Tuesday, February 1, 2011
Medan El Tahrir: Pusat Pergolakan di Mesir
Hari-hari akhir ini, nama Medan El Tahrir (dalam bahasa Arab disebut Maidan Al-Tahrir, alias Lapangan Pembebasan) mencuat cepat. Lapangan yang terletak di epicentrum Kota Kairo, Mesir ini kini menjadi pusat gerakan anti-pemerintahan Presiden Hosni Mubarak yang berkuasa semenjak 6 Oktober 1981 M (ketika penulis masih menimba ilmu di Negeri Piramid ini). Medan, atau lapangan, yang satu ini dapat disejajarkan dengan kawasan Monas di Jakarta, Champs Élysées di Paris, atau Times Square di New York.
Sejarah Medan El Tahrir sendiri bermula semenjak abad ke-13 M. Namun, bentuknya yang ada seperti dewasa ini mulai terbentuk pada abad ke-19 M: ketika seorang Mubarak lain, tepatnya ‘Ali Mubarak, seorang Menteri Pekerjaaan Umum kala itu (1860-1870 M), diperintahkan penguasa Mesir kala itu untuk merancang ulang Kota Kairo. Nama yang diberikan bagi medan atau lapangan ini adalah Medan Ismailiah. Nama Medan El Tahrir baru dipakai medan itu selepas terjadinya Revolusi Juli 1952.
Kini, mari kita mengenal lebih jauh tentang kawasan di seputar Medan El Tahrir. Bangunan yang paling “berharga” di kawasan ini adalah sebuah museum yang menyimpan “harta karun” Mesir semenjak sekitar 5.000 tahun yang silam: Museum Mesir. Tak aneh, bila dalam pergolakan di Mesir saat ini, ada orang-orang yang tak bertanggung jawab yang berusaha “mengincar” harta karun yang tersimpan di museum yang satu itu. Bagaimana “kisah” Museum Mesir tersebut dan apa koleksi-koleksinya?
Sejarah museum yang terletak di samping Mîdân Al-Tahrîr (Tahrir Square) itu bermula pada 1251 H/1835 M. Kala itu, museum menempati sebuah gedung di dekat Taman Ezbekiyah, ‘Atabah. Namun, segera gedung itu tak mampu menampung semua koleksi yang dimilikinya. Karena itu, lokasi museum pun, pada 1274 H/1858 M, di pindahkan ke Bulaq, menempati sebuah gedung yang dirancang seorang arsitek Perancis dan dibangun di tepi Sungai Nil. Namun, karena gedung itu kerap dihajar banjir, museum pun dipindahkan ke Istana Isma‘il Pasya di Giza. Baru pada 1320 H/1902 M, museum itu menempati sebuah gedung yang tegak dengan gagahnya di samping Medan El Tahrir dan bertahan hingga dewasa ini.
Salah satu museum terbesar di dunia ini sendiri menyimpan koleksi terbesar dan paling berharga berupa artefak-artefak dari zaman Mesir Kuno. Paling tidak ada sekitar 136.000 item yang telah dikatalogkan dan barang-barang lainnya yang diatur secara kronologis menjadi tujuh seksi. Nah, bila kita memasuki lantai pertama museum itu, dengan mengikuti putaran jam, pertama-tama Anda dapat menyaksikan pelbagai pusaka historis Mesir Kuno, dari “Old Kingdom”, “Middle Kingdom”, “New Kingdom” hingga Kekaisaran Romawi. Sementara di lantai dua museum disajikan sederet koleksi dari masa pra-sejarah dan dinasti-dinasti awal Mesir. Di lantai itu bisa didapatkan pula beberapa koleksi berupa makam. Termasuk makam Tutankhamun yang berlapis emas. Di makam itu sendiri terdapat lukisan kemilau yang menggambarkan mummi suami Ankhesenamun itu dijaga empat dewi: Nephthys, Isis, Selkis, dan Neith. Ankhesenamun sendiri adalah putri pasangan suami-istri Akhenaten dan Nefertiti. Di samping itu, di lantai dua museum ini, ada kereta-kereta perang, singgasana dan sarkofagus (keranda), patung-patung, perhiasan-perhiasan emas, topeng emas, senjata-senjata emas dan banyak lagi. Bila Anda ingin melihat mummi-mummi para fir‘aun, Anda bisa melihat mummi-mummi mereka di ruangan khusus untuk mummi (Royal Mummy Room). Di ruangan itu, sejumlah mummi dipamerkan dalam kotak-kotak bebas oksigen. Termasuk mummi Ramesses II. Dewasa ini, karena telah terlalu penuh dengan koleksi yang dimilikinya, museum ini direncanakan akan dipindah ke kompleks piramid-piramid Giza dan akan menempati sebuah gedung yang jauh lebih megah. Nama museum yang baru itu adalah Grand Egyptian Museum.
Nah, di depan Museum Mesir itulah Medan El Tahrir berada. Sedangkan di samping kanan medan itu berdiri dengan megahnya The Nile Ritz-Carlton Hotel. Di samping hotel itu sendiri tegak markas besar Liga Arab. Kemudian, di seberang Kasr El-Nile St., tegak El-Tahrir Palace yang menjadi markas besar Kementerian Luar Negeri Mesir, seperti gedung Pejambon di Jakarta. Tak jauh dari El-Tahrir Palace, tegak Masjid ‘Umar Makram yang dirancang seorang arsitek Italia, Mario Rossi, dan El-Mugamma‘ Administrative Complex.
Di samping kanan gedung El-Mugamma‘ Administrative Complek, gedung American University in Cairo tegak. Gedung universitas yang satu itu semula adalah Istana Khairi Pasya yang didirikan pada 1276 H/1860 M. Universitas itu sendiri mulai beroperasi pada 1337 H/1919 M. Namun, sejak 1429 H/2008 M, program undergraduate dan graduate dialihkan ke sebuah pemukiman baru, New Cairo, yang terletak tak jauh dari Cairo International Airport, berdampingan dengan Distrik Nasr City. Tak jauh dari gedung universitas itu terdapat stasiun metro: stasiun Sadat. Tak jauh pula dari universitas itu, di sebelah timurnya, ada sebuah jalan: Bab El-Louq. Nah, pada tahun-tahun 1970-an dan 1980-an, di jalan di kawasan elite dan strategis itulah terdapat markas besar Persatuan Pelajar Indonesia, tempat mangkal para mahasiswa Indonesia di Kairo. Pada awal tahun-tahun 1980-an, seingat penulis, di seputar Medan El Tahrir terdapat sebuah jembatan membentang panjang untuk para pejalan kaki (kini, jembatan itu tiada lagi). Setiap hari, ribuan penduduk Kairo naik, turun, dan melintasi jembatan melingkar itu. Kala itu, di situ masih terdapat terminal bus dan trem tua (dengan trayek antara El Tahrir dan El Manial Raudhah), seperti halnya trem yang hingga kini masih “mewarnai” Kota Alexandria. Tak aneh bila kala itu, Medan El Tahrir sangat riuh sekali, karena kala itu Kota Kairo pun telah padat dengan penduduk. Sayang, trem tua Kota Kairo itu kini tak lagi hadir.
Kota Kairo memang merupakan salah satu kota di dunia yang mengalami peningkatan jumlah penduduk yang begitu cepat. Pada abad ke-18 M, penduduk kota itu hanya sekitar 245.000 orang. Kemudian, pada 1347 H/1929 M, jumlah penduduk kota itu mencapai 1.070.000 orang. Lantas, pada 1379 H/1960 M, jumlah penduduknya telah naik menjadi sekitar tiga setengah juta orang. Sepuluh tahun kemudian, jumlah itu telah mencapai sekitar lima juta orang. Dan kini, penduduk kota itu telah meroket menjadi sekitar delapan belas juta orang. Dengan jumlah penduduk yang demikian besar, tak aneh bila jalan-jalan di pelbagai penjuru Kota Kairo senantiasa disergap kemacetan.
Tak jauh dari Medan El Tahrir, ke arah Medan ‘Atabah, di situlah downtown Kota Kairo yang sejak semula dirancang seperti halnya rancangan Kota Paris. “Jantung” Kota Kairo modern dirancang mengikut rancangan Kota Paris, Perancis? Bagaimanakah kisahnya? Sekitar seribu tahun yang lalu, ketika Kota Kairo belum lama berdiri, posisi Sungai Nil lebih jauh ke timur ketimbang posisinya kini. Dari Benteng Babilonia di Mesir Lama (Old Cairo atau Misr Al-Qadîmah), sungai terpanjang kedua di dunia itu memotong diagonal ke arah utara. Karena itu, sekitar satu kilometer di sebelah barat Masjid Al-Azhar, bukan sekitar tiga kilometer seperti kini, pusat Kota Kairo kala itu masih merupakan kawasan yang penuh dengan genangan air. Kemudian, dengan berjalannya waktu, posisi Sungai Nil kian beralih ke arah barat. Kawasan yang semula penuh genangan air itu pun mengering. Walau begitu, kawasan itu masih tak berpenghuni.
Nah, ketika Muhammad ‘Ali (1182-1265 H/1769-1849 M), penguasa Mesir berdarah Albania yang perintis pendidikan menurut sistem Barat di Mesir, naik ke pentas kekuasaan, ia pada 1261 H/1845 M memerintahkan pengembangan Kota Kairo. Dalam pengembangan itu, Musky St. diperlebar dan diperpanjang ke arah timur hingga Khan Al-Khalili. Selain itu, ia juga membikin Qal‘ah St. yang menuju Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi dan sederet jalan yang berpusat di sebuah medan yang kini disebut Medan ‘Atabah (Mîdân ‘Atabah atau ‘Atabah Square).
Pengembangan pusat Kota Kairo, menurut Michael Haag dalam karyanya Cairo Illustrated, kian “bergelora” ketika berada di bawah pemerintahan Khedive Isma‘il Pasya. Khedive yang satu itu menginginkan Kota Kairo laksana Kota Paris, Perancis, yang ia kunjungi pada 1284 H/1867 M. Dalam kunjungan itu, ia terpesona dengan keindahan Kota Cahaya yang dirancang Baron Georges-Eugène Haussmann antara 1852-1879 M: dihiasi boulevard-boulevard lebar, taman-taman indah, dan pusat-pusat belanja nyaman. Ingin membuat Kairo laiknya Paris, Khedive Isma‘il Pasya pun segera memerintahkan ‘Ali Mubarak, kala itu menjabat Menteri Pekerjaan Umum, untuk membangun pusat baru Kota Kairo di dekat dan sepanjang Sungai Nil.
Dua tahun selepas peresmian Terusan Suez pada 1286 H/1869 M, ‘Ali Mubarak telah usai membangun cikal bakal Kairo modern di seputar Ezbekiyah yang sebelumnya merupakan danau. Lokasi itu diubah sepenuhnya, oleh seorang arsitek Perancis yang merancang Taman Bois de Boulogne di Perancis, menjadi sebuah taman indah. Di dekat taman itu dibangun pula sebuah gedung opera yang mengikuti model Gedung Opera “La Scala” di Milan, Italia, salah satu gedung opera paling terkenal di dunia kala itu. Selain itu, di antara Ezbekiyah dan Sungai Nil, dibangun pula sederet medan (square): Medan Musthafa Kamel, Medan ‘Urabi, Medan Tala‘at Harb, Medan Lazughli, dan Medan Al-Tahrir. Dan, segera, pada akhir abad ke-19 M, Kota Kairo terbelah menjadi dua kawasan, baru dan lama: berdampingan tapi berseberangan secara kultural maupun perkembangannya. Bagian timur Kota Seribu Menara itu tetap “memendam” pelbagai karakter budaya lamanya. Sedangkan di bagian barat kota kini muncul sebuah kota kosmopolitan yang dihuni penduduk dari pelbagai penjuru dunia: Yunani, Italia, Armenia, Inggris, Perancis, Swiss, Yahudi, Suriah-Lebanon, dan lain-lainnya.
Kini, di manakah lokasi istana yang ditempati Presiden Hosni Mubarak? Di Distrik Mesir Baru, tak jauh dari Cairo International Airport, sekitar 15-20 kilometer dari Medan El Tahrir. Istana kepresidenan tersebut semula adalah Heliopolis Palace Hotel, sebuah hotel termegah di Timur Tengah pada awal pendiriannya. Lantas, pada Perang Dunia II, hotel itu dialihfungsikan menjadi rumah sakit pasukan Sekutu. Selama perang tersebut berkecamuk, Kairo menjadi pusat komando kedua, setelah London, pasukan Inggris dalam menghadapi pasukan gabungan Jerman-Italia yang menguasai pelbagai wilayah di Timur Tengah.
Kemudian, selepas Mesir merdeka, istana itu digunakan untuk tujuan lain. Selanjutnya, ketika terbentuk negara gabungan Mesir-Suriah, gedung itu menjadi istana yang digunakan sebagai markas besar pemerintahan Republik Persatuan Arab. Ketika republik gabungan dua negara itu bubar, istana itu kemudian difungsikan sebagai gedung beberapa kementerian. Dan, baru pada tahun-tahun 1980-an Presiden Hosni Mubarak memugar istana itu dan menjadikannya sebagai istana kepresidenan. Dengan kata lain, istana yang ditempati Presiden Hosni Mubarak cukup jauh dari pusat pergolakan di Mesir saat ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment