Saturday, March 18, 2017



CAK AMAL: PROFIL KIAI PONDOK MODERN GONTOR

Oh, ini kan foto di rumah Cak Amal!”

Tak terasa ucapan demikian pelan meluncur dari bibir saya, dini hari tadi. Seperti kebiasaan nyaris setiap hari, dini hari tadi saya pun sudah bangun.

Ketika usai melaksanakan hal-hal yang biasanya setiap hari saya lakukan, saya pun membuka laptop. Entah kenapa, tiba-tiba timbul keinginan untuk membuka “simpanan” foto-foto lama. Ketika membuka foto-foto perjalanan saya dan istri ke Sydney, Australia, lo ternyata foto pertama yang muncul adalah foto silaturahmi saya dan istri ke rumah seorang sahabat lama saya, Cak K.H. Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, seorang kiai yang kini menjadi rektor Universitas Darussalam, Gontor, Ponorogo. Saya memanggil beliau, sejak pertama saya bertemu beliau, dengan panggilan Cak Amal.

Saya berkenalan pertama kali dengan kiai yang ramah, periang, dan kadang suka canda ini  ketika kami sedang menimba ilmu di program  pascasarjana Fakultas Dar Al-‘Ulum, Universitas Kairo pada awal 1980-an. Beliau mendalami filsafat Islam, sedangkan saya mendalami sejarah dan kebudayaan Islam. Selain itu,saya dan doktor lulusan Universitas Malaya, Kuala Lumpur itu juga menimba ilmu di Universitas Al-Azhar. Kala itu, dapat dikatakan hanya ada sekitar 10 mahasiswa Indonesia yang merangkap kuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo.

Di luar kegiatan menimba ilmu, saya sering diajak kluyuran sama  Cak Amal  ke rumah sejumlah alumni Pondok Modern Gontor. Untuk apa? Tidak lain untuk menghilangkan “home sick” kami dengan masakan Indonesia. Sebagai putra seorang kiai yang pendiri Pondok Modern Gontor, ke mana pun beliau bersilaturahmi ke rumah para alumi pondok modern tersebut, beliau senantiasa disambut dengan hangat: disiapkan makanan nan lezat. Saya pun kecipratan ikut menikmati masakan lezat tersebut. Bagi saya, hal itu merupakan suatu kemewahan luar biasa: mahasiswa “tongpes” mendapat hidangan masakan lezat. Gumam bibir saya kala itu, “Andai tidak bersahabat dengan Cak Amal, mana saya dapat menikmati ‘kramat gandul’ seperti ini. Alhamdulillah.”

Selepas kami kembali ke Tanah Air, saya langsung bermukim di Jawa Barat, hingga kini. Sedangkan Cak Amal, tentu saja, kembali ke Gontor. Kemudian, selama sekitar 25 tahun, kami tidak bersua. Kami  bertemu kembali selepas saya mulai merintis Pesantren Nun, pada 2008, sebuah pesantren mini yang tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Pondok Modern Gontor. Sejak itu, saya dan istri kerap sowan ke Gontor: untuk menimba ilmu dan pengalaman dalam pengelolaan pesantren. Seperti halnya ketika masih muda usia, Cak Amal tetap tidak berubah, meski kini telah menjadi  seorang kiai dan rektor: ramah, periang, suka bercanda, dan hidup sederhana.

Cak Amal, menurut saya, dapat dikatakan sebagai profil seorang kiai Gontor: tawadhu, berwawasan luas, suka bersilaturahmi, hidup sederhana, dan ikhlas dalam mengabdi kepada masyarakat. Dan, pada kesempatan ini, secara khusus, kepada Cak Amal, saya hanya dapat mendoakan, “Matur nuwun, Cak Amal, atas segala kebaikan panjenengan selama ini. Kiranya Allah Swt. melimpahkan kasih sayang-Nya kepada panjenengan serta menerima amal dan kebaikan panjenengan, amin ya Rabb al-‘alamin.”


No comments: