KETIKA KEIMANAN BERPENDAR
“Dulu, saya ini pernah menjadi kafir, Pak Rofi’.”
Demikian ucap pelan seorang ahli geologi senior yang
sedang duduk di samping saya, di pelataran sebuah rest area di Puerto Almuradiel,
antara Madrid-Cordoba, sambil menikmati secangkir teh hangat. Mendengar ucapannya
yang demikian, sejenak saya tertegun. Lalu, wajah sosok sepuh berusia sekitar
66 tahun yang duduk di samping saya itu pun saya cermati. Pandangannya tampak
sedang memandang jauh. Lebih jauh dari hamparan lahan luas yang ada di depan
kami yang sedang beristirahat dalam perjalanan menuju Sevilla, akhir bulan
lalu.
“Lalu, mengapa kemudian Bapak memeluk Islam?” tanya saya
pelan. Tentu saja penasaran.
“Saya seorang ahli geologi lulusan ITB. Saya angkatan
1972. Sejak kecil saya dididik berpikir sangat rasional,” ucapnya sambil tetap
memandang ke arah jauh. Sementara angin pagi masih bertiup agak kencang dan terasa
menusuk tulang. “Kemudian, ketika di ITB, saya diajar untuk berpikir dengan
pemikiran yang sangat rasional. Dampaknya terasa selepas saya lulus dari ITB.
Meski kedua orang tua saya Muslim, saya jauh dari sentuhan agama. Saya menjadi
manusia agnostik. Di sisi lain, dengan berjalannya waktu, sebagai seorang
konsultan teknik dan kontraktor, saya mengalami banyak kejadian. Mungkin Pak
Rofi’ pernah mendengar peristiwa jebolnya Situ Gintung.”
Sejenak, sosok asal Solo, Jawa Tengah itu menghentikan
ceritanya. Lalu, ucapnya lebih lanjut, “Saya pernah menjadi konsultan teknik
situ tersebut. Sebelum situ itu jebol, saya sudah memberikan masukan dan
laporan kepada pejabat terkait bahwa situ itu harus diperkuat
tanggul-tanggulnya. Jika tidak diperkuat, situ itu akan jebol. Tapi, masukan
dan laporan saya tidak didengarkan. Jebollah kemudian situ itu. Sedih. Saya pun
pernah dimusuhi oleh sebuah negara tetangga kita. Padahal, saya tidak bersalah.
Dan, masih banyak kisah suka dan duka lain yang saya alami dan hadapi. Selama
itu, dapat dikatakan hati dan pikiran saya hampa dari yang namanya Tuhan.”
“Lantas, mengapa Bapak kemudian kembali memeluk Islam,”
ucap saya.
“Sekitar 2007, saya bertugas di Kalimantan Selatan,”
ucapnya lebih lanjut, tetap sambil menatap ke arah jauh. “Di sana, saya bertemu
dengan seorang anak muda. Usianya sekitar 23 tahun. Ternyata, meski muda usia,
dia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas sekali tentang tasawuf. Entah
kenapa, mendengar dan menyimak penjelasannya tentang pemikiran seorang tokoh
sufi membuat hati dan pikiran saya terpikat
dan luluh. Akhirnya, saya pun
menjadi Muslim kembali.”
“Alhamdulillah. Siapakah tokoh sufi tersebut?”
Sambil tetap menatap ke arah jauh, sosok itu kemudian
menyebut sebuah nama. Mendengar nama itu, saya kemudian berucap, “Tokoh sufi
itu berasal dari Andalusia ini, Bapak. Ia berasal dari sebuah keluarga
bangsawan, hartawan, dan ilmuwan terpandang di Bumi Andalusia ini.”
“Oh begitu?”
“Ya. Ia lahir di Murcia, Andalusia selatan. Kemudian,
ketika berusia 8 tahun, dia pindah ke Sevilla. Tidak beda jauh dengan guru
Bapak, tokoh sufi itu mulai menceburkan diri ke dalam “lautan” tasawuf ketika
berusia sekitar 21 tahun. Selepas itu, dia mulai berkelana: ke Cordoba,
Granada, Afrika Utara, Semenanjung Arab, dan berbagai penjuru Dunia Islam kala
itu. Dan, perjalanannya di dunia yang fana ini berakhir di Damaskus, Suriah, 18
tahun sebelum Baghdad diluluhlantakkan oleh pasukan Mongol.”
“Masya Allah, luar biasa perjalanan hidup beliau.”
“Pak Rofi’,” ucap seorang sahabat yang mendampingi
perjalanan kami selama di Andalusia, “kini saatnya kita melanjutkan perjalanan
kita menuju Sevilla.”
“Baik, Mas. Bapak, silakan naik mobil. Perbincangan ini
nanti kita lanjutkan selepas kita tiba di Sevilla.”
Dengan berjalan tertatih, ditopang tongkat yang senantiasa
menyertainya, bapak itu kemudian menuju mobil van yang sudah siap berjalan
menuju Sevilla. Seraya memandangi langkah-langkah pelan sosok tersebut, entah
kenapa tiba-tiba saya teringat penjelasan Tariq Ramadan, tentang proses
keislaman ‘Umar bin Al-Khaththab, dalam sebuah karyanya berjudul In the Footsteps of the Prophet: Lessons
from the Life of Muhammad,
“Nabi Saw. tahu, dirinya tak berkuasa atas hati manusia.
Dalam menghadapi penganiayaan dan kesulitan besar, beliau berpaling kepada
Allah, seraya berharap Dia akan memberi petunjuk kepada salah satu dari dua
tokoh Quraisy yang beliau ketahui memiliki kualitas dan kekuatan yang
diperlukan untuk membalikkan keadaan. Tentu saja Nabi Saw. tahu, hanya Allah
yang berkuasa menuntun hati manusia.
Bagi sebagian orang, perpindahan agama merupakan sebuah proses panjang yang
membutuhkan masa penuh pertanyaan, keraguan, dan langkah maju-mundur. Sedangkan
bagi yang lain, perpindahan agama berlangsung singkat, segera selepas membaca
teks, atau memerhatikan gerak tubuh atau perilaku.
Hal yang demikian itu tak dapat
dijelaskan. Peralihan agama yang memakan waktu paling lama tak berarti melahirkan
keimanan yang kukuh, dan kebalikannya juga tak sepenuhnya benar: jika bicara
urusan peralihan agama, kecenderungan hati, keimanan dan cinta, tiada lagi
logika; yang berlaku adalah kekuasaan Allah yang luar biasa. ‘Umar keluar rumah
dengan niat kuat untuk membunuh Nabi Saw., dibutakan oleh pengingkarannya
terhadap Allah Yang Maha Esa. Namun, beberapa jam kemudian, dia berubah dan
mengalami sebuah transformasi sebagai hasil perubahan keyakinan akibat sentuhan
sebuah Al-Quran dan maknanya. Malah, dia kemudian menjadi salah seorang sahabat
setia dari orang yang dia ingikan kematiannya. Tak seorang pun di antara para
pengikut Nabi Saw. yang dapat membayangkan bahwa ‘Umar akan mengikuti pesan
agama Islam, mengingat ia dengan sangat jelas telah mengungkapkan kebenciannya
terhadap Islam. Revolusi hati ini merupakan sebuah pertanda, dan dia
mengajarkan dua hal: tiada yang mustahil bagi Allah, dan kita tak boleh
memberikan penilaian mutlak terhadap sesuatu atau seseorang.”
Ya, tiada yang mustahil bagi Allah Swt.!
No comments:
Post a Comment