Thursday, May 15, 2014


Golden Ages
Mas, Antum sama istri Antum itu aneh!”

Demikian ucap seorang sahabat, ketika dia tahu, ternyata santri-santri dan murid-murid  Pesantren Mini kami “hanya” anak-anak dari pra-taman kanak-kanak sampai sekolah dasar. Bukan seperti kebanyakan pesantren-pesantren lainnya yang santri-santrinya mulai dari anak-anak sekolah menengah pertama sampai mahasiswa.
“Apanya yang aneh,” tanya saya.
“Kalau punya santri-santri dan murid-murid seusia mereka, Antum tidak bakal punya pengaruh terhadap masyarakat. Apalagi pengaruh politik,” jawab sahabat saya. “Beda sekali dengan pesantren-pesantren lain yang memiliki para santri yang usia mereka lebih tinggi. Lihat itu calon-calon anggota dewan perwakilan, malah juga calon-calon presiden, mereka sama “sowan” ke pesantren-pesantren untuk mendapatkan dukungan. Kalau pesantren Antum, siapa yang akan mendatanginya?”

Mendengar jawaban yang demikian, saya hanya tersenyum saja. Lantas, beberapa saat kemudian, saya pun berucap, “Gak mereka datangi ya gak apa-apa. Gitu saja kok repot, kata Gus Dur. Saya dan istri memang bukan politisi,” jawab saya santai. “Dan, inilah model pesantren yang saya dan istri saya pilih dengan pertimbangan yang matang. Untuk mendapatkan “formula” pesantren mini yang demikian ini, sejatinya saya dan istri melalui proses yang tidak sebentar. Saya dan istri sengaja memilih pendidikan untuk anak-anak, karena pendidikan di masa “golden ages” (dari sejak anak dalam kandungan hingga usia sekitar tujuh tahun) sangat penting. Masa itu merupakan landasan masa depan anak-anak. Dan, untuk menyiapkan pendidikan model ini, kami telah keliling ke mana-mana: ke Banten, melihat Rumah Dunianya Golagong dan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia, di Jakarta ke Pesantren Darunnajah, ke Jawa Barat ke beberapa sekolah menengah umum dan pesantren. Kami pun juga pergi ke Jawa Tengah, melihat pola pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Qaryah Thayyibah di Salatiga, Sekolah Menengah Umum Taruna Nusantara di Magelang, dan beberapa pesantren. Termasuk Pesantren Raudlotut Tholibin yang kini dipimpin Gus Mus dan Pondok Pesantren Mangkuyudan di Solo. Kami juga pergi ke Jogjakarta dan Jawa Timur. Antara lain ke Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta, Pondok Modern Gontor, Pondok Pesantren Syaikhona Khalil di Bangkalan, dan Pondok Modern Al-Amin Prenduan Sumenep. Selain itu, kami juga mengunjungi beberapa sekolah alam. Dari perjalanan panjang itu, kami akhirnya mengambil “positioning”: kami memilih pendidikan untuk anak-anak.”

Rasanya “plong” usai berucap demikian. Dan, mendengar “paparan” saya yang demikian, sahabat saya pun berkomentar, “Jika demikian, kapan Antum akan “nangkring” di atas kursi empuk di Gedung DPR?” 
“Jalur itu bukan pilihan saya.”
“Sayang sekali. Antum ini kan pernah lama belajar di luar negeri. Sedangkan istri Antum seorang dokter spesialis. Semestinya, Antum dan istri Antum mendirikan perguruan tinggi. Itu baru pas.”
“Seperti telah saya katakan tadi: itu adalah pilihan kami. Kami pun merasa pilihan itu tidak salah dan merasa bahagia dapat ikut mencerdaskan umat. Doakan saja, kiranya amal kami diterima Allah Swt. dan menjadi amal yang bermanfaat, dunia dan akhirat, amin ya Rabb Al-‘Alamin.”
“Amin ya Mujib Al-Sa’ilin.”


No comments: