Tuesday, April 6, 2010
Perjalanan dan Perubahan Pikiran
Marseille, Perancis, Dzulhijjah 1241 H/Juli 1826 M. Pada suatu hari di bulan itu, sebuah kapal perang Perancis mendarat di Pelabuhan Marseille. Di antara para penumpang kapal perang itu terdapat 41 mahasiswa tugas belajar dari suatu negeri di Timur Tengah. Mereka adalah para mahasiswa angkatan pertama yang dikirim untuk belajar di negeri itu. Ketika mereka mendarat dan beristirahat di tempat penampungan, mereka segera bertaburan dan bertebaran ke pelbagai penjuru terbesar kedua di Perancis itu. Dengan penuh kekaguman, mereka melongok pelbagai sudut kota itu. Segera, mata mereka pun berubah menjadi kamera yang memotret negeri asing dan bangsa lain yang baru mereka lihat. Tapi, dari ke-41 mahasiswa itu, hanya ada seorang saja yang menyimpan gambar-gambar itu dan merekamnya dalam bentuk tulisan.
Selepas puas menikmati pemandangan Kota Marseille, mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Paris. Ketika mereka sampai di kota yang terkenal cantik itu, ternyata tetap hanya seorang yang mencatat kisah dan kesan dalam perjalanan itu. Ia mencatat kisah dan kesannya dengan cepat, spontan, dan penuh tanggung jawab. Sebuah catatan anak muda tentang segala sesuatu yang asing baginya dan tidak ia dapatkan di negerinya. Kesan pertamanya memang mirip kesan seorang turis yang baru pertama kali mengunjungi suatu negeri. Namun, segera, catatan-catatannya berubah ketika ia merekam hal-hal yang penting. Misalnya, tentang sistem politik dan kesehatan di “Kota Cahaya” itu, dan berbagai pengalaman menarik yang ia rasakan sangat berbeda dengan yang terjadi di negerinya. Dalam bulan-bulan pertama, catatannya masih merupakan renungan, perasaan tanda tanya yang sarat gejolak, perasaan kagum, dan kisah perlawatannya ke berbagai tempat yang menarik di kota itu.
Sejatinya, keberangkatan anak muda itu, ke negeri yang lumayan jauh dari negerinya, untuk menjadi imam bagi ke-40 mahasiswa yang juga teman-temannya. Meski sebagai imam, usianya masih muda: sekitar 25 tahun. Tidak aneh bila pikirannya kala itu masih mudah menerima ide-ide baru. Apalagi ia begitu haus ilmu pengetahuan. Dan, kini, ia berhadapan dengan suatu kebudayaan yang lain dengan kebudaaan negerinya. Kebudayaan suatu bangsa yang 28 tahun sebelumnya datang sebagai penjajah negerinya. Kejutan budaya yang dihadapi imam muda di negeri asing itu merupakan salah satu faktor yang membentuk kepribadiannya, sepanjang usianya. Kepribadian yang senantiasa memberontak terhadap kenyataan di negerinya.
Sejak saat pertama ia naik ke kapal perang yang membawanya ke Perancis itu, ia telah berniat tidak hanya akan menjadi imam saja. Memang, di antara rombongan itu ada dua imam yang lain. Tapi, hanya dirinya yang bercita-cita untuk tak sekadar menjadi imam. Untuk itu, begitu tiba di Paris, ia menggaji seorang guru Perancis yang mengajarinya bahasa negeri itu. Karena itu, selama tiga tahun ia harus menyisihkan sebagian dari gajinya sebagai imam untuk menggaji sang guru.
Kesempatan emas selama di Paris ia gunakan dengan sebaik-baiknya untuk membaca dan menelaah buku-buku yang sangat menarik perhatiannya. Antara lain buku-buku sejarah, teknik, geografi, dan politik. Ia juga meluangkan waktunya untuk membaca karya-karya Montesquieu, Voltaire, dan Rousseau. Tampaknya, ia dengan sengaja membaca bidang-bidang yang begitu beragam dan tidak mencurahkan perhatiannya pada bidang tertentu.
Selepas sekitar lima tahun berada di Perancis, pada akhir Jumada Al-Tsaniyyah 1247 H/1831 M ia kembali ke negerinya. Kesan dan catatannya tentang Perancis kemudian ia bukukan dan terbitkan dengan judul Takhlîsh Al-Abrîs fî Talkhîsh Bâris. Karyanya tentang Paris itu bukan hanya merupakan kisah perjalanannya semata. Tapi, dalam karyanya itu ia juga memaparkan seluk beluk kehidupan dan kemajuan negeri yang ia kunjungi itu. Selain itu, ia juga mengulas sistem pemerintahan Perancis, Revolusi 1789, kesehatan, dan pelbagai ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah di Paris, konstitusi Perancis, dan adat kebiasaan bangsa Perancis. Karya anak muda itu begitu penting. Sehingga, penguasa negerinya pun memerintahkan agar karyanya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
Siapakah anak muda itu?
Tak salah, memang, anak muda itu adalah Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi, seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang terkenal sebagai salah seorang tokoh pembaharuan di negerinya itu. Lahir di Thahtha, Mesir selatan, pada Kamis, 7 Jumada Al-Tsaniyyah 1216 H/15 Oktober 1801 M, dengan nama lengkap Rifa‘ah bin Badawi bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali bin Rafi‘ Al-Thahthawi, pendidikannya di masa kecil dapat ia lintasi dengan baik atas topangan keluarga ibundanya. Ini karena harta milik orang tuanya diambil alih penguasa Mesir saat itu, Muhammad ‘Ali Pasya. Kemudian, ketika berusia 16 tahun, tokoh yang anak keturunan Al-Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib ini menapakkan kakinya ke Kairo untuk menimba ilmu di Al-Azhar. Pendidikannya di universitas Islam tertua di dunia ini, antara lain, di bawah bimbingan Syaikh Al-Hasan Al-‘Aththar, Syaikh Al-Fudhali, Syaikh Al-Hasan Al-Kuwaisini, Syaikh Al-Damanhuri, dan Syaikh Al-Bajuri, ia rampungkan pada 1238 H/1822 M.
Selama dua tahun berikutnya, Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi mengajar di almamaternya. Lantas, pada 1240 H/1824 M, ia diangkat sebagai imam tentara. Dua tahun kemudian, atas rekomendasi gurunya yang Syaikh Al-Azhar kala itu, Al-Hasan Al-‘Aththar, tepatnya pada Dzulhijjah 1241 H/Juli 1826 M, ia diangkat menjadi imam para mahasiswa Mesir yang dikirim ke Paris seperti telah dituturkan di muka.
Sekembalinya ke Mesir, Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi diangkat sebagai guru bahasa Perancis dan penerjemah berbagai karya ilmiah ke dalam bahasa Arab. Perjalanan hidupnya selanjutnya mengantarkannya menjadi Kepala Sekolah Bahasa-bahasa Asing di Kairo, Kepala Sekolah Dasar di Sudan, dan Kepala Sekolah Militer. Selain itu, ia juga diberi kepercayaan menjadi pemimpin redaksi surat kabar Al-Waqâ’i‘ Al-Mishriyyah. Tokoh yang berpulang pada 1299 H/1873 M ini meninggalkan sejumlah karya tulis. Antara lain adalah Manâhij Al-Albâb Al-Mishriyyah fî Mabâhij Al-Adâb Al-Mishriyyah, Al-Mursyîd Al-Amîn fî Tarbiyyah Al-Banât wa Al-Banîn, Nihâyah Al-Îjâz, Al-Tuhfah Al-Maktabiyyah li Taqrîb Al-Lughah Al-‘Arabiyyah, dan Anwâr Taufîq Al-Jalîl.
Memang, sejarah mengajarkan, perubahan pikiran kerap timbul dari kisah perjalanan yang ditempuh seseorang. Demikian halnya, kisah pertukaran budaya pun kerap terjadi dari perjalanan yang dilakukan seseorang. Hal yang demikian itu dialami pula oleh banyak pemikir Muslim lainnya, tidak hanya dialami Rifa‘ah Rafi‘ Al-Thahthawi saja. Al-Syafi‘i, pendiri Mazhab Syafi‘i, misalnya, pemikirannya berubah selepas ia mengunjungi Mesir. Malah, perjalanannya ke Negeri Piramid itu membuat ia merevisi sebagian pandangan lamanya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment