Friday, January 22, 2010
Sinan Pasa, Sang Maestro
“Pak Rofi’, kita ke mana sekarang?” tanya Mas Budi Zaenal Muttaqin, seorang mahasiswa S-2 Jurusan Matematika, Universitas Marmara, Istanbul yang mengantarkan penulis dan istri pada hari ketiga perjalanan kami di Istanbul tahun lalu, 2009 M, selepas kami mengunjungi Masjid Sulaimaniyyah.
“Mas, kami ingin mengenal lebih jauh Istanbul. Tapi, kami ingin berjalan kaki. Bukan naik bus atau trem. Apalagi naik taksi.”
“Baik, Pak. Kalau begitu dari sini kita jalan kaki ke arah Eminonu, lewat labirin lorong-lorong di kota ini. Dari sana, kita menuju TCDD Sirkeci Gari…” jawab Mas Budi, sangat santun.
“Apa itu Sirkeci Gari?” sergah saya yang belum lagi mengenal banyak kata-kata Turki.
“Stasiun kereta api Sirkeci, Pak. Biasanya, di situ pada malam-malam tertentu digelar “Sufi Music Concert and Whirling Dervishes Ceremony” oleh kelompok sufi Istanbul. Kita bisa beli tiket dulu, jika Pak Rofi’ dan Ibu Ummie kepengin melihat konser itu.”
“Ya, saya pengin sekali melihat konser itu!” sahut istri penulis penuh semangat.
Maka, kami pun dengan langkah pelan meninggalkan Masjid Sulaimaniyyah. Tak jauh dari pintu masjid, Mas Budi kemudian memandu kami ke sebuah pintu bertuliskan “Sultan Suleyman Turbesi” yang ternyata berarti “Makam Sultan Sulaiman”. Oh, ternyata, di dalam komplek itulah Sultan Sulaiman Al-Qanuni, penguasa yang memerintahkan pendirian Masjid Sulaimaniyyah, dimakamkan. Di situ, saya melihat nisan-nisan yang menurut saya bentuknya aneh. Sebagian di antara nisan-nisan itu mengingatkan penulis pada nisan-nisan di Aceh. Beberapa lama kami menundukkan kepala, membacakan doa untuk sang sultan dan orang-orang yang dikebumikan di makam itu. Selepas itu, kami meninggalkan komplek itu, menuju ke arah Eminonu, dengan mengitari komplek Masjid Sulaimaniyyah. Seraya melangkah pelan, Mas Budi banyak menuturkan kisah Istanbul dan kisah dirinya sejak menimba ilmu di kota itu.
“Mas Budi, itu bangunan apa?” tanya penulis kepada Mas Budi Zaenal Muttaqin, ketika penulis melihat sebuah bangunan berbentuk persegi delapan dan di puncaknya terdapat kubah di sudut lorong ke arah Eminonu.
“Itu komplek makam Sinan, Pak,” jawab Mas Budi.
“Sinan…? Subhanallah, saya tidak pernah berpikir sama sekali kalau Sinan Pasa dimakamkan di sini. Mas, kita berhenti sebentar, ya. Saya ingin berdoa untuk seorang tokoh yang “pernah memberikan semangat” kepada saya agar suka “ngluyur” dan “klayaban” ke pelbagai penjuru dunia.”
Selepas berdoa di depan makam Sinan Pasa, entah kenapa, tiba-tiba kisah perjalanan hidup arsitek piawai itu menyeruak kuat dalam benak saya. Mengapa demikian? Ini karena perjalanan hidup dan karya arsitek yang satu ini sangat luar biasa. Tak aneh, tentang karya-karya arsitekturnya, bila seorang guru besar sejarah arsitektur Universitas Wina, Austria menyatakan bahwa “secara teknis karya-karya arsitektur Sinan jauh lebih cemerlang ketimbang karya-karya arsitektur Michelangelo”.
Bagaimanakah perjalanan hidup maestro yang satu ini?
Kayseri, Anatolia, itulah tempat kelahiran Sinan. Ketika lahir pada 1489 M, Sinan masih berada di lingkungan keluarga Nasrani. Kala itu, Dinasti Usmaniyyah Turki sedang berada di bawah pemerintahan Bayazid II, seorang sultan yang terkenal piawai di medan pertempuran. Ketika Salim II, putra Bayazid II, naik ke pentas kekuasaan dan hendak melancarkan serangan terhadap Persia, Sinan bergabung dengan pasukan Yeniceri, pasukan Turki yang direkrut dari kalangan warga non-Muslim. Selepas melintasi proses pencarian dan pemahaman yang cukup lama, baru ketika berusia 23 tahun Sinan menyatakan keislamannya. Tak lama selepas memeluk Islam, Sinan kemudian memasuki Akademi Militer Turki. Di akademi itu, ia mendapat bimbingan keras dari para pakar militer Turki yang juga terkenal sebagai para arsitek. Nah, di bawah bimbingan merekalah ia mulai berkenalan dengan dunia arsitektur.
Segera selepas merampungkan pendidikannya di Akademi Militer Turki, Sinan ikut dalam serentetan ekspedisi militer yang digelar Turki ke pelbagai kawasan dunia kala itu. Pada 1514 M, misalnya, ia ikut dalam penaklukan Tabriz, ibukota Dinasti Shafawiyyah yang menguasai Persia. Keikutsertaannya dalam ekspedisi itu membuatnya berkenalan dan akrab dengan karya-karya arsitektur Persia. Gerakan pasukan Turki selanjutnya ke Aleppo dan Damaskus memberikan kesempatan bagi Sinan muda yang haus ilmu dan pengalaman untuk mengenali karya-karya arsitektur Islam yang bercuatan di kedua kota itu. Kemudian, ketika pasukan Turki memasuki Kairo, Sinan berkesempatan mempelajari dan mencermati dengan mendalam karya-karya arsitektur Islam yang bertaburan di “Kota Seribu Menara” itu dan dibangun pada masa sebelum Mesir jatuh ke tangan Dinasti Usmaniyyah.
Ketika Sultan Salim I berpulang dan digantikan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni, Sinan kembali ke negerinya. Namun, segera ia dikirim ke Eropa. Penaklukan Rhodes memberinya kesempatan luas untuk mengamati dan mempelajari karya-karya arsitektur Yunani yang banyak menghiasi kota itu. Budapest adalah kota Eropa selanjutnya yang banyak menarik perhatian calon arsitek besar itu. Di kota terakhir itu, ia acap mengunjungi gereja-gereja yang bertebaran di sana, untuk mempelajari gaya arsitektur gereja-geraja itu.
Baghdad menjadi kota berikutnya yang menarik perhatian Sinan. Kedatangannya ke kota yang kaya dengan khazanah arsitektur Islam itu terjadi pada 1534 M, ketika ia bergabung dalam pasukan Sultan Sulaiman Al-Qanuni yang menundukkan “mantan” pusat pemerintahan Dinasti Shafawiyyah. Dari Baghdad, ia kemudian mengikuti ekspedisi militer angkatan laut Turki di bawah pimpinan Khairuddin Barbarossa, seorang laksamana Turki ternama kala itu. Ekspedisi itu dimaksudkan untuk “memberikan pelajaran” atas kawasan sepanjang pantai Italia, tempat persembunyian Andre Doria, seorang laksamana Italia yang acap memimpin penyerangan terhadap Turki kala itu.
Rentetan perjalanan yang diikuti Sinan ke berbagai negara memberinya kesempatan menimba ilmu dan pengalaman yang luas. Namun, bakatnya sebagai arsitek belum tersalurkan. Baru pada 1534 M, ketika pasukan Turki hendak melancarkan kembali serangan terhadap Persia, bakat Sinan mulai memperoleh perhatian. Kala itu, panglima angkatan bersenjata Turki, Lutfi Pasa, memerintahkan Sinan untuk membikian kapal-kapal perang yang bisa bergerak cepat dan tangguh. Sebab, berbeda dengan ekpedisi-ekspedisi militer sebelumnya, Turki kali ini hendak melakukan “serangan kilat” lewat Danau Van. Tugas itu dilaksanakan dengan baik oleh Sinan.
Tidak lama selepas Sinan tiba kembali di Istanbul dari Iran, tokoh arsitek Turki kala itu, Ajm Ali, berpulang. Sinanlah yang diangkat sebagai penggantinya. Dengan demikian, ia menjadi orang pertama yang bertanggungjawab atas perancangan dan pembangunan Istanbul. Termasuk di antaranya jalan, saluran air, benteng, dan pemugaran gedung-gedung lama. Selain itu, ia juga diberi tanggung jawab mengawasi seluruh perancangan dan pembangunan kepentingan umum di seluruh kawasan yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Usmaniyyah kala itu. Bukan hanya itu. Sinan juga diangkat sebagai pemimpin kelompok arsitek istana. Kelompok itu, antara lain, adalah Daud Aga (perancang Masjid Agung Istanbul), Mehmet Aga (perancang Masjid Sultan Ahmet yang dikenal sebagai Masjid Biru, di Istanbul), dan Kurrah Shaban Aga (perancang benteng di seputar Turki kala itu).
Lewat tangan Sinan, lahirlah kemudian deretan panjang karya-karya arsitekturnya: 84 masjid, 57 universitas, 35 istana, 52 tempat ibadah, 7 sekolah, 22 mausoleum, 6 lengkung air, 8 jembatan, 3 rumah sakit, 17 dapur, 20 rest area, 41 kamar mandi, dan 8 gudang. Lahirnya deretan panjang karya-karya itu tidak lepas dari usianya yang panjang: 98 tahun. Karena perjalanan hidupnya yang panjang itu, tak mengherankan bila ia merasakan pemerintahan lima sultan: Bayazid II, Salim I, Sulaiman Al-Qanuni, Salim II, dan Murad III. Tak mengherankan pula, bila ketika ia berpulang pada 1559 M, doa dan kesedihan panjang pun mengiringi perjalanan arsitek raksasa ini menuju alam abadi. Dan ketika ia berpulang, seorang sahabatnya, Mustafa Celebi, mengiringinya dengan catatan sebagai berikut:
Usai sudah perjalanan hidup guru kita ini
Arsitek raksasa di masa ini
Oh sobat-sobatku, tua dan muda
Bacakanlah Surah Al-Fatihah baginya.
(Tulisan ini dipersembahan untuk Mas Budi Zainal Muttaqin yang pada Ahad, 24 Januari 2010 ini akan melangsungkan pernikahannya di Jakarta)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment