GAYA HIDUP
SEBAGAI RAKYAT
“Usia Pak Rofi’ berapa?”
“62 tahun dan menjelang 63 tahun. Mengapa?”
“Saya lihat, Pak Rofi’ masih kuat jalan ke mana-mana. Wajah
Pak Rofi’ pun kelihatan belum sepuh
seperti ayah saya yang usianya lebih
muda.”
“Alhamdulillah. Kiranya Allah Swt. tetap mengaruniakan
kesehatan dan kebugaran kepada saya. Juga, kepada Anda.”
“Apa rahasianya, Pak Rofi’”
Pertanyaan terakhir dari seorang manager sebuah
perusahaan itu, minggu lalu, tiba-tiba membuat saya termenung. Lama. Menjawab
pertanyaan “rahasia” ternyata tidak mudah. Kemudian, sambil menikmati
perjalanan dengan naik mobil, antara Bandung-Jakarta, benak saya pun “melayang-layang”.
Ke belakang.
Segera terungkap, selama hampir tiga tahun terakhir dapat
dikatakan saya menjadi “manusia mandiiri”. Ketika sebelum adzan dilantunkan,
kedua mata saya dapat dikatakan nyaris tidak dapat dipejamkan. Usai shalat malam dan shalat Shubuh, sambil
mentadarus Al-Quran satu juz setiap hari, mesin cuci pun saya operasikan. Usai
tadarus dan mencuci pakaian, rumah yang tidak lebih dari 7 x 10 meter pun saya
bersihkan. Di samping itu, bergantian sama istri, saya menanak nasi dan kadang
memasak. Dan, selepas semua urusan domestik itu rampung, benak dan jemari saya
pun mulai “menari-nari”. Dan, biar tidak membuat benak jenuh: sambil menulis,
radio atau speaker aktif yang berada di samping kanan dan kiri saya ikut “mengiringi”
kelana otak saya ke mana saja dengan lagu-lagu. Baik klasik, populer (barat
maupun indonesia), arab, maupun islami.
Di sela-sela kegiatan otak dan jemari yang kerap kali
berlangsung seharian penuh, saya keluar dari “sarang”: menengok kegiatan di
Pesantren Mini kami untuk memeriksa dan memantau berbagai kegiatan yang sedang
berlangsung. Dan, ketika otak lagi di puncak kejenuhan, “kluyuran” itulah yang
kerap saya lakukan: naik angkutan umum kota. Angkutan umum kota, alias angkot,
memang “kendaraan pribadi” saya ketika sedang “kluyuran” di seputar Kota
Bandung. Mengapa? Kerap kali, ketika sedang naik angkot, ide-ide bermunculan.
Di samping itu, tentu saja, saya bisa tidur ketika kedua mata ingin dipejamkan.
Ketika sedang kluyuran di Kota Bandung, saya biasanya pergi ke pusat buku loak di
Jalan Dewi Sartika, kemudian naik angkot lagi menuju ke Banceuy. Ke Banceuy, ada apa?
Di situ, saya suka bertandang ke Pusat Elektronik Cikapundung: mencari atau
memperbaiki radio lama. Lantas, biasanya saya pergi ke Toko Gramedia dan
Bandung Electronic Center. Tentu, Anda tahu tujuan saya.
Demikianlah sebagian “gaya hidup” yang sederhana dan
tidak “neko-neko” dalam kehidupan saya: tanpa pernah menjadi pejabat, pegawai
negeri, apalagi penggede negeri. Hanya
sebagai rakyat biasa selama hayat saya. Lewat kehidupan
yang demikian, alhamdulillah saya dapat menikmati hidup dengan penuh makna dan
sehat. Juga, kiranya bermanfaat bagi sesama. Kiranya demikian, amin.