Thursday, April 15, 2010
Nasihat untuk Seorang Penguasa
Entah kenapa, ketika menyimak pelbagai kejadian dan peristiwa yang terjadi di pentas politik Indonesia akhir-akhir ini, hati terasa kian gundah dan gelisah. Dan, selepas melaksanakan shalat subuh tadi pagi, saya menemukan sebuah kisah yang menarik. Sebuah kisah yang berisikan nasihat seorang ulama kepada seorang penguasa terkemuka: Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Sang penguasa terkenal sebagai pembangun awal dinasti tersebut. Berikut kisah itu:
“Kirim segera utusan kepada Abu ‘Amr! Sampaikan kepadanya, aku mengundangnya ke Baghdad Dar Al-Salam!” demikian perintah Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa kedua Dinasti ‘Abbasiyyah, suatu hari kepada seorang pejabat, seusai membangun Kota Baghdad Dar Al-Salam.
Segera seorang utusan pun dikirim untuk menjemput Abu ‘Amr yang sedang berada di tempat tinggalnya, sebuah desa di tepi pantai Beirut, Lebanon (saat itu masih termasuk wilayah Syam). Abu ‘Amr yang dimaksud sang penguasa itu tak lain adalah Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr bin Yuhmid Al-Auza‘i yang lebih terkenal dengan panggilan Al-Auza‘i. Ulama yang nenek moyangnya berasal dari Auza‘ah, sebuah pedusunan di Yaman (menurut sebuah sumber lain sebuah desa di Damaskus, Suriah) ini lahir dalam keadaan yatim di Baalbek, Lebanon pada 88 H/707 M. Selepas dewasa, ia pindah ke Beirut untuk menimba dan memperdalam ilmu. Di kota itu pulalah tokoh yang menjadi saksi tumbangnya Dinasti Umawiyyah dan tegaknya Dinasti ‘Abbasiyyah ini berpulang pada 157 H/774 M, dan dikebumikan di sebuah tempat yang kini dikenal dengan sebutan Mahallah Al-Auza‘i.
Al-Auza‘i tiba Baghdad Dar Al-Salam agak terlambat. Tentu, karena perjalanan yang ia tempuh, antara Beirut dan Baghdad, cukup jauh. Kemudian, ketika ia tiba di istana, Abu Ja‘far Al-Manshur pun segera mempersilakan sang ulama duduk. Dan, selepas berbagi sapa sejenak dengan sang tamu, Al-Manshur bertanya kepadanya, “Wahai Abu ‘Amr! Mengapa engkau datang terlambat?
“Tentu engkau tahu, berapa lama perjalanan antara bumi kelahiranku dan kota Baghdad ini. Apa sejatinya yang engkau inginkan dariku, wahai Amir Al-Mukminin?”
“Aku ingin menimba ilmu dan hikmah kepadamu!”
“Bila demikian halnya, acaplah merenung, wahai Amir Al-Mukminin! Agar sesuatu yang kukemukakan tak mudah engkau lupakan.”
“Wahai Abu ‘Amr! Bagaimana sesuatu yang kutanyakan kepadamu akan kulalaikan? Bukankah karena hal itu pulalah kuhadapkan diriku kepadamu dan engkau kudatangkan ke sini.”
“Wahai Amir Al-Mukminin! Aku khawatir, manakala engkau mendengar nasihat itu, engkau tak hendak melaksanakannya.”
Mendengar ucapan Al-Auza‘i yang demikian, seorang menteri utama (wazîr) yang hadir saat itu, Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus, tiba-tiba menghunus pedangnya dan mendekati ulama fikih dan hadis yang tak mengenal rasa gentar itu. Melihat ulah sang menteri utama, Abu Ja‘far Al-Manshur pun membentak sang menteri, “Hai Al-Rabi‘! Ini adalah tempat mencari pahala. Bukan tempat menjatuhkan siksa!”
Selepas mengutip beberapa hadis, Al-Auza‘i kemudian berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Barang siapa membenci kebenaran, sejatinya ia juga membenci Allah Swt. Allah adalah Mahabenar lagi cukup dalam memberikan penjelasan. Orang-orang sejatinya berusaha meredam gejolak umat terhadap dirimu, ketika engkau menangani urusan mereka, karena kekerabatan dirimu dengan Rasulullah Saw. Padahal, beliau amat santun dan kasih terhadap umat beliau. Beliau menolong mereka dengan diri beliau sendiri dan tangan beliau sendiri. Beliau terpuji dalam pandangan Allah Swt. dan manusia. Karena itu, semestinyalah engkau juga menegakkan kebenaran terhadap umat. Juga, semestinya engkau bersikap adil terhadap mereka, menutup aurat mereka, tak mengunci pintumu terhadap mereka, tak mendirikan tembok terhadap mereka, dan bergembira dengan kenikmatan yang mereka terima serta berduka cita dengan nasib buruk yang menimpa mereka.
Wahai Amir Al-Mukminin! Sejatinya engkau terlalu sibuk dengan hal-hal yang berkaitan dengan dirimu sendiri dan melalaikan kepentingan rakyat. Padahal, kini, engkau sendirilah yang bertanggung jawab atas diri mereka. Baik yang berkulit putih maupun merah, Muslim maupun non-Muslim. Mereka semua memiliki bagian dari keadilan atas dirimu. Karena itu, bagaimanakah menurutmu, andai mereka saling mendukung untuk mengadukan kepada Allah Swt. perihal petaka yang engkau timpakan atas diri mereka atau kezaliman engkau yang lakukan atas diri mereka?”
Usai berucap demikian, Al-Auza‘i kemudian mengutip beberapa hadis. Selepas itu, ia berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Aku pernah menerima kabar bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab suatu ketika berucap, ‘Tiada yang kuasa menegakkan urusan rakyat selain orang yang kuat akalnya dan kukuh jalinan pikirannya. Ia tak melihat kepada mereka sesuatu yang menjadi ikatan pikiran dan tak pula melihat pada mereka sesuatu yang menjadi auratnya. Ia tak takut terhadap kebebasan yang mereka miliki dan tak memedulikan cacian orang yang mencercanya dalam menegakkan agama Allah Swt.’
‘Umar juga pernah berucap, ‘Ada empat penguasa. Pertama, penguasa kuat yang kuasa mengendalikan dirinya dan pegawai-pegawainya. Penguasa jenis ini adalah orang yang berjuang di jalan Allah Swt. Tangan (kekuasaan) Allah Swt. terlimpahkan atas dirinya dengan rahmat-Nya. Kedua, penguasa lemah yang kuasa mengendalikan dirinya, tapi membiarkan pegawai-pegawainya bertindak seenaknya karena kelemahannya. Penguasa jenis ini berada di tubir jurang kebinasaan, kecuali bila Allah Swt. melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Ketiga, penguasa yang kuasa mengendalikan pegawai-pegawainya dan membiarkan dirinya bertindak seenaknya. Penguasa jenis ini adalah bahaya yang menghancurkan. Ini seperti dikemukakan Nabi Saw., “Penggembala jahat adalah bahaya yang menghancurkan. Ia hina seorang diri.” Keempat, penguasa yang membiarkan dirinya dan pegawai-pegawainya bertindak seenaknya. Akibatnya, binasalah semuanya.’
Wahai Amir Al-Mukminin! Aku pernah menerima kabar pula bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab pernah berucap, ‘Andai ada seekor domba di tepi Sungai Tigris (Irak) mati karena tersesat, aku takut kelak akan ditanya perihalnya.’ Karena itu, bagaimana pula dengan orang yang tak berhasil meraih keadilan darimu, sedangkan ia menghadap di atas hamparan permadanimu?
Wahai Amir Al-Mukminin! Aku juga pernah menerima kabar bahwa suatu ketika ‘Umar bin Al-Khaththab berdoa, ‘Ya Allah Tuhanku! Manakala Engkau tahu ketika ada dua orang yang berselisih di hadapanku dan aku memihak kepada orang yang menyimpang dari kebenaran, dekat maupun jauh, ingatkanlah aku. Saat itu juga!’
Wahai Amir Al-Mukminin! Sejatinya, hal yang paling berat adalah usaha menegakkan kebenaran karena Allah Swt. semata. Dan, sesuatu yang paling mulia di sisi Allah adalah takwa. Karena itu, barang siapa menginginkan kemuliaan dengan mematuhi Allah Swt., tentu derajatnya akan ditinggikan dan dimuliakan oleh-Nya. Sedangkan barang siapa menginginkan kemuliaan dengan melakukan perbuatan maksiat kepada-Nya, tentu ia akan dihinakan dan direndahkan oleh-Nya. Inilah nasihatku kepadamu.”
Begitu usai berucap demikian, Imam warga Syam itu kemudian berdiri. Melihat hal itu, Abu Ja‘far Al-Manshur bertanya, “Engkau hendak ke mana, wahai Abu ‘Amr?”
“Menemui putraku dan mendatangi bumi kelahiranku, dengan izin Amir Al-Mukminin, insya Allah.”
