Dendeng Gg. Ijan dan Hewan Korban di Makkah
“Mas, kalau ke kota, jangan lupa beli Dendeng Gg. Ijan,
ya.”
Demikian pesan istri saya, dua hari yang lalu, ketika ia
tahu, saya akan pergi ke Kota Bandung untuk membeli sesuatu sebelum saya dan
istri “ngluyur” ke Benua Eropa mulai siang hari ini. Meski ia belum pernah
merasakan dendeng nan lezat itu, entah kenapa ia tertarik untuk membawa
oleh-oleh dendeng terkenal dari Parijs van Java itu untuk seorang sahabat dan
keluarga di benua nun jauh di utara itu. Karena itu, setelah menikmati angkot
dari Baleendah dan tiba di Terminal Kebon Kalapa, Bandung, saya kemudian
berjalan kaki ke arah barat, ke arah Jalan Otista, menyusuri Jalan Pungkur.
Sekitar empat rumah sebelum perempatan Jalan Otista, di sebelah kiri ada sebuah
gang. Di situ, ada sebuah petunjuk jalan dengan tulisan “Gg. Ijan”.
Saya sendiri, sebelum itu, belum pernah membeli Dendeng
Gg. Ijan. Juga, saya tidak tahu di mana alamat penjual dendeng yang digemari
Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei itu. Karena itu, ketika telah berada di
gang tersebut, saya pun kebingungan mencari alamat penjual dendeng itu. Apalagi,
sepanjang gang itu saya tidak menemukan petunjuk apa pun tentang “Dendeng Gg.
Ijan” itu. Selepas berjalan beberapa lama, dan tidak menemukan alamat penjual
dendeng itu, akhirnya saya melihat seorang ibu berusia lanjut berdiri di depan
rumahnya. Saya pun bertanya kepada ibu itu, dan ibu sepuh itu memberitahu saya,
Dendeng Gg. Ijan beralamat di no. 18 gang itu. Saya pun balik langkah. Ketika
berada di depan rumah bernomor 18 tersebut, saya melihat dua ibu muda sedang
menjemur pakaian. Di rumah itu tiada tanda-tanda sama sekali bahwa rumah itu
merupakan produsen Dendeng Gg. Ijan. “Ibu,” tanya saya kepada saya seorang di
antara dua ibu itu, “apa memang di sini tempat penjualan Dendeng Gg. Ijan?”
“Benar, Pak,” jawab ibu itu. “Silakan masuk.”
Setelah mempersilakan saya masuk ke dalam rumah dan
duduk, ibu itu kemudian bertanya kepada saya, “Bapak sudah pesan dendeng kami
sebelum ini?”
“Lo, harus pesan dulu, ya?”
“Iya, Pak. Kami hanya melayani pemesanan saja. Jadi, kami
hanya melayani pembuatan dendeng ini berdasarkan pesanan saja. Jika Bapak pesan
hari, pesanan Bapak baru siap besok sore.”
“Duh,” gumam saya dalam hati. “Untung saja saya baru
berangkat dua hari lagi.”
Mendengar penjelasan demikian, saya kemudian bertanya
kepada ibu itu tentang harga dendeng itu. Ternyata, harganya cukup aduhai.
Meski demikian, saya tetap memesan dendeng tersebut yang akan saya ambil sore
hari berikut. Dan, saya mendapat sampel dendeng lezat siap saji nan lezat itu.
Setelah berpamitan, dan ketika sedang menikmati
perjalanan menuju Dago, naik kendaraan kegemaran saya: angkot, entah kenapa
tiba-tiba benak saya “melayang-layang” jauh. Ya, melayang jauh ke Makkah,
sebuah kota yang entah berapa kali pernah saya kunjungi. Benak saya, entah
kenapa pula, tiba-tiba membayangkan ratusan ribu hewan korban yang kerap kali
tidak didayagunakan menjadi “sesuatu yang jauh lebih bermanfaat” dan tidak
dibiarkan “mubadzir” saja. Membayangkan hewan korban tersebut, tiba-tiba bibir
saya bergumam pelan, “Andai saja saudara-saudaraku di Kota Makkah mau belajar membuat
dendeng nan lezat berbentuk krispi kepada ibu di Gg. Ijan itu, tentu hewan-hewan
korban di Makkah itu akan termanfaatkan dengan baik. Tidak hanya dibuat kornet
saja. Tetapi, dibuat dendeng siap saji nan lezat, dengan aneka ragam rasa,
seperti Dendeng Gg. Ijan itu. Andai saja…”
Setiba saya di rumah kembali, sore harinya, dan ketika
istri melihat sampel Dendeng Gg. Ijan yang saya bawa, istri saya pun segera
mencicipi dendeng itu. “Wow, lezat sekali dendeng ini. Siap saja lagi…” serunya
sambil menikmati dendeng kesukaan Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei itu.