CAK AMAL: PROFIL KIAI PONDOK MODERN GONTOR
“Oh, ini kan foto di rumah Cak Amal!”
Tak terasa ucapan demikian pelan meluncur dari bibir
saya, dini hari tadi. Seperti kebiasaan nyaris setiap hari, dini hari tadi saya
pun sudah bangun.
Ketika usai melaksanakan hal-hal yang biasanya setiap
hari saya lakukan, saya pun membuka laptop. Entah kenapa, tiba-tiba timbul
keinginan untuk membuka “simpanan” foto-foto lama. Ketika membuka foto-foto
perjalanan saya dan istri ke Sydney, Australia, lo ternyata foto pertama
yang muncul adalah foto silaturahmi saya dan istri ke rumah seorang sahabat
lama saya, Cak K.H. Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, seorang kiai yang kini menjadi
rektor Universitas Darussalam, Gontor, Ponorogo. Saya memanggil beliau, sejak
pertama saya bertemu beliau, dengan panggilan Cak Amal.
Saya berkenalan pertama kali dengan kiai yang ramah,
periang, dan kadang suka canda ini
ketika kami sedang menimba ilmu di program pascasarjana Fakultas Dar Al-‘Ulum,
Universitas Kairo pada awal 1980-an. Beliau mendalami filsafat Islam, sedangkan
saya mendalami sejarah dan kebudayaan Islam. Selain itu,saya dan doktor lulusan
Universitas Malaya, Kuala Lumpur itu juga menimba ilmu di Universitas Al-Azhar.
Kala itu, dapat dikatakan hanya ada sekitar 10 mahasiswa Indonesia yang
merangkap kuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo.
Di luar kegiatan menimba ilmu, saya sering diajak kluyuran
sama Cak Amal ke rumah sejumlah alumni Pondok Modern
Gontor. Untuk apa? Tidak lain untuk menghilangkan “home sick” kami dengan
masakan Indonesia. Sebagai putra seorang kiai yang pendiri Pondok Modern
Gontor, ke mana pun beliau bersilaturahmi ke rumah para alumi pondok modern tersebut,
beliau senantiasa disambut dengan hangat: disiapkan makanan nan lezat. Saya pun
kecipratan ikut menikmati masakan lezat tersebut. Bagi saya, hal itu merupakan
suatu kemewahan luar biasa: mahasiswa “tongpes” mendapat hidangan masakan
lezat. Gumam bibir saya kala itu, “Andai tidak bersahabat dengan Cak Amal, mana
saya dapat menikmati ‘kramat gandul’ seperti ini. Alhamdulillah.”
Selepas kami kembali ke Tanah Air, saya langsung bermukim
di Jawa Barat, hingga kini. Sedangkan Cak Amal, tentu saja, kembali ke Gontor.
Kemudian, selama sekitar 25 tahun, kami tidak bersua. Kami bertemu kembali selepas saya mulai merintis
Pesantren Nun, pada 2008, sebuah pesantren mini yang tidak ada apa-apanya bila
dibandingkan dengan Pondok Modern Gontor. Sejak itu, saya dan istri kerap sowan
ke Gontor: untuk menimba ilmu dan pengalaman dalam pengelolaan pesantren. Seperti
halnya ketika masih muda usia, Cak Amal tetap tidak berubah, meski kini telah
menjadi seorang kiai dan rektor: ramah,
periang, suka bercanda, dan hidup sederhana.
Cak Amal, menurut saya, dapat dikatakan sebagai profil
seorang kiai Gontor: tawadhu, berwawasan luas, suka bersilaturahmi, hidup
sederhana, dan ikhlas dalam mengabdi kepada masyarakat. Dan, pada kesempatan
ini, secara khusus, kepada Cak Amal, saya hanya dapat mendoakan, “Matur nuwun,
Cak Amal, atas segala kebaikan panjenengan selama ini. Kiranya Allah
Swt. melimpahkan kasih sayang-Nya kepada panjenengan serta menerima amal
dan kebaikan panjenengan, amin ya Rabb al-‘alamin.”