MENGAPA TRAGEDI MINA TERULANG?
“Bapak, mengapa sih kerap terjadi tragedi dalam
ibadah haji?”
Demikian tanya putri bungsu saya tadi malam dalam perbincangan
di Jakarta, seusai mendampingi seorang keponakan yang melahirkan seorang putri,
di sebuah rumah sakit, yang didambakan kehadirannya sejak bertahun-tahun. Menerima pertanyaan tentang
tragedi tersebut, tentu saja disertai rasa duka dan sedih yang mendalam atas
terulangnya tragedi di Tanah Suci itu, segera benak saya pun “melayang-layang”.
Dan, tak lama kemudian, benak saya berusaha membongkar kembali ingatan dan pengalaman
naik haji dan menjadi pembimbing haji dan umrah dalam rentang waktu antara
1979-2015. Alhamdulillah (mohon maaf, tidak bermaksud riya’), saya diberikan
kesempatan Allah Swt. berulang naik haji dan umrah. Baik secara pribadi maupun
sebagai pembimbing ibadah haji dan umrah.
Ya, mengapa tragedi dalam ibadah haji kerap terulang?
Ketika seseorang mendapatkan “undangan agung” dari Sang
Pencipta untuk naik haji, baik lewat Ongkos Naik Haji (ONH) reguler maupun
plus, juga lewat jalur lain, orang itu diharapkan segera mempersiapkan diri,
baik secara fisik maupun psikis. Biasanya, pihak KBIH maupun travel ONH plus
sudah membekali mereka dengan kedua “kopor” fisik dan psikis tersebut. Cukupkah
dua “kopor” itu? Tidak cukup, karena pelaksanaan ibadah haji lebih berat
ketimbang ibadah umrah. Ibadah haji melibatkan jutaan anak manusia pada saat
yang berbarengan. Karena itu, dalam setiap pembekalan dan pengarahan dalam
manasik haji, saya kerap bertanya dengan berseloroh kepada para calon jamaah
haji, “Ibu dan bapak yang saya muliakan.
Apa sudah menerima dua kopor, kopor bagasi dan kopor kabin?”
“Sudah, Ustadz,” jawab mereka serempak.
“Apakah dua kopor itu sudah cukup, ibu dan bapak yang
saya cintai?”
Mendengar ucapan saya yang demikian, biasanya para calon
jamaah haji diam. Tidak menjawab. Melihat suasana yang demikian, saya pun
berucap, “Ibu dan bapak. Ketika kita berada di Tanah Suci nanti, bekal dua kopor itu tidak cukup. Ibu dan bapak sekalian perlu membawa lima “kopor” besar lain.
Lima “kopor” itu sangat penting sekali untuk dibawa. Ke mana pun selama ibu dan
bapak naik haji.”
“Lima kopor lagi, berat dan repot, Ustadz.”
“Ibu dan bapak sekalian, meski lima “kopor” itu berat,
tapi lima “kopor” itu perlu sekali. Lima “kopor” itu adalah kopor-kopor:
pengetahuan tentang manasik haji serta pemahaman tentang prosedur perjalanan
dan pengenalan lapangan, kesabaran, keikhlasan, kedisiplinan, dan ketawakkalan.”
“Kopor” pertama, pengetahuan tentang manasik haji serta
pemahaman tentang prosedur perjalanan dan pengenalan lapangan, biasanya
diberikan kepada para jamaah haji Indonesia. Namun, tentu saja, sejauh mana
pembekalan itu cukup atau tidak,tentu banyak faktor yang berkait dengannya.
Belum tentu pihak pemberi pembekalan menguasai sepenuhnya masalah tersebut.
Saya, yang dapat dikatakan setiap tahun 4 atau 5 kali ke Tanah Suci, kadang masih
tergagap-gagap dengan perkembangan baru di sana dan harus terus menerus
mempelajarinya dan memahaminya. Dalam kasus terjadinya Tragedi Mina tahun ini,
melihat asal para korban dalam tragedi tersebut, mereka sebagian besar bukan
dari Indonesia. Saya tidak tahu, apakah para jamaah haji tersebut, mendapatkan
pembekalan yang cukup tentang manasik haji serta pemahaman tentang prosedur
perjalanan dan pengenalan lapangan. Perlu dikemukakan, pelaksanaan ibadah haji
tahun ini hingga sekitar tahun 2025 dilaksanakan pada musim panas. Kondisi yang
kurang “bersahabat” bagi para jamaah yang tidak biasa menghadapi suhu antara 40
sampai dengan 50 derajat celcius perlu dikemukakan kepada mereka, supaya mereka
siap dalam menghadapinya.
Kesabaran tentu saja juga penting. Perjalanan naik haji
memerlukan “perjuangan”. Sejak dari rumah, di Tanah Air, ketika di tengah
perjalanan, setiba di Jeddah atau ketika berada Madinah, apalagi ketika sedang melaksanakan
ritual ibadah haji di Makkah dan sekitarnya. Pelaksanaan ibadah yang
dilaksanakan sekian juta anak manusia, dalam masa yang relatif berbarengan,
tentu memerlukan “managemen” kesabaran. Berinteraksi dengan banyak jamaah, dari
berbagai bangsa dan negara, dengan karakter, kultur, dan kebiasaan yang beragam
tentu memerlukan kesabaran. Khususnya pada puncak pelaksanaan ibadah haji,
antara 8 sampai dengan 13 Dzulhijjah. Pelaksanaan ibadah pada masa yang
berlangsung selama beberapa hari itu memerlukan kesabaran yang luar biasa.
Gerakan jutaan manusia pada waktu dan masa yang relatif yang sama, apalagi
ketika tubuh para jamaah dalam keadaan sangat letih dan capek, dapat
menimbulkan peristiwa yang tidak terduga. Termasuk Tragedi Mina kali ini. Kesabaran
yang berlapis-lapis sangat diharapkan dimiliki para jamaah. Meski pemerintah
Kerajaan Arab Saudi dengan Hajj Centernya telah mempersiapkan dengan baik
pelaksanaan ibadah haji setiap tahun, namun hal itu bisa buyar jika tidak
didukung oleh sikap dan perilaku para jamaah yang harus bersabar dalam mematuhi
aturan yang ditetapkan. Melaksanakan ibadah haji tidak hanya
menjadi “Tamu Allah” semata. Tetapi, juga berinteraksi dengan jutaaan anak
manusia. Kesabaran, dalam hal ini, sangat diperlukan.
Keikhlasan, tentu saja, juga perlu. Ibadah yang tidak
disertai keikhlasan tentu mengurangi makna ibadah tersebut. Tanpa kesabaran dan
keikhlasan ketika naik haji dapat membuat seseorang jamaah mengomel dan
menggerutu, misalnya. Akibatnya tentu dapat diduga: ibadahnya menjadi “amburadul”. Yang kerap terjadi, ketika ada
jamaah yang tidak sabar dan ikhlas dalam beribadah, ketidaksabaran dan ketidakikhlasan
itu “menular” kepada jamaah-jamaah yang lain. Misal, dalam tata pelaksanaan
pelemparan jumrah, pemerintah Kerajaan Arab Saudi kini memberlakukan skedul
waktu bagi setiap maktab. Tentu, ketentuan itu untuk kemaslahatan semua jamaah.
Meski demikian, ada saja jamaah yang mengomel, ketika maktabnya mendapat skedul
waktu yang tidak pada waktu yang utama (afdhal). “Mengapa sih kami tidak diberikan
kesempatan melaksanakan pelemparan jumrah pada waktu yang utama?” Jika hal yang demikian itu terjadi pada banyak
orang, tentu hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi.
“Kopor” kedisiplinan juga perlu. Problem dalam proses
pelaksanaan ibadah haji juga kerap terjadi karena ketidakdiplinan sebagian para
jamaah. Dalam proses pemeriksaaan di bagian imigrasi, misalnya, kerap terjadi
kediplinan diabaikan oleh para jamaah dari beberapa negara tertentu. Mereka “main
slonong” saja. Akibatnya tentu dapat diduga. Juga dalam pelaksaan tawaf,
misalnya, apalagi tawaf ifadhah, kita dapat menyaksikan berbagai perilaku
jamaah yang maunya menang sendiri. Dalam hal ini tabrakan dan gesekan antar
jamaah dapat terjadi.
Dan, akhirnya, “kopor” ketawakkalan. Kita semua tentu
tahu, pentingnya ketawakkalan kepada Allah Swt. Apa pun dapat terjadi selama
dalam proses pelaksanaan yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup itu.
Berserah diri, selepas melengkapi diri dengan dua kopor kabin dan bagasi serta
empat “kopor” lainnya, hendaknya dibawa para jamaah haji ke mana mereka
melangkah ketika melaksanakan ibadah yang berat itu.
Tragedi Mina terulang. Untuk para jamaah yang berpulang
karena peristiwa tragis tersebut, marilah kita doakan, “Allahumma ighfir
lahum warhamhum wa’afihi wa’fu ‘anhum waj’al al-jannata matswahum. Allahumma
ij’al hajjahum hajjan mabrurâ wasa’yahum sa'yan masykûrâ wa dzanbahum dzanban maghfûrâ. ”
Semoga Allah menerima ibadah mereka dan menjadikan ibadah haji mereka mabrur. ÂmÎn
ya Rabb Al-‘Âlamîn.