Dua hari yang lalu, 9 Maret 2009, ketika penulis sedang membuka Yahoo Messenger, tiba-tiba penulis tersambung dengan seorang sahabat yang saat ini menjadi dekan di sebuah universitas. Sahabat penulis itu menuturkan, universitasnya sedang menilai seorang tokoh untuk dianugerahi gelar doctor honoris causa. Mendengar penuturannya yang demikian, entah mengapa ingatan penulis segera teringat pada penganugerahan gelar kehormatan itu, oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia, kepada beberapa tokoh negeri ini belum lama ini. Dan, tiba-tiba pula penulis tergerak untuk melakukan searching perihal penganugerahan gelar kehormatan itu. Eh, ternyata penulis menemukan tulisan Winarso Drajad Widodo, PhD, seorang dosen IPB, Bogor, yang dimuat koran Media Indonesia, Edisi Rabu, 2 Oktober 2002, yang membahas masalah penganugerahan gelar kehormatan yang demikian itu. Melihat tulisan itu menarik untuk dimuat kembali, berikut penulis sajikan tulisan itu lengkap:
Pada Februari 2002 yang lalu, dunia pendidikan tinggi dihebohkan pertentangan antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Dikti dan beberapa perguruan tinggi terkenal tentang penyelenggaraan Program MM Kelas Jauh(PMKJ). Namun demikian, penyelenggaraan PMKJ tetap lancar-lancar saja hingga sekarang, sementara ‘ancaman’ dari Ditjen Dikti terhadap perguruan tinggi induk penyelenggara PMKJ belum terdengar dilaksanakan. Sementara wacana PMKJ menghangat, permasalahan lain yang lebih penting untuk ditindak-setidaknya oleh Ditjen Dikti-yaitu tentang beberapa lembaga penjual gelar akademik dari berbagai PT asing. Kemudian menyusul berita tuntutan DPRD Ponorogo agar bupati daerah itu mengembalikan gelar profesor yang diperolehnya dari Northern California Global University (NCGU). Hingga kini, kelihatannya gelar-gelar kehormatan yang ‘diobral’ dan difasilitasi oleh beberapa lembaga penjual gelar itu banyak peminatnya dan sulit ditangani oleh Ditjen Dikti.
Salah satu bukti banyaknya peminat adalah berita yang menyatakan penyanyi dangdut Cici Paramida dan penyanyi kroncong disko Rama Aiphama telah menerima gelar kehormatan doctor honoris causa dari American International University (AIU). Lembaga pengaju kedua penyanyi itu untuk dianugerahi gelar Dr HC adalah International Management Indonesia (IMI). Alasan penganugerahan gelar kehormatan itu-sesuai yang diceritakan Cici-cukup menarik bahwa AIU telah mengikuti kegiatan Cici sebagai pengabdi seni tanpa henti selama dua tahun. Yang sangat memprihatinkan, yang bersangkutan benar-benar menghargai gelar kehormatan itu sebagai anugerah (Kompas, Minggu 18/8/2002). Mengingat di Indonesia masih berlaku Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU 2/1989) yang mengatur dengan jelas tentang Gelar Kehormatan, maka penganugerahan gelar kehormatan kepada Bupati Ponorogo, Cici Paramida, Rama Aiphama, dan mungkin banyak tokoh lain sebelumnya sangat melanggar hukum. Paling tidak sangat mengherankan bahwa belum tampak adanya tindakan atau penertiban dari pihak pembuat kebijakan pendidikan, khususnya Ditjen Dikti.
Dalam UU 2/1989 Pasal 18 ayat (5) tertulis ‘Institut dan universitas yang memenuhi persyaratan berhak untuk memberikan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada tokoh-tokoh yang dianggap perlu memperoleh penghargaan amat tinggi berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, ataupun kebudayaan. Aturan itu juga tercantum dalam naskah RUU Sisdiknas-yang sedang digodok di DPR-pada Pasal 13 ayat (8), dengan menambahkan unsur ‘kesenian’. Bolehlah dianggap memang Cici dan Rama berjasa sangat luar biasa dalam bidang kesenian, sehingga pantas dianugerahi gelar doctor honoris causa. Namun, marilah kita tinjau dari segi hukumnya.
Menurut aturan dalam UU 2/1989, jelas bahwa yang berhak memberikan gelar kehormatan adalah universitas atau institut yang memenuhi persyaratan. Yang terjadi pada Cici dan Rama adalah bahwa lembaga pemberi anugerah memang mengaku sebagai universitas, bahkan universitas asing. Namun, pihak yang mengajukan Cici dan Rama bukan masyarakat seni atau kebudayaan, atau para guru besar dan ahli dari AIU sendiri, melainkan suatu lembaga yang belum jelas benar apakah lembaga pendidikan tinggi atau bukan, yaitu IMI. Aneh, karena seseorang diajukan menerima gelar doktor kehormatan kepada universitas asing, oleh lembaga lokal. Gelar kehormatan Cici dan Rama masih mendingan karena di Indonesia gelar kehormatan yang ada hanya doctor honoris causa. Yang lebih konyol adalah gelar profesor kehormatan untuk Bupati Ponorogo. Sudah gelarnya diterima dari universitas asing, yang diminta untuk mengiklankan adalah universitas swasta di wilayah kerja sang bupati sendiri.
Berkenaan dengan pemberian gelar kehormatan ini, penulis sempat dua kali menerima undangan penganugerahan gelar kehormatan, dari lembaga yang sama, yaitu Lembaga Informasi Fasilitas Indonesia (LIFI). Undangan pertama 7 Januari 2002 untuk wisuda 27 Januari 2002 di Bali Room Hotel Indonesia. Pada undangan pertama ini LIFI mengaku sebagai sekretariat NCGU, pemberi gelar profesor kepada Bupati Ponorogo. Surat undangan kedua tertanggal 23 Agustus 2002 untuk wisuda 29 September 2002 di Pulau Bidadari Room Hotel Horison. Anehnya pada undangan ini LIFI mengaku sebagai sekretariat Chicago International University (CIU). Undangan kedua ini dilengkapi dengan fotokopi upacara wisuda yang diselenggarakan pada 26 Mei 2002 di Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, Bali. Dilihat dari kedudukan LIFI yang berubah-ubah menjadi sekretariat beberapa universitas asing-yang kesemuanya berasal dari Amerika-sebenarnya sudah menggelikan. Lebih menggelikan dan konyolnya bahwa diundangnya penulis untuk menerima gelar kehormatan itu berdasarkan hasil Tim Pengamat CIU. Sayangnya, terdapat kesalahan gelar akademik asli yang telah penulis sandang. Satu-satunya informasi yang salah itu adalah catatan nama penulis sebagai pelanggan di PT Telkom. Dengan demikian, jelas bahwa Tim Pengamat CIU hanya melihat buku telepon.
Lebih lucu lagi, undangan kedua dilengkapi dengan proposal. Dalam proposal dituliskan, tujuan pemberian gelar kehormatan itu adalah ‘Menampilkan kembali para tokoh terpilih untuk dijadikan panutan bagi generasi muda dan memacu mereka dalam pembentukan sumber daya manusia yang handal dan berkualitas’. Sayangnya, persyaratan administrasi yang harus dipenuhi salah satunya adalah menyerahkan/membuat judul skripsi, tesis, disertasi (sesuai dengan program yang diambil). Ini jelas tindak pemalsuan akademik kelas berat. Jadi, jelas LIFI hanyalah ‘calo’ gelar akademi multistrata palsu. Pemalsuan itu adalah transkrip nilai dari CIU, AWU, NCGU, dan lain-lain universitas yang pernah ditawarkannya dan diberikan kepada para wisudawan. Apalagi, gelar kehormatan boleh dipilih sesuai dengan keinginan dan tingkat pendidikan terakhir para undangan wisuda. Permasalahannya adalah kepada siapa kita harus mengadu dengan adanya praktik ‘obral gelar kehormatan’ ini? Kemudian bagaimana menegakkan hukum kependidikan nasional? Terakhir, mengingat hampir selalu universitas-universitas yang bermurah hati dengan berbagai gelar kehormatan itu adalah dari Amerika Serikat, belum wajarkah kita mengajukan ‘protes keras’ kepada Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedubes Amerika Serikat? Ini adalah masalah kehormatan dari gelar kehormatan, bukan barang dagangan. Dampak luasnya adalah semakin mempermalukan bangsa ini.
No comments:
Post a Comment