Monday, February 7, 2011
"Putraku, Raihlah Kedudukan dengan Usaha Sendiri!"
“Kesalahan inti Presiden Mesir Hosni Mubarak adalah begitu lama terlena dengan kekuasaan. Hal ini ditambah dukungan konstan dari sekutu utama, Amerika Serikat, yang membuat Mubarak alpa memakmurkan warga. Yang lebih parah, Mubarak berniat mewariskan kekuasaan kepada putranya. Gamal Mubarak, putra Hosni Mubarak yang dipersiapkan sebagai pengganti, kini turut jatuh dari kehormatan. Semua itu menjadi akar keruntuhan pamor Mubarak. Proses politik di Mesir akhir-akhir ini memperjelas arah ke pembentukan dinasti politik Mubarak,” demikian tulis koran Kompas hari ini, Senin, 7 Februari 2011.
Entah kenapa, tadi pagi ketika sedang menyimak dan mencermati tulisan tersebut, tiba-tiba penulis teringat kisah indah yang berkaitan dengan diri seorang penguasa Muslim di Baghdad yang dalam sejarah Islam juga terkenal sebagai “Bapak Ilmu Pengetahuan”, Al-Ma’mun bin Harun Al-Rasyid. Kisah itu adalah sebagai berikut:
Merasa usianya kian beranjak cepat, selama berhari-hari kegelisahan tentang siapakah yang akan menggantikan dirinya sebagai penguasa menyergap seluruh kesadarannya. Entah kenapa, selama berhari-hari pertanyaan, “Haruskah aku mengangkat kembali seorang putra mahkota?” seakan tak mau melepaskan diri dari benak penguasa yang wilayah kekuasaannya membentang di tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa.
Mengangkat kembali seorang putra mahkota? Ya, sebelum itu Al-Ma’mun bin Harun Al-Rasyid memang pernah mengangkat seorang mahkota: ‘Ali bin Musa Al-Ridha. Namun, ternyata, pengangkatan putra mahkota yang satu menyulut pembangkangan dan penentangan di pelbagai wilayah yang di bawah kepemimpinannya. Tampaknya, perjalanan hidup panjangnya telah mengajarkan kepadanya untuk tidak mengangkat seorang putra mahkota lagi. Bukankah ia sendiri naik ke pentas kekuasaan dengan perjuangan yang tak ringan?
Lembaran sejarah menorehkan, penguasa ketujuh Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak yang berkuasa pada 198-218 H/813-833 M ini lahir pada Kamis, 16 Rabi‘ Al-Awwal 170 H/14 September 786 M, enam bulan lebih tua daripada saudaranya seayah: Muhammad (kelak bergelar al-Amin selepas menjadi khalifah). Putra pasangan suami-istri Harun Al-Rasyid dan Marajil, seorang istrinya yang berdarah Persia dan berpulang kala melahirkannya, ini bernama lengkap Abu Al-‘Abbas ‘Abdullah bin Harun Al-Rasyid. Ia ditunjuk sebagai putra mahkota setelah Al-Amin. Kala Al-Amin naik ke pentas kekuasaan pada Sabtu, 4 Jumada Al-Tsaniyyah 193 H/24 Maret 809 M, ia dengan dukungan ibundanya: Zubaidah, berusahaa melemahkan posisi Al-Ma’mun dengan mengangkat putra Al-Amin, Musa, sebagai putra mahkota. Akibatnya, mereka berdua terlibat dalam Perang Saudara. Akhirnya, Al-Ma’mun menjabat khalifah sebagai pengganti saudaranya, Al-Amin, yang terbunuh dalam suatu pertempuran di Baghdad Dar Al-Salam pada Sabtu, 25 Muharram 198 H/24 September 813 M.
Seusai perang itu, selama sekitar enam tahun Al-Ma’mun tetap menjadikan Merv, Iran sebagai pusat pemerintahan, bukannya Baghdad. Lantas, pada 201/816 M, ketika ia mengangkat ‘Ali bin Musa Al-Ridha, sebagai putra mahkota, warga Baghdad pun membelot di bawah pimpinan pamandanya, Ibrahim bin Al-Mahdi. Segera ia membawa pasukannya menuju Baghdad. Ketika di tengah perjalanan, menteri utamanya, Al-Fadhl bin Sahl mati terbunuh, demikian halnya ‘Ali Al-Ridha. Melihat hal itu, pembelotan warga Baghdad mereda dan ia memasuki Baghdad pada 204 H/819 M. Semenjak itu, ia menjadikan kembali kota yang semula berbentuk bundar ini sebagai pusat pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyyah.
Lantas, suatu hari, Al-Ma’mun pun memanggil penasihatnya, Yahya bin Aktsam. Ketika Yahya datang menghadap kepadanya, Al-Ma’mun pun segera mengemukakan persoalan yang sedang menyergap seluruh pikirannya itu.
“Semua itu terserah Amir Al-Mukminin,” jawab Yahya bin Aktsam yang juga kebingungan menerima pertanyaan demikian.
“Yahya, bila demikian panggilkan putraku!”
Tak lama kemudian Ja‘far bin Al-Ma’mun menghadap. Selepas berbagi sapa sejenak dengan sang putra, penguasa yang acapkali dipandang sebagai tokoh ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam itu berucap kepada sang putra, “Wahai putraku! Belajarlah keluhuran martabat dari para menteri dan pembantu dekatku. Mereka, demi Allah, meraih kedudukan dengan usaha mereka sendiri. Bukan karena orang lain. Sungguh, manakala engkau hanya mencermati dan mengurusi masalah-masalah kecil, tentu pelecehan dan penghinaan yang bakal engkau terima. Karena itu, mendakilah dari kerendahan tekad untuk menggapai ketinggian kedudukan. Berusahalah dengan tekun dalam pelbagai persoalan besar dan berbekallah dengan tekad dan keyakinan yang kuat. Jadilah laksana binatang besar yang hanya mencari mangsa besar, tidak sibuk dengan burung-burung kecil atau hewan-hewan kecil. Ketahuilah, engkau maju bukan karena dimajukan. Pemimpinmu tak akan pernah membuat engkau maju, manakala engkau sendiri tak mau melakukannya. Pemimpinmu tak memerlukan kalian manakala engkau belum memberikan haknya atas dirimu.”
Selepas memberikan banyak pesan dan petuah kepada sang putra, Al-Ma’mun memutuskan untuk tidak mengangkat kembali seorang putra mahkota. Dan, ketika berpulang secara mendadak pada Selasa, 16 Rajab 218 H/5 Agustus 833 M di Tarsus, Anatolia, kala sedang memimpin ekspedisi militer untuk menghadapi pasukan Bizantium, ia digantikan saudaranya, Abu Ishaq Muhammad bin Harun Al-Rasyid, yang bergelar Al-Mu‘tashim Billah selepas menjabat khalifah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment