IBN HAZM:
Ulama Besar yang Filosuf Cinta
Mencari rumah Ibn Hazm di
Cordoba, itulah salah satu rancangan saya dalam perjalanan ke Spanyol di bulan Agustus ini dan
ketika berada di Kota Cordoba. Ada apa dengan rumah Ibn Hazm dan kenapa
Ibn Hazm?
Selain karya besar Al-Ghazali, Ihya
‘Ulûm Al-Dîn (yang terdiri dari 16 jilid), satu karya puncak (masterpiece) lain ulama terkemuka lain yang telah saya
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah karya puncak Ibn Hazm, Thauq
Al-Hamâmah. Berbeda dengan karya besar Al-Ghazali, yang membahas
secara rinci pelbagai persoalan keagamaan, lain halnya dengan karya Ibn Hazm.
Karya ulama besar, yang asli Cordoba dan nenek moyangnya menganut Agama Kristen
dan berambut pirang, ini menyajikan
suatu bahasan yang lengkap dan memikat tentang cinta. Berbeda dengan
karya-karya para sufi, ketika membahas tentang cinta, yang lebih suka mengkaji
cinta Ilahi, Thauq Al-Hamâmah (diterbitkan Penerbit Mizan dengan
judul Risalah Cinta: Kitab Klasik Legendaris tentang Seni Mencinta), menyajikan
suatu bahasan yang dapat dikatakan lengkap tentang cinta manusiawi. Karena itu,
jika Anda sedang jatuh cinta, misalnya, silakan baca dan renungkan karya
menawan itu.
Sejatinya, Thauq Al-Hamâmah
tidak hanya membahas tentang cinta semata. Tetapi, karya itu juga menyajikan
kisah cinta sang penulis. Dalam karya klasik yang telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa dunia itu, misalnya, juga dikemukakan, Ibn Hazm pernah jatuh
cinta:
“Ketika saya masih remaja,
saya jatuh cinta kepada seorang hamba sahaya perempuan nan amat jelita milik
keluarga saya yang tinggal serumah dengan kami,” kenang Ibn Hazm
Al-Andalusi dalam karyanya tersebut. “Hamba sahaya itu masih gadis. Berusia
enam belas tahun. Wajahnya elok nan sangat memesona. Kecerdasan dan kesucian
dirinya menawan hati. Ia begitu pintar memelihara kehormatan dan harga dirinya.
Ia tinggalkan segala perbuatan yang kurang ajar dan tak senonoh. Ia pun
berpakaian rapi dan tertutup rapat senantiasa. Juga, ia sedikit bicara, tak
suka mencela, pandangannya senantiasa terjaga, memelihara jarak dengan lawan
jenis, dan senantiasa bersikap hati-hati. Sungguh, ia benar-benar amat
memesona.
Selain itu, ia begitu pandai berkelit dan piawai dalam
menyatakan penolakan. Ia begitu tenang dan santun kala duduk. Ia lebih banyak
mendengarkan ketimbang bicara. Ia senantiasa menghindar bila ada orang yang
ingin berbuat macam-macam dengannya. Karena itu, orang pun segan kepadanya. Ia
bukan tipe perempuan gampangan, di mana setiap laki-laki dapat menyinggahinya.
Kepribadiannya memikat hati setiap orang yang mengenalnya. Kesantunan tabiatnya
mengusir orang yang hendak menjahilinya. Ia dermawan dan ringan tangan. Ia
sungguh cekatan dalam pekerjaan. Ia tak senang canda yang tiada manfaatnya.
Dan, ia sangat pandai membalas budi dan memendam rasa. Duhai, ia benar-benar
gadis sangat memikat nan memesona.”
Demikian
kenang tokoh yang sarat pengalaman itu perihal gadis yang dicintainya. Selepas
bertutur demikian, ahli hukum Islam yang
menganut Aliran Zhahiriyyah ini kemudian menuturkan kembali kisah cintanya
yang bertepuk sebelah tangan itu,
“Saya
sangat mencintainya. Sungguh, sangat mencintainya. Selama dua tahun saya terus
berusaha keras untuk dapat mendengar satu kata khusus saja yang terucap dari
mulutnya untuk saya. Ya, kata khusus di luar pembicaraan yang sifatnya umum.
Namun, sekeras apa pun usaha saya, tetap tak menghasilkan harapan yang saya
damba. Ia tak pernah mau berucap kepada saya. Walau itu sepatah saja… Saya tak
akan pernah dapat melupakan peristiwa itu. Tak akan pernah! Malah, hingga pun
kematian menjemput saya. “
Nah, ketika
berada di Cordoba nanti, selain akan mengambil foto patung Ibn Hazm yang
menghiasi depan Pintu Gerbang Sevilla kota tersebut (patung itu didirikan atas
prakarsa masyarakat dan pemerintah Kota Cordoba pada 1963, sebagai penghargaan
atas jasa-jasa tokoh yang dipatungkan itu), saya akan mencoba mencari di mana
lokasi rumah ulama besar tersebut. Juga, ingin membayangkan bagaimana ia sedang
jatuh cinta dan akhirnya patah hati, sehingga membuatnya berbulan-bulan tidak
mau ganti baju. Duh.
Kini, siapakah
Ibn Hazm?
Ahli hukum Islam dan
ilmu kalam terkemuka Andalusia yang terkenal juga
sebagai filosof cinta ini bernama
lengkap Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa‘id bin Hazm.
Lahir di Cordoba pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H/7 November
994 M,
dalam lingkungan keluarga yang berasal dari Desa Manta
Lisyam yang terletak dalam
wilayah Niebla, ilmuwan
dan ulama berdarah Persia ini
tumbuh dewasa sebagai putra seorang
menteri Al-Manshur bin
Abu ‘Amir di sebuah istana nan indah
dan megah. Sang ayahandalah, seperti kebiasaan kala itu, yang
menjadi guru pertamanya. Ketika
sang ayahanda berpulang, pada akhir Dzulqa‘dah 402 H/Juni
1013 M, ia pun meninggalkan
Cordoba yang kala
itu sedang diguncang prahara
perang saudara dan menetap di Almeria dan Jativa.
Lima tahun
kemudian, ketika Ibn Hazm
kembali ke Cordoba,
ia diangkat sebagai menteri oleh ‘Abdurrahman IV Al-Murtadha. Segera, dunia kekuasaan dan politik menjadi
tak asing baginya. Beberapa
kali ia terlibat dalam konflik
politik yang keras, terutama selepas
pembunuhan ‘Abdurrahman V Al-Mustazhhir pada 424
H/1023 M. Selepas
merasakan pahit getirnya
dunia politik, ia kemudian
memalingkan diri ke
arah dunia ilmu pengetahuan. Lahirlah karya-karyanya
yang terkenal hingga kini. Di bidang
fikih, karyanya yang berjudul Al-Muhallâ merupakan salah satu sumber acuan. Di bidang
ilmu kalam, karyanya Al-Fashl fî
Al-Milal wa Al-Ahwâ’
wa Al-Nihal tidak
kalah nilainya dibandingkan dengan
karyanya di bidang fikih itu.
Di bidang akhlak, ia menggelar
karya besarnya dengan judul Al-Akhlâq wa Al-Sair
fî Mudâwah Al-Nufûs. Tak mengherankan bila ia mendapat gelar Al-Imâm (Sang Imam).
Ibn Hazm
juga dikenal sebagai ahli hukum
Islam yang menganut Aliran Zhahiriyyah,
yang menolak ra’y (rasio),
dan mengambil lahiriah teks-teks Al-Quran.
Tak aneh bila ia berpendapat bahwa barang siapa memberi fatwa dengan
berdasarkan ra’y, maka ia memberi
fatwa tanpa ilmu. Menurutnya, seseorang tidak dipandang berilmu tentang Islam, kecuali apabila ia mendalami
Al-Quran dan Al-Sunnah. Ilmuwan
yang berpulang ke hadirat Allah
di Manta Lisham pada Sabtu, 28 Sya‘ban 456 H/14 Agustus 1064
M ini juga terkenal sebagai seorang ilmuwan yang produktif. Konon, karya-karya sekitar 400 buku. Antara lain Al-Fashl fî
Milal wa Al-Nihal, Al-Nâsikh wa Al-Mansûkh, Al-Ahkâm
li Ushûl
Al-Ahkâm, Nuqâth Al-‘Arûs fî Tawârîkh Al-Khulafâ’, dan Jawâmi‘ Al-Sîrah Al-Nabawiyyah.
Semoga,
ketika berada di Kota Cordoba nanti, saya dapat menemukan lokasi rumah Ibn Hazm,
sambil membayangkan kisah cintanya yang berakhir tragis!