Monday, December 6, 2010
Kado Cinta untuk Muslimah
Sore hari itu, Jumat, 3 Desember 2010 M, usai mendampingi para ustadz dan ustadzah yang mengajarkan tata cara membaca Al-Quran kepada sekitar 70 anak yang sedang mengaji di rumah, seorang kurir datang menyerahkan sebuah bungkusan. Ternyata, bungkusan yang berasal dari Penerbit Mizania, Bandung itu berisi lima buku berjudul Kado Cinta untuk Muslimah. Menerima buku-buku tersebut, sebersit kebahagiaan “menyelinap” dalam kalbu. Tentu, penulis manapun akan merasa setiap kali menyaksikan karyanya terbit. Sejatinya, karena terlalu asyik dengan kegiatan penulisan sebuah karya lain, beberapa lama saya lupa pernah menyusun Kado Cinta untuk Muslimah itu.
Karya yang baru terbit itu sendiri saya susun untuk menyempurnakan karya-karya saya sebelumnya yang merupakan untaian kisah-kisah pilihan tentang: Teladan Indah dalam Ibadah, Rumah Cinta Rasulullah, Mutiara Akhlak Rasulullah, Wangi Akhlak Rasulullah, dan Pesan Indah dari Makkah dan Madinah. Semua karya itu diterbitkan Penerbit Mizania, Bandung. Selaras dengan judulnya, Kado Cinta untuk Muslimah menyajikan 60 fragmen memikat dan menawan yang berkaitan dengan kehidupan para Muslimah yang berkenaan cinta, pernikahan, kebahagiaan, keibuan, nilai-nilai luhur, perjuangan untuk meniti jalan lurus, dan lain-lainnya. Nah, salah satu kisah yang disajikan dalam Kado Cinta untuk Muslimah adalah kisah berikut:
Entah mengapa hari itu Sari Al-Saqathi ingin menapakkan kakinya ke sebuah rumah sakit. Sari Al-Saqathi, atau lebih lengkapnya Abu Al-Hasan Sari Al-Mughallis Al-Saqathi, adalah seorang sufi di Badghdad Dar Al-Salam. Kebanyakan para tokoh sufi semasanya di Irak adalah murid sufi yang semula berprofesi pedagang loakan ini.
Mungkin, dengan mengunjungi rumah sakit, sufi yang berpulang pada 253 H/867 M di usia sembilan puluh delapan tahun itu dapat berkaca dari orang-orang yang sedang tertimpa musibah. Ketika tiba di rumah sakit, entah mengapa kegelisahan dan kegalauan yang menyergap kalbunya tiba-tiba sirna. Tak berapa lama berada di rumah sakit, tiba-tiba pandangannya terpaku kepada seorang gadis cantik, tinggi, dan semampai tapi lunglai tanpa daya. Busana yang dikenakannya menunjukkan ia berasal dari kalangan berkecukupan. Harum wewangian dari tubuhnya pun segera menyergap penciuman sang sufi, begitu sang sufi dekat dengan gadis itu. Anehnya, kedua kaki dan tangannya terikat, sehingga membuatnya tak berdaya.
Ketika si gadis melihat sang sufi, tiba-tiba lelehan air mata membasahi kedua pipinya. Kemudian ucapnya pelan, “Janganlah melecehkan aku. Kedua tangan dan kakiku terikat bukan karena salahku. Tak pernah aku berkhianat. Apalagi menipu!”
Mendengar ucapan yang demikian, Sari Al-Saqathi pun bertanya kepada seorang perawat di rumah sakit itu, “Siapakah gadis itu?”
“Ia adalah seorang budak yang sedang sakit jiwa. Majikannya lantas mengikatnya, barang kali dapat membuatnya sehat sebagaimana sedia kala,” jawab perawat itu.
Kemudian tampak, oleh Sari Al-Saqathi, lelehan air mata gadis itu kian tak terbendung begitu mendengar ucapan perawat itu. Kemudian, ucap gadis itu pelan, “Duh, manusia! Aku tidak gila. Sejatinya, aku sedang terbuai cinta. Tapi, kalbuku tetap sebagaimana sedia kala. Kalian mengikat kedua tanganku. Padahal, tiada salah apa pun yang kuperbuat, kecuali upayaku untuk mencintai-Nya. Aku sedang terbuai oleh cinta kepada Kekasihku. Kesembuhanku terletak pada sesuatu yang menurut kalian merusakkan diriku. Dan, kerusakanku terletak pada sesuatu yang menurut kalian membuat kesembuhanku.”
Mendengar ucapan gadis itu, tak terasa lelehan air mata menghiasi kedua pipi Sari Al-Saqathi. Melihat lelehan air mata di kedua pipi sang sufi, tiba-tiba gadis itu berucap kepadanya, “Wahai Sari Al-Saqathi! Apakah hanya karena keluhanku tadi engkau menangis? Bagaimanakah andai engkau benar-benar mengenal Kekasihku?”
Seusai berucap demikian, gadis itu langsung tak sadarkan diri. Dan, beberapa saat selepas tak sadarkan diri, gadis itu kemudian siuman kembali. Lalu ucapnya lirih, “Kalbuku merintih menyesali perilakuku di masa yang lalu. Sedangkan jiwa dalam tubuhku merupakan penyebab sakitku. Kini, hanya kerinduan, cinta, dan asmaraku kepada-Nyalah yang mewarnai kalbuku. Kepada-Nyalah, kini, aku mengetuk pintu maaf-Nya dan Dia tahu apa yang tertoreh di relung kalbuku.”
Mendengar ucapan gadis tersebut, Sari Al-Saqathi tak kuasa menahan dirinya untuk bertanya kepadanya, “Saudariku.”
“Ada apa, Sari Al-Saqathi?”
“Dari mana engkau mengenalku?”
“Sejak engkau tiba di sini, aku telah mengenalmu. Orang yang setara dalam keimanan akan segera saling mengenal.”
“Kudengar engkau tadi menyebut kata-kata cinta. Kepada siapakah engkau sedang jatuh cinta?”
“Kepada Yang menyadarkan kita akan karunia-Nya. Juga, Yang begitu dekat dengan kalbu kita.”
“Siapakah yang membuatmu dalam keadaan terikat begini?”
“Orang-orang yang iri dan dengki kepadaku.”
Tiba-tiba gadis itu kembali tak sadarkan diri. Tapi, tak berapa lama kemudian, ia siuman kembali. Lalu, ucapnya pelan, “Tuhanku! Seorang hamba-Mu telah berbuat dosa. Kini, kalbunya senantiasa menangis karena takut kepada-Mu. Jadikanlah lelehan air matanya pembuka jalan menuju ampunan-Mu.”
Sari Al-Saqathi kemudian meminta kepada perawat rumah sakit untuk melepaskan tali yang mengikat kedua tangan dan kaki gadis itu. Lalu, ucapnya kepada gadis itu, “Kini, pergilah ke mana engkau kehendaki.”
“Sari! Ke mana aku harus menapakkan kedua kaki? Aku ini tak punya tempat bernaung diri. Kekasih kalbuku membuatku dimiliki salah seorang hamba-Nya. Bila ia rela melepaskanku, aku akan pergi. Bila tidak, aku akan menahan diri untuk tak melangkahkan kaki.”
Tak berapa lama kemudian majikan gadis itu muncul. Ia pun bertanya kepada si perawat, “Di manakah Tuhfah?”
“Ia ada di dalam, bersama Tuan Sari Al-Saqathi,” jawab si perawat.
Tahu Sari Al-Saqathi bersama gadis itu, orang itu lalu masuk ke dalam dan menyambutnya dengan perasaan gembira. Sari Al-Saqathi pun berucap kepadanya, “Gadis ini lebih layak engkau hormati ketimbang aku. Apa yang membuat engkau membencinya?”
“Banyak hal,” jawab orang itu. “Ia tak mau makan dan minum serta acap menangis dan tak sadarkan diri. Ia juga tak mau tidur dan membuat kami tak bias tidur. Kami membelinya dengan harga mahal: dua puluh ribu dirham. Kami berharap mendapat keuntungan besar dengan membeli budak yang satu ini. Ia cantik dan cerdas. Lagi pula, sebelum dalam keadaan begini, ia punya pekerjaan yang membuat dirinya diminati para pembeli.”
“Apa pekerjaannya sebelum ini?”
“Biduan!”
“Sejak kapan ia menderita keadaan seperti ini?”
“Sekitar setahun yang lepas.”
“Bagaimana asal mulanya ia menderita keadaan seperti ini?”
“Suatu hari, ketika sedang menyanyi, tiba-tiba ia berdiri, menangis, dan membanting kecapinya. Lalu, ia menggumamkan kata-kata tak jelas. Tapi, dari kata-katanya, tampak ia sedang jatuh cinta. Kami menanyainya. Tapi, ia tak mengaku.”
“Bila begitu, akan kubayar harganya. Malah, dengan harga yang jauh lebih mahal.”
“Tuan Al-Saqathi! Dari mana engkau akan mendapatkan uang sebanyak itu? Bukankah engkau adalah seorang sufi miskin?”
“Itu persoalan mudah. Untuk sementara ini, biarkanlah gadis ini tetap berada di rumah sakit ini. Hingga aku kuasa membayar harganya.”
Sari Al-Saqathi kemudian meninggalkan rumah sakit itu dengan hati yang perih dan bingung bagaimana kuasa mendapatkan uang dalam jumlah yang tak sedikit itu. Malam harinya, tanpa mengenal henti, ia berdoa kepada Allah Swt., “Ya Allah! Engkau mengetahui segala hal-ihwal diriku. Baik yang nyata maupun yang tak kasat mata. Tuhanku! Hanya kepada-Mu aku memohon karunia!”
Ketika Sari Al-Saqathi sedang merenung di tempat sembahyang, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuknya. Ia pun bertanya, “Siapa di luar?”
“Seseorang yang mendapat perintah dari Pemiliknya untuk datang ke sini.”
Ketika Sari Al-Saqathi pun membuka pintu, di hadapannya muncul seorang pria dan empat anak muda yang membawa kantung berisi sesuatu. Pria itu pun berkata, “Bolehkah saya masuk ke dalam?”
“Siapakah engkau?”
“Saya adalah Ahmad bin Al-Mutsanna. Zat yang tak pernah berlaku pelit telah memberi saya karunia harta yang tak terkira. Tadi, ketika sedang tidur, saya bermimpi mendapatkan perintah dari Yang memiliki harta ini untuk membawa lima kantung uang kepadamu. Saya juga mendapat pesan, bayarkanlah uang ini kepada majikan Tuhfah.”
Sari Al-Saqathi langsung bersujud syukur atas karunia tak terkira tersebut. Selepas melaksanakan shalat subuh, ia pun keluar dengan mengajak serta Ahmad bin Al-Mutsanna pergi ke rumah sakit. Ketika tiba di sana, mereka langsung dipersilakan masuk. Melihat kedatangan mereka, kedua mata pun Tuhfah berkaca-kaca.
Belum lama mereka duduk, muncullah majikan Tuhfah dengan wajah sedih. Sari Al-Saqathi pun berucap kepadanya, “Bergembiralah! Kami datang dengan memberi keuntungan lima ribu dirham bagimu!”
“Demi Allah, tidak!”
“Sepuluh ribu dirham!”
“Demi Allah, tidak!”
“Sepuluh ribu dirham lagi!”
“Demi Allah, andai seluruh isi dunia ini engkau serahkan kepada saya, semua itu tak akan saya terima. Tuhfah kini merdeka. Demi Allah semata!”
“Bagaimana ceritanya hingga engkau mengambil keputusan demikian ini?”
“Semalam saya mengambil keputusan untuk menyedekahkan seluruh harta kekayaan saya di jalan Allah. Ya Allah! Engkaulah yang mencukupi segala keperluanku dan mengaruniakan rezeki kepadaku.”
Sari Al-Saqathi kemudian berpaling kepada Ahmad bin Al-Mutsanna. Segera tampak oleh Sari Al-Saqathi, lelehan air mata membasahi kedua pipi Ahmad bin Al-Mutsanna. Sari Al-Saqathi pun berucap kepadanya, “Saudaraku! Mengapa engkau bersedih?”
“Saya merasa, seakan Yang Benar tak menerima apa yang telah saya lakukan. Sungguh, demi Allah, seluruh harta kekayaan saya telah saya sedekahkan demi Allah semata.”
“Betapa besar berkah Tuhfah bagi semua orang,” ucap Sari Al-Saqathi penuh kekaguman.
Mendengar ucapan Sari Al-Saqathi yang demikian, tiba-tiba Tuhfah berdiri dan melangkah pergi seraya menangis. Sari Al-Saqathi pun bertanya kepadanya, “Allah telah membebaskanmu. Mengapa engkau menangis?”
“Aku lari darinya menuju kepada-Nya. Aku menangis karena tindakannya hanya untuk-Nya. Kini, hak-Nya terhadap diriku masih tetap di tangan-Nya, hingga aku meraih apa yang kuharapkan kepada-Nya,” jawab Tuhfah seraya melangkah pergi.
Selamat menikmat Kado Cinta untuk Muslimah serta mohon kritik dan masukan para pembaca budiman!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment