KITA HARUS PUNYA MIMPI
“Innâ lillâhi wa innâ ilaihi
râji‘ûn, lahu Al-Fâtihah.”
Demikian, gumam pelan bibir saya ketika tahu kewafatan seorang ilmuwan Muslim yang pertama kali menerima Hadiah Nobel di bidang kimia, Prof. Dr. Ahmed H. Zewail, lewat berita di Al-Jazeera Online yang saya baca tadi pagi.
Memang, saya terlambat tahu,
tentang kepulangan ilmuwan Muslim asal Mesir tersebut sekitar dua minggu yang
lalu. Tepatnya, pada 2 Agustus 2016. Meski saya tidak banyak tahu banyak tentang
dunia ilmiah yang digeluti ilmuwan yang satu ini, karena saya tidak pernah
mendalami bidang sains dan teknologi, namun saya kerap teringat sambutan yang ia
berikan di Pasadena, California, ketika memberikan sambutan di Caltech pada 10
Juni 2011, dengan judul “We Must Dream”. Dalam sambutan tersebut, ilmuwan
tersebut antara lain mengemukakan,
“When I
came to the United States in 1969, I was not dreaming of a Nobel Prize (or a Pulitzer prize), nor I was
dreaming of acquiring a Bill Gates fortune. Armed with the excellent education
I received in Egypt, I was simply on a quest for knowledge and a Ph.D. degree
from a reputable institution in this land of opportunity. Incidentally,
my English was so poor that at restaurants, I used to order “deserts” for
desserts.
America
was a magnet for many members of my generation because of its leadership in
science and technology and its unique democratic values. The historic landing
of Neil Armstrong on the moon in 1969 was enough to demonstrate America’s
outlook on the new frontiers of knowledge. I was aware of Edison’s dictum, “Genius
is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration”, and I took
advantage of being in the right place at the right time -- of being in America
and at Caltech.
In fact,
it was Caltech’s ambiance and the country’s system of support that made it
possible for a young assistant professor to carry out, with his team, research
that in only ten years time would define a discipline that was recognized by the Nobel Prize in 1999.
People often ask me, how does one get a Nobel
Prize, and what is the secret of success? (And incidentally, the same people
had no interest in asking this question before I received the prize.) I believe
it was passion for science that supplied the energy and it was optimism that
made the almost-impossible, possible.
My dear graduates, success comes to the
prepared mind. Success
is not like rain that falls from the sky equally upon everyone. Success is what
you reap when you sow with passion and optimism.
Siapakah
Prof. Dr. Ahmed H. Zewail?
Tokoh yang satu ini
lahir di Damanhur, Mesir, sebuah kota hanya sekitar 60
kilometer dari Alexandria, pada Selasa, 24 Rabi‘ Al-Awwal 1365 H/26
Februari 1946 M.
Selepas merampungkan pendikan
tinggi di Universitas
Alexandria, Mesir, putra seorang pegawai negeri
ini lantas meniti karier di lingkungan almamaternya. Namun, dorongan untuk mengembangkan diri kemudian memicunya untuk
meninggalkan negerinya,
untuk menimba ilmu di Amerika Serikat.
Di negeri adikuasa tersebut,
ia berhasil meraih
gelar doktor dari Universitas Pennsylvania pada 1393
H/1973 M tentang spektroskopi
pasangan-pasangan molekul.
Selepas
meraih gelar doktor,
Zewail muda tidak
kembali ke negerinya dan melamar ke lima posisi: tiga di Amerika
Serikat, satu di Jerman,
dan satu lagi di
Belanda. Tetapi, selepas diterima di kelima posisi tersebut, ia memilih meniti
karier di lingkungan Universitas
California, Berkeley, Amerika Serikat. Segera karier
ilmiahnya berpendar dan
akhirnya ia berhasil menjadi guru besar kimia Linus
Pauling Chair di perguruan tinggi tersebut.
Di
sisi lain, berkat sederet karya
dan penemuannya, penemu femto
kedua ini berhasil
meraih sederet hadiah
dan penghargaan, antara lain
Robert A. Welch Prize Award, Benjamin Franklin Medal, Leonardo Da Vinci Award of Excellences, Rontgen Prize, Paul Karrer Gold Medal, Bonner Chemiepreis,
Medal of the Royal Netherlands Academy
of Arts and Sceinces, Carl Zeiss Award, Hoechst
Award, Alexander von Humbolt
Award, Herbert P. Broida Prize, Linus Puling Medal, dan E.O.
Lawrence Award.
Penghargaan demi
penghargaan atas karya-karya
suami seorang dokter, Dema Zewail
(putri seorang penerima Hadiah
Internasional Raja Faisal yang
dikenal Ahmad Hassan Zewail selepas ia
menerima hadiah tersebut pada
1989 M ) dan ayah empat orang anak yang pakar laser dan menetap
di San Marino, California
ini akhirnya berpuncak dengan keberhasilannya menerima
Hadiah Internasional Raja Faisal
di bidang sains tahun 1409 H/1989 M dan Hadiah Nobel di bidang kimia
tahun 1420 H/1999 M.
Ilmuwan yang satu ini juga aktif dalam merumuskan
kebijakan Amerika Serikat di bidang sains, teknologi, dan inovasi. Selain itu,
ia juga menyusun sejumlah karya tulis, antara lain Advances in Laser
Spectroscopy I, Advances in Laser Chemistry, Photochemistry and Photobiology,
Ultrafast Phenomena VII, The Chemical Bond: Structure and Dynamics, Ultrafast
Phenomena VIII, Ultrafast Phenomena IX,
Age of Science, Physical Biology: From Atoms to Medicine, 4D Electron
Microscopy, Encyclopedia of Analytical Chemistry, dan Voyage Through
Time.
“Selamat jalan, Profesor. Insya Allah, kami juga punya
mimpi.”