Wednesday, January 20, 2010

"Istanbul! Istanbul! Istanbul!"


“Pak Rofi’,” ucap seorang seorang sahabat yang saat ini menjadi editor di sebuah perusahaan penerbitan, dua hari yang lalu, “insya Allah minggu depan saya akan pergi ke Istanbul, Turki. Dari Istanbul, kami akan meneruskan perjalanan ke Kairo, Mesir untuk menghadiri Cairo International Bookfair.”
“Istanbul! Istanbul! Istanbul!” gumam saya pelan, teringat keindahan kota yang terbelah di antara Benua Asia dan Benua Eropa itu.

Tak lama selepas mendengar penjelasan sahabat saya tentang rencana perjalanannya tersebut, segera “bayang-bayang” kota yang pernah bernama Constantinople itu pun melayang-layang dalam benak saya. Kenangan ketika tahun lalu mengunjungi Istanbul tahun lalu pun segera menyeruak: Dini hari itu (Selasa, 27 Rabi‘ Al-Akhir 1430 H/24 April 2009 M), selepas menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Madinah Al-Munawwarah, Arab Saudi (seusai melaksanakan ibadah umrah di Makkah Al-Mukarramah), pesawat Turkish Airlines yang kami (penulis dan istri) naiki pun mendarat dengan mulus di Ataturk International Airport. Jam di bandara modern yang terletak di Yesilpurt, suatu lokasi yang terletak sekitar 23 kilometer dari Sultan Ahmet Square, pusat pariwisata di Kota Istanbul, Turki saat itu menunjuk pukul setengah enam pagi. Karena pemeriksaan oleh petugas imigrasi lancar, demikian pula urusan bagasi, kami pun segera meninggalkan bandara baru dan megah (yang bentuknya mengikuti bentuk Masjid Biru, Istanbul) itu menuju Aksaray, Istanbul dengan naik taksi.

Perjalanan dari bandara menuju hotel tempat kami menginap pun berjalan lancar, karena hari masih pagi. Kabut tipis nan indah kala itu masih bertebaran di mana-mana. Tak lama selepas meninggalkan bandara, kami segera disambut pemandangan indah Laut Marmara, dengan pelbagai kapal yang sedang “berenang” dengan gagah dan tenangnya serta pelbagai bangunan indah di kanan dan kiri jalan nan mulus. Kota Istanbul pada pagi hari di puncak musim semi itu benar-benar tampak sangat indah dan bersih. Bunga-bunga tulip warna-warni di taman-taman sepanjang jalan sedang mekar begitu indah. Menikmati pelbagai sudut Kota Istanbul di pagi nan indah itu, entah mengapa, membuat penulis serasa sedang menikmati perjalanan pada 1422 H/2001 M di seputar Kota Frankfurt, Jerman.

Tak lama selepas tiba di hotel tempat kami menginap di Aksaray, dan selepas beristirahat beberapa lama, kami pun segera meninggalkan hotel untuk mengunjungi pelbagai sudut kota yang pernah bernama Constantinople itu. Diantar seorang sahabat, seorang mahasiswa Indonesia asal Semarang yang sedang menyelesaikan studinya di bidang sastra Turki di Universitas Marmara, Istanbul, pertama-tama kami naik bus menuju Taksim Square, alun-alun Kota Istanbul yang berada di benua Asia. Ini karena istri penulis akan melakukan heregistrasi kongres medis yang diselenggarakan di lingkungan Musium Militer Istanbul beberapa hari kemudian. Selepas urusan heregistrasi usai, tujuan utama kami hari itu adalah pergi ke Sultan Ahmet Square: kawasan yang kaya dengan pelbagai pusaka historis (historical heritages) yang terpelihara baik. Berbeda dengan Taksim Square yang berada di benua Asia, kawasan pariwisata di Kota Istanbul itu berada di benua Eropa.

Dari Taksim Square, dengan naik trem, kami kemudian menuju Kabatas dan kemudian menuju Eminonu, sebuah lokasi di tepi Selat Bosphorus. Selepas beberapa lama menikmati indahnya Selat Bosphorus di musim semi, dengan lautnya nan bersih dan pemandangannya nan indah, kami pun dengan berjalan kaki kemudian menuju Sultan Ahmet Square. Pemandangan sepanjang jalan antara Eminonu dan Sultan Ahmet Square benar-benar menarik perhatian penulis. Walau jalan sepanjang perjalanan penuh sesak dengan para turis, namun kebersihan kawasan sepanjang perjalanan tetap terpelihara dan suasana benar-benar nyaman. Tampaknya pemerintah daerah Kota Istanbul menyadari pentingnya pemeliharaan lingkungan pelbagai pusaka historis di kota itu, untuk menyukseskan program pariwisata yang mereka gelar. Pada hari itu, dan kemudian pada hari kedua, kami benar-benar “menikmati” pelbagai pusaka historis Kota Istanbul: Hippodrome, Masjid Biru, Tandon Air Basilika, Hagia Sophia, Istana Topkapi, Masjid Yeni, dan Istana Dolmabahce (sebuah istana peninggalan Dinasti Usmaniyyah yang terletak di tepi Selat Bosphorus yang sangat menawan). Di samping itu, kami juga berkesempatan menelusuri pelbagai penjuru sudut Kota Istanbul dengan trem dan metrobus yang nyaman.

Pada hari ketiga, dengan diantar seorang sahabat lain (seorang mahasiswa Indonesia asal Tasikmalaya yang sedang merampungkan program S-2 di Jurusan Matematika di Universitas Marmara), tujuan kami hari itu adalah mengunjungi dua masjid utama di Kota Istanbul. Pertama-tama kami mengunjungi Masjid Sehzade. Menurut catatan sejarah, masjid yang satu ini adalah salah satu puncak karya Sinan Pasya, seorang arsitek piawai Turki yang lahir di Anatolia pada 895 H/1489 M. Sang arsitek membangun masjid itu ketika berusia 58 tahun atas perintah Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Masjid tersebut terdiri dari tiga bagian utama: bangunan dalam, bangunan luar, dan pelataran. Bangunan dalam dihiasi dengan enam belas kubah dengan penyangga pilar-pilar pualam. Di bagian ini terdapat tempat wudhu berbentuk persegi delapan. Masjid yang satu ini juga dihiasi kubah utama yang tingginya mencapai 37 meter dengan garis tengah kubah utama ini 18,42 meter. Kubah utama itu dikitari empat kubah yang lebih kecil ukurannya. Setiap separuh dari kubah-kubah kecil tersebut menempati dinding kubah utama, sehingga memberi kesan masjid itu tampak kian luas.

Selepas puas menikmati kunjungan kami ke Masjid Sehzade, yang lokasinya berseberangan dengan lokasi Balaikota Istanbul, kami kemudian dengan berjalan kaki menuju lokasi masjid kedua, yaitu Masjid Sulaimaniyyah. Menurut catatan sejarah, masjid yang saat itu sedang dipugar merupakan salah satu masjid dari tiga masjid yang merupakan karya-karya puncak Sinan. Masjid tersebut ia rancang selepas ia merampungkan pembangunan Masjid Sehzade. Seperti halnya Masjid Sehzade, Masjid Sulaimaniyyah yang didirikan di lokasi yang sebelumnya merupakan istana juga dibangun atas permintaan Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Karena itu, nama masjid itu pun diambil dari nama sang khalifah. Lokasi masjid yang dibangun pada 965 H/1557 M tersebut dipilih di atas sebuah bukit yang menjadi pusat Selat Bosphorus. Sehingga, dari selat itu, Masjid Sulaimaniyyah menjadi titik pusat yang sangat menarik perhatian dan pemandangan. Selain memiliki rancangan arsitektur yang sangat indah, lantai masjid itu dihampari pualam. Sedangkan dekorasi kaligrafi Arab sangat indah yang menghiasi masjid tersebut merupakan buah karya seorang kaligrafer ternama waktu itu, Hassan Effendi Celebi.

Betapa bahagia hati saya hari itu, karena akhirnya saya diberi kesempatan Allah Swt. untuk mengunjungi Masjid Sulaimaniyyah yang sejak lama saya dambakan untuk dapat saya datangi. Selain mengunjungi masjid itu, kami pun waktu itu berkesempatan mengunjungi makam Sinan Pasa yang berada di samping masjid yang satu itu, di samping juga mengunjugi beberapa tempat wisata yang menarik di seputar Kota Istanbul. Antara lain Masjid Yeni, makam seorang sahabat Nabi Saw., yaitu Abu Ayyub Al-Anshari (yang gugur ketika ikut serta dalam ekspedisi militer yang terdiri dari 39 kapal perang dalam upaya pertama kaum Muslim pada masa pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, penguasa pertama Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah untuk menaklukkan kota itu pada 49 H/669 M), dan Taman Miniatur Turki. Dan, selepas menikmati dan mengunjungi pelbagai sudut Istanbul selama enam hari, kami kemudian kembali ke Indonesia dengan kenangan yang sulit kami lupakan tentang kota yang akhirnya berhasil direbut Muhammad II Al-Fatih dari tangan penguasa Romawi itu pada 857 H/1453 M.

1 comment:

azzah syalalah said...

subhanallah...tulisan Om Rofi membuat azzah semakin bersemangat untuk dapat mewujudkan impian kesana.mohon doanya Om Rofi.amin ya Robb..