CIRENG DAN PRESIDEN ANWAR SADAT
Bahagia dan gembira.
Itulah suasana hati saya, sore kemarin, ketika dua mobil
datang ke rumah yang masih ramai dan padat dengan sekitar 175 anak yang sedang
mengaji Al-Quran. Mobil pertama, yang datang lebih dahulu, ternyata berisi seorang teman dan
keluarganya. Teman yang sejak tahun 1978 tidak berjumpa itu, sejak saya dan
beliau menyelesaikan kuliah di Jogja, pagi kemarin dilantik sebagai seorang
hakim tinggi di Bandung. Tentu, betapa gembira dan bahagia kami berdua ketika
berbagi cerita perjalanan panjang hidup kami selama ini. “Hidup memang tidak
dapat diduga,” gumam pelan bibir saya seraya memandangi wajah teman saya yang
tampak berpendar bersih. “Dahulu, ketika masih kuliah, rambutnya selalu
gondrong. Tetapi, kini, beliau menjadi seorang hakim tinggi yang senantiasa
bersikap rendah hati dan rambutnya tersisir rapi.”
Sekitar setengah jam kemudian, sebuah mobil datang lagi.
Ternyata, dua teman kuliah juga. Yang seorang mantan pemimpin redaksi koran
bisnis terbesar di Indonesia, dan kini menjadi “komandan” sebuah kelompok media
massa lain di Jakarta. Yang seorang lagi seorang buya yang pernah menjadi
direktur sebuah rumah sakit Islam di Jakarta. Dengan beliau, sejak kami usai
kuliah, baru sore itu kami bersua kembali. Sama dengan teman yang kini menjadi
hakim tinggi. Bagi saya, tentu pertemuan tersebut sangat membahagiakan: dapat
bersilaturahmi kembali dengan teman-teman yang puluhan tahun tidak berjumpa.
Kemudian, ketika mereka berpamitan, teman yang mantan direktur
rumah sakit berucap pelan kepada saya, “Mas, saya bisa minta contoh cireng yang
dihidangkan tadi. Lezat
sekali cireng (salah satu makanan khas Bandung) tadi. ”
“Oh, baik. Tetapi, untuk apa?” tanya saya kepada temann
saya yang asal dari Riau itu. Tentu saja, saya sangat penasaran.
“Mas, saya membina beberapa rumah anak yatim piatu. Ke
mana pun saya pergi, saya mencari makanan yang menarik untuk diproduksi kembali
oleh mereka. Tentu saja, dengan pengembangan dan dan pengayaan bahan dan
lain-lainnya.”
“Menarik sekali. Baik, saya ambilkan.”
Ketika teman-teman telah pulang, entah kenapa tiba-tiba
“kisah cireng” tersebut membuat saya
teringat seorang presiden Mesir: Presiden Anwar Sadat.
Lho, apa kaitan antara cireng dan presiden ke-2 Mesir itu?
Ketika saya masih menimba ilmu di Mesir, saya kerap
mendengar bahwa setiap kali melakukan kunjungan ke luar negeri, Presiden Anwar
Sadat selalu membawa dua pesawat terbang. Pesawat pertama berisi sang presiden dan
rombongannya. Sedangkan pesawat kedua disiapkan untuk menjadi tempat “hadiah”
dari negara-negara yang dikunjungi. Yang menarik, ketika berkunjung ke suatu
negara, Presiden Anwar Sadat selalu berusaha mendapatkan hadiah berupa:
hewan-hewan ternak terbaik negara itu, tetumbuhan terbaik negara itu yang
kemudian dapat dibudidayakan di Mesir (misalnya mangga dari Indonesia yang kini
menjadi mangga terkenal di Timur Tengah), dan produk-produk lain yang dapat
diproduksi dan dikembangkan di Negara Piramid itu.
Teringat
kisah cireng dan langkah Presiden Anwat Sadat tersebut, tiba-tiba bibir saya
bergumam sangat pelan, “Sebuah ide yang bagus. Kenapa tidak kita lakukan?”