“Kuizinkan engkau pergi, wahai Abu ‘Amr. Kuucapkan terima kasih atas nasihatmu dan kuterima nasihatmu itu. Kiranya Allah menganugerahkan pertolongan-Nya dalam usaha menuju kebaikan dan memberikan pertolongan di atas kebaikan. Kepada-Nya aku memohon pertolongan dan kepada-Nya pula aku berserah diri. Cukuplah Dia sebagai penolongku. Dan, wahai Abu ‘Amr, jangan engkau biarkan aku tanpa perhatianmu kepadaku seperti saat ini. Sungguh, nasihatmu kuterima dan aku tak akan merasa ragu terhadap dirimu ketika engkau memberikan nasihat.”
“Akan kulakukan, insya Allah.”
Abu Ja‘far Al-Manshur lantas memerintahkan kepada seorang pejabat yang mendampinginya agar Al-Auza‘i diberi hadiah untuk biaya balik ke bumi kelahirannya. Tapi, penulis sejumlah karya tulis itu, antara lain Kitâb Al-Masâ’il dan Al-Sunan, menolak menerima hadiah itu dan berucap, “Aku tak memerlukan hadiah. Aku tak menjual nasihatku dengan harta duniawi.”
Usai berucap demikian, Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr bin Yuhmid Al-Auza‘i pun berlalu.
Tuesday, April 6, 2010
Perjalanan dan Perubahan Pikiran
Marseille, Perancis, Dzulhijjah 1241 H/Juli 1826 M. Pada suatu hari di bulan itu, sebuah kapal perang Perancis mendarat di Pelabuhan Marseille. Di antara para penumpang kapal perang itu terdapat 41 mahasiswa tugas belajar dari suatu negeri di Timur Tengah. Mereka adalah para mahasiswa angkatan pertama yang dikirim untuk belajar di negeri itu. Ketika mereka mendarat dan beristirahat di tempat penampungan, mereka segera bertaburan dan bertebaran ke pelbagai penjuru terbesar kedua di Perancis itu. Dengan penuh kekaguman, mereka melongok pelbagai sudut kota itu. Segera, mata mereka pun berubah menjadi kamera yang memotret negeri asing dan bangsa lain yang baru mereka lihat. Tapi, dari ke-41 mahasiswa itu, hanya ada seorang saja yang menyimpan gambar-gambar itu dan merekamnya dalam bentuk tulisan.
Selepas puas menikmati pemandangan Kota Marseille, mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Paris. Ketika mereka sampai di kota yang terkenal cantik itu, ternyata tetap hanya seorang yang mencatat kisah dan kesan dalam perjalanan itu. Ia mencatat kisah dan kesannya dengan cepat, spontan, dan penuh tanggung jawab. Sebuah catatan anak muda tentang segala sesuatu yang asing baginya dan tidak ia dapatkan di negerinya. Kesan pertamanya memang mirip kesan seorang turis yang baru pertama kali mengunjungi suatu negeri. Namun, segera, catatan-catatannya berubah ketika ia merekam hal-hal yang penting. Misalnya, tentang sistem politik dan kesehatan di “Kota Cahaya” itu, dan berbagai pengalaman menarik yang ia rasakan sangat berbeda dengan yang terjadi di negerinya. Dalam bulan-bulan pertama, catatannya masih merupakan renungan, perasaan tanda tanya yang sarat gejolak, perasaan kagum, dan kisah perlawatannya ke berbagai tempat yang menarik di kota itu.
Sejatinya, keberangkatan anak muda itu, ke negeri yang lumayan jauh dari negerinya, untuk menjadi imam bagi ke-40 mahasiswa yang juga teman-temannya. Meski sebagai imam, usianya masih muda: sekitar 25 tahun. Tidak aneh bila pikirannya kala itu masih mudah menerima ide-ide baru. Apalagi ia begitu haus ilmu pengetahuan. Dan, kini, ia berhadapan dengan suatu kebudayaan yang lain dengan kebudaaan negerinya. Kebudayaan suatu bangsa yang 28 tahun sebelumnya datang sebagai penjajah negerinya. Kejutan budaya yang dihadapi imam muda di negeri asing itu merupakan salah satu faktor yang membentuk kepribadiannya, sepanjang usianya. Kepribadian yang senantiasa memberontak terhadap kenyataan di negerinya.
Sejak saat pertama ia naik ke kapal perang yang membawanya ke Perancis itu, ia telah berniat tidak hanya akan menjadi imam saja. Memang, di antara rombongan itu ada dua imam yang lain. Tapi, hanya dirinya yang bercita-cita untuk tak sekadar menjadi imam. Untuk itu, begitu tiba di Paris, ia menggaji seorang guru Perancis yang mengajarinya bahasa negeri itu. Karena itu, selama tiga tahun ia harus menyisihkan sebagian dari gajinya sebagai imam untuk menggaji sang guru.
