Thursday, November 24, 2011

Antara Cinta dan Sekat Politik


Entah kenapa siang tadi, 24 November 2011, ketika menyimak perhelatan pernikahan antara putra dan putri dua penggede Indonesia di tivi, tiba-tiba bibir saya bergumam, “Cinta, sejak dahulu, memang kerap tidak mengenal sekat politik.” Dan, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” dan teringat kisah cinta antar dua sejoli dari latar belakang politik yang berbeda: pernikahan antara Khalid bin Yazid dengan Ramlah binti Al-Zubair. Nah, berikut kisah indah dua sejoli dari dua keluarga besar yang pernah terlibat dalam konflik politik keras dan berdarah. Selamat menikmati!

Betapa gembira dan bahagia hati Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah kala itu. Orang nomor satu Dinasti Umawiyyah kala itu, ‘Abdul Malik bin Marwan, mengajaknya ikut serta naik haji bersama sejumlah besar jamaah haji dari Syam. Dan, kegembiraan dan kebahagiaannya kian sempurna manakala ia menapakkan kedua kakinya di lingkungan Masjid Al-Haram, di Makkah Al-Mukarramah, untuk menunaikan ibadah umrah.

Kala putra Yazid bin Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, penguasa kedua dinasti itu, sedang bertawaf, tiba-tiba matanya beradu pandang tanpa sengaja dengan mata seorang perempuan jelita nan sangat memikat. Entah mengapa, Khalid tiba-tiba tak kuasa lagi mengendalikan gelegak hatinya. Juga, ia tak kuasa melupakan perempuan nan rupawan itu. Namun, selepas bertawaf dan mencari tahu tentang jati diri perempuan itu, betapa kaget Khalid. Perempuan bernama Ramlah itu, ternyata, adalah saudara perempuan seorang tokoh yang sangat anti terhadap ayahandanya dan Dinasti Umawiyyah: ‘Abdullah bin Al-Zubair, dan putri pasangan suami-istri seorang sahabat terkemuka: Al-Zubair bin Al-‘Awwam dan Al-Rabbab binti Alif bin ‘Ubaid Al-Kalbi.

Mengetahui semua itu, ternyata tak membuat gelegak cinta Khalid bin Yazid kepada Ramlah binti Al-Zubair kian mereda. Alih-alih, cintanya kian membara dan nyaris tak terkendali. Mengetahui kisah cinta Khalid tersebut, Al-Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi, panglima Dinasti Umawiyyah kala itu, benar-benar tak dapat menerimanya. Ia pun segera mengirim ‘Ubaidullah bin Mauhib, untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Khalid. Dalam surat itu Al-Hajjaj, antara lain, menulis, “Menurut saya, tak sepatutnya engkau meminang anggota keluarga Al-Zubair bin Al-‘Awwam sebelum engkau meminta pertimbangan kepadaku. Bagaimana engkau berani meminang sebuah keluarga yang tak sepadan dengan keluargamu. Begitulah yang pernah dikatakan kakekmu, Mu‘awiyah. Mereka adalah orang-orang yang pernah menyerang kekuasaan ayahandamu, menuduhnya dengan pelbagai tindak kejahatan, dan memandang ayahanda dan kakekmu sebagai orang sesat!

Menerima surat demikian, Khalid bin Yazid dengan geram pun berucap kepada ‘Ubaidullah bin Mauhib, “Andai engkau bukan kurir yang memang tak boleh dijatuhi hukuman, tentu akan kupotong satu demi satu anggota tubuhmu, lantas kulempar di depan pintu rumah temanmu itu. Katakan kepada Al-Hajjaj, tak semua urusan harus diserahkan kepadanya dan dimintakan pertimbangannya. Perihal keluarga Al-Zubair yang menurutnya pernah menyerang kekuasaan ayahandaku, dan menuduhnya dengan segala kejahatan, kukira hal itu biasa berlaku di kalangan orang-orang Quraisy. Dan, bila Allah Swt. telah menetapkan suatu kebenaran, memboikot dan menandingi mereka tergantung pada cita-cita dan keutamaan mereka. Perihal keluarga Al-Zubair yang menurutnya tak sepadan, kiranya Allah mencelakakan Al-Hajjaj. Betapa picik pengetahuannya perihal garis keturunan kaum Quraisy. Bukankah Al-Zubair bin Al-‘Awwam sepadan dengan ‘Abdul Muththalib bin Hasyim, karena pernikahannya dengan Shafiyyah, dan juga karena pernikahan Rasul Saw. dengan Khadijah binti Khuwailid. Apakah ia tak melihat bahwa mereka sepadan dengan Abu Sufyan?

Kemudian, seusai naik haji, ketika ‘Abdul Malik bin Marwan dan jamaah yang dipimpinnya sedang bersiap-siap untuk kembali ke Damaskus, Khalid pun menemui ‘Abdul Malik bin Marwan, dengan tujuan meminta izin untuk menunda kepulangannya. Tentu saja ‘Abdul Malik bin Marwan merasa penasaran dan ingin tahu alasan Khalid yang sebenarnya. Karena itu, ia pun meminta Khalid datang untuk menemuinya dan menjelaskan maksudnya tinggal beberapa lama di Makkah.

“Wahai Amir Al-Mukminin,” ucap Khalid bin Yazid yang tak kuasa mengelak untuk menjawab pertanyaan orang nomor satu Dinasti Umawiyyah itu. “Ketika kita tiba di Kota Suci ini dan kemudian bertawaf, entah mengapa tiba-tiba mata saya tanpa sengaja beradu pandang dengan mata seorang perempuan nan jelita. Ternyata, perempuan itu adalah Ramlah binti Al-Zubair bin Al-‘Awwam.”
“Oh, Ramlah binti Al-Zubair?” sahut ‘Abdul Malik bin Marwan terkejut seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukankah perempuan itu adalah saudara perempuan ‘Abdullah bin Al-Zubair? Bukankah saudara laki-lakinya adalah lawan politik berat ayahandamu dan kita?”
“Benar, wahai Amir Al-Mukminin,” jawab putra Yazid bin Mu‘awiyah (yang memerintahkan pasukannya untuk melibas ‘Abdullah bin Al-Zubair yang menentangnya) dengan suara pelan dan merundukkan kepala. “Perempuan jelita itu memang adalah saudara perempuan ‘Abdullah bin Al-Zubair. Walau demikian, kecantikan dan kepribadiannya yang menawan benar-benar membuat pikiran saya kacau tak karuan. Demi Allah, semenjak semula sejatinya saya berniat tak akan menuturkan hal ini kepada Paduka. Tapi, ternyata kesabaran saya pun ada batasnya. Mata saya telah saya paksa untuk melupakannya, tapi ia menolak dan tak mau menerimanya. Saya pun telah mencoba dengan segala cara untuk menghibur hati saya, tapi ia juga menolak.”
“Wahai Khalid bin Yazid,” ucap sang khalifah, yang merasa heran mendengarkan penjelasan cucu pendiri Dinasti Umawiyyah yang demikian itu, seraya menarik napas panjang. “Saya tak mengira, cinta dapat menguasai diri seseorang semisal engkau ini.”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” jawab Khalid bin Yazid seraya merundukkan kepala. “Saya sendiri sejatinya lebih heran ketimbang Paduka. Sebab, sejak semula saya berpendapat, cinta hanya dapat menguasai dua jenis orang: para penyair dan orang-orang Badui. Adapun para penyair, ini karena pikiran mereka hanya tertuju kepada perempuan, menggambarkan keindahannya, dan merayunya. Akibatnya, watak mereka menyukai perempuan dan dengan sendirinya hati mereka gampang meyerah di hadapan sergapan cinta. Sedangkan orang-orang Badui, ketika salah seorang di antara mereka tinggal hanya berduaan dengan istrinya, tiada yang menguasai perasaannya selain hanya cintanya kepada istrinya. Juga, tiada kesibukan apa pun yang kuasa memalingkan cintanya itu. Akibatnya, hatinya tak kuasa untuk menolak cinta. Sehingga, cinta pun menguasai dirinya. Tapi, saya merasa heran, saya belum pernah melihat satu pun pandangan yang dapat menghalang-halangi diri saya dari kebulatan tekad saya dan membuat diri saya terasa mudah melakukan perbuatan dosa selain pandangan saya kali ini.”
“Wahai Khalid,” sergah sang khalifah seraya menatap tajam cucu Mu‘awiyah bin Abu Sufyan itu. “Apakah sudah sedemikian parahnya cinta menguasai dirimu?”
“Demi Allah, wahai Amir Al-Mukminin,” jawab Khalid bin Yazid seraya mendongakkan kepalanya dan salah tingkah, “Sebelum ini, saya tak pernah mengalami kekacauan dalam berpikir sebagaimana yang terjadi saat ini.”

Memahami “penyakit” yang sedang menyergap Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah tersebut, ‘Abdul Malik bin Marwan akhirnya memutuskan untuk meminang Ramlah binti Al-Zubair sebelum bertolak ke Damaskus. Mengetahui gelegak cinta Khalid kepadanya, Ramlah pun dengan tinggi hati menjawab, “Tidak! Demi Allah, saya tak mau menerima lamarannya sebelum Khalid bin Yazid menceraikan semua istrinya!”

Khalid bin Yazid pun menceraikan semua istrinya. Dan, selepas melangsungkan acara pernikahan dengan Ramlah binti Al-Zubair di Makkah, ia kemudian memboyong istri nan jelita yang sangat dicintainya itu ke Damaskus, Suriah.(arofiusmani.blogspot.com/)

No comments: