AKHIRNYA, HARI PENSIUN PUN TIBA:
Catatan untuk Seorang Istri
Semarang, 18 Oktober 1983.
Itulah hari, bulan, dan tahun yang paling membahagiakan
dirinya. Selepas berjuang selama enam
tahun, akhirnya brevet sebagai dokter dia raih dari sebuah universitas negeri
di Semarang, Jawa Tengah., Universitas Diponegoro. Tentu saja, dengan
keberhasilannya meraih brevet itu, dia pertama-tama merasa sangat berterima
kasih kepada Allah Swt. dan kedua orang tuanya. Meski ayahandanya seorang pensiunan
perwira Angkatan Darat, namun sejak dia
diterima di fakultas kedokteran, ayahanda dan ibundanya tidak pernah
tanggung-tanggung dalam membiayainya, meski kondisi keuangan mereka kala itu
sangat terbatas.
Karena itu, sejak masih sebagai mahasiswa, dia telah
bercita-cita bahwa setelah meraih brevet dokter, dia akan berbakti dengan
sepenuh hati di bidang medis dan kesehatan untuk masyarakat. Pertama-tama untuk
mengikuti jejak ayahandanya yang pernah ikut berjuang untuk Indonesia dalam
meraih kemerdekaan. Yang kedua, dia juga merasa berutang kepada negaranya. Ini
karena dia menyadari, betapa besar subsidi yang diberikan negaranya kepada
dirinya, ketika dia menimba ilmu di fakultas kedokteran.
Selepas menunggu selama sekitar sepuluh bulan sebagai dokter
tidak tetap di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia menempatkan dirinya untuk melaksanakan Wajib Kerja Sarjana
Satu di wilayah Jawa Barat. Dengan senang hati, dia pun meninggalkan Jakarta,
menuju ke tempat penempatannya sebagai dokter. Di Jawa Barat, dia ditempatkan di Kabupaten
Bandung. Tepatnya di Desa Pakutandang, Kecamatan Ciparay. Selama enam tahun,
sesuai dengan janjinya, dia bina dan kembangkan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
yang dia pimpin dengan sepenuh hati sejak “titik nol”. Tidak aneh, jika ketika
dia tinggalkan, Puskesmas itu menempati strata satu, alias Puskesmas Teladan.
Usai bertugas di Desa Pakutandang, dan bertugas sebagai
anggota Tim Kesehatan Haji Indonesia pada Musim Haji 1989, perjalanan hidup
mengantarkan dirinya memasuki Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam, Universitas Padjadjaran pada 1990. Selama enam tahun (pendidikan dokter
spesialis penyakit dalam waktu itu masih selama enam tahun), dengan penuh suka
dan duka, dia berjuang untuk menjadi seorang dokter spesialis. Akhirnya, pada
1996, brevet dokter spesialis penyakit dalam pun dia raih. Setelah ditugaskan
beberapa bulan di Rumah Sakit Angkatan Darat Dustira di Cimahi, dia kemudian berangkat
ke Nusa Tenggara Barat untuk
melaksanakan Wajib Kerja Sarjana Dua di Praya, Lombok Tengah, dengan
meninggalkan dua putrinya di Bandung. Selama satu tahun penuh, dia siapkan
infrastruktur Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Lombok Tengah.
Sehingga, ketika dia meninggalkan Praya, dokter spesialis dalam pengganti dapat
bertugas dan bekerja dengan nyaman dan krasan.
Kembali ke Bandung pada awal 2008, posisi sebagai pegawai
negeri sipil pun dia tinggalkan. Kini, dia memasuki sebuah rumah sakit swasta
yang mengharapkan kehadirannya, sebagai salah satu persyaratan izin
beroperasinya rumah sakit tersebut. Seperti sebelumnya, selama menjadi karyawan
di rumah sakit tersebut, dia bekerja dengan sepenuh hati. Jika banyak di antara
para sejawatnya merangkap di beberapa rumah sakit, dia sepenuhnya hanya
berkarya di rumah sakit tersebut. Berbagai posisi dia pegang, antara lain
sebagai Ketua SMF Penyakit Dalam (nyaris selama bekerja di rumah sakit
tersebut), Ketua Komite Infeksi, Wakil Ketua Komite Medik, Ketua Komite Kendali
Mutu dan Etik, Ketua Tim Pemeriksa Kesehatan Para Calon Bupati Kabupaten
Bandung, dan Wakil Direktur (dua kali). Selain itu, dia bangun pula sebuah
pusat penanganan para penderita diabetes mellitus.
Di luar kegiatannya tersebut, dia seakan tidak pernah merasa
capai untuk membina masyarakat. Entah berapa kali dia adakan kegiatan simposium
medis dan parenting, baik bagi para profesional maupun masyarakat, yang
bermanfaat untuk mereka. Kemampuan managerialnya memang patut diacungi jempol.
Selain itu, dia sempatkan pula mendirikan pesantren mini, dengan pelbagai
kegiatan yang tidak pernah berhenti semenjak pesantren mini itu dibuka hingga
kini.
Kemarin, 17 Juni 2014, dia dipanggil direksi tempat dia
bekerja selama 16 tahun. Secara resmi dia diberitahu bahwa mulai hari ini, 18
Juni 2014, dia mulai memasuki masa pensiun. Ya, baru kemarin, sehari sebelum
dia berulang tahun ke 56 tahun, dia baru diberitahu secara resmi bahwa mulai
hari ini dia pensiun. Dan, hari ini, 18 Juni 2014, saat dia berulang tahun ke-56,
dia merasa sebuah beban berat seakan terlepas dari dirinya: sebuah amanah
sebagai dokter yang harus melayani masyarakat
dengan sebaik-baiknya. Selama 31 tahun, sebagai dokter, dia memang tidak pernah lupa dengan janjinya bahwa “dia
akan senantiasa melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dari yang jembel
hingga yang jenderal”.
Untuk itu, doa pun kami (saya dan anak-anak) panjatkan
kepada Allah Swt., “Allâhumma ij’alhâ min ahl al-‘ilm wa ahl al-khair, walâ
taj’alhâ min ahl al-syarr wa ahl al-dhair. Ya Allah, Tuhan kami. Jadikanlah
dia termasuk orang-orang yang Engkau karuniai ilmu pengetahuan dan suka berbuat
kebaikan. Dan, jangan jadikan dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan
dan kesesatan. Amin.”
Selamat ulang tahun istriku. Selamat meniti masa pensiun. Kiranya
sisa hidupmu senantiasa mendapatkan limpahan ridha dan berkah dari Sang Pemilik
Kehidupan. Amin ya Rabb Al-‘Alamin.
No comments:
Post a Comment