Sebuah Jam Tangan: Kisah Sebuah Cinta yang Hilang
Sejak kecil, hingga setelah menikah, entah kenapa saya tidak
pernah mengenakan jam tangan. Baru ketika istri saya naik haji, pada 1989,
sebagai oleh-oleh dari Tanah Suci, dia membelikan saya sebuah jam tangan merk
Citizen. Sebuah jam tangan tipis, ringan, dan enak dikenakan. Merk jam tangan
yang dibeli istri sama dengan dua jam tangan yang dibeli paman saya dan
istrinya yang tinggal di Denpasar, Bali untuk kedua putranya. Betapa gembira
saya menerima hadiah istimewa dari Tanah Suci tersebut, meski harganya tidak
mahal. Harga jam tangan itu hanya 90 riyal Arab Saudi.
Ternyata, selama sekitar 24 tahun kemudian, jam tangan itu
senantiasa menyertai saya ke mana pun saya pergi, meski saya kemudian mendapat
hadiah sebuah jam tangan lain dari istri saya. Ke mana pun saya pergi, tetap
jam tangan “tempo doeloe” itu yang menyertai saya. Rasanya, jam tangan yang
selalu tepat waktu itu telah menyatu dengan diri saya. Selama itu pula, jam
tangan itu tidak pernah pernah “mogok”. Selama itu pula, saya tidak pernah
berkeinginan mengganti jam tangan itu, meski saya melihat banyak di antara para
sahabat saya yang suka mengenakan jam tangan yang “wah”.
Lantas, minggu lalu, ketika berada di Makkah, dan ketika saya
bertemu dengan saudara sepupu saya di sebuah hotel di depan Masjidil Haram, dan
selepas berbincang beberapa lama, tiba-tiba saudara sepupu saya tersebut menyapa
saya, “Mas Rofi’! Awet sekali jam tangan yang Mas Rofi’ kenakan. Bukankah jam
tangan ini seangkatan dengan dua jam tangan yang dihadiahkan Bapak dan Ibu
kenapa naik haji kepada saya dan kakak laki-laki saya. Jam saya dan jam tangan kakak saya sudah lama
rusak lo.” “Ya,” jawab saya dengan perasaan bangga, “memang jam tangan saya ini
seangkatan dengan dua jam tangan tersebut.”
Namun, mungkin karena perasaan bangga tersebut, kemudian apa
yang terjadi. Ketika selepas dari Istanbul dan tiba di Dubai International
Airport dua hari yang lalu, dan kemudian ketika melintasi pemeriksaan barang
menjelang memasuki ruang transit, saya pun melepas jam tangan itu di sebuah
kotak untuk discan bersama tas punggung yang saya bawa. Karena tergesa-gesa,
begitu melintasi detektor, saya lupa mengambil jam tangan itu. Begitu ingat,
dan saya kembali ke tempat pemeriksaan tersebut, ternyata jam tangan saya tidak
ada. Raib entah ke mana. Tentu saja,
saya merasa sedih dengan perginya “sahabat akrab saya” selama 24 tahun itu. Kehilangan
jam tangan itu bagaikan kehilangan seorang saudara yang berpulang. Sedih sekali
rasanya.
Tampaknya, seorang sahabat dalam perjalanan itu mengamati
perubahan wajah saya. Dia pun bertanya, “Kenapa Pak Rofi’ tiba-tiba tampak
sedih?” “Saya kehilangan jam tangan yang dihadiahkan istri saya 24 tahun yang
lalu,” jawab saya. Ringkas.
Entah kenapa, dengan diam-diam sahabat saya itu kemudian
menceritakan kejadian itu kepada sejumlah sahabat lain dalam perjalanan itu. Tanpa
meminta pendapat saya, mereka kemudian membelikan sesuatu serta kemudian
menyerahkannya kepada saya sebagai hadiah ketika saya berpisah dengan mereka di
Soekarno-Hatta International Airport. Ketika bingkisan itu saya buka di rumah,
di Bandung, ternyata bingkisan itu sebuah jam tangan baru “branded” dan
berharga mahal. Tentu saja, melihat jam baru itu, dalam hati saya ucapkan
terima kasih. Meski demikian, saya merasa, cinta saya terhadap jam baru itu
tidak akan pernah sebesar cinta saya terhadap jam tangan lama saya yang tidak
mahal harganya.
Hikmah: Di dunia ini tiada yang abadi dan Allah Swt. dengan
mudah dapat menggantikan sesuatu yang kita cintai dan senangi dengan yang lain.