MASJID CORDOBA
Entah kenapa, tadi pagi, ketika sedang
memandangi ribuan huruf yang sedang “bermain-main” di laptop, tiba-tiba benak
terlempar jauh, ke Cordoba, Spanyol, dan teringat perjalanan saya ke kota itu
dua tahun yang lalu.
Lembaran sejarah menorehkan, kota yang berarti “Mempelai Perempuan
Kota-Kota itu”, sebelum jatuh ke tangan kaum Muslim, berada di bawah naungan Toledo yang kala itu menjadi
ibukota Spanyol bersatu. Kemudian, tidak lama selepas pasukan
kaum Muslim memasuki Andalusia pada 93
H/711 M, kota cantik di atas atas
Sungai Guadalquivir, di dataran luas dan subur di kaki Gunung Sierra Morena, itu dijadikan sebagai ibukota penguasa Muslim. Di kota yang cantik itu pulalah, pada
139 H/756 M, ‘Abdurrahman Al-Dakhil, pendiri Dinasti
Umawiyyah di Andalusia,
menyatakan dirinya sebagai
penguasa. Dan, pada masa pemerintahan penguasa itulah Masjid Cordoba yang megah dan tetap
“mewarnai” kota itu hingga kini mulai
dibangun.
Sang penguasa membangun masjid ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Allah Swt. atas kemakmuran yang dicapai kawasan yang ia pimpin. Juga,
sebagai imbangan Masjid Umawi di Damaskus yang megah dan indah. Konon, dia
sendiri yang mempersiapkan
rancangan bangunan masjid ini. Kala itu,
masjid ini memiliki ukuran panjang 65 meter, sama dengan panjang ruang utama
shalat, dan lebar 75 meter, di samping memiliki shahn lapang yang
memiliki luas yang sama dengan luas ruang shalat masjid itu.
Pada 180 H/796 M
Hisyam Al-Ridha, putra ‘Abdurrahman Al-Dakhil, menambah baris ruang
shalat yang berada di sisi shahn. Perhatian yang sangat besar
terhadap masjid ini juga diberikan penguasa ke-4 Dinasti Umawiyyah di Cordoba,
‘Abdurrahman Al-Ausath. Semula, pada 218 H/833 M, ia melakukan perluasan
kecil pada masjid ini. Namun, karena melihat jumlah jamaah yang kian banyak,
seiring dengan perkembangan Kota Cordoba, maka pada 234 H/848 M ia menambah kedalaman ruangan shalat
sebanyak delapan baris ke arah kiblat (yakni ke arah selatan menuju ke Sungai
Guadalquivir) dan memindahkan dinding kiblat ke tempat yang baru. Selain itu, dia
juga melengkapi masjid ini dengan sebuah mihrab baru yang indah. Dengan
penambahan tersebut, ukuran masjid ini pun menjadi 130 x 75 meter, termasuk shahn.
Perluasan tersebut
disempurnakan dengan pembuatan pelbagai dekorasi pada masjid ini oleh Pangeran
Muhammad ibn ‘Abdurrahman Al-Ausath pada 241 H/855 M. Selepas
itu, pada 340 H/951 H, ‘Abdurrahman Al-Nashir mendirikan sebuah menara
baru di ujung paling utara dinding shahn masjid ini. Menara
tersebut dibuat berbentuk benteng raksasa yang memiliki dua balkon untuk
melantunkan azan. Menara tersebut masih sediakala hingga dewasa ini meski telah
diubah menjadi menara untuk tempat lonceng gereja. Selain itu, ‘Abdurrahman
Al-Nashir juga melengkapi masjid ini dengan banyak dekorasi.
Di sisi lain, kala
itu ‘Abdurrahman Al-Nashir berpendapat, masjid ini tidak boleh tidak
harus diperluas untuk ketiga kalinya. Karena itu, ia memerintahkan putranya,
Al-Hakam, yang kala menjadi penguasa bergelar Al-Mustanshir, untuk
menjadi pemimpin proyek perluasan yang baru rampung pada 351 H/961 M. Perluasan
ini, seperti perluasan sebelumnya, menuju ke arah selatan. Untuk itu, dinding
mihrab dipindahkan 35 meter ke arah selatan. Dengan demikian, karena adanya
penambahan baru sebanyak 12 baris, masjid ini menjadi mencapai tepi Sungai
Guadalquivir. Selain itu, dibuat sebuah mihrab baru yang menjadi salah satu
puncak keindahan di bidang arsitektur dan seni ukir dalam sejarah arsitektur
Islam. Sedangkan kedalaman ruang shalat menjadi 75 meter. Dengan kata lain,
apabila shahn ikut dihitung, panjang masjid menjadi 105 meter.
Perluasan keempat
atas Masjid Cordoba ini dilakukan Al-Manshur Muhammad ibn Abu ‘Amir yang
bertindak otoriter pada masa pemerintahan Hisyam Al-Mu‘ayyad. Perluasan
tersebut baru rampung pada 377 H/987 M. Perluasan tersebut dilakukan pada
seluruh panjang masjid di sebelah timur. Dalam perluasan tersebut, Al-Manshur
berusaha sekuasa mungkin supaya selaras dengan bentuk dan semangat secara umum
bagian-bagian lainnya masjid ini. Meski perluasan tersebut tidak seratus persen
orisinal, yang menjadi ciri khas ketiga bagian lainnya masjid ini, namun lewat
perluasan tersebut masjid ini kian luas melebih luas semua masjid yang ada di Dunia
Islam kala itu. Dalam hal ini yang paling menarik ialah masjid ini tetap
sediakala hingga dewasa ini, sebagai saksi pencapaian kaum Muslim di bidang
teknik dan arsitektur.
Masjid ini diubah
menjadi sebuah katedral ketika penguasa Spanyol menguasai kembali Cordoba pada
634 H/1236 M. Pada abad ke-8 H/14 M di sisi barat masjid ini-yang dibangun pada
perluasaan yang dilakukan ‘Abdurrahman Al-Ausath-didirikan sebuah
katedral kecil atas perintah Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Selepas itu,
yakni pada abad ke-10 H/16 M, tepatnya pada 930 H/1523 M, di jantung masjid ini
didirikan sebuah katedral besar yang terkenal dengan nama
“La Mezquita”. Bangunan katedral ini menyita sepersepuluh luas masjid ini.
Sejatinya, pembangunan katedral terakhir tersebut ditentang Kaisar
Carlos V, dengan alasan pembangunan tersebut merusak tampilan indah ruang
shalat masjid yang membanggakan tersebut. Anehnya, hingga dewasa ini ruang
shalat masjid ini masih terpelihara dengan sebagian besar keindahan dan
kemegahannya.
Masjid Cordoba dapat dikatakan merupakan saksi bahwa kaum Muslim sejak
dulu tidak hanya piawai tentang masalah ibadah murni semata. Tapi, mereka juga
andal di bidang-bidang lain. Semoga, kini dan ke depan, demikian pula!
No comments:
Post a Comment