BERGURU KEPADA YANG MUDA
“Alhamdulillah, dua hari berturut-turut masih dikaruniai
kesempatan Allah Swt. menimba ilmu dan pengalaman kepada anak-anak muda yang
luar biasa.”
Demikian gumam pelan bibir saya selepas mengantarkan Mas
Hadi Susanto, seorang pakar matematika muda Indonesia yang kini sedang berkarya
di Universitas Essex, Inggris “kluyuran” di seputar Kota Bandung tadi malam.
Tetapi, selama dua hari yang lalu, Ahad dan Senin, saya tidak hanya “berguru”
kepada profesor muda asal Lumajang, Jawa Timur, dan jebolan Institut Teknologi
Bandung (ITB) itu saja.
Ahad yang lalu, selepas shalat Shubuh, saya sudah
siap-siap meninggalkan Baleendah. Kemudian, sekitar satu jam kemudian saya
sudah duduk di depan sebuah super store di Jalan Junjunan Bandung.
Sambil duduk, saya sempatkan mentadarrus Al-Quran satu juz. Kemudian, sekitar
pukul tujuh pagi, sebuah shuttle bus Jakarta-Bandung berhenti tidak jauh
dari tempat di mana saya sedang duduk. Tidak lama kemudian, turun seseorang dengan
mengenakan kaos berlengan panjang dengan “memanggul” tas punggung dan jaket. Itulah
tokoh yang sedang saya tunggu kedatangannya: Mas Lendo Novo, seorang penggagas
dan perintis sekolah alam di Indonesia.
Selepas menikmati bubur ayam di jalan yang sama, saya
kemudian membawa insinyur jebolan Teknik Perminyakan ITB itu menuju Baleendah. Sambil
menyetir, saya pun berusaha menjadi “murid yang baik”: mendengarkan sebagian
kisah hidup dan ide-ide sosok yang senantiasa memendekkan rambutnya seperti Yul
Brynner, seorang aktor Amerika Serikat itu.
“Pak Rofi’, kita harus belajar
banyak pada Finlandia,” tutur Mas Lendo tentang sistem pendidikan dan keberhasilan
negara yang terletak di bagian utara Eropa itu. “Negara itu kini menjadi negara
terbaik dari sisi pendidikan di tingkat dunia. Amerika Serikat pun keok.” Usai berucap
demikian, putra Sumatera Barat yang sekampung dengan Menteri ESDM ini menuturkan
“perjuangannya” dalam mendirikan sekolah alam.
Setiba di rumah, dan selepas beristirahat beberapa lama,
saya, istri, Mas Lendo, dan seorang insinyur geologi muda jebolan ITB kemudian
meluncur ke sebuah bukit di Baleendah. Tidak lama kemudian datang seorang
arsitek beken yang juga dosen di ITB,
Mas Bambang Setya Budi. Segera, mereka naik ke bukit, untuk mengkaji kelayakan
bukit tersebut untuk dijadikan sebagai lokasi sekolah alam. Di atas bukit,
telah menanti seorang profesor elektro yang juga jebolan ITB.
Usai “menikmati” bukit, ucap Mas Lendo kepada saya, “Saya
setuju. Lokasi ini pas sekali untuk menjadi lokasi sekolah alam.” Dan,
kemudian, kami semua menuju Pesantren Mini kami, untuk mendiskusikan rencana
pendirian sekolah alam di bukit tersebut. Lewat masukan dari Mas Lendo dan Mas
Bambang Setya Budi, saya dan istri kian siap dalam merencanakan sekolah alam
tersebut yang juga akan kami jadikan pula sebagai Pesantren Mini kedua.
Kemudian, Senin kemarin, selepas melaksanakan shalat ‘Asar,
saya kembali “meluncur” ke pusat kota Bandung. Kali ini, mobil yang saya
kendarai menuju sebuah hotel milik ITB yang tegak tidak jauh dari kantor
rektorat ITB. Selepas menanti sekitar setengah jam di hotel, muncullah seorang
pakar matematika yang telah lama saya kenal. Seperti halnya Mas Lendo, penerima
Ganesha Prize 2000 itu juga “memanggul” tas punggung dan jaket. “Kayaknya,
jaket hitam itu pula yang “menyertai” Mas Hadi ketika bertemu dengan saya tahun
lalu,” gumam pelan bibir saya sambil tersenyum.
Kehadiran profesor muda di bidang matematika itu dalam
rangka memberikan penataran dan pengayaan di bidang matematika kepada para guru
sekolah menengah. Kegiatan itu diselenggarakan oleh ITB. Yang musykil bagi
saya, sebelum datang ke Bandung, peraih gelar doktor dari Universitas Twente,
Belanda itu, entah kenapa memberitahu saya perihal kedatangannya kepada saya.
Kenapa musykil? Tentu saja, seumur-umur saya ini tidak pernah belajar
matematika dan sangat tidak memahami ilmu-ilmu ITB, kok ilmuwan muda
Indonesia yang berprestasi luar biasa di luar negeri itu berkenan mengontak
saya. “Melihat wajah muda ilmuwan-ilmuwan muda saja saya sangat senang. Apalagi,
diberi kesempatan bertemu,” gumam bibir saya ketika menerima berita itu.
Usai melaksanakan shalat Maghrib, Mas Hadi Susanto saya ajak
“kluyuran” di seputar Kota Bandung. Dengan cara saya, saya pun dapat “menggali”
dan menimba ilmu dan pengalaman ilmuwan yang menulis buku berjudul Tuhan
Pasti Ahli Matematika. Kemudian, seusai menikmati sate di sebuah warung terkenal
yang tegak di sekitar Simpang Lima, suami seorang dokter jebolan Universitas
Brawijaya itu saya antarkan kembali ke hotel, karena pagi hari ini Mas Hadi
Susanto meneruskan “kluyuran”nya ke Surabaya.
“Alhamdulillah, negeri ini dikaruniai sederet anak muda
yang berbakat dan berkeinginan memajukan negeri ini. Kapan pun dan di manapun
mereka berada,” gumam bibir saya sambil menyetir mobil menuju Baleendah,
Bandung. Tadi malam.
No comments:
Post a Comment