Monday, November 26, 2012
ANAK-ANAK DAN SEPAK BOLA
Tadi malam, selepas menonton pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Laos, entah kenapa tiba-tiba saya teringat pertemuan antara para guru dan karyawan Taman Kanak-Kanak Sekolah Alam Gaharu dengan kami selaku Pengurus Pondok Pesantren Mini Nun Learning Center yang membawahi TK tersebut. Menjelang pertemuan berakhir, istri (yang memimpin pertemuan itu) memberikan kesempatan kepada Pak Apo, seorang petugas kebersihan di Ponmin, untuk berbicara, "Pak Apo. Barang kali ada masukan atau keluhan yang perlu disampaikan?"
"Kepala saya saat ini sedang pusing, Ibu...," jawab Pak Apo.
"Kenapa?"
"Beberapa hari yang lalu Ibu meminta saya melarang anak-anak Taman Pendidikan Al-Quran, yang mengaji di sore hari, main sepak bola di halaman belakang tempat ini. Sedangkan Bapak (maksudnya saya) mengizinkan mereka main sepak bola di sini. Perintah siapa yang saya ikuti?"
Mendengar keluhan yang demikian, istri pun berpaling ke arah saya dan berucap, "Mas, tolong dijawab keluhan Pak Apo itu!"
"Pak Apo," jawab saya, "tentu tahu, Ibu kerap pulang dari kerja di rumah sakit malam hari. Ibu jarang melihat anak-anak main sepak bola. Nah, beberapa hari yang lalu, Ibu pulang dari rumah sakit siang hari. Melihat keriuhan anak-anak main sepak bola di halaman belakang, Ibu khawatir mereka dapat merusak tanam-tanaman yang sudah ditanam dan dipelihara dengan susah payah. Sedangkan saya hampir tiap hari melihat mereka main sepak bola. Ternyata, mereka cukup disiplin: mereka tidak pernah mengganggu tanam-tanaman yang ada di sini. Malah, dengan diberi izin main sepak bola di sini, mereka malah rajin mengaji."
"Jadi, anak-anak tetap boleh main sepak bola?" tanya Pak Apo.
"Ya, biarkan mereka main sepak bola," jawab saya. "Besok sore, saya akan bicara lagi dengan mereka."
Hari berikutnya, ketika anak-anak itu sedang main sepak bola, mereka kemudian saya minta berkumpul. Setelah mereka berkumpul, saya lantas bertanya kepada mereka, "Kalian masih ingat pesan Ustadz beberapa bulan yang lalu?"
"Masih, Ustadz," jawab mereka serempak. "Kami boleh main sepak boleh di halaman ini dengan syarat: kami tetap menjaga tanam-tanaman yang ada. Juga, kami harus membuang sampah di tempat yang disediakan."
"Bagus, mengapa demikian?" tanya saya kepada mereka.
"Untuk menjaga lingkungan, Ustadz. Biar lingkungan kita bersih dan tidak banjir," jawab salah seorang di antara mereka.
"Bagus," komentar saya. "Kini, Ustadz mau tanya kepada kalian, 'Mengapa kalian suka main bola?'"
"Biar sehat, Ustadz," jawab salah seorang di antara mereka
"Melatih sportifitas dan menumbuhkan sikap fairplay, Ustadz," jawab Ihsan, salah seorang di antara mereka.
"Melatih kerja sama, Ustadz," jawab salah seorang anak.
"Habis di sekolah gak ada tempat untuk bermain sepak bola, Ustadz," jawab seorang anak yang paling muda usianya.
"Bagus sekali jawaban kalian...."
"Jadi, kami sekarang boleh main sepak bola lagi?" tanya mereka.
"Ya, kini silakan kalian bermain kembali sepak bola."
"Horeee...."
Itulah anak-anak: jujur, sportif, dan berbicara apa adanya. Mereka belum terkontaminasi "penyakit" yang kerap menerpa orang-orang dewasa. Mungkin, kita kini perlu belajar kepada anak-anak dan tidak memandang sebelah mata kepada mereka. Mungkin!
Wednesday, November 21, 2012
Palestinian Diaspora
“Pak Rofi’, ceritalah barang sedikit tentang bangsa
Palestina. Biar kami tahu sedikit tentang perjuangan mereka!”
