AL-IBRIZ:
Kitab Tafsir
yang Unik, Menarik, dan Ciamik
Usai berlebaran di Kota
Cepu, Jawa Tengah, pada Sabtu, 17 Agustus 2013 yang lalu, rencana semula dalam
perjalanan kembali ke Bandung, sejatinya saya, istri, dan seorang adik dan suaminya
bermaksud melintasi rute Cepu-Blora-Purwodadi-Semarang. Mengapa? Hal ini karena
sebelumnya saya telah memberitahu seorang kiai di Pondok Pesantren Futuhiyyah,
Mranggen, bahwa saya akan mampir ke sana. Kiai tersebut adalah seorang sahabat
saya sejak berada di Mesir. Beliau pernah menimba ilmu di Universitas
Alexandria.
Namun, rencana itu
kemudian kami ubah. Ini karena malam sebelumnya, saya bertemu dengan Gus Mus
dan beliau berucap kepada saya, “Monggo pinarak wonten Rembang. Silakan
berkunjung di Rembang.” Menerima undangan dari seorang kiai mulia seperti
halnya Gus Mus, tentu saja saya tidak dapat mampu berucap kecuali menjawab
dengan penuh semangat, “Insya Allah.” Oleh karena itu, keesokan harinya, kami
pun mengubah rute perjalanan kami menjadi:
Cepu-Blora-Rembang-Juwana-Pati-Kudus-Demak-Mranggen-Semarang. Tetapi, kami sengaja tidak memberitahu Gus Mus
bahwa kami akan berkunjung ke rumah beliau yang terletak di Desa Leteh, Kota
Rembang.
Ketika mobil yang membawa
kami tiba di lingkungan Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin, Rembang, kami
pertama-tama berkunjung ke rumah Nyai Hj. Cholil Bisyri. Di situ, kami bertemu
dengan ibunda Gus Yahya Staquf, salah seorang kiai di pondok tersebut yang
pernah menjadi salah seorang kepercayaan Gus Dur, dan tentu Gus Yahya sendiri.
Seusai berkunjung di situ, kami berenam (bersama seorang istri paman) kemudian
menuju ke rumah Gus Mus. Melihat mobil Kijang Innova dengan no. polisi K 1926…
berwarna putih, saya merasa yakin Gus Mus ada di rumah, meski pintu depan rumah
beliau tertutup. “Bagaimana ini? Apa kita tetap akan berkunjung ke rumah Gus
Mus,” tanya istri saya yang merasa tidak enak jika kehadiran kami mengganggu
Gus Mus yang kemungkinan sedang beristirahat.
“Saya lihatnya dahulu,
Mbak. Barang kali beliau ada di rumah,” jawab istri paman yang biasa masuk dan
keluar dalam lingkungan keluarga besar Gus Mus.
Tidak lama kemudian, kami
mendapat lampu hijau untuk bertemu dengan Gus Mus. Kami pun masuk ke dalam
rumah beliau melalui pintu samping, di dekat dapur rumah beliau. Ketika
melintasi tempat tersebut menuju ruang tamu, saya lihat Gus Mus sedang asyik
memasak di dapur dengan pakaian
kebesarannya: tetap mengenakan sarung
dan baju berwarna putih. “Mâsyâ Allâh, kiai seperti Gus Mus masih sempat
dan tidak malu memasak,” gumam saya dalam hati.
Tidak lama kemudian, Gus
Mus keluar dari dalam rumah untuk menemui kami. Beliau keluar dengan tampilan
kebesaran beliau: mengenakan baju putih, sarung putih, dan kopiah putih, serta berambut
putih. Tidak lama kemudian, istri beliau juga keluar menemui kami. Segera pula,
setelah berbagi sapa dengan kami, tiba-tiba Gus Mus berdiri dan kemudian masuk
ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, beliau muncul kembali dengan membawa
sebuah buku berukuran besar. Setelah duduk kembali di hadapan kami, kemudian
beliau menyerahkan buku itu, yang ternyata sebuah kitab terjemah dan tafsir
Al-Quran yang merupakan karya besar ayahanda beliau, KH. Bisyri Musthofa,
kepada saya. “Alhamdulillah,” gumam saya dalam hati seraya menarik napas panjang.
“Ini merupakan hadiah yang luar biasa: mendapat hadiah sebuah kitab terjemah
dan tafsir Al-Quran dari putra penulis karya besar itu dan sang putra juga
seorang kiai terkemuka.” Karya itu berjudul Al-Ibriz Versi Latin.
Belum lagi rasa kaget
sirna selepas menerima hadiah luar biasa tersebut, kami kemudian dipersilakan
menikmati makan siang dengan hidangan yang juga tidak lepas dari sentuhan
tangan Gus Mus. “Kulo niki pancene seneng ngrusuhi wonten pawon. Saya
ini memang suka membuat repot (orang di) dapur (dan terlibat dalam kegiatan
dapur),” ucap Gus Mus, merendah. Duh, betapa hal itu merupakan suatu kehormatan
bagi kami. Ingat pesan Imam Al-Syafi’i, yang suka menikmati hidangan halal yang
disajikan orang yang mulia, saya pun menikmati hidangan itu dengan lahap. Eh,
yang lain-lain ternyata ikut-ikutan menikmati hidangan itu dengan lahap.
Tidak lama kemudian,
menyadari Gus Mus belum banyak beristirahat, kami pun segera berpamitan. Sepanjang perjalanan, dari Rembang menuju
Semarang, kitab hadiah istimewa, dalam bahasa Jawa indah, dari Gus Mus itu saya
cermati. “Duh,” gumam saya dalam hati selepas mencermati kitab tersebut. “Ini
kitab terjemah dan tafsir yang luar biasa dan merupakan karya seorang kiai yang
luar biasa. Sebuah karya yang unik, menarik, dan ciamik (luar biasa).”
Siapakah KH. Bisyri
Musthofa, penyusun karya dalam bahasa Jawa itu?
KH. Bisyri Musthofa lahir
di Desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915. Nama asli beliau adalah Masyhadi. Namun, sepulang
dari menunaikan ibadah haji, beliau mengubah namanya menjadi Bisyri. Ketika
berusia sekitar dua puluh tahun, putra
pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan istri keduanya
yang bernama Hj. Khatijah, dinikahkan seorang gurunya, KH. Cholil dari Kasingan (tetangga Desa Pesawahan),
dengan seorang gadis bernama Ma’rufah yang tidak lain adalah putri KH. Cholil
sendiri. Dari perkawinannya ini, KH. Bisyri Musthofa dianugrahi delapan anak,
yaitu Cholil, Musthofa, Adib, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah, dan Atikah.
Setelah menikah dan
menimba ilmu, termasuk ke Makkah, KH. Bisyri Musthofa kemudian mengajar di
pesantren. Di samping kegiatan mengajar di pesantren, beliau juga aktif pula
mengisi ceramah keagamaan. Penampilannya di atas mimbar amat mempesona para
hadirin yang ikut mendengarkan ceramahnya. Tidak aneh jika beliau kerap
diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di berbagai daerah di
Jawa Tengah.
Meski sibuk mengajar dan terkenal
sebagai singa podium, namun KH. Bisyri Musthofa ternyata punya keistimewaan
yang kerap tidak dimiliki para kiai yang lain: beliau juga seorang penulis
piawai. Salah satu karya beliau adalah karya monumental beliau, Al-Ibriz,
sebuah kitab terjemah dan tafsir Al-Quran dalam bahasa Jawa. Dalam karya yang semula terdiri dari tiga
jilid dan diterbitkan Penerbit Menara Kudus ini KH. Bisyri Musthofa senantiasa
memberikan tafsiran terhadap ayat-ayat mutasyâbihât dengan mengambil
beberapa pendapat para mufassir disertai dengan argumen-argumen yang beliau
berikan sendiri. Dalam kitab tafsirnya itu, tidak sedikit ditemukan
uraian-uraian yang menyangkut ilmu sosial, logika, ilmu pengetahuan alam dan
sebagainya.
Sebagai orang Jawa yang
telah lama, tidak kurang dari 30 tahun, tidak tinggal di daerah yang berbahasa
Jawa, saya sangat menikmati tulisan kiai terkemuka yang berpulang pada Rabu, 27
Shafar 1397 H/17 Februari 1977 M itu. “Unik, menarik, dan ciamik sekali karya
ini,” demikian gumam saya dalam hati sepanjang perjalanan dari Rembang menuju
Semarang, dan kemudian menuju Bandung. “Matur nuwun sanget, Gus Mus. Ini
merupakan hadiah yang luar biasa.”
No comments:
Post a Comment