Thursday, September 14, 2017



MENGAPA TIGA ACARA PERNIKAHAN ITU MAS BORONG SEMUA...

Alhamdulillah, acara pernikahan Naila dan Nana lancar ya, Mas,” demikian ucap seorang kerabat kepada saya selepas acara akad nikah dan resepsi pernikahan putri ke-2 saya dengan Nana Taryana, Sabtu, 9 September 2017 yang lalu.
“Alhamdulillah,” jawab saya.
“Sebagai orang yang menghadiri acara pernikahan tersebut, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada Mas. Mengapa dalam rangkaian acara tersebut, kayaknya Mas tidak rela menyerahkan beberapa bagian acara kepada orang lain. Termasuk kepada kiai-kiai dan penghulu yang hadir.”
“Contohnya?”
“Acara khutbah nikah, akad nikah, dan doa selepas akad nikah. Biasanya, khutbah nikah dan doa selepas nikah dilakukan bukan oleh ayah mempelai perempuan. Kalau akad nikah sih saya faham. Jadinya, sepertinya tiga acara tersebut Mas borong semua.”

Menerima pertanyaan demikian, saya sejenak diam seraya tersenyum. Diam untuk mengingat kembali rangkaian acara pernikahan putri ke-2 saya tersebut. 

“Baiklah,” ucap saya beberapa saat kemudian. “Yang pertama-tama perlu diketahui, saya bukan seorang penceramah piawai. Saya juga bukan seorang kiai dan saya baru pertama kali menikahkan. Itu catatan saya.”

Usai berucap demikian, saya kemudian berhenti berucap sejenak. Kemudian,  ucap saya selanjutnya, “Kini, mengapa tiga “tugas” tersebut saya borong? Khutbah nikah, yang dilaksanakan sebelum akad nikah, adalah pengantar acara akad nikah. Bagi saya, sebaiknya khutbah nikah dilakukan ayah si (calon) mempelai perempuan, bila si ayah mampu melaksanakannya. Selain meneladani apa yang dilakukan Rasulullah Saw. ketika menikahkan putri tercinta beliau, Fathimah Al-Zahra’, dengan Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib, juga karena inilah momen paling tepat bagi si ayah untuk menyampaikan arahan kepada kedua mempelai. Dalam hal ini, tentu si ayah yang paling tahu tentang apa yang perlu dikemukakan dan dipesankan kepada mereka berdua. Bukan kiai-kiai atau penghulu yang hadir. 

Momen ini sangat penting, karena dalam momen tersebut si ayahlah yang paling mengetahui “kisah” dan “mimpi” mereka berdua. Dalam acara khutbah nikah tersebut, saya tentu “membaca” masa: masa lalu, masa kini, dan masa depan mereka berdua. Dalam kesempatan khutbah nikah tersebut, sejatinya saya ini menekankan beberapa hal yang perlu mereka pegang teguh dalam mengarungi kehidupan baru mereka: hendaknya mereka senantiasa berusaha meneladani kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw., senantiasa berakhlak mulia, senantiasa memelihara silaturahim dengan siapa pun tanpa memandang jabatan, gelar, dan posisinya, senantiasa mencari rezeki yang halal dan thayyib, dan tentunya senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.”

“Bagus, Mas. Seperti saya katakan tadi, kalau akad nikah dilaksanakan oleh si ayah sih saya mengerti. Tapi, kini, bagaimana halnya dengan doa pernikahan. Kenapa tidak oleh kiai-kiai lain atau penghulu yang hadir?”
“Ada-ada saja pertanyaan Anda ini. Doa seorang ayah untuk anak-anaknya, apalagi doa seorang ibu, manakala dipanjatkan dengan sepenuh dan setulus hati, merupakan doa yang diaminkan para malaikat. Tentu, dalam acara tersebut, saya ingin mendoakan kedua mempelai dengan doa terbaik kepada Allah Swt. Wajar kan, jika kesempatan untuk berdoa tersebut tidak saya serahkan kepada orang lain.”
Matur nuwun, Mas, atas pencerahannya. Mudah-mudahan apa yang Mas lakukan juga akan saya lakukan kelak. Semoga.”


No comments: