Tuesday, August 20, 2013

AL-IBRIZ: 
Kitab Tafsir yang Unik, Menarik, dan Ciamik

Usai berlebaran di Kota Cepu, Jawa Tengah, pada Sabtu, 17 Agustus 2013 yang lalu, rencana semula dalam perjalanan kembali ke Bandung, sejatinya saya, istri, dan seorang adik dan suaminya bermaksud melintasi rute Cepu-Blora-Purwodadi-Semarang. Mengapa? Hal ini karena sebelumnya saya telah memberitahu seorang kiai di Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, bahwa saya akan mampir ke sana. Kiai tersebut adalah seorang sahabat saya sejak berada di Mesir. Beliau pernah menimba ilmu di Universitas Alexandria.

Namun, rencana itu kemudian kami ubah. Ini karena malam sebelumnya, saya bertemu dengan Gus Mus dan beliau berucap kepada saya, “Monggo pinarak wonten Rembang. Silakan berkunjung di Rembang.” Menerima undangan dari seorang kiai mulia seperti halnya Gus Mus, tentu saja saya tidak dapat mampu berucap kecuali menjawab dengan penuh semangat, “Insya Allah.” Oleh karena itu, keesokan harinya, kami pun mengubah rute perjalanan kami menjadi: Cepu-Blora-Rembang-Juwana-Pati-Kudus-Demak-Mranggen-Semarang.  Tetapi, kami sengaja tidak memberitahu Gus Mus bahwa kami akan berkunjung ke rumah beliau yang terletak di Desa Leteh, Kota Rembang.

Ketika mobil yang membawa kami tiba di lingkungan Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin, Rembang, kami pertama-tama berkunjung ke rumah Nyai Hj. Cholil Bisyri. Di situ, kami bertemu dengan ibunda Gus Yahya Staquf, salah seorang kiai di pondok tersebut yang pernah menjadi salah seorang kepercayaan Gus Dur, dan tentu Gus Yahya sendiri. Seusai berkunjung di situ, kami berenam (bersama seorang istri paman) kemudian menuju ke rumah Gus Mus. Melihat mobil Kijang Innova dengan no. polisi K 1926… berwarna putih, saya merasa yakin Gus Mus ada di rumah, meski pintu depan rumah beliau tertutup. “Bagaimana ini? Apa kita tetap akan berkunjung ke rumah Gus Mus,” tanya istri saya yang merasa tidak enak jika kehadiran kami mengganggu Gus Mus yang kemungkinan sedang beristirahat.
“Saya lihatnya dahulu, Mbak. Barang kali beliau ada di rumah,” jawab istri paman yang biasa masuk dan keluar dalam lingkungan keluarga besar Gus Mus.

Tidak lama kemudian, kami mendapat lampu hijau untuk bertemu dengan Gus Mus. Kami pun masuk ke dalam rumah beliau melalui pintu samping, di dekat dapur rumah beliau. Ketika melintasi tempat tersebut menuju ruang tamu, saya lihat Gus Mus sedang asyik memasak di dapur  dengan pakaian kebesarannya:  tetap mengenakan sarung dan baju berwarna putih. “Mâsyâ Allâh, kiai seperti Gus Mus masih sempat dan tidak malu memasak,” gumam saya dalam hati.

Tidak lama kemudian, Gus Mus keluar dari dalam rumah untuk menemui kami. Beliau keluar dengan tampilan kebesaran beliau: mengenakan baju putih, sarung putih, dan kopiah putih, serta berambut putih. Tidak lama kemudian, istri beliau juga keluar menemui kami. Segera pula, setelah berbagi sapa dengan kami, tiba-tiba Gus Mus berdiri dan kemudian masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, beliau muncul kembali dengan membawa sebuah buku berukuran besar. Setelah duduk kembali di hadapan kami, kemudian beliau menyerahkan buku itu, yang ternyata sebuah kitab terjemah dan tafsir Al-Quran yang merupakan karya besar ayahanda beliau, KH. Bisyri Musthofa, kepada saya. “Alhamdulillah,” gumam saya dalam hati seraya menarik napas panjang. “Ini merupakan hadiah yang luar biasa: mendapat hadiah sebuah kitab terjemah dan tafsir Al-Quran dari putra penulis karya besar itu dan sang putra juga seorang kiai terkemuka.” Karya itu berjudul Al-Ibriz Versi Latin.

Belum lagi rasa kaget sirna selepas menerima hadiah luar biasa tersebut, kami kemudian dipersilakan menikmati makan siang dengan hidangan yang juga tidak lepas dari sentuhan tangan Gus Mus. “Kulo niki pancene seneng ngrusuhi wonten pawon. Saya ini memang suka membuat repot (orang di) dapur (dan terlibat dalam kegiatan dapur),” ucap Gus Mus, merendah. Duh, betapa hal itu merupakan suatu kehormatan bagi kami. Ingat pesan Imam Al-Syafi’i, yang suka menikmati hidangan halal yang disajikan orang yang mulia, saya pun menikmati hidangan itu dengan lahap. Eh, yang lain-lain ternyata ikut-ikutan menikmati hidangan itu dengan lahap.

Tidak lama kemudian, menyadari Gus Mus belum banyak beristirahat, kami pun segera berpamitan.  Sepanjang perjalanan, dari Rembang menuju Semarang, kitab hadiah istimewa, dalam bahasa Jawa indah, dari Gus Mus itu saya cermati. “Duh,” gumam saya dalam hati selepas mencermati kitab tersebut. “Ini kitab terjemah dan tafsir yang luar biasa dan merupakan karya seorang kiai yang luar biasa. Sebuah karya yang unik, menarik, dan ciamik (luar biasa).”

Siapakah KH. Bisyri Musthofa, penyusun karya dalam bahasa Jawa itu?

KH. Bisyri Musthofa lahir di Desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915.  Nama asli beliau adalah Masyhadi. Namun, sepulang dari menunaikan ibadah haji, beliau mengubah namanya menjadi Bisyri. Ketika berusia sekitar dua puluh tahun,  putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan istri keduanya yang bernama Hj. Khatijah, dinikahkan seorang gurunya, KH.  Cholil dari Kasingan (tetangga Desa Pesawahan), dengan seorang gadis bernama Ma’rufah yang tidak lain adalah putri KH. Cholil sendiri. Dari perkawinannya ini, KH. Bisyri Musthofa dianugrahi delapan anak, yaitu Cholil, Musthofa, Adib, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah, dan Atikah.

Setelah menikah dan menimba ilmu, termasuk ke Makkah, KH. Bisyri Musthofa kemudian mengajar di pesantren. Di samping kegiatan mengajar di pesantren, beliau juga aktif pula mengisi ceramah keagamaan. Penampilannya di atas mimbar amat mempesona para hadirin yang ikut mendengarkan ceramahnya. Tidak aneh jika beliau kerap diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di berbagai daerah di Jawa Tengah.

Meski sibuk mengajar dan terkenal sebagai singa podium, namun KH. Bisyri Musthofa ternyata punya keistimewaan yang kerap tidak dimiliki para kiai yang lain: beliau juga seorang penulis piawai. Salah satu karya beliau adalah karya monumental beliau, Al-Ibriz, sebuah kitab terjemah dan tafsir Al-Quran dalam bahasa Jawa.  Dalam karya yang semula terdiri dari tiga jilid dan diterbitkan Penerbit Menara Kudus ini KH. Bisyri Musthofa senantiasa memberikan tafsiran terhadap ayat-ayat mutasyâbihât dengan mengambil beberapa pendapat para mufassir disertai dengan argumen-argumen yang beliau berikan sendiri. Dalam kitab tafsirnya itu, tidak sedikit ditemukan uraian-uraian yang menyangkut ilmu sosial, logika, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya.

Sebagai orang Jawa yang telah lama, tidak kurang dari 30 tahun, tidak tinggal di daerah yang berbahasa Jawa, saya sangat menikmati tulisan kiai terkemuka yang berpulang pada Rabu, 27 Shafar 1397 H/17 Februari 1977 M itu. “Unik, menarik, dan ciamik sekali karya ini,” demikian gumam saya dalam hati sepanjang perjalanan dari Rembang menuju Semarang, dan kemudian menuju Bandung. “Matur nuwun sanget, Gus Mus. Ini merupakan hadiah yang luar biasa.”
  

No comments: