BERBUAT YANG TERBAIK,
MENGAPA TIDAK?
“Rrrrrrr…. Rrrrrr…. Rrrrr….”
Tiba-tiba suara berisik demikian itu “mewarnai” suasana di tempat
tinggal kami, di Baleendah, Kab. Bandung, beberapa waktu yang lalu. Kian lama
suara itu kian kencang. Saya yang sedang asyik di depan laptop, di lantai dua
rumah kami, di Pondok Pesantren Mini Nun Learning Center, pun segera turun ke
lantai satu. Ohoi, ternyata, Pak Apo, petugas kebersihan di lingkungan pondok
pesantren, sedang asyik memotong rumput dengan mesin pemotong rumput yang telah
berusia senja. Saya lihat, Pak Apo begitu asyik “menari-nari” dengan mesin tua
itu. Bidang demi bidang di pelbagai sudut pondok pesantren yang ditumbuhi
rumput pun menjadi bersih, rancak, dan indah.
Ketika sedang “bermain-main” dengan mesin pemotong rumput, saya
lihat Pak Apo begitu asyik dengan pekerjaannya. Bila bahasa kaum sufi dapat
dipakai di sini, dapat dikatakan ketika sedang memegang mesin pemotong rumput
Pak Apo sedang dalam keadaan “trance” alias majdzûb. Lupa segala-galanya
dan yang dia lakukan adalah “menari”, “menari”, dan “menari” dengan mesin
pemotong rumput yang ada di tangannya. Dengan cara kerja yang demikian, tidak
aneh jika dalam waktu tidak lebih dari tiga jam seluruh sudut pondok pesantren,
dengan luas sekitar 1.700 meter persegi, pun menjadi bersih dan indah kembali. Memang,
meski hanya sebagai seorang petugas kebersihan, namun Pak Apo dapat
dikategorikan sebagai orang yang ketika bekerja dia senantiasa bekerja dengan
hatinya dan sepenuh hati. Tanpa mengharapkan pujian. Hasilnya luar biasa: setiap pekerjaan yang dia lakukan
menghasilkan hasil yang patut diacungi jempol.
Entah kenapa, ketika melihat Pak Apo sedang mengalami “ekstase”
dengan pekerjaannya, tiba-tiba saya teringat kejadian di awal tahun 1980-an di
Universitas Kairo, Mesir. Sore itu, selepas mengikuti bimbingan seorang
supervisor tesis master saya, Prof. Dr. Ahmad Shalaby, seorang pakar sejarah
dan kebudayaan Islam terkemuka di Mesir, tiba-tiba memanggil saya, “Ahmad (di
Mesir, saya dipanggil dengan nama tersebut, bukan dipanggil Rofi’, karena nama
pertama saya memang Ahmad), dua buku yang kamu terjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia telah diterima sebuah penerbit di Singapura. Mereka memuji hasil
terjemahanmu.”
“Terima kasih, Prof. Tapi, terjemahan yang saya lakukan masih
banyak kekurangannya,” jawab saya.
“Ahmad,” tiba-tiba sang profesor bertanya, “tahukah kamu Prof. Dr. A.J.
Arberry?”
Menerima pertanyaan demikian, sejenak saya kebingungan. Untung,
beberapa waktu sebelumnya saya sudah membaca sebuah buku yang menuturkan
perjalanan hidup supervisor saya tersebut, dengan judul Hayâtî. Karena
itu, tidak lama kemudian saya menjawab, “Ya, saya sedikit tahu tentang Prof.
Dr. A.J. Arberry, supervisor profesor ketika sedang mengambil program doktor di
Universitas Cambridge, Inggris.”
A.J. Arberyy, siapakah tokoh yang ditanyakan supervisor saya itu?
A.J. Arberry, atau
lebih lengkapnya Arthur John Arberry, adalah seorang orientalis
terkemuka yang pakar tasawuf
dan sastra Persia. Orientalis yang satu ini lahir di sebuah
desa kecil, Fratton, Portmouth,
Inggris pada Jumat, 7 Rabi‘ Al-Awwal 1323 H/12 Mei 1905 M. Setelah merampungkan pendidikan
menengahnya di Grammar School,
di tempat kelahirannya, putra
seorang perwira Angkatan Laut
Inggris ini lantas memasuki
Pembroke College, Universitas
Cambridge. Di universitas terkemuka itu, ia bertemu
dengan Reynold A. Nicholson, seorang orientalis terkemuka, yang kemudian
banyak mengarahkan Arberrry untuk mempelajari bahasa Arab dan Persia. Malah, Arberry kemudian menjadi pengganti sang mahaguru yang juga
pakar di bidang tasawuf.
Pada 1350 H/1931 M Arberry melakukan perjalanan ilmiah ke Kairo, Mesir.
Di "Kota Seribu Menara" itulah ia bertemu dengan seorang mahasiswi Romania,
Sabrina Simons, yang kemudian disuntingnya menjadi istrinya. Lima tahun
kemudian, pada 1355 H/1936 M, gelar
doktor ia raih dari almamaternya. Segera langkah-langkah pastinya dalam menapaki kajian tentang tasawuf dan
satra Persia kian terentang jauh. Dan,
segera pula lahir sejumlah
karya-karya ilmiahnya di bidang tersebut.
Karier Arberry pada
tahun-tahun berikutnya kian berpendar.
Pada 1364 H/1944 M, misalnya, ia
diangkat sebagai guru besar bahasa Persia
di Oriental and African Studies School, menggantikan V.F Minorsky.
Lantas, dua tahun kemudian, ia diangkat
sebagai guru besar bahasa Arab. Lalu, tahun berikutnya, ia diangkat
sebagai guru besar kursi
bahasa Arab di
almamaternya, Universitas
Cambridge, menggantikan C.A. Storey.
Perjalanan hidup selanjutnya guru besar yang terkenal santun ini diwarnai dengan berbagai kegiatannya
dalam meneliti, menulis, dan menerjemahkan
karya-karya yang menjadi bidang kajiannya, sampai ia
meninggal dunia di Cambridge, pada Kamis, 20 Rajab 1387 H/2 Oktober 1969 M. Karya-karyanya, antara
lain, adalah Specimens of Arabic and
Paleography, Revelation and Reason in Islam,
Aspects of Islamic Civilization, Sufism: An Account of Mystics of Islam, dan The Koran Interpreted.
“Prof, ada apa dengan Prof. Dr. A.J.
Arberry?” saya kemudian balik bertanya. Sangat penasaran.
“Ahmad,” jawab Prof. Dr. Ahmad Shalaby, “kerap kali ketika kita menilai para tokoh
orientalis atau para ilmuwan Barat, kita terjebak dalam usaha untuk senantiasa mencari
kesalahan dan kelemahan mereka. Kita langka sekali berusaha mengetahui dan
memahami aspek-aspek positif yang mereka miliki. Prof. Dr. A.J. Arberry,
misalnya. Saya sejatinya sangat mengagumi cara kerja ilmiah beliau. Mengapa?
Beliau adalah seorang ilmuwan yang sangat cermat dan teliti. Ketika beliau
menerjemahkan karya-karya dari bahasa Persia atau bahasa Arab, misalnya, dan
beliau merasa kurang sreg dengan terjemahan satu kosakata, beliau bisa
berhari-hari tidak beranjak dari kosakata itu hingga menemukan terjemahan yang
paling tepat. Juga, ketika menulis sebuah buku, beliau sangat teliti dan cermat
sekali. Hal-hal positif yang demikian itu sebaiknya juga kamu lakukan ketika
kelak kamu menjadi seorang ilmuwan, penulis, atau penerjemah. Malah, juga
ketika kamu bergerak di bidang-bidang lain. Berbuatlah sebaik mungkin di bidang
apa pun yang kamu geluti dan tangani.”
“Prof, terima kasih sekali atas nasihat
yang indah tersebut. Insya Allah saya akan melaksanakan nasihat tadi,” sahut
saya dengan perasaan sangat gembira.
“Berbuatlah yang terbaik. Di mana pun dan kapan pun”,
pesan indah yang demikian itulah sejatinya yang menjadi pesan Pak Apo dan Prof.
Dr. A.J. Arberry, lewat tindakan cermat dan teliti yang senatiasa mereka lakukan.
Betapa indah pesan itu. Akan lebih indah lagi bila kita dapat melaksanakan
pesan indah itu. Di bidang apa pun yang kita kerjakan dan tekuni. Tentu saja, di
bidang dan usaha yang positif dan bukan negatif. Pesan yang indah tersebut sejatinya juga
pernah disampaikan Rasulullah Saw. “Sungguh, sejatinya Allah senang bila hamba-Nya
beramal dengan amal yang terbaik.” Karena itu, semestinyalah kita berbuat
yang terbaik, di bidang apa pun yang kita tekuni, dengan mengharap ridha Allah
Swt.!
1 comment:
assalamualaikum...
maaf pak sebelumnya kira2 untuk mencari biografi DR ahmad shalaby dimana?
Post a Comment