IN MEMORIAM: ACHMAD NOE’MAN
Ciparay, Bandung, 1987.
“Mas, sebaiknya tanah kosong ini dimanfaatkan untuk apa? Lahan luas
begini kok tampak kosong.”
Demikian ucap istri saya, kala itu sedang menjabat sebagai Kepala Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Pakutandang, Ciparay, Kabupaten Bandung,
kepada saya seraya memandangi bukit kecil indah di belakang Puskesmas. Kala
itu, kami menempati rumah dinas puskesmas yang memiliki luas sekitar 4.000 meter
persegi. Selain rumah dinas dan bangunan puskesmas, di lahan tersebut juga
telah kami lengkapi dengan balong alias kolam ikan mas dan nilai. Meski
demikian, lahan tersebut terasa masih kosong.
“Bagaimana jika di ujung akhir lahan ini kita dirikan masjid?” jawab
saya.
“Oh, ide yang bagus. Tetapi, sebaiknya kita dirikan sebuah masjid kecil,
tapi indah, yang pas dengan lahan itu. Mas kenal arsitek yang dapat merancang
masjid yang demikian itu?”
“Saya kenal Pak Achmad Noe’man, seorang arsitek yang merancang Masjid
Salman ITB. Tetapi, kita kan tidak punya banyak dana.”
“Coba temui beliau. Barang kali beliau berkenan merancangkan masjid kecil
tapi indah seperti yang saya dambakan. Siapa tahu, beliau mau membantu kita.”
Beberapa hari selepas perbincangan di hari Ahad itu, saya pun menemui
Pak Achman Noe’man di biro arsitek beliau, Birano, yang berada di Jalan Ganesha
no. 3 Bandung, tidak jauh dari kampus Institut Teknologi Bandung. Selepas
berbagi sapa beberapa lama, akhirnya saya kemukakan maksud kedatangan saya. “Rofi’,
seminggu lagi datang ke sini ya. Insya Allah, rancangan masjid yang Rofi’
maksudkan sudah saya siapkan,” jawab beliau.
Benar, seminggu kemudian saya datang menemui kembali beliau. Masya
Allah, ternyata rancangan masjid itu benar-benar telah siap. Ketika saya
menanyakan tentang biaya perancangannya, beliau hanya tersenyum dan kemudian
berucap pelan, “Rofi’. Jangan pernah menanyakan lagi biayanya ya. Doakan,
semoga hal itu dapat menjadi amal saya kelak, ketika saya menghadap Allah Swt.”
“Jazakumullah ahsanal jaza’, Pak Noe’man. Semoga doa bapak diijabah
Allah Swt., amin.”
Setahun kemudian, masjid kecil dan indah itu tegak di lingkungan
Puskesmas Pakutandang.
Itulah kenangan terindah yang “membara” dalam benak saya, ketika tadi
siang saya mendengar Bapak Ir. Achman Noe’man berpulang. Sejak itu, saya
menganggap beliau sebagai ayah, pencerah, dan sahabat saya. Terakhir saya
bertemu dengan beliau ketika beliau berkunjung ke Pesantren Mini kami di
Baleendah, Kabupaten Bandung. Beliau, yang telah berusia 90 tahun, datang
dengan didampingi seorang sahabat yang juga boss sebuah penerbit di Kota
Bandung: Ammar Haryono. Sekitar dua jam beliau berkunjung ke pesantren kami.
Ternyata, sebulan selepas kunjungan itu beliau berpulang. Inna lillahi wa inna
ilaihi raji‘un.
Siapakah Achmad Noe’man?
Arsitek
Muslim kondang yang terkenal
pula sebagai perancang piawai masjid tanpa kubah ini lahir di Garut pada
Jumat, 11 Rabi‘ Al-Awwal 1343 H/10 Oktober 1924 M. Selepas merampungkan pendidikannya di
Hollandsch Inlandsche School (HIS)
dan Meer Uitgebreid
Lager Onderweijs (MULO)
di tempat kelahirannya, di
samping menimba ilmu di madrasah, putra Haji Mas Djamhari ini
lantas meneruskan sekolahnya di
Sekolah Menengah Atas (SMA)
Muhammadiyah Ketanggungan, Yogyakarta.
Ketika Indonesia
memasuki “zaman revolusi”,
Noe‘man muda bergabung dengan
Divisi Siliwangi dan ditugaskan
di Jakarta sambil sekolah
di Sekolah Menengah Atas Republik.
Lantas pada 1368 H/1948
M ia memasuki jurusan bangunan
Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia (kini menjadi Institut Teknologi
Bandung). Tetapi, ia merasa
kurang “nyaman” di bagian itu. Kebetulan
kala itu terjadi penyerbuan pasukan Belanda atas Yogyakarta. Maka, ia tidak melanjutkan kuliahnya dan memasuki
Corps Polisi Militer di Bandung dengan pangkat letnan dua. Karier militer ini
ia tekuni sampai 1373 H/1953 M.
Ketika di
almamaternya dibuka jurusan
arsitektur, perancang Masjid Salman
di lingkungan Institut Teknologi
Bandung ini lantas mengundurkan diri dari tugas militer dan
memasuki bidang yang ia gandrungi
itu. Ia memilih
bidang itu karena, menurutnya, “ada nilai-nilai yang cocok untuk beramal
saleh dan dengan pensil dan kertas ia
bisa berdakwah”. Pendidikan di bidang ini, yang mengantarkannya menjadi arsitek
yang menurutnya “harus memiliki kepribadian yang jujur, independen, dan kompeten”,
ia rampungkan pada 1378 H/1958 M.
Seusai menempuh
pendidikan tingginya tersebut,
arsitek yang berdarah Jawa ini sebetulnya hendak dikirim ke
Kentucky, Amerika Serikat, untuk
mengambil program master. Tetapi,
ia memilih tidak berangkat dan membuka sebuah biro arsitektur dengan
nama “Birano” yang merupakan singkatan dari “Biro Arsitek Achmad Noe‘man”. Lewat
biro itu ia melahirkan
sederet karyanya di bidangnya, antara lain Masjid Salman ITB,
Masjid Al-Furqan, dan Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar. Tentang
pengalamannya dalam
merancang Masjid Salman
yang tanpa kubah,
ia pernah menuturkan, “Tahun 1959,
saya merancang Masjid Salman, waktu
sudah lulus. Yang namanya
arsitek bisa dihitung dengan jari.
Ada peristiwa yang menarik. Sekarang ini, mahasiswa yang
tidak shalat justru aneh.
Kalau dulu, justru yang shalat dianggap aneh. Teman-teman ada yang bilang, wah... salam ya
pada Tuhan. My greeting to God.
Ya kita
acuh saja. Yang namanya di kampus, di ITB lagi,
harus membuat masjid. Akhirnya
saya bongkAl-bongkar literatur arsitektur. Malah, saya sempat naik haji. Mampir ke
Regent Park di London, waktu itu belum jadi. Lalu ke Bonn,
Muenchen, ke Aya Sofia. Saya mencari acuan. Ketemu Surah Al-Taubah. Jangan
kita membuat masjid yang mengakibatkan
riya’, gitu kan. Saya justru mencari nilai-nilai yang universal,
yang transendental. Jadi saya hilangkan
itu bentuk kubah.
Memang, berat juga
waktu menghilangkan kubah dari rancangan kita. Itu kan ciri kita.”
Di samping
itu, Achmad Noe‘man juga aktif di
berbagai kegiatan lain, antara
lain menjadi anggota Majelis Arsitek Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI), anggota
Dewan Kehormatan Ikatan
Nasional Konsultan
Indonesia (INKINDO), anggota
Persatuan Insinyur Indonesia
(PII), dan Ketua Yayasan Universitas Islam Bandung.
Selamat jalan, Pak Noe’man.