Thursday, November 15, 2012


Makna di Balik Hijrah Rasul Saw. 
Peristiwa hijrah dalam sejarah Islam, tentu kita semua tahu. Lembaran sejarah Islam menorehkkan, hijrah adalah peristiwa perpindahan Rasulullah Saw.  dari Makkah ke Yatsrib: sebuah kota sekitar 430 kilometer di sebelah utara Makkah yang kemudian namanya diubah menjadi Madinah. Sejatinya, di antara para sejarawan Muslim tiada kesepakatan tentang tanggal  yang pasti  kedatangan beliau ke Madinah. Namun, yang  banyak  diikuti adalah pendapat yang menyatakan kedatangan beliau ke Madinah itu terjadi pada Jumat, 12  Rabi‘ Al-Awwal 1 H. Hari Senin sebelumnya, 8  Rabi‘ Al-Awwal, beliau  tiba  di  Desa Quba’ dan mendirikan sebuah  masjid  di  sana. Tanggal  12 Rabi‘ Al-Awwal tahun itu bertepatan dengan 24 September  622 M.

Sejatinya,  Rasulullah  Saw.  berat  meninggalkan  kota  kelahiran beliau. Sebab, meski beliau memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan  kesucian yang tidak tertandingi, tetapi beliau  tetap  mencintai kota   kelahirannya.  Hijrah  terpaksa   dilakukan,   karena mayoritas  masyarakat Makkah kala itu tidak mau  menerima  ajaran Allah Swt. yang disampaikan melalui Rasul-Nya. Mereka menolak  ajaran itu karena tidak mengerti atau membenci beliau.  

Kini, apakah makna di balik Peristiwa Hijrah tersebut?

Hijrah, menurut Tariq Ramadan dalam sebuah karyanya berjudul In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the life of Muhammad, “pada dasarnya merupakan realitas yang harus dihadapi orang beriman yang tidak memiliki kebebasan untuk memraktikkan keyakinan mereka dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan secara baik demi keyakinan mereka. Karena ‘bumi Tuhan sangat luas’, seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran, mereka memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka, memutuskan diri dari semesta dan kebiasaan mereka, dan menjalani pengasingan. Semua itu semata demi keyakinan mereka.

Wahyu yang turun kemudian memuji keberanian dan keteguhan orang-orang beriman yang telah menunjukkan kepercayaan mereka kepada Tuhan dengan mengambil langkah sulit dan berisiko itu. Firman Allah Swt., “Dan orang-orang yang  berhijrah karena dan untuk Allah, sesudah mereka dizalimi, pasti Kami  akan memberikan  tempat dan posisi yang baik kepada mereka  di  dunia. Dan  sesungguhnya  pahala di akhirat adalah lebih  besar,  kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Nahl [16]: 41).

Dengan demikian, sejatinya pengasingan merupakan bentuk lain dari ujian keimanan. Semua Nabi pun telah mengalami ujian semacam itu. Juga, semua orang beriman setelah mereka. Nah, sejauh manakah mereka kuasa melaksanakannya, sejauh manakah mereka siap menyerahkan jiwa dan raga mereka untuk Yang Maha Esa, kebenaran, dan cinta-Nya? Semua itu merupakan pertanyaan abadi keimanan yang mengiringi setiap pengalaman temporal dan historis dalam kesadaran orang beriman. Hijrah merupakan salah satu jawaban masyarakat Muslim pada masa-masa awal kehadiran mereka. Dengan kata lain, pengasingan juga menuntut kaum Muslim awal agar selalu belajar untuk tetap setia terhadap makna ajaran Islam di tengah perubahan tempat, budaya, dan memori. Madinah berarti budaya baru, jenis hubungan sosial baru, peran yang seluruhnya baru bagi perempuan (yang secara sosial jauh lebih terlibat daripada di Makkah), dan ikatan komunitas antarsuku yang lebih kompleks.”

Berkenaan dengan makna hijrah tersebut, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat,  hijrah dapat  dipilah  menjadi dua.  Pertama,  hijrah  fisik,  berupa  perpindahan  fisik,  baik personal  maupun  massal, dari suatu daerah  ke  daerah  lainnya. Dalam  konteks  ini, ‘A’isyah binti Abu Bakar  Al-Shiddiq,  tercinta istri Rasulullah  Saw. menuturkan  sebuah  hadis  bahwa sesudah  Penaklukan Makkah tiada lagi hijrah dan yang ada  adalah jihad dan niat. Kedua, hijrah hati  nurani.  Hijrah jenis  terakhir ini bukan saja memerlukan sekadar  perpindahan  fisik, tapi juga memerlukan perpindahan orientasi niat  dan  aktivitas hati, dengan perpindahan menuju kecintaan dan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Perpindahan orientasi itu hendaknya dilakukan   dengan   meninggalkan   berbagai   aktivitas    yang berkategori  syubhat, maksiat, maupun kategori  negatif  lainnya. Menurut  Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, hijrah terakhir itulah  hijrah yang  hakiki: prinsip dan fondasi  dasar  dalam berhijrah. Sedangkan aktivitas fisik adalah ikutannya saja.

Kini, dengan datangnya kembali tahun hijriah, kiranya kita dapat mengambil pelajaran dari makna di balik Peristiwa Hijrah dan memraktikannya. Kiranya demikian.
      

No comments: