Golden Ages
“Mas, Antum sama istri Antum itu aneh!”
Demikian ucap seorang sahabat, ketika dia tahu, ternyata
santri-santri dan murid-murid Pesantren
Mini kami “hanya” anak-anak dari pra-taman kanak-kanak sampai sekolah dasar.
Bukan seperti kebanyakan pesantren-pesantren lainnya yang santri-santrinya
mulai dari anak-anak sekolah menengah pertama sampai mahasiswa.
“Apanya yang aneh,” tanya saya.
“Kalau punya santri-santri dan murid-murid seusia mereka,
Antum tidak bakal punya pengaruh terhadap masyarakat. Apalagi pengaruh
politik,” jawab sahabat saya. “Beda sekali dengan pesantren-pesantren lain yang
memiliki para santri yang usia mereka lebih tinggi. Lihat itu calon-calon
anggota dewan perwakilan, malah juga calon-calon presiden, mereka sama “sowan”
ke pesantren-pesantren untuk mendapatkan dukungan. Kalau pesantren Antum, siapa
yang akan mendatanginya?”
Mendengar jawaban yang demikian, saya hanya tersenyum
saja. Lantas, beberapa saat kemudian, saya pun berucap, “Gak mereka datangi
ya gak apa-apa. Gitu saja kok repot, kata Gus Dur. Saya dan istri memang
bukan politisi,” jawab saya santai. “Dan, inilah model pesantren yang saya dan
istri saya pilih dengan pertimbangan yang matang. Untuk mendapatkan “formula”
pesantren mini yang demikian ini, sejatinya saya dan istri melalui proses yang
tidak sebentar. Saya dan istri sengaja memilih pendidikan untuk anak-anak,
karena pendidikan di masa “golden ages” (dari sejak anak dalam kandungan hingga
usia sekitar tujuh tahun) sangat penting. Masa itu merupakan landasan masa
depan anak-anak. Dan, untuk menyiapkan pendidikan model ini, kami telah
keliling ke mana-mana: ke Banten, melihat Rumah Dunianya Golagong dan Madrasah
Aliyah Negeri Insan Cendekia, di Jakarta ke Pesantren Darunnajah, ke Jawa Barat
ke beberapa sekolah menengah umum dan pesantren. Kami pun juga pergi ke Jawa
Tengah, melihat pola pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Qaryah Thayyibah di
Salatiga, Sekolah Menengah Umum Taruna Nusantara di Magelang, dan beberapa
pesantren. Termasuk Pesantren Raudlotut Tholibin yang kini dipimpin Gus Mus dan Pondok Pesantren Mangkuyudan di Solo.
Kami juga pergi ke Jogjakarta dan Jawa Timur. Antara lain ke Pondok Pesantren
Krapyak Jogjakarta, Pondok Modern Gontor,
Pondok Pesantren Syaikhona Khalil di Bangkalan, dan Pondok Modern Al-Amin
Prenduan Sumenep. Selain itu, kami juga mengunjungi beberapa sekolah alam. Dari
perjalanan panjang itu, kami akhirnya mengambil “positioning”: kami memilih
pendidikan untuk anak-anak.”
Rasanya “plong” usai berucap demikian. Dan, mendengar
“paparan” saya yang demikian, sahabat saya pun berkomentar, “Jika demikian,
kapan Antum akan “nangkring” di atas kursi empuk di Gedung DPR?”
“Jalur itu bukan pilihan saya.”
“Sayang sekali. Antum ini kan pernah lama belajar di luar
negeri. Sedangkan istri Antum seorang dokter spesialis. Semestinya, Antum dan
istri Antum mendirikan perguruan tinggi. Itu baru pas.”
“Seperti telah saya katakan tadi: itu adalah pilihan
kami. Kami pun merasa pilihan itu tidak salah dan merasa bahagia dapat ikut
mencerdaskan umat. Doakan saja, kiranya amal kami diterima Allah Swt. dan
menjadi amal yang bermanfaat, dunia dan akhirat, amin ya Rabb Al-‘Alamin.”
“Amin ya Mujib Al-Sa’ilin.”
No comments:
Post a Comment