanjutnya ulama  yang  juga  membangun Kompleks  Medis  Al-Sya‘rawi  ini  ikut  berperan  aktif  dalam berbagai kegiatan keislaman, termasuk ikut mendirikan sebuah bank Islam di Austria dan memelopori berdirinya bank Islam di  tanah airnya,  Mesir. Dan, ulama yang ikut menghadiri Konferensi  Asia-Afrika  di Bandung pada 1955 ini berpulang kepada  Sang  Pencipta pada  Rabu, 22 Shafar 1419 H/17 Juni 1998 M, dalam  usia  87 tahun, dengan meninggalkan sederet karya tulis. Karya-karyanya tersebut, antara lain, adalah Fî Al-Hukm wa Al-Siyâsah, Al-Tharîq ilâ Allâh, Hâdzâ Hua Al-Islâm, Al-Islâm wa Harakât Al-Hayâh, dan Mu‘jizât Al-Qur’ân.

Nah, bagaimanakah jawaban sang ulama atas pertanyaan di atas?

Menjawab pertanyaan yang demikian, Syeikh ‘Abdurrahim Muhammad Mutawalli Al-Sya‘rawi, memberikan jawaban yang menawan, “Shalat menjadi tiang agama karena shalat merupakan rukun yang tidak dapat digugurkan selamanya. Ini karena shalat memadukan semua rukun itu. Karena itu, ketika seseorang melaksanakan shalat, sejatinya ia juga mengucapkan dua kalimat syahadah, yaitu tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah. Juga, pada saat melaksanakan shalat, ia berpuasa dalam pengertian ia menahan makan dan minum, termasuk menahan berbicara. Demikian pula shalat lebih luas cakupannya dalam menahan diri daripada puasa. Ketika seseorang Muslim melaksanakan shalat, sejatinya ia juga menahan diri dari banyak hal yang kadang masih dapat dilakukan seseorang yang sedang berpuasa. Misalnya, dalam puasa ia tidak dilarang bergerak ke mana pun ia melangkah kedua kakinya. Sedangkan dalam shalat, ia dilarang bergerak selain gerakan-gerakan yang diwajibkan ketika ia sedang menghadap Allah Swt. Dengan kata lain, shalat mempunyai cakupan menahan diri yang lebih luas daripada ketika seorang mukmin menahan diri karena berpuasa.

Zakat, seperti diketahui, adalah mengeluarkan sebagian harta. Harta itu diperoleh manusia melalui gerakan dan kerja. Gerakan dan kerja tersebut menyita sebagian waktu. Ketika seseorang sedang melaksanakan shalat, sejatinya ia juga melaksanakan zakat, karena ia telah meluangkan waktunya sebagai wadah gerakan dan kerja. Malah, dalam shalat terkandung makna zakat yang lebih luas. Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah juga terkandung dalam shalat. Ini karena setiap kali seseorang Muslim melaksanakan shalat, ia menghadap ke arah Baitullah sebagai kiblat.

Oleh karena itu, shalat berbeda dengan rukun-rukun Islam lainnya. Mengapa? Lembaran sejarah menorehkan, shalat tidak diwajibkan melalui wahyu, tapi diwajibkan langsung antara Allah Swt. dan Muhammad Saw. Karena kedudukan yang tinggi ini, Allah Swt. memperingatkan kita supaya kita melaksanakan shalat di mana pun kita berada. Malah, Allah Swt. juga mewajibkan shalat khusus yang disebut shalat harb (shalat dalam keadaan berperang) dan shalat al-khauf (shalat ketika dalam keadaan ketakutan). Sehingga, tiada seorang pun yang akan menyatakan bahwa perang menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat. Malah, dalam perang setiap Muslim lebih diutamakan untuk tetap konsisten dalam melakanakan ajaran Tuhan.”

Indah sekali jawaban itu!