Kesempatan emas selama di Paris ia gunakan dengan sebaik-baiknya untuk membaca dan menelaah buku-buku yang sangat menarik perhatiannya. Antara lain buku-buku sejarah, teknik, geografi, dan politik. Ia juga meluangkan waktunya untuk membaca karya-karya Montesquieu, Voltaire, dan Rousseau. Tampaknya, ia dengan sengaja membaca bidang-bidang yang begitu beragam dan tidak mencurahkan perhatiannya pada bidang tertentu.
Selepas sekitar lima tahun berada di Perancis, pada akhir Jumada Al-Tsaniyyah 1247 H/1831 M ia kembali ke negerinya. Kesan dan catatannya tentang Perancis kemudian ia bukukan dan terbitkan dengan judul Takhlîsh Al-Abrîs fî Talkhîsh Bâris. Karyanya tentang Paris itu bukan hanya merupakan kisah perjalanannya semata. Tapi, dalam karyanya itu ia juga memaparkan seluk beluk kehidupan dan kemajuan negeri yang ia kunjungi itu. Selain itu, ia juga mengulas sistem pemerintahan Perancis, Revolusi 1789, kesehatan, dan pelbagai ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah di Paris, konstitusi Perancis, dan adat kebiasaan bangsa Perancis. Karya anak muda itu begitu penting. Sehingga, penguasa negerinya pun memerintahkan agar karyanya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
Siapakah anak muda itu?
Tak salah, memang, anak muda itu adalah Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi, seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang terkenal sebagai salah seorang tokoh pembaharuan di negerinya itu. Lahir di Thahtha, Mesir selatan, pada Kamis, 7 Jumada Al-Tsaniyyah 1216 H/15 Oktober 1801 M, dengan nama lengkap Rifa‘ah bin Badawi bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali bin Rafi‘ Al-Thahthawi, pendidikannya di masa kecil dapat ia lintasi dengan baik atas topangan keluarga ibundanya. Ini karena harta milik orang tuanya diambil alih penguasa Mesir saat itu, Muhammad ‘Ali Pasya. Kemudian, ketika berusia 16 tahun, tokoh yang anak keturunan Al-Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib ini menapakkan kakinya ke Kairo untuk menimba ilmu di Al-Azhar. Pendidikannya di universitas Islam tertua di dunia ini, antara lain, di bawah bimbingan Syaikh Al-Hasan Al-‘Aththar, Syaikh Al-Fudhali, Syaikh Al-Hasan Al-Kuwaisini, Syaikh Al-Damanhuri, dan Syaikh Al-Bajuri, ia rampungkan pada 1238 H/1822 M.
Selama dua tahun berikutnya, Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi mengajar di almamaternya. Lantas, pada 1240 H/1824 M, ia diangkat sebagai imam tentara. Dua tahun kemudian, atas rekomendasi gurunya yang Syaikh Al-Azhar kala itu, Al-Hasan Al-‘Aththar, tepatnya pada Dzulhijjah 1241 H/Juli 1826 M, ia diangkat menjadi imam para mahasiswa Mesir yang dikirim ke Paris seperti telah dituturkan di muka.
Sekembalinya ke Mesir, Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi diangkat sebagai guru bahasa Perancis dan penerjemah berbagai karya ilmiah ke dalam bahasa Arab. Perjalanan hidupnya selanjutnya mengantarkannya menjadi Kepala Sekolah Bahasa-bahasa Asing di Kairo, Kepala Sekolah Dasar di Sudan, dan Kepala Sekolah Militer. Selain itu, ia juga diberi kepercayaan menjadi pemimpin redaksi surat kabar Al-Waqâ’i‘ Al-Mishriyyah. Tokoh yang berpulang pada 1299 H/1873 M ini meninggalkan sejumlah karya tulis. Antara lain adalah Manâhij Al-Albâb Al-Mishriyyah fî Mabâhij Al-Adâb Al-Mishriyyah, Al-Mursyîd Al-Amîn fî Tarbiyyah Al-Banât wa Al-Banîn, Nihâyah Al-Îjâz, Al-Tuhfah Al-Maktabiyyah li Taqrîb Al-Lughah Al-‘Arabiyyah, dan Anwâr Taufîq Al-Jalîl.
Memang, sejarah mengajarkan, perubahan pikiran kerap timbul dari kisah perjalanan yang ditempuh seseorang. Demikian halnya, kisah pertukaran budaya pun kerap terjadi dari perjalanan yang dilakukan seseorang. Hal yang demikian itu dialami pula oleh banyak pemikir Muslim lainnya, tidak hanya dialami Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi saja. Al-Syafi‘i, pendiri Mazhab Syafi‘i, misalnya, pemikirannya berubah selepas ia mengunjungi Mesir. Malah, perjalanannya ke Negeri Piramid itu membuat ia merevisi sebagian pandangan lamanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)