Sunday, November 13, 2011

"Turunkan Saja Dia dari Jabatannya!"


“Banyak pejabat negara yang sangat perlente, hidup mewah, dan berideologi pragmatis dan hedonis,” demikian kritik seorang ketua komisi pemberantasan korupsi di Indonesia beberapa hari yang lalu. Menurut tokoh tersebut, ideologi pragmatis dan hedonis adalah akar korupsi di negeri ini. Kritik yang menarik. Ternyata, banyak pihak yang tidak senang dengan kritik yang “menyengat” tersebut.

Entah kenapa, ketika membaca kritik tersebut, saya teringat dengan kritik yang dikemukakan seorang hakim agung terkemuka Andalusia, Al-Mundzir bin Sa‘id Al-Baluthi, kepada seorang penguasa terkemuka kala itu, ‘Abdurrahman III Al-Nashir li Dinillah. Penguasa yang satu itu, kala itu, terkenal sebagai seorang penguasa yang lagi suka hidup bermewah-mewah dan menghambur-hamburkan kekayaan kerajaan yang dipimpinnya. Bagaimanakah sikap sang penguasa dalam menghadapi kritik yang membuat “telinganya merah” itu? Nah, berikut adalah kisah sang penguasa dalam menghadapi kritik tersebut:

Membangun Kota Al-Zahra’, itulah yang dilakukan ‘Abdurrahman III Al-Nashir li Dinillah, penguasa ke-8 Dinasti Umawiyyah di Cordoba, selepas berhasil memancangkan kekuasaannya. Kota istana yang dimaksudkan sebagai tanda cinta kepada istri tercintanya, Al-Zahra’, itu terletak di sebelah barat Cordoba. Kota yang setelah jatuh kembali ke tangan pasukan Spanyol disebut “Cordoba la Vieja” ini dirancang di dekat Sungai Guadalquivir dan di atas Bukit Siera Morina. Pembangunan kota di bawah pengawasan Al-Hakam II ini dimulai pada permulaan Muharram 325 H/Desember 936 M, dengan mengerahkan tenaga kerja sebanyak sekitar sepuluh ribu orang setiap hari, berlangsung terus menerus selama dua puluh lima tahun. Lebih dari tiga ribu hewan dikerahkan untuk mengangkut pelbagai ragam bahan bangunan dari berbagai belahan dunia. Misalnya, marmer hijau dan ungu yang didatangkan dari Carthago dan marmer putih dari Almeria. Sedangkan beberapa bahan lainnya yang terbuat dari emas dan perak didatangkan dari Suriah dan Constantinople.

Kota yang juga disebut dengan nama “Mahkota Pengantin Putri” (Tâj Al-‘Arûs) dan terdiri dari tiga blok ini demikian megah. Blok pertama diperuntukkan bagi istana-istana, perumahan, dan pasar. Blok kedua dikhususkan untuk taman dan tempat pesiar. Sedangkan blok ketiga untuk toko-toko, pemandian umum, dan tempat satuan pengamanan. Karena demikian megahnya, tak aneh bila pembangunannya tiap tahunnya menghabiskan biaya sekitar tiga ratus ribu dinar. Tak mengherankan pula ketika kota ini rampung dibangun, kota ini mampu menyediakan akomodasi ratusan kamar dan apartemen, di samping bangunan-bangunan lainnya, seperti masjid dan memungkinkan pula ribuan pasukan pengawal tinggal di kota ini.

Pembangunan kota itu ternyata membuat penguasa yang lahir di Cordoba pada Ramadhan 277 H/Desember 890 M itu pernah meninggalkan shalat Jumat di masjid sebanyak tiga kali berturut-turut. Mengetahui hal itu, Al-Mundzir bin Sa‘id Al-Baluthi, hakim agung (qâdhi al-qudhah) terkemuka Andalusia kala itu, bermaksud memberikan nasihat kepada penguasa yang lalai itu. Karena itu, suatu hari, ketika sedang menyampaikan khutbah shalat Jumat yang dihadiri ‘Abdurrahman III Al-Nashir, ia antara lain mengutip firman Allah Swt., “Apakah kalian mendirikan pada setiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kalian mendirikan benteng-benteng dengan maksud agar kalian kekal (di dunia)? Dan, manakala kalian menyiksa, kalian menyiksa sebagaimana orang-orang yang kejam dan bengis. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Juga, bertakwalah kepada Allah yang telah menganugrahkan kepada kalian sesuatu yang kalian ketahui. Dia telah menganugerahkan kepada kalian hewan-hewan ternak, anak-anak, dan kebun-kebun serta mata air. Sungguh, aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar.” (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 128-135).

Usai mengutip ayat-ayat Al-Quran tersebut, Al-Mundzir bin Sa‘id kemudian melengkapi khutbahnya yang pedas dengan uraian perihal larangan berlaku boros dan menghambur-hamburkan harta kekayaan.

Mendengar khutbah tersebut, penguasa yang berhasil menjadikan Andalusia sebuah negara adikuasa yang makmur dan kaum Muslim sebagai pelopor ilmu pengetahuan di Eropa itu tak kuasa menahan lelehan air matanya dan menyesali tindakannya. Kemudian, selepas kembali ke istana, ia berucap kepada putranya, Al-Hakam, “Sungguh, Al-Mundzir begitu keterlaluan dalam mengecam dan menyinggung diriku. Demi Allah, aku selamanya tak akan lagi melaksanakan shalat Jumat di belakangnya!”
“Apa yang membuat Ayahanda tak mencopot dan memberhentikan dia sebagai hakim agung? Turunkan saja dia dari jabatannya!” sahut sang putra.
“Celaka engkau,” sergah sang Ayahanda yang menyadari kembali kekeliruan dirinya. “Apakah tokoh setinggi Al-Mundzir dalam hal kesalihan, keilmuan, dan keutamaannya harus dicopot demi membela hawa nafsu yang senantiasa menyimpang dari kebenaran, menampakkan kemewahan, dan menempuh tujuan yang tak benar? Ini tak boleh terjadi. Sungguh, aku akan malu di hadapan Allah Swt. bila aku tak kuasa menjadikan orang seperti Al-Mundzir bin Sa‘id sebagai penolongku di Hari Kiamat kelak.” (arofiusmani.blogspot.com/)

No comments: