Makna di Balik Hijrah Rasul Saw.
Peristiwa hijrah
dalam sejarah Islam, tentu kita semua tahu. Lembaran sejarah Islam menorehkkan,
hijrah adalah peristiwa perpindahan Rasulullah Saw. dari Makkah ke Yatsrib: sebuah kota sekitar
430 kilometer di sebelah utara Makkah yang kemudian namanya diubah menjadi
Madinah. Sejatinya, di antara para sejarawan Muslim tiada kesepakatan tentang
tanggal yang pasti kedatangan beliau ke Madinah. Namun,
yang banyak diikuti adalah pendapat yang menyatakan
kedatangan beliau ke Madinah itu terjadi pada Jumat, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H. Hari Senin sebelumnya,
8 Rabi‘ Al-Awwal, beliau tiba
di Desa Quba’ dan mendirikan
sebuah masjid di
sana. Tanggal 12 Rabi‘ Al-Awwal tahun
itu bertepatan dengan 24 September 622
M.
Sejatinya, Rasulullah
Saw. berat meninggalkan
kota kelahiran beliau. Sebab,
meski beliau memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan kesucian yang tidak tertandingi, tetapi
beliau tetap mencintai kota kelahirannya. Hijrah
terpaksa dilakukan, karena mayoritas masyarakat Makkah kala itu tidak mau menerima
ajaran Allah Swt. yang disampaikan melalui Rasul-Nya. Mereka
menolak ajaran itu karena tidak mengerti
atau membenci beliau.
Kini, apakah makna
di balik Peristiwa Hijrah tersebut?
Hijrah, menurut
Tariq Ramadan dalam sebuah karyanya berjudul In the Footsteps of the
Prophet: Lessons from the life of Muhammad, “pada dasarnya merupakan
realitas yang harus dihadapi orang beriman yang tidak memiliki kebebasan untuk
memraktikkan keyakinan mereka dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan secara
baik demi keyakinan mereka. Karena ‘bumi Tuhan sangat luas’, seperti yang
dinyatakan dalam Al-Quran, mereka memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran
mereka, memutuskan diri dari semesta dan kebiasaan mereka, dan menjalani
pengasingan. Semua itu semata demi keyakinan mereka.
Wahyu yang turun
kemudian memuji keberanian dan keteguhan orang-orang beriman yang telah
menunjukkan kepercayaan mereka kepada Tuhan dengan mengambil langkah sulit dan
berisiko itu. Firman Allah Swt., “Dan orang-orang yang berhijrah karena dan untuk Allah, sesudah
mereka dizalimi, pasti Kami akan
memberikan tempat dan posisi yang baik
kepada mereka di dunia. Dan
sesungguhnya pahala di akhirat
adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Nahl
[16]: 41).
Dengan demikian,
sejatinya pengasingan merupakan bentuk lain dari ujian keimanan. Semua Nabi pun
telah mengalami ujian semacam itu. Juga, semua orang beriman setelah mereka.
Nah, sejauh manakah mereka kuasa melaksanakannya, sejauh manakah mereka siap
menyerahkan jiwa dan raga mereka untuk Yang Maha Esa, kebenaran, dan cinta-Nya?
Semua itu merupakan pertanyaan abadi keimanan yang mengiringi setiap pengalaman
temporal dan historis dalam kesadaran orang beriman. Hijrah merupakan salah
satu jawaban masyarakat Muslim pada masa-masa awal kehadiran mereka. Dengan
kata lain, pengasingan juga menuntut kaum Muslim awal agar selalu belajar untuk
tetap setia terhadap makna ajaran Islam di tengah perubahan tempat, budaya, dan
memori. Madinah berarti budaya baru, jenis hubungan sosial baru, peran yang
seluruhnya baru bagi perempuan (yang secara sosial jauh lebih terlibat daripada
di Makkah), dan ikatan komunitas antarsuku yang lebih kompleks.”
Berkenaan dengan
makna hijrah tersebut, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat, hijrah dapat
dipilah menjadi dua. Pertama, hijrah
fisik, berupa perpindahan
fisik, baik personal maupun
massal, dari suatu daerah ke daerah
lainnya. Dalam konteks ini, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq,
tercinta istri Rasulullah Saw.
menuturkan sebuah hadis
bahwa sesudah Penaklukan Makkah
tiada lagi hijrah dan yang ada adalah
jihad dan niat. Kedua, hijrah
hati nurani. Hijrah jenis
terakhir ini bukan saja memerlukan sekadar perpindahan
fisik, tapi juga memerlukan perpindahan orientasi niat dan
aktivitas hati, dengan perpindahan menuju kecintaan dan keridhaan Allah
dan Rasul-Nya. Perpindahan orientasi itu hendaknya dilakukan dengan
meninggalkan berbagai aktivitas
yang berkategori syubhat, maksiat, maupun kategori negatif
lainnya. Menurut Ibn Qayyim Al-Jauziyyah,
hijrah terakhir itulah hijrah yang hakiki: prinsip dan fondasi dasar
dalam berhijrah. Sedangkan aktivitas fisik adalah ikutannya saja.
Kini, dengan
datangnya kembali tahun hijriah, kiranya kita dapat mengambil pelajaran dari
makna di balik Peristiwa Hijrah dan memraktikannya. Kiranya demikian.
No comments:
Post a Comment