Tuesday, February 23, 2010

Pesan Indah Al-Ghazali


Tadi pagi, ketika Aa Emuh dari Khalifah Tour meminta kepada penulis agar pada hari Sabtu nanti (27 Februari 2010) memberikan paparan tentang ibadah umrah, entah kenapa Al-Ghazalilah yang muncul dalam benak. Al-Ghazali, seorang ulama dan pemikir terkemuka yang terkenal dengan karya besarnya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, mungkin Anda telah mengenalnya. Tokoh dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali ini, menurut catatan sejarah, lahir di Thus, Khurasan, pada 450 H/1058 M. Pada masa kecilnya ia belajar di bawah bimbingan Ahmad Ar-Radzkani. Selepas itu, ia lantas pergi ke Jurjan dan belajar kepada Imam Abu Nashr Al-Isamili. Dari Jurjan, ia kemudian kembali ke Thus, lalu merantau ke Nishapur. Di kota terakhir itu, ia belajar kepada Abu Al-Ma‘ali Al-Juwaini, yang mendapat gelar Imâm Al-Haramain. Ia tetap mendampingi gurunya itu hingga sang guru berpulang pada 478 H/1085 M. Ia lalu melanjutkan kelama ilmiahnya ke Al-‘Askar.

Enam tahun kemudian, Al-Ghazali memasuki Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah. Empat tahun lamanya ia mengajar di lembaga pendidikan kenamaan tersebut. Melalui jabatannya sebagai maha guru, namanya berkibar. Sehingga, ia dipandang sebagai seorang pemikir yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi. Tidak saja di lingkungan lembaga itu. Tetapi, juga di kalangan pemerintahan di Baghdad.

Pada 488 H/1095 M Al-Ghazali meninggalkan Baghdad, dengan memberikan kesan akan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi, sejatinya kala itu ia sedang mengalami krisis dalam kehidupan ruhaniahnya. Untuk mengatasi krisis itu, ia kemudian meninggalkan segala hasil keilmuannya dan ketenaran namanya, yang telah ia bangun dengan kedudukannya sebagai mahaguru yang tenar dan tersohor, dan memasuki hidup berkontemplasi. Kemudian, dari bilik-bilik tertutup di masjid-masjid Damaskus dan Bait Al-Maqdis dan dari keheningan tafakur, ia tatap dengan kritis arus pemikiran agama dominan yang, dengan meninggalkan dunia ramai, kini secara lahiriah telah ia tinggalkan pula. Selepas itu, baru kemudian ia pergi menunaikan ibadah haji.

Dari Makkah Al-Mukarramah, pada 489 H/1096 M, Al-Ghazali merantau ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus. Selama menetap di kota terakhir itulah ia menyusun karya puncaknya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn. Nah, kepada orang yang melaksanakan umrah dan telah berada di Makkah Al-Mukarramah, Al-Ghazali dalam karya besarnya itu (iii: 120-123) antara lain berpesan, “Ketika memasuki Makkah Al-Mukarramah, hendaknya Anda ingat, kini Anda telah tiba dengan aman di Tanah Haram milik Allah Swt. Selain itu, hendaknya di kota itu Anda mengharap, dengan memasuki Kota Suci itu dengan aman, kiranya Anda akan aman pula dari siksa Allah Swt. Juga, hendaknya Anda merasa khawatir bahwa Anda sejatinya tidak berhak mendekati kota itu. Sehingga, dengan memasuki Tanah Haram, membuat diri Anda merugi dan layak menerima celaan. Namun, walau demikian, dalam seluruh waktu Anda, hendaknya harapan Andalah yang lebih kuat. Ini karena kedermawanan Allah Swt. ada di mana-mana dan Ia adalah Zat Yang Maha Penyayang. Lagi pula, kemuliaan Baitullah begitu agung: hak orang yang berziarah ke sana akan dipelihara dan permohonan perlindungan orang yang memohon perlindungan tidak akan disia-siakan.”

Kemudian, ketika orang yang bermaksud melaksanakan umrah itu telah berada di lingkungan Masjid Al-Haram, tokoh yang mendapat sebutan Hujjah Al-Islâm itu berpesan, “Selanjutnya, ketika pandangan Anda terarah ke Baitullah, seyogyanya dalam kalbu Anda timbul perasaan betapa agungnya Baitullah. Andaikanlah diri Anda saat itu seakan melihat Yang Memiliki Baitullah, karena Anda sangat mengagungkan Baitullah. Juga, hendaknya Anda berharap, kiranya Allah Swt. menganugerahkan kepada Anda kesempatan memandang wajah-Nya Yang Maha Mulia, laksana kesempatan yang telah dikaruniakan kepada Anda untuk memandang Rumah-Nya yang agung. Di samping itu, hendaknya Anda juga bersyukur kepada Allah Swt., karena Anda telah diantarkan hingga ke peringkat ini dan dimasukkan dalam jamaah yang datang dan menghadap kepada-Nya. Pada saat itu, hendaknya Anda ingat peristiwa dihimpunnya seluruh anak manusia pada Hari Kiamat kelak...”

“Kemudian ketika melaksanakan tawaf di Baitullah, perlu Anda ketahui, tawaf adalah shalat. Karena itu, hendaknya Anda menghadirkan dalam kalbu Anda keagungan Allah, rasa takut dan rasa harap kepada-Nya, dan seluruh perasaan cinta Anda kepada-Nya. Perlu diketahui, dengan melaksanakan tawaf, sejatinya Anda mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan mengelilingi seputar ‘Arasy! Janganlah Anda berpandangan bahwa maksud tawaf adalah melaksanakan tawaf mengelilingi Ka‘bah dengan tubuh Anda. Namun, maksud tawaf adalah melaksanakan tawaf dengan kalbu Anda, dengan senantiasa ingat kepada Sang Pemilik Baitullah. Sehingga, karena itu, Anda tidak memulai berpikir melainkan dari-Nya dan mengakhirinya dengan-Nya. Ini laksana tindakan Anda yang mengawali tawaf dari Baitullah dan mengakhirinya dengan Baitullah... Kemudian, ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya Anda yakin bahwa Anda sedang menjalin sumpah kesetiaan dengan Allah Swt. dan Anda akan mematuhi-Nya. Karena itu, teguhkanlah cita-cita Anda dalam menyempurnakan sumpah kesetiaan Anda... ”

Manakala orang itu telah rampung melaksanakan tawaf dan kemudian menuju Bukit Shafa untuk melaksanakan sa‘i, Al-Ghazali berpesan, “Kemudian, ketika melaksanakan sa‘i di antara Bukit Shafa dan Marwah, laksanakanlah sa‘i laksana bolak-baliknya seorang hamba di halaman istana seorang raja. Hamba itu datang dan pergi berkali-kali untuk menyatakan ketulusan pengabdiannya dan mendambakan perhatian dengan pandangan kasih sayang, laksana orang yang masuk dan keluar dalam menghadap seorang raja, sedangkan ia tidak tahu apa yang akan ditetapkan sang raja terhadap dirinya: diterima atau ditolak. Karena itu, ia pun senantiasa bolak-balik di halaman istana itu berkali-kali, seraya mengharap kiranya ia berhasil meraih kasih sayang pada kali kedua, bila ia gagal meraihnya pada kali pertama.”

“Selanjutnya,” demikian tokoh yang melewatkan usia senjanya di tempat kelahirannya hingga ia menghadap Yang Maha Pencipta pada Senin, 14 Jumada Al-Tsaniyyah 505 H/19 Desember 1111 M, dengan meninggalkan banyak karya, antara lain Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, Al-Iqtishâd fi Al-I‘tiqâd, Ayyuhâ Al-Walad, Al-Munqidz min Al-Dhalâl, Maqâshid Al-Falâsifah, dan Tahâfut Al-Falâsifah, itu mengakhiri pesan indahnya, “ketika bolak-balik di antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah, hendaknya Anda ingat pulang-pergi Anda di antara dua timbangan (al-mîzân) pada lapangan sangat luas pada Hari Kiamat kelak. Juga, hendaknya Bukit Shafa Anda umpamakan laksana timbangan kebaikan dan Bukit Marwah laksana timbangan keburukan. Selain itu, hendaklah Anda ingat bolak-balik Anda di antara dua timbangan itu dengan memandang pada beratnya dan ringannya, sedangkan pikiran Anda bolak-balik di antara siksaan dan ampunan.” (arofiusmani.blogspot.com/)