BERSAMA SEORANG MATEMATIKAWAN DARI ESSEX, INGGRIS
“Teteh, bisa disambungkan dengan kamar yang
diinapi Mas Hadi Susanto?”
Demikian ucap saya kepada resepsionis Hotel Sawunggaling,
Bandung, kemarin sore, 16 Agustus 2015. Segera, petugas hotel itu menghubungi
kamar yang saya minta. Tapi, tidak ada jawaban dari kamar tersebut. “Maaf, Pak. Tidak ada jawaban. Mungkin, Pak
Hadi Susanto masih di luar,” ucap petugas hotel yang berada di antara Kantor
Rektorat Institut Teknologi Bandung (ITB) dan kampus Universitas Islam Bandung.
Sore itu, menjelang waktu asar, sesuai dengan janji saya
kepada Mas Hadi Susanto, seorang matematikawan kondang asal Indonesia di
Inggris, saya memang akan menjemputnya
di hotel tersebut, dan kemudian bersama menuju Pesantren Mini kami di
Baleendah, Kabupaten Bandung. Gagal menghubungi
penerima Ganesha Prize tahun 2000 dari ITB tersebut, saya pun menunggu di
pelataran hotel. Kemudian, setelah menanti sekitar sekitar 10 menit, seorang
pria mengenakan baju berwarna merah muda dan berlengan pendek , bertubuh cukup
gemuk, dan berusia sekitar 35 tahun muncul
dan mendekati saya. Meski belum pernah bertemu sama sekali, namun karena kerap
melihat foto-fotonya di facebook, saya pun mengenalinya dan berucap,
“Assalamu’alaikum, Mas Hadi Susanto ya.”
“Wa’alaikumussalam, ya Pak Rofi’”
Segera, selepas berjabat tangan, kami pun terlibat dalam
perbincangan akrab seperti saudara yang lama tak berjumpa, meski kami baru
pertama kali bertemu. “Kados pundi kabaripun, Pak Rofi’,” ucap suami seorang
dokter lulusan Universitas Brawijaya, Malang itu dengan bahasa Jawa halus. Sejenak saya
tertegun, karena saya sebelumnya berpikiran, setelah meninggalkan Indonesia
sejak 2003, ilmuwan yang lahir di Lumajang, Jawa Timur pada 27 Januari 1979 itu sudah tidak bisa berbahasa Jawa lagi.
Ternyata, pikiran saya salah. Kemampuannya berbahasa Jawa ternyata lebih halus dan lancar ketimbang kemampuan saya
dalam berbahasa Jawa. “Alhamdulillah, sehat,” jawab saya singkat, karena saya
masih tidak mengerti, mengapa ilmuwan berpenampilan sederhana yang sangat sibuk
dengan berbagai kegiatan ilmiah ini ingin datang ke Pesantren Mini kami di
Baleendah, Kabupaten Bandung.
Usai melaksanakan shalat Asar, saya pun menyilakan tamu yang meraih gelar
Ph.Dnya dari Universitas Twente, Belanda pada usia 27 tahun itu naik mobil.
Segera, kami pun melintasi pelbagai jalan di seputar Kota Bandung. Sepanjang
perjalanan, menuju Baleendah, kami berdua berbincang tentang banyak hal. Utamanya
tentang perjalanan hidupnya kala muda yang mirip cerita dalam film 3 Idiots.
Juga, tentang pengalamannya mengikuti Muktamar NU di Jombang, Jawa Timur.
Ketika saya tanya, mengapa lebih suka memilih mengajar di
Inggris, bukan Belanda dan hanya mengajar selama dua tahun di Amerika Serikat, matematikawan
yang karyanya berjudul Tuhan Pasti
Seorang Ahli Matematika akan segera terbit itu menjawab, “Selepas meraih
gelar Ph.D, sebenarnya saya juga ditawari mengajar di Universiteit Twente,
Enschede, Belanda. Tapi, saya merasa, jika saya meniti karier di almamater saya
tersebut, saya merasa gerak saya kurang leluasa. Karena itu, saya kemudian meniti
karier di University of Massachussets, Boston, Amerika Serikat. Di negara
adikuasa itu saya hanya bertahan selama dua tahun. Selepas itu saya meniti
karier di University of Nottingham, Inggris. Dan, kini, saya pindah ke Department
of Mathematical Sciences di University of Essex. Menurut saya, suasana kehidupan
sosial di kampus Inggris lebih menyenangkan ketimbang ketimbang kehidupan
sosial di Amerika Serikat. Selain itu, karena saya meraih gelar Ph.D di bidang
matematika di Belanda. Pak Rofi’ perlu ketahui, kurikulum matematika di
perguruan tinggi Belanda lebih dekat dengan kurikulum matematika di perguruan
tinggi Inggris daripada kurikulum matematika di perguruan tinggi Amerika
Serikat.”
Kemudian, ketika melintasi JalanTerusan Buahbatu, saya
pun mengajak Mas Hadi Susanto menengok kampus Telkom University. Termasuk
mengitari Bandung Techno Park yang berada di lingkungan kampus itu. Ketika
melihat penunjuk-penunjuk di lingkungan kampus itu nyaris semuanya dalam bahasa
Inggris, Mas Hadi Susanto hanya berkomentar singkat, “Aneh!” Mendengar
komentarnya yang demikian, saya pun hanya tersenyum saja.
Selepas menengok kampus Telkom University, segera saya
membawa Mas Hadi Susanto menuju Pesantren Mini Nun Learning Center di
Baleendah, Kabupaten Bandung. Begitu sampai di tempat, ternyata dua orang tua
Mas Rudy Kusdiantara, seorang mahasiswa Indonesia di Inggris, sudah berada di
situ. Saya, istri saya, Mas Hadi Susanto, dan dua tamu dari Kampung Mekarsari,
Baleendah segera larut dalam perbincangan tentang Mas Rudy dan dunia pendidikan
di Inggris.
Tak terasa, waktu shalat Maghrib pun tiba. Kedua orang tua Mas Rudy
pun berpamitan. Kami pun segera melaksanakan shalat Maghrib. Usai melaksanakan
shalat Maghrib, tamu dari Essex itu pun saya “todong” untuk memberikan
pencerahan alias ceramah kepada guru-guru di Pesantren Mini kami.
Alhamdulillah, sesepuh NU di Inggris itu dengan senang hati mau berbagi ilmu
dan pengalaman.
“Saya ini pengurus NU di Inggris,” ucapnya mengawali
ceramahnya dengan nada suara pelan. “Saya sebenarnya malu duduk di depan untuk
memberikan ceramah, karena saya mengenakan baju
berlengan pendek. Ayah saya mengajarkan, ketika menghadap kiai sebaiknya
saya mengenakan baju berlengan panjang.” Dan, selepas memaparkan kisah
perjalanan hidupnya sejak dari Lumajang, Bandung, Belanda, Amerika Serikat, dan
Inggris, Mas Hadi Susanto kemudian memberikan kesempatan kepada para guru untuk
bertanya.
“Alhamdulillah, Mas Hadi mau memberikan ceramah. Kapan
beliau akan sempat datang lagi ke sini,” gumam pelan bibir saya melihat Mas
Hadi menjawab sejumlah pertanyaan.
“Tujuan utama pengajaran matematika pada dasarnya adalah untuk
membiasakan kita berpikir secara sistematis dan logis,” jawabnya ketika seorang
guru bertanya tentang tujuan pengajaran matematika. “Weleh, ini sih
menyindir saya yang tidak pernah belajar matematika,” gumam kembali bibir saya
sembari tersenyum. Malu.
Selepas menikmati makan malam, dan sebelum kembali ke
hotel di Kota Bandung, saya dan Mas Hadi Susanto melaksanakan shalat ‘Isya.
Melihat matematikawan yang satu ini tidak berwudhu, bibir saya pun bergumam
sangat pelan, “Hebat ahli matematika yang satu ini: sejak sore tidak berwudhu.
Berarti dia dâim al-wudhu’ (orang yang senantiasa membiasakan dirinya
senantiasa dalam keadaan berwudhu).”
Dari Baleendah, saya sengaja membawa Mas Hadi Susanto
melintasi berbagai jalan di Kota Bandung. Ketika melintasi Jalan Asia-Afrika
dan Alun-Alun Bandung, waktu itu saat sekitar pukul 9 malam, jalan dan
alun-alun padat dengan manusia. Selain karena liburan panjang, juga karena
esoknya Hari Ulang Tahun ke-70 Republik Indonesia. Setiba di hotel, kami
berpisah. Dan sambil menyetir mobil, bibir saya pun berdoa pelan kepada Allah
Swt., “Ya Allah, mudahkan langkah-langkah Mas Hadi dalam membangun peradaban
yang luhur serta jadikanlah ilmu dan pengalaman yang didapatnya bermanfaat bagi
dirinya, keluarganya, dan masyarakat. Baik di dunia maupun di akhirat kelak,
amin.” Selamat jalan, Mas Hadi. Matur nuwun atas kehadirannya di
Pesantren Mini kami.
No comments:
Post a Comment