Monday, March 1, 2010
Doa untuk Seorang Maestro
Kamis minggu lalu (25 Februari 2010 M), ketika saya sedang asyik menulis sebuah buku yang sedang saya siapkan untuk Penerbit Mizania, tiba-tiba hp saya berdering. Saya pun segera mengangkat hp itu. Begitu hp itu saya angkat, tiba-tiba suara ramah dan santun dari seberang pun berbunyi, “Assalamu’alaikum, Rofi’. Apa kabar? Sehat saja kan? Saat ini Rofi’ sedang ada di mana?”
Sejenak saya termenung dan mengingat-ingat suara itu. Dan, segera saja saya mengenali suara yang telah saya kenal sejak lama, tapi lama tak saya dengar, suara Ir. Achmad Noe’man, seorang arsitek senior Indonesia yang terkenal sebagai perancang Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB). Entah kenapa, saya senantiasa merasa bahagia setiap kali mendengar suara tokoh berwajah teduh itu. Tokoh yang santun, ramah, dan kuat dalam memegang nilai-nilai yang mulia ini memang sering berkomunikasi dengan saya. Biasanya, kalau beliau menelpon saya, beliau ingin menanyakan sesuatu. Segera, saya pun menjawab, “Wa’alaikumussalam, Pak Nou’man…Alhamdulillah, saya sehat dan afiat saja, Pak. Saya ada di Baleendah. Bapak sehat saja, kan. Rasanya sudah hampir setahun saya gak bertemu Bapak.”
Entah kenapa pula, tiba-tiba dalam benak saya terbayang Masjid Salman ITB yang lama tidak saya kunjungi. Sebuah masjid sederhana, tapi indah, dengan kubah terbalik di lingkungan kampus ITB.
Menurut catatan sejarah, masjid itu dirancang Pak Nou’man. Berdirinya masjid ini sendiri ini bermula dari bangkitnya kesadaran kehidupan beragama pada sebagian civitas akademika, dosen, mahasiswa, dan karyawan ITB. Kondisi yang demikian itu kemudian mendorong mereka untuk mengupayakan berdirinya sebuah masjid. Cikal bakal semangat ini bersemi sekitar 1374 H/1953 M, dengan dilakukannya beberapa kegiatan. Lantas, pada 1379 H/1959 M, mulai dibentuk suatu kepanitiaan, yakni Panitia Pembangunan Masjid Kampus ITB. Pada tahun berikutnya, tepatnya pada Jumat, 1 Dzulhijjah 1379 H/27 Mei 1960 M, diselenggarakan shalat Jumat pertama di Aula Barat ITB. Kemudian, pada Dzulqa‘dah 1382 H/Maret 1963 M, kepanitiaan tersebut dikukuhkan menjadi suatu badan hukum, yaitu “Yayasan Pembina Masjid Salman”, dengan ketua umum pertamanya Prof. TM. Soelaeman. Nama masjid ini sendiri, “Salman”, diambil dari nama seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. berdarah Persia, Salman Al-Farisi: seorang arsitek pembuatan parit pertahanan dalam Perang Khandaq. Idenya yang cemerlang itu menjadi inspirasi bagi Presiden Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, sewaktu memberi nama masjid ini. Bung Karno sendiri, begitu melihat rancangan masjid yang kubahnya terbalik itu, langsung berkomentar, “Waah, ini rancangan masjid yang berciri khas Indonesia!” Saat itu juga Bung Karno pun membubuhkan tanda tangan persetujuannya atas rancangan itu. Menara adalah bangunan pertama yang didirikan. Lantas, pada Jumat, 21 Rabi‘ Al-Awwal 1392 H/5 Mei 1972 M, bangunan ini resmi dibuka oleh Rektor ITB kala itu, Prof. Dr. Doddy Tisna Amijaya (alm.). Dalam perjalanan masjid ini selanjutnya, berbagai kegiatan marak dilakukan dalam rangka memakmurkan masjid ini.
“Ya, alhamdulillah, saya juga sehat. Benar, lama kita tidak bertemu. Rofi’, bolehkah saya mengganggu?”
“Silakan, Pak.”
“Begini, Rofi’, saat ini sedang merancang desain kaligrafi Masjid Baiturrahim, Jakarta. Rancangan itu sudah selesai. Saya ingin Rofi’ datang ke Birano, untuk mengecek desain itu. Saya tidak ingin ada kesalahan pada desain itu. Karena itu, saya harap Rofi’ mau mengeceknya, dengan melihatnya langsung.”
“Pak Nou’man, insya Allah akan saya cek dan lihat desain itu. Kebetulan hari Sabtu saya ada acara di Khalifah Tour. Bagaimana kalau selepas itu saya ke Jalan Ganesha no. 3?”
“Alhamdulillah, terima kasih, Rofi’. Hari Sabtu saya tunggu ya. Assalamu’alaikum…”
Dua hari kemudian, Sabtu 27 Februari 2010 M, selepas menghadiri suatu pertemuan yang diadakan Khalifah Tour, saya kemudian menuju ke Masjid Salman ITB bersama Ustadz Hervy Firdaus. Sekitar pukul satu siang, saya kemudian menuju sebuah pavilion yang terletak di Jalan Ganesha no. 3. Di situlah kantor Pak Nou’man, PT Birano, berada. Selepas mengetuk pintu pavilion itu beberapa lama, keluarlah tokoh yang telah saya kenal sejak 1985 M itu. Beliau sendiri yang membukakan pintu. Karena hari itu hari Sabtu dan libur, tiada seorang pun karyawan yang hadir. Dengan kata lain, yang ada di kantor itu hanya Pak Nou’man. Sendirian.
Selepas melintasi sebuah lorong, kami kemudian memasuki sebuah ruang kecil berukuran tak lebih dari 3 x 3 meter di sebelah kanan ujung lorong. Begitu memasuki ruang yang menurut saya sangat sederhana bagi seorang maestro seperti halnya Pak Nou’man, mata saya pun segera “menari-nari” ke pelbagai “penjuru” ruang itu. Di dalam ruang itu terdapat sebuah meja satu biro. Di meja itu saya lihat ada sebuah Al-Quran dan Al-Mu‘jam Al-Mufahraz. Di belakang meja itu terdapat rak-rak yang sarat dengan buku-buku arsitektur, sementara di sebelah kiri meja terdapat rak yang berhiaskan sebuah pesawat radio lama yang sedang menyiarkan lagu-lagu jazz. Tanpa bertanya, saya segera menyadari bahwa Radio KLCBSlah yang sedang “naik pentas”. “Ya Allah, betapa sederhana ruang kerja Pak Nou’man ini,” tak terasa bibir saya tiba-tiba bergumam sangat pelan. “Tapi, di tempat yang sederhana ini lahir pula karya-karya besar. Sungguh, Engkau Maha Pemurah dan Maha Adil, ya Allah. Lewat kesederhanaan hidup dan keteguhan bersikap yang mewarnai kehidupan Pak Nou’man, Engkau karuniakan karya-karya besar lewat tangan Pak Nouman.”
Tak lama kemudian, kami pun terlibat dalam perbincangan panjang. Dalam perbincangan itu, Pak Nou’man, antara lain, mengemukakan bahwa saat itu beliau sedang terlibat dalam kegiatan pemugaran Masjid Baiturrahim di lingkungan Istana Merdeka, Jakarta. Di sela-sela perbincangan itu, tokoh yang pernah menjadi anggota Corps Polisi Militer di Bandung dengan pangkat letnan dua itu menunjukkan beberapa desain kaligrafi yang akan menghiasi pintu utama masjid itu dan meminta saya untuk mengecek keligrafi-kaligrafi itu. Saya sendiri sejatinya tak tahu, kenapa sayalah yang diminta Pak Nou’man untuk mengeceknya. Dan, di sela-sela perbincangan itu, saya bertanya, “Usia Pak Nou’man sekarang berapa?”
“Menjelang 86 tahun, Rofi’,” jawab tokoh yang pernah menimba ilmu di Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah Ketanggungan, Yogyakarta dan Institut Teknologi Bandung, Bandung itu seraya tersenyum
“Ya Allah, 85 tahun masih gagah dan tetap melahirkan karya-karya yang bermanfaat untuk umat,” gumam pelan saya seraya menatap wajah yang merancang sekian banyak masjid itu. Termasuk Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar, Masjid At-Tin di Jakarta, dan Masjid Istiqlal Indonesia (sebuah masjid megah berukuran 30 x 30 meter, sumbangan pemerintah dan bangsa Indonesia kepada pemerintah dan bangsa Bosnia Herzegovina yang dibangun di Novi Grad, Otoka Maendar, kawasan Sarajevo Barat).
Entah kenapa, selepas berpamitan, saya segera “lari” dan pulang ke rumah, dengan tujuan mengecek usia sebenarnya tokoh yang ketika Indonesia memasuki “zaman revolusi” pernah bergabung dengan Divisi Siliwangi itu. Ketika melihat sebuah catatan tentang biografi mantan Ketua Yayasan Universitas Islam Bandung itu, ternyata beliau lahir di Garut pada Jumat, 11 Rabi‘ Al-Awwal 1343 H/10 Oktober 1924 M. Melihat catatan itu, saya pun berucap pelan, “Masya Allah, bukankah kalau menurut perhitungan tahun hijriah Pak Nou’man tahun ini telah berusia 88 tahun…”
Kemudian. ketika shalat asar tiba dan seusai melaksanakan shalat itu, saya pun secara khusus mendoakan Pak Nou’man. Lantas, seusai berdoa, entah kenapa tiba-tiba saya bergumam pelan, “Pak Nou'man, kiranya Allah menerima, memberkahi, dan meridhai seluruh amal Bapak. Dan, kiranya Allah senantiasa menganugerahkan karunia yang terbaik kepada Bapak. Di dunia dan akhirat. Amiin.” (Tulisan ini dipersembahkan khusus kepada tokoh yang sangat saya hormati: Bapak Ir. Achmad Nou’man) (arofiusmani.blogspot.com)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment