BEKAL
HIDUP
Hari Ahad yang lalu, selepas menemani seorang kakak ipar ke salah satu
sudut Kota Bandung, entah kenapa tiba-tiba saya ingin “menggelandang” ke Masjid
Pusdai (Pusat Dakwah Islam), Bandung. Segera, saya pun naik angkot menuju
Masjid yang terletak di Jalan Suci itu. Tiba di Masjid, segera saya berwudhu
dan melaksanakan shalat Tahiyyat Masjid.
Usai melaksanakan shalat Tahiyyat Masjid, saya kemudian duduk di
teras Masjid sambil menanti datangnya waktu shalat Maghrib. Tepatnya di pinggir
shahn (ruang terbuka yang merupakan bagian Masjid). Suasana di
tempat itu begitu riuh: anak-anak dengan riang gembira sedang bermain sepak
bola, beberapa penjual makanan sedang melayani sejumlah pembeli, dan sejumlah
ibu-ibu sedang menikmati senja hari bersama anak-anak mereka.
Entah kenapa, saya sangat menikmati keriuhan itu. Sambil menikmati keriuhan
tersebut, saya kemudian mengambil sebuah buku yang ada di tas punggung saya.
Buku yang ditulis Prof. Dr. Husain Mujib Al-Mishri itu berjudul Iqbâl
wa Al-Qur’ân: Dirâsah Qur’âniyyah Muqâranah. Entah kenapa pula selepas
beberapa lama menyimak isi buku tersebut, tiba-tiba sebuah pertanyaan “melesat”
di benak saya, “Apakah bekal hidup yang pas itu?”
Selepas lama merenung dan mencoba mencari jawabannya dalam karya tersebut, entah
kenapa tiba-tiba saya teringat sebuah kisah indah yang dapat dikatakan
merupakan jawaban atas pertanyaan yang tiba-tiba “memenuhi” benak itu. Kisah
itu sebagai berikut:
Suatu saat seorang Tuan Guru kondang bertanya
kepada salah seorang muridnya, “Muridku, sejak kapan engkau menimba ilmu kepadaku?”
“Sejak
30 tahun, Tuan Guru,” jawab si murid
dengan suara pelan dan seraya menundukkan kepalanya.
“Mâsyâ
Allâh! Apa saja yang engkau
pelajari selama 30
tahun itu?” tanya Tuan Guru selanjutnya.
Sangat penasaran.
“Delapan
persoalan, Tuan Guru,” jawab si murid. Tetap dengan suara pelan dan tetap
dengan kepala tertunduk.
“Innâ lillâhi
wa innâ ilaihi râji‘ûn. Terbuang
percuma sajalah umurku bersamamu.
Selama 30 tahun engkau hanya memelajari
delapan persoalan saja?” tanya
Tuan Guru. Sangat terperanjat. Dan, tentu saja, sangat penasaran.
“Benar,
Tuan Guru,” jawab si murid pelan. “Selama
itu, saya tidak mempelajari hal-hal yang lain. Sungguh, Tuan Guru. Itulah
yang saya pelajari dan lakukan selama itu.”
“Baiklah.
Jika demikian, paparkan delapan persoalan
itu kepadaku. Aku ingin sekali mendengarkannya.”
“Yang
pertama,” jawab si murid, tetap dengan
nada suara pelan, “ketika anak manusia yang
hidup di dunia ini saya cermati, saya perhatikan, setiap
orang ingin punya kekasih dan ingin bersama
dengan kekasihnya hingga ke liang kubur. Namun, ketika dia telah
sampai ke liang
kubur, ternyata dia
berpisah dengan kekasihnya.
Karena itu, saya pun menjadikan perbuatan baik
sebagai kekasih saya. Sebab, bila
saya masuk ke dalam kubur, masuk
pulalah kekasih saya bersama saya.”
“Benar
sekali apa yang engkau kemukakan, muridku. Lantas, yang kedua apa?”
“Ketika firman
Allah Swt, “Dan bagi orang-orang
yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan
hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.”
(QS Al-Nâzi‘ât, [79]: 40-41) saya renungkan,
saya benar-benar meyakini bahwa firman Allah Swt. tersebut benar.
Karena itu, saya lalu berusaha menolak hawa nafsu. Sehingga, dengan
demikian, saya tetap taat kepada-Nya.”
“Indah
sekali jawabannmu. Lantas, yang ketiga?”
“Ketika
anak manusia yang ada di dunia ini saya renungkan, ternyata saya lihat
setiap orang ingin memiliki harta
benda, menghargainya, memandangnya bernilai, dan memeliharanya. Kemudian, saya merenungkan
firman Allah Swt., “Apa yang di sisi
kalian akan lenyap dan apa yang ada di
sisi Allah adalah kekal.” (QS Al-Nahl, [16]: 96). Karena itu,
setiap kali saya mendapatkan sesuatu yang
berharga dan bernilai, sesuatu itu pun saya hadapkan kepada Allah Swt. Semoga
sesuatu itu kekal dan terpelihara di sisi-Nya.”
“Mâsyâ
Allâh, indah sekali jawabanmu. Yang keempat?”
“Tuan
Guru, ketika pandangan saya terarah
kepada anak manusia yang ada di dunia
ini, saya perhatikan setiap orang
senantiasa menaruh perhatian terhadap
harta, jabatan, kemuliaan, dan
keturunan. Lalu, ketika semua itu saya cermati, tiba-tiba nampak semua itu
tiada artinya. Kemudian, saya lantas
merenungkan firman Allah Swt., “Orang yang paling mulia di antara kalian di
sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa di antara kalian.” (QS Al-Hujurât [49]: 13). Karena itu,
saya pun bertakwa kepada-Nya. Kiranya saya menjadi orang mulia di sisi Allah.”
“Benar
sekali jawabanmu, muridku. Lantas, yang kelima?”
“Ketika
anak manusia yang hidup di dunia ini saya perhatikan, ternyata mereka suka
saling menohok dan
mengutuk satu sama
lainnya. Penyebab semuanya itu adalah
perasaan dengki. Kemudian, saya pun memperhatikan firman Allah
Swt., “Kami telah menentukan di antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan di dunia.” (QS Al-Zukhrûf [43]:
32) Karena itu, perasaan
dengki pun saya tinggalkan dan diri saya
pun saya jauhkan dari orang
banyak. Saya tahu, saya akan mendapatkan pembagian rezeki dari sisi Allah Swt.
Karena itu, permusuhan orang banyak kepada saya pun saya abaikan.”
“Menarik
sekali, muridku. Yang keenam?”
“Ketika
anak manusia yang hidup di dunia ini saya cermati, ternyata mereka suka berbuat kedurhakaan dan berperang satu sama
lain. Saya pun kembali
pada firman Allah Swt., “Sungguh, setan adalah
musuhmu. Karena itu, jadikanlah dia sebagai musuh(mu).” (QS Fâthir [35]:
6). Karena itu pula, setan pun saya pandang
sebagai musuh saya satu-satunya. Dan, saya
pun sangat berhati-hati terhadapnya, karena Allah
Swt. menyatakan setan sebagai musuh saya. Dan, permusuhan antarmanusia pun
saya tinggalkan.”
“Duh,
indah sekali jawabanmu, muridku. Yang ketujuh?”
“Ketika anak manusia yang hidup di dunia ini saya
perhatikan, ternyata saya lihat setiap
orang berusaha memburu sekeping
dari dunia ini. Lalu, dia
menghinakan diri padanya
dan memasuki bagiannya
yang terlarang. Kemudian, saya pun merenungkan firman Allah Swt., “Dan,
tidak ada suatu binatang melata pun di
Bumi melainkan Allah-ah
yang memberikan rezekinya.”
(QS Hûd [11]: 6). Saya pun menjadi
tahu, ternyata diri saya ini termasuk binatang melata yang rezekinya ada
di tangan Allah Swt. Karena itu, saya pun
lantas melakukan sesuatu yang menjadi
hak Allah atas diri saya, saya tinggalkan
segala sesuatu yang menjadi hak
Allah atas diri saya, dan saya tinggalkan segala sesuatu
yang menjadi hak saya di sisi-Nya.”
“Luar
biasa indah jawabanmu, muridku. Lantas, yang kedelapan?”
“Ketika anak manusia
yang hidup di dunia ini saya perhatikan, ternyata setiap orang menggantungkan diri
pada yang selain dirinya. Yang ini pada bendanya. Yang itu pada perdagangannya.
Yang lain lagi pada
perusahaannya. Dan, yang satunya
lagi pada kesehatan badannya.
Masing-masing orang bergantung pada sesamanya. Lalu, saya pun kembali pada
firman Allah Swt., “Dan, barang siapa yang
bertawakkal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupi keperluannya.” (QS Al-Thalâq [65]: 3).
Karena itu, saya pun berserah diri
kepada Allah Swt. Ternyata, Allah Swt. mencukupi segala keperluan saya.”
“Muridku,”
ucap Tuan Guru memungkasi perbincangan di antara mereka berdua. “Kiranya Allah Swt. melimpahkan karunia-Nya kepadamu!
Sejatinya, segala ilmu yang ada di dalam Taurat, Injil, Zabur,
dan Al-Quran mulia telah saya
pelajari dan renungkan. Ternyata, aku mendapatkan, segala persoalan kebaikan dan keagamaan dalam
kitab-kitab suci itu berkisar pada delapan persoalan tersebut. Dengan kata lain,
barang siapa melaksanakannya, berarti dia telah melaksanakan kandungan keempat
kitab tersebut!”
Betapa indah bekal hidup yang dikemukakan si murid itu. Semoga saya dapat
melaksanakannya, amin!