MENGABDI UNTUK NEGERI TERCINTA
“Kiranya Allah Swt. melancarkan operasi yang akan kau jalani,
Lel...”
Demikian gumam pelan bibir saya
kemarin sore, di salah satu ruang rawat inap Rumah Sakit Hasan Sadikin,
Bandung, ketika melihat adik bungsu saya dibawa menuju ruang operasi (OK/operation
kamer). Subuh kemarin, dia terpeleset ketika akan melaksanakan shalat
Shubuh, sehingga tulang paha kirinya patah. Sejak kecil dia terkenal polio, sehingga
kaki kirinya tersebut selalu menjadi
masalah baginya. Dua tahun lalu, dia mengalami kejadian yang mirip: ketika
menuruni koridor di rumah sakit yang menjadi tempat mengabdi, dia terpeleset.
Akibatnya, tulang pahanya patah dan harus dioperasi. Kini, kejadian serupa
berulang.
Baru sekitar tengah malam, selepas menjalani operasi, dia dibawa ke
ruang rehabilitasi. Entah kenapa, melihat dia jauh di ruang tersebut dalam
keadaan belum sadar, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” dan tak terasa air mata
saya menetes pelan, teringat perjalanan hidup adik bungsu saya ini:
Ketika berusia sekitar satu tahun, ketika dia masih berada di bawah
asuhan orang tua kami di Blora, Jawa Tengah, dia terkena polio. Akibatnya, kedua
kakinya tidak dapat digerakkan. Dengan penuh sabar, Ibu kami merawat dia.
Ketika menempuh pendidikan di taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah
menengah, ketika berangkat ke dan pulang dari sekolah, dia selalu diantar dan
dijemput dengan naik becak. Alhamdulillah, kondisi kaki kirinya mulai membaik.
Meski demikian, kerap dia tiba-tiba terjatuh, karena kaki kirinya tidak kuat
menyangga tubuhnya.
Usai merampungkan sekolah
menengah atas, dia diterima di Fakultas Kedokteran, UNPAD, Bandung. Selama
menempuh pendidikan di fakultas tersebut, kakinya masih tetap kerap
“menggodanya”: dia tiba-tiba terjatuh dengan sendirinya. Meski demikian, dia
tetap tak pernah patah arang. Akhirnya, brevet dokter dia raih.
“Mbak-mbak dan mas-mas,” ucapnya suatu hari seusai dia menjadi
dokter kepada kami: kakak-kakaknya, “izinkan saya mengabdi untuk negeri ini,
dengan meninggalkan Bandung tercinta. Saya ditempatkan di sebuah puskesmas di
tengah hutan, di Gumawang, Baturaja, Sumatera Selatan. Izinkan saya mengikuti
jejak langkah Mbak Ummie: mengabdi untuk negeri tercinta ini.”
“Sudah kau pertimbangkan matang penempatan itu? Apakah kondisi kedua
kakimu memungkinkan kau melaksanakan tugas di tempat yang berat itu?”
“Sudah. Dengan doa mbak-mbak dan mas-mas semua, insya Allah tugas
itu dapat saya laksanakan dengan baik.”
Karena tekadnya demikian kuat, meski dengan kondisi kedua kakinya
yang kurang sehat, dia pun berangkat melaksanakan tugas ke sebuah puskesmas
yang lokasinya berat. Selama tiga tahun, tugas itu dia laksanakan dengan
sepenuh hati meski memiliki dua kaki yang kurang sehat dan tetap kerap terjatuh
dengan sendirinya. Karena itu, dia akhirnya menjadi seorang dokter teladan
seperti kakak iparnya. Karena itu, dia kemudian mendapatkan kesempatan mengikuti
program pendidikan dokter spesialis di Departemen Neurologi, Fak. Kedokteran
UNPAD/RSHS.
Meski dengan dua kaki yang kurang sehat, program pendidikan dokter
spesialis tersebut dia rampungkan tepat waktu. Kemudian, seusai meraih brevet
dokter spesialis saraf, dia pun berpamitan kepada kami (kakak-kakaknya),
“Mbak-mbak dan mas-mas, izinkan saya kembali bertugas. Insya Allah saya dapat
menjaga diri kok.”
“Ke mana?” tanya kami.
“Ke Lhokseumawe, Aceh.”
“Lel, kami bukannya tidak mengizinkan kau melaksanakan tugas. Tapi,
kondisi kedua kakimu itulah yang membuat kami khawatir...”
“Insya Allah problem itu dapat saya atasi kok,” jawabnya. Dia tetap
“keukeuh” dengan pilihannya.
Akhirnya, dia pun berangkat ke tempat tugas yang kala itu masih dalam
kondisi kurang aman. Semangatnya yang begitu membara untuk mengabdi untuk
negeri tercinta mengalahkan kekurangan fisik yang dia punya. Dia pun berangkat
ke tempat tugas dengan penuh semangat. Dan, pulang dari tugas di Aceh, dia pun
diangkat sebagai staf pengajar di almamaternya. Dan, meski memiliki fisik yang
kurang sehat, dia tetap seperti sebelumnya: mengabdi dengan sepenuh hati untuk
mendampingi “adik-adiknya” untuk menjadi para dokter spesialis. Selain
mendampingi “adik-adiknya”, dia juga tak pernah lelah belajar dan menimba ilmu.
Sehingga, selain pernah menimba ilmu di Utrecht, Belanda, dia kemudian juga
meraih brevet sebagai dokter spesialis di bidang akupunktur.
“Kiranya Allah Swt. segera memulihkan kesehatanmu, Lel. Dan, semoga
kau tetap diberikan kesempatan oleh-Nya untuk mengabdi untuk negeri tercinta ini, amin.”
Dirgahayu Republik Indonesia Tercinta!