Makkah, Selasa, 3 Juli 2007. Waktu saat itu telah menunjuk pukul 22.00 waktu setempat, ketika kami mulai menapakkan kaki meninggalkan Dar Al-Salaam Hotel, yang lokasinya terletak di sebelah Zamzam Hotel yang kini sedang dibangun dan hanya sekitar 100 meter dari Masjid Al-Haram. Suhu udara saat itu terasa segar dan Kota Makkah masih belum lagi menunjukkan tanda-tanda akan segera sepi. Dalam suasana demikian, jamaah Khalifah Tour mulai melangkah dengan khidmat menuju Masjid Al-Haram. Baru melangkah sekitar 50 langkah, segera masjid yang terletak di pusat Kota Makkah itu tampak di mata kami. Ada suatu perasaan bahagia menyelinap dalam hati saya begitu masjid yang senantiasa saya rindukan untuk dikunjungi itu memenuhi pelupuk mata. Seraya memimpin jamaah, dalam hati tak henti-hentinya saya bersyukur kepada Allah Swt. yang memberikan kesempatan lagi kepada hamba-Nya yang dhaif ini untuk untuk beribadah di masjid yang acap dirindukan Rasulullah Saw. selepas beliau berhijrah ke Madinah itu.
Seperti diketahui, menurut catatan sejarah Islam, masjid yang meliputi Ka‘bah atau Bait Allah (Rumah Allah), Maqam Ibrahim, Hijir Isma‘il, Sumur Zamzam, dan Bukit Shafa dan Marwah ini, pada masa Nabi Muhammad Saw., berbentuk Ka‘bah dan ruang kosong yang dibatasi oleh rumah-rumah penduduk. Ketika ‘Umar bin Al-Khaththab menjabat sebagai khalifah, pada 17 H/638 M, ia membeli rumah-rumah itu dan membangun tembok setinggi orang. Perluasan serupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan dan pada 64 H/683 M oleh ‘Abdullah bin Al-Zubair. Pembangunan besar-besaran masjid yang di dalamnya terdapat peninggalan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma‘il a.s. ini baru dilakukan pada 75 H/694 M, pada masa pemerintahan ‘Abdul Malik bin Marwan, penguasa ke-5 Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah. Pembangunan ini dilanjutkan oleh putranya, Al-Walid bin ‘Abdul Malik. Dengan pembangunan ini, masjid ini memiliki atap, tiang-tiangnya dibuat dari marmer, dinding-dindingnya dihiasi mosaik, dan pintu-pintunya dilapis emas dan tembaga. Lantas, ketika Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, menjabat khalifah dan menunaikan ibadah haji, pada 158 H/775 M, masjid ini diperluas dua kali lipat, dilengkapi dengan menara, dan lantai Hijir Isma‘il dibuat dari marmer. Pemugaran dan perluasan masjid ini terus dilakukan oleh sejumlah para penguasa Muslim. Misalnya, pemugaran yang dilakukan pada 802 H/1400 oleh Sultan Barquq, seorang penguasa Mesir, karena sebagian masjid ini tertimpa kebakaran, dan perbaikan yang dilakukan Sultan Qait-bey pada 856 H/1453 M karena masjid ini disambar petir. Pemugaran dan perbaikan selanjutnya dilakukan oleh Sultan Qansuah Al-Ghuri, seorang penguasa Mesir, dan Sultan Salim, seorang penguasa Dinasti Usmaniyyah dari Turki, yang mengerahkan para arsitek dari Mesir. Dan, pada masa-masa selanjutnya hingga dewasa ini, masjid ini selalu mengalami perluasan dan pemugaran, sesuai dengan perkembangan Islam dan bertambah banyaknya jamaah haji.
Rasa bahagia dan haru semakin menyergap hati dan benak ketika kaki-kaki kami mulai menginjakkan kaki di lingkungan Masjid Al-Haram. Suasana di dalam masjid sudah mulai agak sepi (dibandingkan dengan saat sekitar isya’), sehingga kami dapat dengan mudah mendekati Ka‘bah. Perasaan bahagia dan rasa syukur luar biasa kembali menyergap seluruh kesadaran, begitu mata saya melihat bangunan berbentuk kubus yang terletak di lingkungan Masjidi Al-Haram dan merupakan kiblat shalat kaum Muslim itu. Seperti diketahui, Ka‘bah dalam bentuknya yang sekarang ini merupakan hasil pemugaran pada masa pemerintahan Sultan Murad IV, seorang penguasa Dinasti Usmaniyah (memerintah antara 1033-1050 H/1623-1640 M) itu dibangun atas perintah Allah Swt. Seusai membangun Ka‘bah, Ibrahim a.s. yang menerima perintah tersebut, lantas diperintahkan menyeru umat manusia untuk menunaikan ibadah haji, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj [22]: 26).
Dengan khidmat dan sepenuh kesadaran, kami kemudian mulai melaksanakan tawaf. Seperti diketahui, ibadah dengan mengelilingi Ka‘bah sebanyak tujuh kali dengan arah berlawanan dengan jarum jam ini harus dilakukan dalam keadaan suci dan berwudhu. Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak dibenarkan melakukan ibadah ini. Pada saat melaksanakan tawaf, Ka‘bah harus selalu berada di sebelah kiri. Tempat dimulainya tawaf adalah Hajar Aswad. Tawaf sendiri dapat dilakukan untuk pelaksanaan beberapa macam ibadah. Pertama, tawaf ifadhah yang termasuk rangkaian pelaksanaan ibadah haji. Kedua, tawaf umrah yang dilaksanakan dalam ibadah umrah. Ketiga, tawaf qudum yang dilakukan pada waktu jamaah baru datang di Makkah. Keempat, tawaf wada‘ yang dilakukan pada saat akan meninggalkan Makkah. Kelima, tawaf sunnah yang bisa dilakukan kapan saja. Keenam, tawaf untuk menunaikan nazar.
Usai bertawaf dan melaksanakan shalat sunnah di belakang Maqam Ibrahim serta menikmati air Zamzam, kami kemudian menapakkan kaki menuju Bukit Shafa untuk melakanakan sa‘i. Seperti diketahui, sa‘i adalah ibadah berjalan kaki dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah dan sebaliknya, sebanyak tujuh kali. Di tempat-tempat yang kini ditandai dengan pilar hijau, jamaah pria disunnahkan berlari-lari kecil, sedangkan jamaah perempuan berjalan cepat. Ibadah ini boleh dilakukan dalam keadaan tidak berwudhu. Juga, oleh perempuan yang sedang haid atau nifas. Ibadah ini sendiri, pada dasarnya, merupakan peragaan bagaimana Hajar, budak perempuan berkulit hitam yang diperistri Ibrahim a.s., mencari air untuk putranya, Isma‘il a.s. Keyakinan Hajar terhadap kebesaran dan kemahakuasaan Allah demikian mendalam. Sebab, jauh sebelum terjadinya upaya pencarian air itu, Hajar telah bersedia ditinggal Ibrahim a.s. bersama putranya di lembah yang tandus dan kerontang itu. Keyakinannya yang kokoh itu tak membuatnya berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari langit. Tapi, ia berupaya sekuat tenaga dan berkali-kali mondar-mandir demi mencari kehidupan. Hajar memulai upayanya dari Bukit Shafa, yang secara harfiah berarti “kesucian dan ketegaran”. Ini sebagai lambang bahwa mencari kehidupan harus dengan upaya yang dimulai dari kesucian dan ketegaran. Dan, upaya ini berakhir di Bukit Marwah, yang berarti “ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain”.
Ketika hari telah memasuki hari Rabu, 4 Juli 2007, dan waktu menunjuk pukul 02.00 waktu setempat, dan selepas bertahallul, usailah ibadah umrah yang menjadi maksud kedatangan kami di Tanah Suci Madinah Al-Munawwarah dan Makkah Al-Mukarramah. Dan, selepas itu, kesempatan untuk beriktikaf, shalat tahajjuj, dan shalat subuh tentu tidak kami sia-siakan. Seraya duduk tidak jauh dari Maqam Ibrahim, menanti fajar, saya pun tak jemu-jemunya memandangi Ka‘bah dan memperhatikan kaum Muslim dari pelbagai penjuru dunia sedang bertawaf. Entah kenapa, melihat the most amazing “midnite dancers” tersebut, tiba-tiba tak terasa airmata meleleh dan bibir tak terasa berguman, “Segala puja dan puji serta syukur hanya untuk-Mu, ya Allah! Betapa besar karunia-Mu yang telah memberi kesempatan kepada hamba-Mu yang dhaif untuk menyaksikan kembali pemandangan yang tiada duanya ini!”
Seperti diketahui, menurut catatan sejarah Islam, masjid yang meliputi Ka‘bah atau Bait Allah (Rumah Allah), Maqam Ibrahim, Hijir Isma‘il, Sumur Zamzam, dan Bukit Shafa dan Marwah ini, pada masa Nabi Muhammad Saw., berbentuk Ka‘bah dan ruang kosong yang dibatasi oleh rumah-rumah penduduk. Ketika ‘Umar bin Al-Khaththab menjabat sebagai khalifah, pada 17 H/638 M, ia membeli rumah-rumah itu dan membangun tembok setinggi orang. Perluasan serupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan dan pada 64 H/683 M oleh ‘Abdullah bin Al-Zubair. Pembangunan besar-besaran masjid yang di dalamnya terdapat peninggalan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma‘il a.s. ini baru dilakukan pada 75 H/694 M, pada masa pemerintahan ‘Abdul Malik bin Marwan, penguasa ke-5 Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah. Pembangunan ini dilanjutkan oleh putranya, Al-Walid bin ‘Abdul Malik. Dengan pembangunan ini, masjid ini memiliki atap, tiang-tiangnya dibuat dari marmer, dinding-dindingnya dihiasi mosaik, dan pintu-pintunya dilapis emas dan tembaga. Lantas, ketika Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, menjabat khalifah dan menunaikan ibadah haji, pada 158 H/775 M, masjid ini diperluas dua kali lipat, dilengkapi dengan menara, dan lantai Hijir Isma‘il dibuat dari marmer. Pemugaran dan perluasan masjid ini terus dilakukan oleh sejumlah para penguasa Muslim. Misalnya, pemugaran yang dilakukan pada 802 H/1400 oleh Sultan Barquq, seorang penguasa Mesir, karena sebagian masjid ini tertimpa kebakaran, dan perbaikan yang dilakukan Sultan Qait-bey pada 856 H/1453 M karena masjid ini disambar petir. Pemugaran dan perbaikan selanjutnya dilakukan oleh Sultan Qansuah Al-Ghuri, seorang penguasa Mesir, dan Sultan Salim, seorang penguasa Dinasti Usmaniyyah dari Turki, yang mengerahkan para arsitek dari Mesir. Dan, pada masa-masa selanjutnya hingga dewasa ini, masjid ini selalu mengalami perluasan dan pemugaran, sesuai dengan perkembangan Islam dan bertambah banyaknya jamaah haji.
Rasa bahagia dan haru semakin menyergap hati dan benak ketika kaki-kaki kami mulai menginjakkan kaki di lingkungan Masjid Al-Haram. Suasana di dalam masjid sudah mulai agak sepi (dibandingkan dengan saat sekitar isya’), sehingga kami dapat dengan mudah mendekati Ka‘bah. Perasaan bahagia dan rasa syukur luar biasa kembali menyergap seluruh kesadaran, begitu mata saya melihat bangunan berbentuk kubus yang terletak di lingkungan Masjidi Al-Haram dan merupakan kiblat shalat kaum Muslim itu. Seperti diketahui, Ka‘bah dalam bentuknya yang sekarang ini merupakan hasil pemugaran pada masa pemerintahan Sultan Murad IV, seorang penguasa Dinasti Usmaniyah (memerintah antara 1033-1050 H/1623-1640 M) itu dibangun atas perintah Allah Swt. Seusai membangun Ka‘bah, Ibrahim a.s. yang menerima perintah tersebut, lantas diperintahkan menyeru umat manusia untuk menunaikan ibadah haji, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj [22]: 26).
Dengan khidmat dan sepenuh kesadaran, kami kemudian mulai melaksanakan tawaf. Seperti diketahui, ibadah dengan mengelilingi Ka‘bah sebanyak tujuh kali dengan arah berlawanan dengan jarum jam ini harus dilakukan dalam keadaan suci dan berwudhu. Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak dibenarkan melakukan ibadah ini. Pada saat melaksanakan tawaf, Ka‘bah harus selalu berada di sebelah kiri. Tempat dimulainya tawaf adalah Hajar Aswad. Tawaf sendiri dapat dilakukan untuk pelaksanaan beberapa macam ibadah. Pertama, tawaf ifadhah yang termasuk rangkaian pelaksanaan ibadah haji. Kedua, tawaf umrah yang dilaksanakan dalam ibadah umrah. Ketiga, tawaf qudum yang dilakukan pada waktu jamaah baru datang di Makkah. Keempat, tawaf wada‘ yang dilakukan pada saat akan meninggalkan Makkah. Kelima, tawaf sunnah yang bisa dilakukan kapan saja. Keenam, tawaf untuk menunaikan nazar.
Usai bertawaf dan melaksanakan shalat sunnah di belakang Maqam Ibrahim serta menikmati air Zamzam, kami kemudian menapakkan kaki menuju Bukit Shafa untuk melakanakan sa‘i. Seperti diketahui, sa‘i adalah ibadah berjalan kaki dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah dan sebaliknya, sebanyak tujuh kali. Di tempat-tempat yang kini ditandai dengan pilar hijau, jamaah pria disunnahkan berlari-lari kecil, sedangkan jamaah perempuan berjalan cepat. Ibadah ini boleh dilakukan dalam keadaan tidak berwudhu. Juga, oleh perempuan yang sedang haid atau nifas. Ibadah ini sendiri, pada dasarnya, merupakan peragaan bagaimana Hajar, budak perempuan berkulit hitam yang diperistri Ibrahim a.s., mencari air untuk putranya, Isma‘il a.s. Keyakinan Hajar terhadap kebesaran dan kemahakuasaan Allah demikian mendalam. Sebab, jauh sebelum terjadinya upaya pencarian air itu, Hajar telah bersedia ditinggal Ibrahim a.s. bersama putranya di lembah yang tandus dan kerontang itu. Keyakinannya yang kokoh itu tak membuatnya berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari langit. Tapi, ia berupaya sekuat tenaga dan berkali-kali mondar-mandir demi mencari kehidupan. Hajar memulai upayanya dari Bukit Shafa, yang secara harfiah berarti “kesucian dan ketegaran”. Ini sebagai lambang bahwa mencari kehidupan harus dengan upaya yang dimulai dari kesucian dan ketegaran. Dan, upaya ini berakhir di Bukit Marwah, yang berarti “ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain”.
Ketika hari telah memasuki hari Rabu, 4 Juli 2007, dan waktu menunjuk pukul 02.00 waktu setempat, dan selepas bertahallul, usailah ibadah umrah yang menjadi maksud kedatangan kami di Tanah Suci Madinah Al-Munawwarah dan Makkah Al-Mukarramah. Dan, selepas itu, kesempatan untuk beriktikaf, shalat tahajjuj, dan shalat subuh tentu tidak kami sia-siakan. Seraya duduk tidak jauh dari Maqam Ibrahim, menanti fajar, saya pun tak jemu-jemunya memandangi Ka‘bah dan memperhatikan kaum Muslim dari pelbagai penjuru dunia sedang bertawaf. Entah kenapa, melihat the most amazing “midnite dancers” tersebut, tiba-tiba tak terasa airmata meleleh dan bibir tak terasa berguman, “Segala puja dan puji serta syukur hanya untuk-Mu, ya Allah! Betapa besar karunia-Mu yang telah memberi kesempatan kepada hamba-Mu yang dhaif untuk menyaksikan kembali pemandangan yang tiada duanya ini!”
No comments:
Post a Comment