Friday, March 19, 2010

Syaikh Al-Azhar dari Indonesia, Kenapa Tidak?


Sekitar sepuluh hari yang lalu, tepatnya pada Rabu, 24 Rabi‘ Al-Awwal 1431 H/10 Maret 2010 M, sebuah email saya terima: Syaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi, berpulang ke hadirat Allah di Riyadh, Arab Saudi karena serangan jantung. “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un…,” gumam saya pelan dan kemudian disambung dengan doa.

Segera saja, benak saya pun melayang-layang menuju Kairo, Mesir. Pertama-tama, benak saya melayang-layang menuju sebuah bangunan antik dengan bill-board di atasnya dengan tulisan “Idârah Al-Azhâr” dan terletak di antara dua masjid: Masjid Al-Azhar dan Masjid Al-Husain bin ‘Ali. Selepas itu, benak saya melayang-melayang menuju sebuah bangunan baru di Darasah, Kairo, di samping Gedung Mufti Mesir. Di dua bangunan itulah para Syaikh Al-Azhar berkantor. Namun, bangunan pertama kini tidak lagi dipakai sebagai Gedung Syaikh Al-Azhar.

Al-Azhar sendiri, sebagai sebuah lembaga pendidikan tertua di dunia Islam, mulai dipancangkan pertama kali pada Senin, 24 Jumada Awwal 359 H/4 April 970 M, oleh seorang panglima Dinasti Fathimiyyah yang memimpin penaklukan Mesir, Jauhar Al-Shiqilli. Namun, lembaga ini baru dibuka secara resmi pada Jumat, 7 Ramadhan 361 H/22 Juni 972 M. Pada hari itulah lembaga ini mulai dibuka sebagai masjid. Sedangkan kedudukannya sebagai lembaga pendidikan baru bermula empat tahun kemudian. Tepatnya,pada Ramadhan 365 H/Oktober 975 M.

Sebagai pengasuh pertama lembaga ini dipilih Abu Al-Hasan ‘Ali bin Al-Nu'man Al-Qairuwani yang kala itu menjabat Ketua Mahkamah Agung. Dari namanya nampak, tokoh itu berasal dari Qairuwan, Tunisia. Memang, penguasa Mesir kala itu, dari Dinasti Fathimiyyah yang beralirankan Syi‘ah, baru saja pindahan dari Tunis. Mereka juga membawa serta para ilmuwan yang sealiran dengan mereka. Kajian-kajian yang diberikan di lembaga pendidikan ini kala itu berkisar di seputar materi-materi agama, bahasa, logika, dan astronomi. Para pengajarnya yang terdiri sekitar 30 orang. Antara lain Menteri Abu Al-Faraj Ya‘qub bin Yusuf bin Killis. Menteri ini mengajar usul fikih versi Aliran Syi‘ah, dengan berpedomankan Kitab Al-Risalah Al-‘Aziziyyah.

Corak syi‘i yang mewarnai lembaga pendidikan ini baru berakhir kala Mesir jatuh ke tangan Dinasti Ayyubiyyah yang didirikan oleh Shalahuddn Al-Ayyubi. Di bawah dinasti ini, Al-Azhar pun berganti baju. Kini, lembaga ini menjadi bercorak sunni. Segera, lembaga ini mekar dengan cepat. Perkembangan ini mencapai puncaknya ketika Andalusia lepas dari pelukan kaum Muslim dan Baghdad luluh lantak akibat gempuran serdadu-serdadu Mongol. Al-Azhar menjadi tempat pelarian para ilmuwan dari kedua kawasan itu. Bukan luar biasa bila lembaga ini, selepas itu, segera menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia Islam. Perkembangan ini ditopang oleh dukungan para penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan.

Selama itu, Al-Azhar belum lagi dipimpin seorang Syaikh Al-Azhar. Jabatan itu baru pertama kali diadakan pada 1101 H/1690 M. Pemegang pertama jabatan ini adalah Syaikh Muhammad ‘Abdullah Al-Kharrasyi. Hingga tahun 1355 H/1936 M, jabatan ini dapat diwariskan. Kemudian sejak, 1366 H/1946 M keluar aturan yang membolehkan pemegang jabatan itu berasal dari lingkungan Al-Azhar. Pengangkatan pemegang jabatan ini ditetapkan oleh Kepala Negara Mesir. Dalam perjalanan sejarah jabatan ini, sebagian besar pemegangnya berasal dari Mazhab Syafi‘i.

Pemegang jabatan Syaikh Al-Azhar sendiri memimpin lima lembaga: Majelis Tinggi Al-Azhar, Lembaga Riset Islam, Biro Kebudayaan dan Missi Islam, Universitas Al-Azhar, dan Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah. Majelis Tinggi al-Azhar merupakan lembaga tertinggi yang menggariskan kebijaksanaan umum al-Azhar. Majelis ini terdiri dari Syaikh Al-Azhar (sebagai Ketua), Wakil Syaikh Al-Azhar, Rektor Universitas Al-Azhar, para dekan berbagai fakultas di lingkungan Universitas Al-Azhar, empat orang dari Lembaga Riset Islam, seorang wakil dari berbagai Kementerian Mesir, Kepala Biro Kebudayaan dan Missi Islam, Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Al-Azhar, dan tiga pakar pendidikan tinggi.

Syaikh Al-Azhar merupakan jabatan umat, semacam kepausan di kalangan para pengikut Agama Kristen Katolik. Kurang lebih begitu, tapi tak sama persis, karena di Dunia Islam yang beraliran sunni tidak mengenal sistem seperti itu. Di sisi lain, jabatan itu merupakan jabatan independen dan otonom yang memiliki otoritas penuh tanpa campur tangan pemerintah. Tapi, sejak Presiden Anwar Sadat berkuasa, pemerintah Mesir mulai menggoyang kedudukan Syaikh Al-Azhar untuk masuknya campur tangan pemerintah Mesir di dalamnya. Ini karena sebenarnya jabatan Syaikh Al-Azhar setara kedudukannya dengan jabatan Perdana Menteri. Malah, konon, kekayaan wakaf Al-Azhar lebih banyak dari kekayaan pemerintah Mesir itu sendiri.

Namun, usaha yang dilakukan oleh Presiden Anwar Sadat senantiasa kandas di tangan kewibawaan seorang Syaikh Al-Azhar yang kala itu dijabat oleh Prof. Dr. Syaikh ‘Abdul Halim Mahmud. Siapakah tokoh dan ulama kharismatik yang satu ini? Syaikh Al-Azhar Mesir ke-40 yang juga terkenal sebagai seorang pemikir Muslim terkemuka dan penulis yang produktif ini lahir di Desa Abu Ahmad (sekarang disebut Desa Salam), Bilbis, provinsi Syarqiyah pada Selasa, 29 Rabi‘ Al-Akhir 1328 H/10 Mei 1910 M dalam lingkungan keluarga yang terkenal dermawan dan penghapal Al-Quran, dengan nama lengkap ‘Abdul Halim bin Mahmud bin ‘Ali bin Ahmad. Selepas menimba ilmu-ilmu keislaman di tempat kelahirannya, pada 1342 H/1923 M ia memasuki dunia pendidikan di lingkungan Al-Azhar, yakni di Perguruan Awwaliyyah. Sembilan tahun selepas itu ia berhasil meraih gelar al-‘âlimiyyah (setingkat magister) termuda sepanjang sejarah Al-Azhar, dalam usia 22 tahun. Lantas, ia bertolak ke Paris, Perancis, untuk menimba ilmu di Universitas Sorbonne dengan biaya sendiri.

Ketika anak keturunan ‘Ali bin Abu Thalib dari garis ayahandanya ini sedang meniti pendidikan di Perancis, Perang Dunia II berkecamuk dan menyelubungi negeri itu. Meski demikian, ia tetap melanjutkan pendidikannya. Sehingga gelar doktor dari universitas terkemuka di Kota Cahaya ini, di bidang tasawuf, ia raih pada 1359 H/1940 M di bawah bimbingan seorang orientalis terkemuka Perancis kala itu, Louis Massignon. Disertasinya tentang seorang tokoh sufi terkemuka pada masa pertengahan: Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi. Dan, karena suasana perang kala itu sedang mencekam, ia terpaksa pulang ke negerinya dalam waktu yang cukup lama, dengan melewati Tanjung Harapan, Afrika.

Setiba di Mesir, ulama dan ilmuwan yang acap menghadiri berbagai pertemuan Islam internasional ini diangkat menjadi staf pengajar di bidang ilmu jiwa di Fakultas Bahasa Arab di almamaternya. Pada 1371 H/1951 M tugasnya dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin di universitas yang sama. Lantas, pada 1384 H/1964 M, ulama yang pernah menjadi penasihat keagamaan Presiden Anwar Sadat ini diangkat menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin. Pada tahun yang sama ia juga menjadi anggota Lembaga Riset Islam (Majma‘ Al-Buhuts Al-Islâmiyyah). Jabatan Menteri Wakaf Mesir dipegang ulama yang berpendapat bahwa “tasawuf adalah jalan yang selamat, akomodatif, dan konstruktif bagi kehidupan dan kemajuan” ini pada 1390 H/1970 M. Sedangkan jabatan tertinggi Al-Azhar, Syaikh Al-Azhar, menggantikan Muhammad Al-Fahham, diduduki ulama yang juga menjabat dosen terbang di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Zaitunah di Tunisia dan Universitas Islam di Libya ini sejak 1393 H/1973 M.

Nah, baru selepas Prof.Dr. ‘Abdul Halim Mahmud berpulang berpulang di Kairo pada Selasa, 14 Dzulqa‘dah 1398 H/17 Oktober 1978 M, campur tangan pemerintah Mesir mulai masuk ke dalam otoritas Syaikh Al-Azhar. Di sisi lain, sejatinya jabatan Syaikh Al-Azhar bukan hanya milik ulama Mesir. Tapi jabatan tersebut merupakan milik Dunia Islam. Siapa pun ulama dan tokoh Dunia Islam berhak menjadi Syaikh Al-Azhar dan bila terpilih tentunya. Memang, selama ini baru sekali jabatan itu dipegang seorang ulama non-Mesir. Karena itu, saya sepakat kiranya ada ulama Indonesia menjadi Syaikh Al-Azhar. Bukankah banyak putra-putra Indonesia yang lulusan Al-Azhar dan kini menjadi ulama terkemuka? Kenapa tidak!

No comments: