Thursday, February 28, 2013


Sebuah Jam Tangan: Kisah Sebuah Cinta yang Hilang

Sejak kecil, hingga setelah menikah, entah kenapa saya tidak pernah mengenakan jam tangan. Baru ketika istri saya naik haji, pada 1989, sebagai oleh-oleh dari Tanah Suci, dia membelikan saya sebuah jam tangan merk Citizen. Sebuah jam tangan tipis, ringan, dan enak dikenakan. Merk jam tangan yang dibeli istri sama dengan dua jam tangan yang dibeli paman saya dan istrinya yang tinggal di Denpasar, Bali untuk kedua putranya. Betapa gembira saya menerima hadiah istimewa dari Tanah Suci tersebut, meski harganya tidak mahal. Harga jam tangan itu hanya 90 riyal Arab Saudi.

Ternyata, selama sekitar 24 tahun kemudian, jam tangan itu senantiasa menyertai saya ke mana pun saya pergi, meski saya kemudian mendapat hadiah sebuah jam tangan lain dari istri saya. Ke mana pun saya pergi, tetap jam tangan “tempo doeloe” itu yang menyertai saya. Rasanya, jam tangan yang selalu tepat waktu itu telah menyatu dengan diri saya. Selama itu pula, jam tangan itu tidak pernah pernah “mogok”. Selama itu pula, saya tidak pernah berkeinginan mengganti jam tangan itu, meski saya melihat banyak di antara para sahabat saya yang suka mengenakan jam tangan yang “wah”.

Lantas, minggu lalu, ketika berada di Makkah, dan ketika saya bertemu dengan saudara sepupu saya di sebuah hotel di depan Masjidil Haram, dan selepas berbincang beberapa lama, tiba-tiba saudara sepupu saya tersebut menyapa saya, “Mas Rofi’! Awet sekali jam tangan yang Mas Rofi’ kenakan. Bukankah jam tangan ini seangkatan dengan dua jam tangan yang dihadiahkan Bapak dan Ibu kenapa naik haji kepada saya dan kakak laki-laki saya.  Jam saya dan jam tangan kakak saya sudah lama rusak lo.” “Ya,” jawab saya dengan perasaan bangga, “memang jam tangan saya ini seangkatan dengan dua jam tangan tersebut.”

Namun, mungkin karena perasaan bangga tersebut, kemudian apa yang terjadi. Ketika selepas dari Istanbul dan tiba di Dubai International Airport dua hari yang lalu, dan kemudian ketika melintasi pemeriksaan barang menjelang memasuki ruang transit, saya pun melepas jam tangan itu di sebuah kotak untuk discan bersama tas punggung yang saya bawa. Karena tergesa-gesa, begitu melintasi detektor, saya lupa mengambil jam tangan itu. Begitu ingat, dan saya kembali ke tempat pemeriksaan tersebut, ternyata jam tangan saya tidak ada. Raib entah ke mana.  Tentu saja, saya merasa sedih dengan perginya “sahabat akrab saya” selama 24 tahun itu. Kehilangan jam tangan itu bagaikan kehilangan seorang saudara yang berpulang. Sedih sekali rasanya.

Tampaknya, seorang sahabat dalam perjalanan itu mengamati perubahan wajah saya. Dia pun bertanya, “Kenapa Pak Rofi’ tiba-tiba tampak sedih?” “Saya kehilangan jam tangan yang dihadiahkan istri saya 24 tahun yang lalu,” jawab saya. Ringkas.

Entah kenapa, dengan diam-diam sahabat saya itu kemudian menceritakan kejadian itu kepada sejumlah sahabat lain dalam perjalanan itu. Tanpa meminta pendapat saya, mereka kemudian membelikan sesuatu serta kemudian menyerahkannya kepada saya sebagai hadiah ketika saya berpisah dengan mereka di Soekarno-Hatta International Airport. Ketika bingkisan itu saya buka di rumah, di Bandung, ternyata bingkisan itu sebuah jam tangan baru “branded” dan berharga mahal. Tentu saja, melihat jam baru itu, dalam hati saya ucapkan terima kasih. Meski demikian, saya merasa, cinta saya terhadap jam baru itu tidak akan pernah sebesar cinta saya terhadap jam tangan lama saya yang tidak mahal harganya.

Hikmah: Di dunia ini tiada yang abadi dan Allah Swt. dengan mudah dapat menggantikan sesuatu yang kita cintai dan senangi dengan yang lain.



Tuesday, February 12, 2013


TELADAN

Merupakan kebiasaan saya nyaris setiap hari (kecuali ketika dalam keadaan letih), manakala sedang berada di rumah, dini hari sekitar pukul tiga pagi saya telah terjaga dari tidur. Setelah bangun, saya senantiasa membiasakan diri shalat malam (mohon maaf, tidak bermaksud pamer alias riya’), membuka jendela-jendela dan pintu-pintu rumah, dan kemudian menulis, menulis, dan menulis hingga menjelang waktu shalat Shubuh tiba. Alhamdulillah, dengan kebiasaan yang demikian, hidup terasa bermanfaat, nyaman, dan sehat.

Entah kenapa, dini hari tadi, ketika sedang menikmati suasana di luar rumah dari balkon di rumah, tiba-tiba dalam benak saya muncul pertanyaan, “Dari manakah kebiasaan yang baik dan indah ini?”

Ternyata, kebiasaan yang demikian itu dengan tidak sadar saya teladani dari tiga kiai. Yang pertama, dari KH. Ahmad Zein Dahlan (ayah saya, seorang kiai di Kota Blora, Jawa Tengah). Ayah saya ini memiliki kebiasaan: setiap hari, sekitar pukul tiga pagi telah terjaga dari tidur. Setelah terjaga, ayah lalu mandi (demikian setiap hari), kemudian melaksanakan shalat malam, dan kemudian membuka semua jendela dan pintu rumah. Selepas itu, ayah menuju masjid untuk melaksanakan shalat  Shubuh sebagai Imam shalat. Seusai melaksanakan shalat Shubuh, ayah lantas mengajar para santri. Yang kedua, KH. Abu Ammar, seorang kiai di Kota Kudus, Jawa Tengah. Ketika sedang menimba ilmu di pesantren beliau, nyaris setiap hari saya melihat beliau sekitar pukul tiga pagi telah terjaga dari tidur. Setelah melaksanakan shalat malam, beliau lantas menulis, menulis, dan menulis hingga waktu shalat Shubuh tiba. Seperti halnya ayah, seusai melaksanakan shalat Shubuh, beliau juga lantas mengajar para santri. Yang ketiga, KH. Ali Maksum, seorang kiai di Pondok Pesantren Krapyak, Jogjakarta. Seperti halnya ayah dan KH. Abu Ammar, nyaris setiap hari beliau telah terjaga dari tidur pada pukul tiga pagi. Setelah mandi dan melaksanakan shalat malam, beliau lantas mengelilingi seluruh penjuru pondok pesantren untuk mengajak para santri melaksanakan shalat  Shubuh berjamaah. Seusai melaksanakan shalat Shubuh, seperti halnya ayah dan KH. Abu Ammar, beliau lantas mengajar para santri hingga pukul enam pagi.

Yang menarik, tiada satu pun di antara ketiga kiai itu yang suka menggembar-gemborkan kebiasaan mereka yang baik dan indah itu. Tetapi, mereka tidak jemu-jemunya memberikan teladan dan contoh dengan tindakan dan perbuatan yang nyata. Nyaris setiap hari. Hasilnya luar biasa: kebiasaan itu pun “menular” tanpa dipaksakan kepada para santri.

Menyadari hal itu, selepas shalat Shubuh hari ini, saya pun berdoa, kiranya Allah Swt. memberikan balasan kepada tiga kiai tersebut, atas jasa mereka dalam memberikan teladan yang baik dan indah tersebut.

Hikmah: penanaman nilai-nilai yang luhur lebih efektif dengan teladan yang nyata. Bukan dengan ucapan.