Demikian bunyi salah satu pesan singkat yang masuk ke telpon
genggam saya. Menerima permintaan demikian, tiba-tiba kenangan ketika masih
menimba ilmu di Universitas Kairo pada awal 1980-an pun “melayang-layang” dalam
benak saya. Tiba-tiba dalam benak saya “terpampang” bayang-bayang beberapa
teman mahasiswa asal Palestina. Kala itu
mereka, selepas berkenalan dengan saya, kerap mengajak berbincang tentang
pelbagai hal. Mereka, kala itu, merupakan bagian dari “Palestinian Diaspora”,
alias orang-orang Palestina di perantauan. Mereka termasuk para mahasiswa
Palestina yang mendapatkan kesempatan menimba ilmu di pelbagai perguruan tinggi
di Mesir. Tentu saja, mereka menimba ilmu di Negeri Piramid itu gratis. Tidak
hanya itu. Mereka juga memiliki dua paspor: paspor Palestina dan paspor Mesir. Kelompok
Palestinian Diaspora inilah sejatinya yang sangat ditakutkan Israel.
Mengapa Israel sangat khawatir dengan Palestinian Diaspora?
Seperti diketahui, sejak 1948 hingga dewasa ini, pelan tapi
pasti, Israel kian menggerogoti kawasan yang asalnya milik bangsa Palestina.
Demikian halnya, setiap kali diperlukan, Israel dengan arogannya kerap memporak-porandakan
kawasan yang dihuni orang-orang Palestina di wilayah Palestina. Namun,
sejatinya Israel tahu, bangsa Palestina adalah bangsa yang terkenal liat dan
tangguh. Bukan saja dalam perjuangan militer dalam menghadapi Israel. Tapi,
justru yang paling berat adalah di medan lain.
Seperti halnya bangsa Yahudi, yang selama ribuan tahun hidup
sebagai Jewish Diaspora, banyak orang-orang Palestina yang kini “meneladani
jalur kehidupan” bangsa Yahudi. Dan, bangsa Palestina juga terkenal sebagai
bangsa yang sangat tangguh dan liat dalam menjalani hidup sebagai Palestinian
Diaspora. Pada 1983, misalnya, ketika saya masih di Mesir, jumlah doktor
Indonesia baru sekitar 1.500 orang. Sedangkan jumlah doktor Palestina di
perantauan kala itu telah mencapai sekitar 3.000 orang. Padahal, mereka hidup
di pengasingan. Nah, mengapa hal itu terjadi?
Menyadari posisi mereka yang menderita di negeri sendiri,
mereka kemudian mencari solusi dengan hidup di perantauan. Salah satu jalur yang mereka pilih untuk
mempertahankan kelangsungan hidup mereka adalah dengan berjuang sebaik mungkin
di bidang-bidang yang strategis di pelbagai kawasan dunia di luar Palestina.
Untuk meraih keberhasilan tersebut, mereka pun berjuang untuk meraih pendidikan
yang terbaik dan tertinggi yang disedikan bagi mereka. Di samping itu, mereka
juga menyiapkan diri untuk menguasai pelbagai posisi strategis di bidang
ekonomi dan bisnis di pelbagai kawasan Timur Tengah khususnya. Ternyata,
perjuangan mereka benar-benar membuahkan hasil yang positif. Mereka kini
berhasil menempati pelbagai posisi strategis di bidang perekonomian dan bisnis
kawasan Timur Tengah. Di sisi lain, banyak para ilmuwan Palestina yang
bertebaran di pelbagai penjuru dunia. Termasuk di Eropa dan Amerika Serikat.
Nah, karena pernah menjadi sebagai Jewish Diaspora, para
penguasa Israel sangat sadar adanya kekuatan yang sangat menakutkan di hadapan
mereka: Palestinian Diaspora. Bagi para penguasa Israel, lebih gampang bagi
mereka untuk memporakporandakan kawasan Palestina ketimbang menghadapi
Palestinian Diaspora yang bertebaran di pelbagai kawasan dunia. Yang paling
ditakutkan Israel adalah manakala Palestinian Diaspora ini bersatu padu
membentuk kekuatan bersama menghadapi Israel. Dewasa ini, jumlah Palestinian
Diaspora sekitar 9-11 juta orang. Tentu dapat dibayangkan, bila hal itu
terjadi, betapa sangat berat tantangan yang dihadapi Israel. Israel pun
menyadari, pertempuran dengan Palestina akan berlangsung lama dan sangat
melelahkan. Dan, bukan tidak mungkin, suatu ketika, Israel akan mengalami nasib
seperti yang dialami Palestina saat ini: menjadi bulan-bulanan.
Thursday, November 15, 2012
Makna di Balik Hijrah Rasul Saw.
Peristiwa hijrah
dalam sejarah Islam, tentu kita semua tahu. Lembaran sejarah Islam menorehkkan,
hijrah adalah peristiwa perpindahan Rasulullah Saw. dari Makkah ke Yatsrib: sebuah kota sekitar
430 kilometer di sebelah utara Makkah yang kemudian namanya diubah menjadi
Madinah. Sejatinya, di antara para sejarawan Muslim tiada kesepakatan tentang
tanggal yang pasti kedatangan beliau ke Madinah. Namun,
yang banyak diikuti adalah pendapat yang menyatakan
kedatangan beliau ke Madinah itu terjadi pada Jumat, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H. Hari Senin sebelumnya,
8 Rabi‘ Al-Awwal, beliau tiba
di Desa Quba’ dan mendirikan
sebuah masjid di
sana. Tanggal 12 Rabi‘ Al-Awwal tahun
itu bertepatan dengan 24 September 622
M.
Sejatinya, Rasulullah
Saw. berat meninggalkan
kota kelahiran beliau. Sebab,
meski beliau memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan kesucian yang tidak tertandingi, tetapi
beliau tetap mencintai kota kelahirannya. Hijrah
terpaksa dilakukan, karena mayoritas masyarakat Makkah kala itu tidak mau menerima
ajaran Allah Swt. yang disampaikan melalui Rasul-Nya. Mereka
menolak ajaran itu karena tidak mengerti
atau membenci beliau.
Kini, apakah makna
di balik Peristiwa Hijrah tersebut?
Hijrah, menurut
Tariq Ramadan dalam sebuah karyanya berjudul In the Footsteps of the
Prophet: Lessons from the life of Muhammad, “pada dasarnya merupakan
realitas yang harus dihadapi orang beriman yang tidak memiliki kebebasan untuk
memraktikkan keyakinan mereka dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan secara
baik demi keyakinan mereka. Karena ‘bumi Tuhan sangat luas’, seperti yang
dinyatakan dalam Al-Quran, mereka memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran
mereka, memutuskan diri dari semesta dan kebiasaan mereka, dan menjalani
pengasingan. Semua itu semata demi keyakinan mereka.
Wahyu yang turun
kemudian memuji keberanian dan keteguhan orang-orang beriman yang telah
menunjukkan kepercayaan mereka kepada Tuhan dengan mengambil langkah sulit dan
berisiko itu. Firman Allah Swt., “Dan orang-orang yang berhijrah karena dan untuk Allah, sesudah
mereka dizalimi, pasti Kami akan
memberikan tempat dan posisi yang baik
kepada mereka di dunia. Dan
sesungguhnya pahala di akhirat
adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Nahl
[16]: 41).
Dengan demikian,
sejatinya pengasingan merupakan bentuk lain dari ujian keimanan. Semua Nabi pun
telah mengalami ujian semacam itu. Juga, semua orang beriman setelah mereka.
Nah, sejauh manakah mereka kuasa melaksanakannya, sejauh manakah mereka siap
menyerahkan jiwa dan raga mereka untuk Yang Maha Esa, kebenaran, dan cinta-Nya?
Semua itu merupakan pertanyaan abadi keimanan yang mengiringi setiap pengalaman
temporal dan historis dalam kesadaran orang beriman. Hijrah merupakan salah
satu jawaban masyarakat Muslim pada masa-masa awal kehadiran mereka. Dengan
kata lain, pengasingan juga menuntut kaum Muslim awal agar selalu belajar untuk
tetap setia terhadap makna ajaran Islam di tengah perubahan tempat, budaya, dan
memori. Madinah berarti budaya baru, jenis hubungan sosial baru, peran yang
seluruhnya baru bagi perempuan (yang secara sosial jauh lebih terlibat daripada
di Makkah), dan ikatan komunitas antarsuku yang lebih kompleks.”
Berkenaan dengan
makna hijrah tersebut, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat, hijrah dapat
dipilah menjadi dua. Pertama, hijrah
fisik, berupa perpindahan
fisik, baik personal maupun
massal, dari suatu daerah ke daerah
lainnya. Dalam konteks ini, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq,
tercinta istri Rasulullah Saw.
menuturkan sebuah hadis
bahwa sesudah Penaklukan Makkah
tiada lagi hijrah dan yang ada adalah
jihad dan niat. Kedua, hijrah
hati nurani. Hijrah jenis
terakhir ini bukan saja memerlukan sekadar perpindahan
fisik, tapi juga memerlukan perpindahan orientasi niat dan
aktivitas hati, dengan perpindahan menuju kecintaan dan keridhaan Allah
dan Rasul-Nya. Perpindahan orientasi itu hendaknya dilakukan dengan
meninggalkan berbagai aktivitas
yang berkategori syubhat, maksiat, maupun kategori negatif
lainnya. Menurut Ibn Qayyim Al-Jauziyyah,
hijrah terakhir itulah hijrah yang hakiki: prinsip dan fondasi dasar
dalam berhijrah. Sedangkan aktivitas fisik adalah ikutannya saja.
Kini, dengan
datangnya kembali tahun hijriah, kiranya kita dapat mengambil pelajaran dari
makna di balik Peristiwa Hijrah dan memraktikannya. Kiranya demikian.
Subscribe to:
Posts (Atom)