PESAN UNTUK DUA PUTRIKU TERCINTA
Dini hari tadi, selepas shalat malam, tadarus Al-Quran, dan menanti
waktu shalat Shubuh tiba, saya sejenak “mengembara” di antara tulisan-tulisan
yang sedang saya siapkan. “Oh, ini kan pesan untuk dua anakku yang kutulis awal
tahun ini dan belum sempat kukirimkan kepada mereka berdua,” gumam pelan bibir
saya ketika membaca tulisan tersebut.
Meski telah lewat waktu, entah kenapa saya merasa tulisan tersebut
masih layak untuk saya hadirkan di sini. Dan, berikut, tulisan tersebut:
“Nduk, dua putriku tercinta, Mona dan Naila, sebentar lagi
Bapak berusia 64 tahun. Insya Allah, saat tepat usia itu, Bapak sedang sowan
kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Usia Bapak
saat itu telah melampaui usia beliau ketika berpulang. Dengan kata lain, sudah
selayaknya Bapak harus ‘bersiap-siap’. Namun, sebelum ‘kembali’, Bapak ingin
berkisah. Pendek saja kok. Boleh kan. Kiranya kisah ini dapat menjadi
sedikit pegangan bagi kalian berdua. Dalam meniti hidup ini.
Nduk, sejak kalian berdua masih kecil, Bapak dan Ibu mendambakan
memiliki anak-anak yang shalihah, berilmu, dan bertakwa. Dambaan itu senantiasa
Bapak dan Ibu tuangkan dalam doa yang tidak pernah henti Bapak dan Ibu
panjatkan kepada Allah Swt. Tentu, disertai perjuangan tanpa henti pula. Menjadi
shalihah dan bertakwa, tentu saja kedua hal itu merupakan dambaan setiap Muslim
dan Muslimah. Tetapi, kenapa ada tambahan berilmu?
Kalian berdua tentu menyadari, betapa Bapak dan Ibu sangat menaruh
perhatian terhadap pendidikan kalian berdua. Sampai pun ketika kalian menempuh
program s-2 yang kalian ambil, Bapak dan Ibu senantiasa berusaha mendampingi
kalian berdua. Tentu, tidak mendampingi secara harfiah. Memang, Bapak dan Ibu
tidak pernah memanjakan kalian dengan hal-hal yang bercorak duniawi yang dapat
membuat kalian ‘lupa diri’. Tetapi, bila berkaitan dengan keinginan untuk
menimba ilmu yang bermanfaat, Bapak dan Ibu tidak pernah ragu dalam mendampingi
kalian.
Mengapa ilmu penting bagi kalian berdua?
Nduk, Mona dan Naila, simaklah kisah indah berikut. Semoga kisah indah ini
dapat menjadi pegangan kalian berdua tentang pentingnya senantiasa menimba ilmu
alias senantiasa belajar, belajar, dan belajar hingga akhir hayat.
Suatu ketika Kanjeng Nabi Muhammad Saw. mengemukakan di hadapan
para sahabat bahwa beliau laksana kota ilmu, sedangkan menantu kinasih
beliau, Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib, laksana gerbangnya. Mendengar pernyataan
Kanjeng Nabi Saw. yang demikian, sekelompok orang tidak mempercayai pernyataan
beliau. Mereka tidak percaya, sang menantu tercinta tersebut cukup layak
mendapatkan sebutan sebagai “gerbang ilmu”. “‘Ali gerbang ilmu? Tidak mungkin!
Tidak mungkin! Tidak mungkin!” protes mereka.
Oleh karena itu mereka, yang terdiri dari 10 orang, kemudian
bermusyawarah. Dalam musyawarah itu, akhirnya, mereka seiring pendapat untuk
menguji kebenaran pernyataan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. tersebut. “Ayo kini
kita tanyakan kepada ‘Ali tentang suatu masalah saja dan bagaimana jawabannya
tentang masalah itu. Lewat jawaban yang dia berikan, kita dapat menilai
seberapa jauh kepintarannya. Bagaimana, apakah kalian setuju?” ucap salah seorang
di antara mereka.
“Setuju!” jawab mereka. Serentak.
“Tetapi, sebaiknya kita bertanya secara bergantian saja,” ucap yang
lain. “Dengan demikian, kita dapat mencari titik kelemahan ‘Ali. Bila jawaban ‘Ali
nanti selalu tidak ada yang sama, barulah kita percaya bahwa memang ‘Ali adalah
orang yang pintar dan layak mendapatkan sebuatan sebagai ‘gerbang ilmu’.”
“Baik juga saranmu itu. Ayo kita laksanakan!” sahut yang lain.
Ketika saat yang telah ditentukan tiba, selepas berbagi sapa dengan
Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib, orang pertama di antara sepuluh orang itu
tersebut lantas bertanya, “Wahai ‘Ali. Manakah yang lebih utama, ilmu atau
harta?”
“Wahai saudaraku. Tentu saja ilmu lebih utama,” jawab Ali lugas. “Ilmu
adalah warisan para Nabi dan Rasul mulia. Sedangkan harta adalah warisan Qarun,
Fir‘aun, Namrud, dan lain-lainnya.”
Selepas mendengar jawaban Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib yang
demikian, orang itu lantas mohon diri. Tidak lama selepas itu datang orang ke-2
dan bertanya kepada ‘Ali dengan pertanyaan yang sama. “‘Ali, manakah yang lebih
utama, ilmu atau harta?”
“Wahai saudaraku, ilmu lebih utama ilmu ketimbang harta,” jawab ‘Ali
bin Abu Thalib.
“Mengapa?”
“Wahai saudaraku, ilmu akan menjaga diri Anda. Sedangkan harta
malah sebaliknya. Anda malah harus menjaganya.”
Selepas mendengar jawaban Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib yang
demikian, orang itu lantas mohon diri. Tidak lama selepas itu datang orang ke-3.
Seperti halnya orang pertama dan ke-2, dia pun bertanya, “Bagaimana pendapat Tuan,
bila ilmu dibandingkan dengan harta?”
“Harta lebih rendah ketimbang ilmu,” jawab ‘Ali bin Abu Thalib.
Santun.
“Mengapa demikian, Tuan?” tanya orang itu. Penasaran.
“Orang yang memiliki banyak harta biasanya akan memiliki banyak
musuh. Sedangkan orang yang kaya ilmu akan banyak orang yang menyayanginya dan menghormatinya.”
Selepas mendengar jawaban Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib yang
demikian, orang itu lantas mohon diri. Tidak lama selepas itu datang orang ke-4.
Seperti halnya orang pertama, ke-2, dan ke-3, dia pun bertanya, “Bagaimana
pendapat Tuan bila ilmu dibandingkan dengan harta?”
“Jelas lebih utama ilmu,” jawab ‘Ali bin Abu Thalib.
“Mengapa demikian?” desak orang itu.
“Ketika harta didayagunakan,” jawab ‘Ali, “kerap kali harta itu
kian berkurang. Sebaliknya, bila ilmu dimanfaatkan, ilmu kian bertambah
banyak.”
Tidak lama selepas itu datang orang ke-5. Seperti halnya empat
orang sebelumnya, dia pun bertanya, “Bagaimana pendapat Tuan, bila ilmu
dibandingkan dengan harta?”
Menjawab pertanyaan demikian, Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib pun berucap, “Terhadap pemilik harta
ada yang menyebutnya pelit. Sedangkan pemilik ilmu akan dihargai dan disegani.”
Orang ke-5 itu pun segera berpamitan. Dan, tidak lama kemudian,
datang orang ke-6. Orang terakhir itu
kemudian menjumpai Sayyidina ‘Ali bin
Abu Thalib dengan mengajukan pertanyaan yang sama. Jawab ‘Ali, “Wahai
saudaraku. Harta akan senantiasa memerlukan penjagaan dari tindak kejahatan. Sedangkan
ilmu tidak memerlukan penjagaan dari tindak kejahatan. Lagi pula, ilmu akan
menjaga Anda.”
Usai menerima jawaban demikian, orang ke-6 itu pun segera
berpamitan. Dan, tidak lama kemudian, datang orang ke-7. Pertanyaan yang sama kemudian
diajukan orang ke-7 tersebut. Pertanyaan
itu kemudian dijawab Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib, “Wahai saudaraku. Kelak, di
Hari Kiamat, pemilik ilmu akan diberi syafaat oleh Allah Swt. Sedangkan pemilik
harta, kelak di akhirat, akan dihisab Allah Swt.”
Usai menerima jawaban demikian, orang ke-6 itu pun segera
berpamitan dan menemui teman-temannya yang sedang menunggu dirinya. Kemudian
kesepuluh orang itu berkumpul lagi. Tujuh orang yang telah bertanya kepada Sayyidina
‘Ali bin Abu Thalib pun mengutarakan jawaban yang diberikan menantu Rasulullah
Saw. tersebut. Mereka tidak menduga, ternyata jawaban yang diberikan ‘Ali
selalu berbeda. Kini, tinggal tiga orang yang belum melaksanakan tugas mereka.
Dan, ketiga orang itu merasa percaya diri akan mampu mencari celah kelemahan ‘Ali.
Sebab, ketiga orang itu dianggap yang paling pintar.
Segera, orang ke-8 datang menemui menghadap Sayyidina ‘Ali bin Abu
Thalib dan bertanya, “Antara ilmu dan harta, manakah yang lebih utama, wahai
‘Ali?”
“Ilmu, tentu, lebih utama dan lebih penting,” jawab Ali.
“Mengapa demikian?”
“Dalam waktu yang lama,” ucap Ali bin Abu Thalib, “harta akan
habis. Sedangkan ilmu malah sebaliknya. Ilmu akan abadi.”
Orang ke-8 itu pun segera berpamitan. Tidak lama kemudian, datang
orang ke-9. Orang terakhir itu kemudian menjumpai Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib dengan
mengajukan pertanyaan yang sama. “Seseorang yang memiliki banyak harta,” jawab
Ali kepada orang itu, “akan dihormati hanya karena hartanya. Sedangkan orang
yang kaya ilmu dihormati sebagai intelektual.”
Kini, tibalah giliran orang ke-10, orang yang terakhir. Dia pun
bertanya kepada Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib mengenai yang sama. Jawab ‘Ali,
“Harta akan membuat Anda tidak tenang. Dengan kata lain, harta akan membuat
kalbu Anda mengeras. Ilmu sebaliknya. Ilmu akan memendari kalbu Anda, hingga
kalbu Anda akan menjadi berpendar cemerlang dan tenteram karenanya.”
Usai menerima jawaban demikian, orang ke-10 itu pun segera
berpamitan dan menemui teman-temannya yang sedang menunggu dirinya. Kemudian
kesepuluh orang itu berkumpul lagi. Tiga orang terakhir yang telah bertanya
kepada Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib itu pun mengutarakan jawaban yang
diberikan menantu Kanjeng Nabi Muhammad Saw. tersebut. Mereka tidak menduga, ternyata
jawaban yang diberikan ‘Ali selalu berbeda. Kesepuluh orang itu akhirnya percaya,
apa yang dikatakan Kanjeng Nabi Saw. adalah benar adanya bahwa ‘Ali bin Abu
Thalib memang pantas mendapatkan sebutan sebagai “gerbang ilmu”.
Nduk, anak-anakku, demikian kisah indah itu. Singkat, tapi sarat hikmah.
Pesan kisah itu, antara lain: jangan pernah lelah dalam menimba ilmu yang
bermanfaat di dunia maupun di akhirat. Itulah pesan Bapak untuk kalian berdua.
Dan, tengah malam ini, Insya Allah Bapak akan meninggalkan Tanah Air
tercinta menuju Tanah Suci termulia. Selepas itu, Insya Allah Bapak akan
menimba ilmu di sebuah negeri jauh yang pernah dipendari oleh ilmu pengetahuan: tempat kelahiran sederet
ulama dan ilmuwan raksasa yang ilmu mereka bermanfaat bagi umat manusia. Antara
lain Ibn Rusyd, Ibn Hazm, dan Ibn ‘Arabi. Doakan, kiranya perjalanan
Bapak ini menjadi perjalanan yang sarat kebaikan, ketakwaan, dan amal-amal yang
diridhai Allah Swt., âmîn yâ Rabb al-‘âlamîn.”